Oligarki, Iliberalisme, dan Disorientasi Gerakan Masyarakat Sipil: Sebuah Refleksi Kemunduran Demokrasi Indonesia15 min read

Sumber Gambar: Tempo.co

Indonesia telah menempuh jalan panjang menuju kepada suatu transformasi politik yang demokratis, setelah perlawanan kelompok pro-demokrasi di akhir 90-an menemukan puncak kulminasinya yang ditandai oleh kejatuhan pemimpin otoriter Soeharto pada Mei 1998. Presiden Soeharto diketahui memimpin Indonesia dengan sedikit sekali membukan kebebasan sipil dan politik, sehingga artikulasi gerakan politik pro-demokrasi pada akhir 90-an tersebut dapat dibaca sebagai lompatan kualitatif untuk menghadirkan tatanan politik yang lebih demokratis.

Era reformasi adalah sebuah periode politik Indonesia yang ditandai dengan transisi dari rezim otoritarian menuju konsolidasi demokrasi. Tetapi, transisi tersebut tidak berlangsung secara linear. Elite predatori—yakni politisi, birokrat, dan pebisnis yang membentuk politico business alliance untuk kepentingan individu dan kelompok—yang diinkubasi sejak kejayaan Orde Baru mendapatkan posisi strategisnya di era reformasi dengan menyesuaikan diri di dalam sistem politik demokrasi dengan masuk dalam partai politik, pemerintahan, dan legistaltif, dan perlahan-lahan membajak institusi demokrasi untuk kepentingan mereka (Robison & Hadiz: 2004).

Dengan kata lain, era reformasi adalah momentum reorganisasi kekuatan politik lama ke dalam periode politik yang baru. Sehingga, penggunaan kata “reformasi” untuk menandai periode politik baru tersebut amat problematik, setidaknya dengan alasan bahwa era “reformasi” masih dikuasai oleh kekuatan politik lama yang tidak benar-benar tersingkirkan setelah negara ini memilih demokrasi. Kata “pasca-Orde Baru” nampaknya lebih bisa digunakan untuk menandai periode politik di mana kekuatan politik era Orde Baru masih bertahan dalam demokrasi Indonesia saat ini.

Ada beberapa hal yang menggantikan Orde Baru menurut Vedi R. Hadiz (2002) yang dapat penulis rangkum. Pertama, kebangkitan partai politik yang tidak disertai programatic politics, tetapi sekedar oportunisme politik dari kekuatan-kekuatan lama. Kedua, desentralisasi yang membuka peluang bagi penguasaan sumber daya lokal dan kesempatan membangun jejaring patronase lokal. Ketiga, premanisme politik milisi sipil yang eksis sejak Orde Baru mendapatkan momentumnya di era demokrasi dengan masuk dalam partai politik, atau tetap mempertahankan bentuk organisasi milisi sipil yang menjelankan fungsi layaknya penegak hukum. Keempat, kontrol otoritarian digantikan oleh politik uang, politik kekerasan, serta intimidasi. Dan yang kelima, kekuatan politik seperti partai politik yang belum bisa mengabaikan kepentingan militer, serta keterlibatan militer dalam aliansi politik dan bisnis, baik lokal ataupun nasional.

Tulisan ini merupakan upaya untuk merefleksikan kondisi demokrasi Indonesia terkini, setelah negara ini sepakat untuk memilih demokrasi pasca tumbangnya Soeharto. Upaya ini tentu tidak hadir begitu saja di dalam ruang hampa, mengingat, kondisi demokrasi Indonesia saat ini bergerak mundur. Keprihatinan tersebut selayaknya dipahami sebagai sebuah upaya untuk memikirkan faktor-faktor yang berkontribusi dalam kemunduran demokrasi, dan bagaimana setelahnya kita memikirkan alternatif-alternatif yang bertumpu pada kedaulatan rakyat untuk kembali memajukan demokrasi. Masalah-masalah yang dipaparkan di sini hanya sebagian saja dari berbagai masalah dalam demokrasi Indonesia yang memiliki kompleksitasnya masing-masing.

Diskursus Tentang Kemunduran Demokrasi di Indonesia

Para Indonesianis telah mengamati mengenai fenomena kemunduran demokrasi Indonesia dengan perspektif dan fokus yang berbeda-beda, tetapi tetap dalam kesimpulan yang sama, yakni demokrasi Indonesia berada pada posisi mundur. Vedi R. Hadiz misalnya, yang menganalisa mengenai kemunduran demokrasi di Indonesia (democracy setbacks) yang ditandai dengan kemunculan politik iliberal yang direpresentasikan oleh kelompok Islam konservatif dan kalangan hyper-nationalism yang muncul dalam diskursus serta praktik politik pada saat pemilihan gubernur Jakarta tahun 2016. Menurutnya, persaingan antara kelompok Islam konservatif dan hyper-nationalism inimerupakan ciri persaingan intra-oligarki yang menonjolkan karakter politik iliberal yang sudah berlangsung lama dalam demokrasi Indonesia (Hadiz: 2017).

Senada dengan Hadiz, menurut Mietzner, kemunduran demokrasi di Indonesia (democratic deconsolidation) dapat diamati dengan menganalisa bagaimana pemerintahan Jokowi menanggapi mobilisasi Islamis-populis yang belum pernah terjadi sebelumnya (unprecedented). Menurutnya, pemerintahan Jokowi mencoba melindungi demokrasi dari serangan kelompok populisme Islam tetapi dengan cara yang juga tidak demokratis (fighting iliberalism with iliberalism),[1] yakni artikulasi politik iliberal oleh kelompok islam populis, direspon oleh pemerintah dengan cara iliberal pula seperti kriminalisasi terhadapnya (Mietzner: 2018).

Di sisi yang lain, Warburton dan Aspinall mencoba menganalisa kemunduran demokrasi di Indonesia (democratic regression) dengan melihatnya dari faktor struktural, agensi, serta popular. Secara struktural, mereka berpendapat bahwa masuknya elite anti-demokrasi—yang dapat dilacak sejak Orde Baru—ke dalam strktur pemerintahan demokratis menciptakan regresi demokrasi di Indonesia. Dan secara agensi, tindakan elite-elite tersebut pelan tapi pasti mengikis norma dan institusi demokrasi. Selain itu, secara popular, terdapat pesimisme terhadap demokrai dikalangan masyarakat. Hal tersebut memunculkan keinginan di tengah masyarakat akan adanya pemimpin yang kuat, kembalinya kekuasaan otoritarianisme lama, serta konservatisme agama. Hal tersebut karena sebagian besar masyarakat Indonesia memahami demokrasi dalam kategori yang abstrak (Warburton & Aspinall: 2019).

Regresi demokrasi Indonesia dapat diamati juga dengan upaya pemunduran demokrasi, baik itu dari atas (form above), ataupun dari bawah (from below). Regresi demokrasi Indonesia dari atas ditandai dengan konstelasi elite yang saling berebut kepentingan dan pengaruh politik, baik itu dalam pemerintahan atau partai politik, yang pada akhirnya mengarahkan demokrasi Indonesia dari stagnasi menuju regresi. Sedangkan regresi demokrasi Indonesia dari bawah dapat dilihat dengan tidak adanya perlindungan terhadap kelompok minoritas etnis, agama, dan seksual, baik itu dari pemerintah yang harusnya menjamin keamanan serta kebijakan yang melindungi minoritas,  tetapi juga sesama masyarakat yang masih tidak ramah terhadap minoritas (Power & Warburton: 2020).

Selain analisis dari para sarjana di atas, angka kuantitatif kualitas demokrasi Indonesia juga dilaporkan menurun. Economics Intelligence Unite (EIU) melaporkan bahwa indeks demokrasi Indonesia tahun 2020 turun dari 6,48 menjadi 6,3. Angka ini adalah angka terendah sejak 14 tahun terkahir dan menempatkan demokrasi Indonesia di bawah Malaysia dan Timor Leste dengan kategori Flawed Democracy atau demokrasi yang cacat. EIU memberi skor 7,92 untuk proses pemilu dan pluralisme, 7,50 untuk kinerja pemerintah, 6,11 untuk partisipasi politik, budaya politik 5, 38, dan kebebasan sipil 5,59.

Diskursus di atas memperlihatkan satu kesimpulan yang sama bahwa demokrasi Indonesia bergerak mundur dengan berbagai permasalahan di dalamnya. Menurut penulis, Ada tiga kategori dasar dalam menjelaskan kemunduran demokrasi di Indonesia yang dikembangkan dari diskursus akademik di atas. Pertama, yakni kategori struktural yang berhubungan dengan relasi kuasa intra-elite predatori yang beroprasi dalam sistem demokrasi dengan membajak institusi dan menggerus norma demokrasi. Kedua, yakni kategori kultural yang berhubungan dengan nilai-nilai konservatisme di tengah masyrakat yang pada akhirnya membentuk corak politik iliberal dalam demokrasi Indonesia. Dan ketiga, kebijakan anti-demokrasi yang berhubungan dengan ada atau tidak adanya berbagai kebijakan yang mengancam keberlangsungan demokrasi, seperti tidak adanya kebijakan yang tidak pro terhadap minoritas etnis, seksual, dan masyarakat adat, serta adanya kebijakan yang tidak pro terhadap agenda pemberantasan korupsi (pelemahan KPK lewat UU KPK No. 19/2019), kebijakan yang memperlebar ketimpangan ekonomi, kerusakan lingkungan, dan pro terhadap pasar (UU Omnibus Law Cipta Kerja No. 11/2020), serta ancaman terhadap artikulasi politik yang dinilai tidak berdasarkan Pancasila, juga ancaman bagi keberlanjutan kebebasan sipil dan politik (UU Ormas No. 2/2017).

Tiga hal ini dapat dilihat sebagai gambaran mengenai kemunduran demokrasi Indonesia, yang ketiganya tidak terpisah satu dan lainnya, melainkan memiliki hubungan diantaranya. Bagian berikutnya akan mencoba untuk mengelaborasi kemunduran demokrasi dalam kaitannya dengan dominasi oligarki, represi secara langsung dan tidak langsung, serta disorientasi gerakan masyarakat sipil.

Dominasi Oligarki di Indonesia

Jeffrey A. Winters dalam karyanya “Oligarki” (2011) mengatakan bahwa oligarki adalah sebuah politik pertahanan kekayaan (wealth defense) oleh pelaku yang memiliki kekayaan material. Sedangkan oligark adalah pelaku yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial eksklusifnya (Winters: 2011). Menurutnya, ketidaksetaraan material secara ekstrem, pada akhirnya menghasilkan ketidaksetaraan politik ekstrem. Hal ini karena oligark yang memiliki sumber daya material dapat menggunakannya untuk tujuan politik, yakni membangun klik-klik politik dengan kekuatan politik tertentu, yang sebernarnya memiliki tujuan untuk mempertahankan kekayaan. Menurut Winters, langgengnya dominasi oligarki di Indonesia karena negara ini lemah dalam penegakkan hukum. Para oligark bisa menghindari dan bahkan memanipulasi hukum itu sendiri.

Perspektif Winters dalam memahami oligarki kental dengan pendekatan Weberian yang menekankan pada aktor, sedangkan dari perspektif yang berbeda, Richard Robison dan Vedi R. Hadiz dalam “Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Market” (2004) memahami oligarki dalam pendekatan neo-Marxis, yakni sebagai sebuah relasi kekuasaan antara kelompok birokrat, pebisnin, serta politisi yang bergabung dalam sebuah kepentingan yang sama untuk menguasai sumber daya material, sehingga membentuk suatu politico-business alliance. Mereka berdua secara spesifik menganalisa dominasi oligarki di Indonesia, di mana periode oil boom tahun 1978-1979 berhasil melahirkan borjuasi nasional Indonesia berkat kenaikan harga minyak. Inti argumen mereka adalah para oligark yang telah terinkubasi sejak kejayaan Orde Baru tidak berhasil tumbang pasca-Orde Baru. Oligark berhasil menyesuaikan diri dan mereorganisasi kekuatannya kembali, serta memanfaatkan demokrasi untuk kepentingan mereka. Dengan demikian, kelompok oligarki inilah yang justru paling diuntungkan dengan adanya demokrasi, di mana mereka dengan mudah membajak institusi demokrasi.

Misalnya saja, penelitian yang dilakukan oleh Marepus Corner, sebuah komunitas peneliti dari LIPI, menemukan total 318 pebisnis di DPR. Itu artinya, 1-6 orang dari 10 orang anggota DPR adalah pebisnis, atau 55% dari jumlah keseluruhan anggota DPR (Aidulsyah, et. all.: 2020). Selain itu, berdasarkan investigasi dari TEMPO dan Yayasan Auriga Nusantara misalnya, mereka menemukan 262 orang atau 45,5% dari 575 anggota DPR periode 2019-2024 terafiliasi dengan perusahaan. Nama mereka tercatat dalam 1.016 Perseroan Terbatas yang bergerak di berbagai sektor. Mereka menempati posisi strategis di perusahaan, seperti direktur utama, wakil direktur, komisaris, komisaris utama, presiden komisaris, dll. Mereka berasal dari fraksi seperti PDI-P, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, Demokrat, PKS, PAN, dan PPP. Total 247 orang dari mereka tercatat sebagai pemilik saham di berbagai perusahaan (TEMPO: 2019).

Dari data di atas, demikian jelas bahwa oligarki telah membajak institusi demokrasi seperti DPR yang merupakan bagian penting bagi proses demokratisasi. Berbagai regulasi yang dihasilkan DPR bersama pemerintah yang terang-terang pro terhadap kelompok bisnis, dapat di baca sebagai sebuah fenomena dominasi oligarki. Misalnya kebijakan UU Minerba, Revisi UU KPK, serta UU Cipta Kerja. Dominasi oligarki ini juga menciptakan bentuk politik iliberal di Indonesia yang akan dibahas berikut ini.

Politik Iliberal: Represi dalam Public-sphare dan Cyber-space

Politik iliberal di dalam diskursus akademik sebagian besar berkaitan dengan kebangkitan politik populisme, khususnya populisme Islam di Indonesia (Hadiz: 2017, Mietzner: 2018, Mudhoffir: 2020). Sedangkan perspektif lain mencoba menganalisa kondisi-kondisi struktural ekonomi-politik yang berkaitan dengan relasi kuasa intra-Oligarki, politisi kaya, kelas kapitalis dalam relasinya dengan negara, di mana artikulasi dan pengaruh politiknya memperdalam politik iliberal (deepening iliberalism politics) (Anugrah: 2020). Politik iliberal pada intinya adalah pembalikan dari prinsip-prinsip politik liberal seperti kesetaraan, kebebasan, kewargaan, dan sebagainya, di mana nilai-nilai tersebut mulai tergerus. Hal ini menggambarkan suatu kondisi demokrasi yang berjalan mundur dan menjauh dari prinsip-prinsipnya.

Dalam kondisi demokrasi Indonesia terkini, kita bisa melihat adanya pendalaman politik iliberal seperti kekerasan dalam ruang publik (public-sphare), ataupun represi dalam ruang digital (cyber-space), yang melibatkan aktor negara dan aktor non-negara. Sebagaimana dilaporkan oleh KontraS, dalam kurun waktu 2019-2020 ada 157 peristiwa serangan kebebasan sipil. Dari jumlah tersebut, yang paling marak adalah penangkapan dengan 63 kasus (CNN: 2020). Kasus penangkapan pada umumnya dilakukan saat aparat membubarkan massa aksi. Dalam gerakan Reformasi Dikorupsi 2019, di mana mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat sipil yang menentang revisi UU KPK, RUU KUHP, dan pengesahan UU Minerba, tercatat bahwa dalam aksi ini setidaknya 5 orang massa aksi tewas akibat kekerasan yang dilakukan aparat, ratusan mengalami luka, dan ribuan lainnya ditangkap. Tindakan kekerasan yang serupa tetap berlanjut pada aksi Mosi Tidak percaya tahun 2020 yang menolak disahkannya UU Omnibus Law Cipta Kerja

Kekerasan di dalam ruang publik ini tidak bisa dipisahkan dari konsolidasi oligarki yang mencoba meloloskan berbagai kebijakan yang menguntungkan posisi mereka. Kebijakan yang banyak diprotes tersebut menimbulkan berbagai bentuk kekerasan di dalam ruang publik. Dengan demikian, ada keterkaitan antara kekerasan yang diterima oleh masyrakat sipil dan dominasi oligarki dalam demokrasi Indonesia.

Selain kekerasan dalam ruang publik (public-sphere), juga terjadi represi di ruang digital (cyber-space). Menurut data dari SAFEnet, pada tahun  2020 terjadi 147 insiden serangan digital, di mana puncaknya berada pada bulan Oktober 2020 yang bertepatan dengan pengesahan UU Cipta Kerja dengan 41 kali serangan digital. Serangan digital tersebut berupa peretasan (114 kasus), doxing (14 kasus), DdoS (4 kasus), pencurian data pribadi (4 kasus), serta impersonasi (3 kasus) (Lihat di CNN: 2021). Represi dalam cyber-space terbaru dialami oleh BEM Universitas Indonesia pada tanggal 26 Juni 2021. Hal tersebut bermula ketika mereka memposting poster yang berjudul “Jokowi: The King of Lip Service” di akun media sosialnya. Pasca peristiwa tersebut, ketua BEM dan beberapa pengurusnya mengalami peretasan akun media sosial seperti Whatsapp, dan beberapa ancaman lainnya. Ketua BEM UI juga mengalami serangan digital dalam bentuk doxing yang dilakukan oleh para buzzer. Setelah BEM UI, kekerasan digital juga dialami oleh BEM Universitas Negeri Semarang yang bermula dengan postingan poster yang menyebutkan wakil presiden Ma’ruf Amin sebagai “The King of Silent” dan ketuda DPR-RI Puan Maharani sebagai “The Queen of Ghosting”. Akibat dari pada itu, akun media sosial BEM UNNES mendapat peretasan.

Peristiwa kekerasan di ruang publik dan kekerasan di ruang digital merupakan tanda yang signifikan mengenai pendalaman politik iliberal di Indonesia yang turut serta berkontribusi pada kemunduran demokrasi. Hal tersebut tetap memiliki kaitan dengan dominasi oligarki yang sudah dibahas sebelumnya.

Disorientasi Gerakan Masyarakat Sipil

Di tengah makin kuatnya dominasi oligarki yang turut membentuk corak politik iliberal dan berakibat pada kemunduran demokrasi di Indonesia, gerakan masyarakat sipil sejak tahun 2019 hingga sekarang tidak mampu mengimbangi kekuasaan oligarki tersebut.

Hal tersebut dikarenakan oleh represi yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan aparatus negara baik dalam ruang publik atau ruang digital, yang atas otoritasnya menghalangi kebebasan sipil dan politik. Negara nampaknya tidak menginginkan adanya perbedaan politik yang secara radikal ingin mengontrol kekuasaan dan menuntut kedaulatan rakyat. Pemerintahan Jokowi yang lebih mementingkan pembangunan ekonomi daripada menghargai demokrasi menimbulkan sedikit sekali ruang aman bagi masyarakat sipil untuk berekspresi dalam ruang publik ataupun ruang digital. Semua diarahkan untuk mendukung sebuah cita-cita pembangunan ekonomi yang sama sekali banyak merebut hak-hak dasar warga negara.

Dalam latar belakang situasi sosial, ekonomi, dan politik demikian, sampai saat ini gerakan masyarakat sipil tidak menemukan alternatif gerakan agar bisa mengimbangi kekuasaan oligarki. Hal-hal yang paling sering dilakukan selama ini terbatas pada aksi massa yang rawan represi hingga aksi di media sosial yang rawan kekerasan digital.

Hal itu memunculkan disorientasi gerakan masyarakat sipil akibat kekosongan tujuan-tujuan politik yang hendak dicapai. Cita-cita politik yang jelas dalam sebuah kerangka organisasi politik diperlukan sebagai acuan perjuangan politik dari gerakan masyarakat sipil agar pola gerakannya tidak terbatas pada koreksi semata. Mengingat bahwa dominasi oligarki adalah sebuah gerakan politik, melawannya juga harus dengan gerakan politik.

Pada perkembangan terkini, terdapat terobosan dalam internal gerakan masyarakat sipil untuk mengisi representasi politik lewat jalur partai politik. Partai Hijau Indonesia (PHI) dan Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) yang berbasis masyarakat sipil kelas menengah mencoba peruntungan dalam sistem politik formal untuk mengimbangi kekuasaan yang oligarkis. Tetapi peruntungan partai politik baru ini akan menemui kendala, yakni kendala struktural ataupun kendala birokratis. Yang pertama adalah mereka akan berhadapan dengan kondisi politik di mana kekuatan oligarki dan status quo tidak akan membiarkan hadirnya lawan politik yang mencoba mengganggu kepentingan dan dominasinya. Yang kedua adalah partai politik baru harus memenuhi segala persyaratan administratif sebagai syarat untuk berkompetisi dalam politik elektoral yang sulit. Dua hal tersebut merupakan kendala bagi partai politik baru yang ingin mencoba mengisi representasi politik dan membentuk kekuatan politik alternatif.

Disorientasi gerakan masyarakat sipil, seperti disinggung sebelumnya, dapat diselesaikan dengan mencari format gerakan yang bersifat politik dengan cita-cita politik yang jelas sebagai orientasi dasarnya. Sedangkan upaya mengisi kekosongan representasi politik dan penciptaan kekuatan politik alternatif harus diarahkan pada perlawanan terhadap dominasi oligarki. Dengan demikian, harapan akan adanya situasi politik dan demokrasi yang berkualitas bisa diwujudkan dengan dua pendekatan tadi.

Kesimpulan

Setelah mengalami transformasi politik yang ditandai dengan berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan munculnya demokrasi, kondisi politik dan demokrasi di Indonesia saat ini belum bisa dikatakan berhasil. Sebaliknya, dalam perkembangan demokrasi Indonesia terkini menunjukkan adanya kemunduran demokrasi. Sebagaimana telah dibahas, kemunduran demokrasi Indonesia disebabkan oleh faktor struktural seperti dominasi oligarki yang turut serta berimplikasi pada pendalaman politik iliberal.

Selain itu, gerakan masyarakat sipil belum mampu mengimbangi kekuasaan oligarkis, terlepas telah munculnya inisiatif gerakan politik yang lebih sistematis. Selain faktor struktural, faktor kultural seperti suburnya nilai-nilai konservatisme dimasyrakat juga berkontribusi dalam kemunduran demokrasi. Selain itu, berbagai kebijakan anti-demokrasi yang berkaitan dengan proyek politik oligarki juga memperdalam kemunduran demokrasi di Indonesia. Kondisi sosial, ekonomi, dan politik sperti ini merupakan tantangan bagi keberlanjutan demokrasi di Indonesia.


[1] Mengenai iliberalisme yang dikemukakan Mietzner untuk menjelaskan kemunduran demokrasi di Indonesia, Robertus Robert memberikan kritiknya terhap Mietzner dengan mengatakan: “Sayangnya, Mietzner tidak menjelaskan lebih jauh, kalau bukan liberalisme lantas dari mana kerangka dasar yang digunakan untuk mempertahankan demokrasi itu bisa diambil? Mengapa Indonesia sulit mewujudkan kerangka liberal dalam politik demokrasinya? Pada titik itulah, pandangan Mietzner berakhir dengan kebuntuan. Selanjutnya lihat: Robertus Robert. 2020. Meninjau Kembali Negara Organis: Hak Asasi dan Demokrasi Pasca-Reformasi di Indonesia. “Dalam Kultur Hak Asasi Manusia di Negara Iliberal”, (ed. Robertus Robert). 2020. Tangerang Selatan: Marjin Kiri. Hlm 137-160.


Referensi

Aidulsyah, F., Margiansyah, D., Kurniawan, F.E., Kusumaningrum, D., Sabilla, K., & Aini, Y.N. 2020. “Peta Pebisnis di Parlemen: Potret Oligarki di Indonesia”. Marepus Corner Working Paper No. 01.

Anugrah, Iqra. 2020. The Iliberal Turn in Indonesian Democracy. The Asia-Pacific Journal. Vol. 18, Issue 8, No. 1.

Hadiz, Vedi R. 2020. Memahami Transisi Demokratik: Beberapa Pelajaran dari Masa Singkat Kepresidenan Gus Dur di Indonesia. Dalam Vedi R. Hadiz. 2005. “Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES.

Hadiz, Vedi R. 2017. Indonesia’s Year of Democratic Setbacks: Towards a New Phase of Deepening Iliberalism?. Buletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 53, No. 3. 261-178.

Mietzner, Marcus. 2018. Fighting Iliberalism with Iliberalism: Islamist Populism and Democratic Deconsolidation in Indonesia. Pacific Affairs, Vol. 91, No. 2, June. 261-282

Mudhoffir, Abdul Mugis. 2020. Islamic Populism and Indonesia’s Iliberal Democracy. Dalam Thomas Power & Eve Warburton (ed.), 2020. “Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression. Singapore: ISEAS-Yusof Ishak Institute.

Power, Thomas. Eve Warburton. 2020. The Decline of Indonesian Democracy. Dalam Thomas Power & Eve Warburton (ed.), 2020. “Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression. Singapore: ISEAS-Yusof Ishak Institute.

Robison, Richard. Vedi R Hadiz. 2004.  “Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Market”. London: Routledge.

Robert, Robertus. 2020. Meninjau Kembali Negara Organis: Hak Asasi dan Demokrasi Pasca-Reformasi di Indonesia. Dalam Robertus Robert (ed.). 2020. “Kultur Hak Asasi Manusia di Negara Iliberal”. Tangerang Selatan: Marjin Kiri

Warburton, Eve. Edward Aspinall. 2019. Explaining Indonesia’s Democratic Regression: Structure, Agency, and Popular Opinion. Contemporary Southeast Asia. Vol. 41, No. 2 (2019). 255-285.

Winters, Jeffrey A. 2011.  “Oligarki”.  (terj. Zia Anshor)Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Majalah Tempo“Pengusaha Kuasai Parlemen” edisi 5 Oktober 2019. https://majalah.tempo.co/read/nasional/158519/pengusaha-kuasai-parlemen

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201019162712-20-560178/kontras-jokowi-wjarkan-tindakan-represif-aparat-saat-demo
https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20210421154445-185-632944/safenet-hak-digital-warga-ri-memburuk-kian-otoritarianisme
https://www.dw.com/id/indeks-demokrasi-indonesia-catat-skor-terendah-dalam-sejarah/a-564483278

Sumber Gambar: Koran Tempo

M. Taufik Poli adalah mahasiswa Ilmu Politik di Fakultas Ilmu Sosial & Politik Universitas Pembangunan Indonesia Manado. Minat studi penulis adalah demokrasi Indonesia, dan dinamika kekuasaan pasa-Orde Baru. Beberapa tulisannya bisa dilihat di media online.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like