Politik Otoriter dan Sex dalam Novel Saman4 min read

Karya sastra merupakan sebuah dokumen sosial yang dapat menggambarkan realitas sosial budaya pada masa karya tersebut diciptakan. Dalam perspektif sosiologi sastra, karya sastra dapat dipandang sebagai produk masyarakat dan sebagai sarana untuk menggambarkan kembali atau merepresentasikan realitas dalam masyarakat.

Ayu Utami merupakan sastrawan perempuan yang dianggap membawa perubahan dalam perkembangan karya sastra yang ditulis oleh seorang perempuan. Ayu Utami juga digadang sebagai sastrawan perempuan pertama yang membawa tema politik dan sex kedalam tulisannya. Dengan gamblang, Ayu Utami membeberkan peristiwa kelam ’98 yang pernah terjadi di Indonesia.

Saman merupakan novel pertama yang ditulis oleh Ayu Utami dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1998. Melalui karyanya tersebut, Ayu Utami menjadi perhatian para pembaca dan kritikus sastra karena novelnya yang dianggap sebagai novel pembaharu dalam dunia sastra Indonesia yang ditulis oleh seorang perempuan.

Dilansir dari Ensiklopedia, Saman 1998, Keith Foulcher (2008) menyatakan bahwa kehadiran Saman tepat di akhir era Suharto yang menarik perhatian umum justru soal pemberian hadiah sastra bergengsi pada novel pertama pengarang perempuan ini yang penuh dengan tema seksual yang implisit. Saman menyimpulkan adanya kesetaraan dan otonomi pada perempuan dalam kerja politik, cinta, dan seks.

Dalam segi politik, Ayu Utami mengkritik pemerintahan yang kelam pada masa itu yakni pemerintahan Orde Baru yang otoriter. Konflik yang terdapat dalam novel Saman merupakan sebuah tindakan korupsi dan nepotisme yang dilakukan oleh pejabat dan pengusaha untuk mendapatkan keuntungan seluas-luasnya dn mengeruk harta negara sedalam-dalamnya.

Hal ini digambarkan pada peristiwa kecelakaan yang terjadi di Laut Cina Selatan saat pengeboran minyak yang dilakukan oleh Sihar dan Rosano serta beberapa tokoh dalam novel lainnya. Berkat koneksi ayahnya yang luas terhadap para pejabat pemerintah, Rosano sulit disentuh oleh hukum. Selain itu, konflik yang terjadi dalam novel Saman adalah pertentangan antara penduduk Transmigran sebagai buruh perkebunan karet yang tertekan oleh kondisi ekonomi akibat hutang dan monopoli perdagangan karet.

Terjadi pada 1990-an, Saman menggambarkan peristiwa persengketaan tanah dan kerusuhan yang terjadi di Medan. Kejadian tersebut membawa masalah yang serius bagi penduduk daerah sekitar, yakni akan diubahnya perkebunan karet menjadi perkebunan sawit. Masyarakat menolak hal tersebut, dan pada akhirnya penguasa berbuat tindakan yang tidak berperikemanusiaan dengan memaksa penduduk untuk melepaskan tanahnya. Penguasa menggunakan tindak kekerasan untuk meneror para penduduk. Tidak hanya itu, para penguasa juga memperkosa dan menindas penduduk, bahkan hingga membunuh.

Saman juga bercerita tentang tindakan yang dilakukan untuk mengatasi masalah kemanusiaan dan keadilan yang terjadi pada masa itu, khususnya pada daerah-daerah pelosok. Hal ini juga serupa dengan tindakan yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru apabila ada yang tidak sesuai dengan aturan pemerintah.

“Tapi, bagaimanapun penyiksaan yang kemudian ia terima membikin tubuhnya gemetar. Kegentaran itu tetap muncul setiap kali ia digiring ke ruang interogasi, didudukkan, atau dibiarkan berdiri, sementara ia menduga-duga cara a[a yang digunakan orang-orang kali ini, sebab matanya selalu ditutup. Kadang mereka menyundut tubuhnya dengan bara rokok, menjepit jari-jarinya, mencambuk meski tidak di dada, menyetrum lehernya, atau cuma menggunakan kepalan dan tendangan.” (Utami, 1998:103)

Kutipan di atas menggambarkan bahwa tindakan penculikan dan penyiksaan yang dilakukan sangat tidak berperikemanusiaan. Tidak adanya keadilan atas hak asasi setiap individunya mengakibatkan tindakan-tindakan yang semena-mena. Dengan demikian, hilangnya setiap hak asasi manusia dan keadilan sosial sangat menyengsarakan kaum kelas ekonomi bawah. Pemerintahan yang otoriter akan menyebabkan adanya kesenjangan sosial dan ketidakadilan bagi suatu daerah.

Saman juga sempat menyinggung perihal kejadian Marsinah dan peragawati yang dibunuh dekat pagar kawat kebun karet Kalibata. Hal ini menunjukkan bahwa novel Saman ingin kembali menyuarakan keadilan dari kejadian-kejadian yang dibungkam tersebut.

Saman merupakan novel yang juga menceritakan bagaimana hubungan persahabatan di antara perempuan yang memunculkan tema seksualitas dari perspektif perempuan yang masih tabu, sehingga menimbulkan kontroversi.

“Kenapa kalian bengong begitu?” dengan jengkel aku bertanya. Kutahu keduanya terkejut karena Cok sudah bukan perawan.

Akhirnya Laila berkata: “Apa kubilang dulu. Musuh kita adalah laki-laki. Laki-laki merusak dia.” (Utami, 1998:152)

Dari kutipan di atas, Laila menuduh bahwa musuh yang sesungguhnya adalah laki-laki karena telah merenggut keperawanan temannya. Hal ini merupakan salah satu kontroversi seksualitas dari perspektif perempuan pada masa itu.

Pada novel pertamanya ini, Ayu Utami melalui tokoh perempuan dalam novelnya ingin mendobrak ketertutupan seksualitas, terutama pada perempuan yang masih tabu. Dengan menggambarkan seksualitas dengan jelas dan vulgar, Ayu ingin menyampaikan bahwa seks adalah sesuatu yang wajar dan setiap individu pasti memiliki hasrat akan hal tersebut.

“… Perempuan itu membasuh tunas jantan yang menjulur dengan air matanya, lalu mengecupnya dengan air liurnya….

Lalu terdengar geram laki-laki itu mengoyak awan ketika benihnya yang metah menyembur. Tetes-tetes itu tidak menumbuhkan permata ataupun batu nilam. Melainkan seekor ular menyelinap ke dalam benaknya sambil terkekeh: “Nikmat itu dosa.” Ketika tubuhnya belum lagi selesai bergeletar.” (Utami, 1998:193)

Dari kutipan tersebut, Ayu Utami menggambarkan dengan jelas dan vulgar bagaimana seks merupakan salah satu kenikmatan yang dapat dirasakan setiap manusia. Meskipun mengandung kenikmatan, seks juga dapat memberikan dosa kepada orang yang tidak memiliki hubungan keterikatan dengan sah (pernikahan). Dilihat dari kata “Nikmat itu dosa” bahwasanya segala sesuatu di dunia ini yang terasa nikmat, sebagian besarnya mengandung dosa.

Tidak hanya itu, Ayu Utami juga mengangkat tema religius dalam novel pertamanya. Meskipun tokoh dalam novel adalah seorang pastor, namun masih terdapat keraguan akan adanya Tuhan. Keraguan tokoh tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut.

“Tidak, Anson. Bukan Tuhan. Kalau Tuhan, kenapa dia tidak menyelamatkan Upi….” (Utami, 1998:111)

Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan, bahwa meskipun seorang pastor atau ahli agama lain tidak menjamin orang tersebut sepenuhnya percaya dan yakin terhadap adanya Tuhan. Padahal sebuah peristiwa, seperti kematian merupakan suatu takdir yang mutlak dari Tuhan dan tidak dapat dihindari oleh setiap manusia.

Perempuan yang menyukai tulisan, terlebih novel. Mampu melahirkan karya sendiri saat mengalami tekanan atau kekhawatiran akan suatu hal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like