Namun, bagaimana aku bisa menemukan keyakinan semacam ini? tanya Descartes. Dan dia menjawab: dengan metode keraguan. Perilaku ragu ini sudah membudaya dalam era transisi pada abad XVII, dengan keyakinan lama dan filsafat yang kehilangan kredibilitasnya serta teori ilmiah baru yang diserang dan belum dikukuhkan dalam landasan filsafat yang kuat.
Descartes juga menggunakan metode keraguan. Namun, terlepas dari keterangan karena Meditasi, keraguan Descartes sangatlah revolusioner. Dia akan membuang segala keyakinannya, meragukan segalanya. Untuk mencapai pencariannya atas suatu filsafat yang absolut, Descartes berkemauan membuang dan menghancurkan semua yang dia yakininya, meragukan segala keyakinannya.
Skeptisme adalah nama bidang politik yang meragukan kelayakan pengetahuan. Tipe skeptisme Descartes dinamakan skeptisme metodikal atau metodologikal, yang artinya menggunakan keraguan secara metodologis untuk mencapai pengetahuan sejati.
Descartes menggunakan skeptisme metodologis untuk membuang keyakinannya. Meditasi I diberi judul “Dari Benda yang Bisa Kita Ragukan”. Namun, untuk meragukan segala keyakinannya dengan cara merinci satu per satu dari semua keyakinan tadi tidak akan ada habisnya.
Aku akan menguji semua itu, kata Descartes, pencinta keteraturan matematika, dengan cara mengelaskan dan mengelompokkannya untuk mengetahui apakah ada satu keyakinan yang bisa diragukan dengan memenuhi tiga kriteria: pertama, bahwa dalilnya mustahil diragukan; kedua, bahwa keyakinan itu merupakan kebenaran akhir; dan ketiga, bahwa keyakinan itu merupakan sesuate yang ada. Dan juga, kelas demi kelas, kelompok demi kelompok, tidak melewatkan satu pun keyakinannya.
Pertama kali yang harus diuji keyakinan dari persepsi pancaindra. Ini yang paling mudah diyakini dari semuanya, akan tetapi seringkali menipu. Seperti apa objek di kejauhan menurut mata telanjang, sebagai contoh, saat ini berbeda dengan yang ditampilkan teleskop (Galileo menemukan teleskop pada 1609).
Seperti apa objek yang kecil sekali menurut mata telanjang kini berbeda dengan yang ditampilkan mikroskop (dirancang Kepler pada 1611). Dan bagaimana dengan ilusi optik seperti pensil yang kelihatannya bengkok di dalam air? Dan halusinasi yang memengaruhi indra kita?
Jelasnya, kata Descartes, pancaindra tidak bisa dipercaya sebagai sumber kepastian. Apa yang telah menipuku sekali mungkin dapat menipuku lagi. Akan tetapi pasti, tegas Descartes, aku tak bisa meragukan apa yang dikatakan indraku bahwa “Aku di sini, duduk di samping perapian, mengenakan jubah… dan bahwa tangan dan tubuh ini milikku?” sebelumnya bukankah aku tidak pernah bermimpi sedang duduk di sini? Dia bertanya.
Dan tidakkah aku sedang bermimpi sekarang? (Descartes, yang banyak tidur, pasti sering bermimpi tentang hal ini). Apa yang dipersepsikan indraku bisa saja merupakan tipuan dari mimpi.
Kemudian Descartes tiba pada kelas keyakinannya yang lain. Bagaimana dengan keyakinan atas benda material atau keyakinan bahwa alam fisik itu ada? Hal ini pasti diragukan karena keyakinan ini didasarkan persepsi indra, yang terbukti menipu sehingga kurang pasti.
Descartes bertanya: Apa yang ada dalam keyakinan dari ilmu alam? Keyakinan ini pasti juga meragukan karena didasarkan pada objek yang dikenali oleh persepsi indra, yang kemudian ditetapkan sebagai hal yang tak bisa dipercaya.
Descartes melanjutkan pada keyakinan matematis. Bagaimana dengan keyakinan atas matematika? Mengapa dia meragukannya? Dia selalu menghargai matematika sebagai model kepastian, karena sangat pasti dalilnya. Bahkan, keyakinan matematika tidak diragukan karena dihasilkan dari persepsi indra. “Aku ini terjaga atau tidur?” tanya Descartes. “Dua ditambah tiga pasti sama dengan lima dan persegi empat pasti tidak memiliki lebih dari empat sisi; dan kelihatannya tidak mungkin bahwa kebenaran yang begitu jelas dianggap keliru.”
Keyakinan ini diketahui oleh pikiran, bukan indra. Namun, apakah mustahil untuk meragukannya? Ahli matematika kadangkala melakukan kesalahan. Mungkinkah mereka selalu berbuat kesalahan?
Dalam usahanya memaksakan skeptisme metodologisnya atas ketegasan itu, dan karena kurangnya alasan untuk meragukan matematika, Descartes menemukan satu hal. Misalnya saja, katanya, ada kejahatan dan iblis kuat yang menipuku pada segala hal yang kurasa aku sangat mengetauinya? Pada hal ini, aku selalu tertipu, selalu berbuat kesalahan, bahkan dalam matematika, meskipun dalilnya aku rasa bisa terbukti, seperti 3+2=5. Ini merupakan keraguan yang paling mungkin. Descartes sendiri mengatakan bahwa hal itu dilebih-lebihkan, “hiperbola”.
Kelihatannya tersusun, bukan keraguan yang sebenarnya. Namun, dia memaksakan kasusnya. Dapatkah suatu keyakinan mempertahankan keraguan ini? Dapatkah suatu keyakinan mempertahankan keraguanku atas segala keyakinan karena mungkin saya ditipu oleh iblis jahat dalam semua keyakinanku bahkan dalam keyakinan yang kuanggap pasti secara absolut?
Kemudian Descartes sampai pada jawaban keberhasilannya yang terkenal: bahkan jika aku tertipu oleh semua keyakinanku, aku harus tetap ada untuk ditipu. Jika aku meragukan segala hal yang aku yakini, termasuk matematika, ada satu keyakinan yang tidak bisa diragukan: tiap kali aku ragu, aku harus tetap ragu.
Dalam meragukan kebenaran semua keyakinan lainnya, aku tak bisa meragukan keyakinan bahwa aku ragu, karenanya aku ada. Bahkan jika segala keyakinan yang kuketahui keliru, satu keyakinan tetap benar: pada saat apa pun di mana aku melakukan aktivitas pemikiran, atau tindakan mental apa pun seperti melakukan keraguan atau berkeinginan, aku berada dalam keadaan memikirkan sesuatu.
Dengan demikian, Descartes menemukan kepastian absolutnya, bukti dirinya, dan prinsip pertama yang benar-benar pasti. Dia merumuskannya dalam bahasa Latin: Cogito, ergo sum (Aku berpikir, maka aku ada); dalam bahasa Prancis: Je pense, donc je suis. Pemikiran bagi Descartes meliputi berbagai tindakan kesadaran yang segera membuat kita jadi paham. “Dengan kata pemikiran aku memahami segala sesuatu yang kita sadari berlaku dalam diri kita.” Pemikiran meliputi keraguan, pemahaman, pembenaran, negasi, kemauan, penolakan, perasaan.
Sebagai tindakan kesadaran, semua hal di atas membutuhkan keberadaanku. Karenanya, aku rasa aku ada. Aku ragu bahwa aku berpikir, aku menyangkal bahwa aku berpikir, hal ini hanya menegaskan bahwa aku harus ada untuk menyangkal dan ragu.
Bagaimana aku tahu akan keyakinan ini, cogito ergo sum? Dengan segera memahami sebagai bukti diri bahwa untuk berpikir (ragu atau menyangkal atau berkemauan) aku harus ada dan bahwa pemikiranku tanpa adanya aku merupakan hal yang mustahil.
Cogito ergo sum selalu benar setiap kali aku memikirkannya. Cogito ergo sum selalu benar tiap kali aku menyangkalnya. Tetapi apalah aku yang berpikir dan karenanya ada? Cogito hanya membuktikan bahwa aku ada sebagai benda yang berpikir dan hanya jika aku sadar berpikir. Cogito hanya membuktikan bahwa aku adalah benda pemikir, substansi yang ada, dan merupakan sifat alamiku untuk memiliki pemikiran, ide, keyakinan.
Akan tetapi, tidak ada yang dibuktikan oleh Cogito mengenai tubuhku atau gerakannya, berjalanku dan makanku. Aku tak bisa menyatakan kebenaran yang nyata untukku: aku bergerak maka aku ada. Gerakanku bisa kuketahui hanya melalui persepsi indra, dengan mengamati diriku yang bergerak.
Cogito hanya membuktikan bahwa ketika aku sadar berpikir, aku ada sebagai benda pemikir. Akan tetapi, apakah Cogito memenuhi tiga persyaratan yang dikemukakan Descartes untuk prinsip pertama, landasan filsafatnya? Pertama, apakah bisa terbukti dengan pemikiran, pasti? Descartes manjawab: Ya, Anda tak akan bisa meluluskan cogito dengan meragukannya. Tiap kali aku meragukannya, aku membenarkannya.
Kedua, apakah tidak terikat dari kebenaran akhir lainnya? Descartes menjawab: Ya, Cogito tidak disimpulkan dari kebenaran yang lebih akhir: semua yang berpikir, ada: aku berpikir, maka aku ada. Sebaliknya, aku sendiri merasa sebagai kebenaran bukti diri di mana aku ada pada saat aku berpikir. Ketiga, apakah merujuk pada dunia yang ada? Descartes menjawab: Ya, Cogito merujuk padaku, yang ada sebagai benda berpikir. Sum. Aku. Aku ada.
Descartes juga menyatakan bahwa Cogito teruji atas tiga persyaratannya. Apakah filsuf sesudahnya sepakat dengan gagasannya itu? Apakah Cogito membuktikan kritik kuat sebagai landasan pasti yang absolut untuk filsafat? Ada ratusan komentar kritis atas pembuktian Cogito.
Dari komentar-komentar tersebut, yang paling menyerang adalah komentar pertama dari Pierre Gassendi dalam suratnya pada Descartes. Gassendi menyatakan bahwa Cogito tidak memenuhi persyaratan kedua, bahwa hal itu tidak maksimal tetapi bergantung pada kebenaran lainnya.
Dua dari kebenaran yang menjadi dasar Cogito ini adalah: (1) bahwa benda atau substansi itu ada. (2) bahwa pemikiran atau tindakan atau keadaan lain bisa ada hanya sebagai tindakan atau keadaan suatu substansi. Dua kebenaran ini diperlukan untuk pembuktian Cogito: setiap kali aku sadar akan pemikiran, aku, substansi yang berpikir, ada: dan berpikir adalah suatu tindakan yang bisa ada hanya sebagai tindakan atau keadaan suatu substansi.
Descartes menganggap dua pernyataan ini sebagai kebenaran, tetapi tidak membuktikannya. Pada kenyataannya dia meminjamnya dari filsuf abad pertengahan yang dibencinya. Filsafatnya sekadar didasarkan pada keberadaan substansi, dan keadaan, tindakan, atau sifat-sifatnya seperti filsafat skolastik abad pertengahan.
Dan akhirnya, bagaimana dengan pengaruh Cogito? Descartes melandaskan seluruh filsafatnya atas kebenaran absolut bahwa ketika aku sadar akan pemikiran, maka aku tahu aku ada.
Dalam teori pengetahuan Descartes, satu kebenaran yang tak tergoyahkan, aman dan terlindung dari keraguan, adalah kebenaran dari keberadaan diriku sebagai subjek yang sadar. Dengan demikian, Cogito Cartesian memperkenalkan subjektivisme kepada filsafat modern.
Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.
Izin share buat referensi ngajar