Revitalisasi Nalar Kebangsaan Menjaga Keberagaman Indonesia14 min read

Kucing yang ada di rumah si A tidak mungkin saling kenal dengan kucing yang ada di rumah si B, meskipun bertetangga dekat. Berbeda dengan binatang, manusia justru membangun koneksi antara satu dengan yang lainnya. Kurang lebih ini yang ditegaskan oleh Ahmad Faizin Karimi dalam buku “Membaca Korona” (2020:1) yang saya interpretasi ulang. Dari hari ke hari koneksi tersebut membentuk jejaring sosial dan semakin mengalami kompleksitas. Bahkan hari ini, koneksi tersebut sebagaimana Ahmad Faizin meminjam istilah dari Christakis & Flower, mengalami apa yang disebutnya “hyper connected”.

Berawal dari sebuah koneksi, apa pun motif dan faktor yang melatarbelakanginya, dan berdasarkan tilikan sejarah beberapa abad yang lalu, Indonesia sebagai nation-state adalah hasil dan muara dari hal tersebut. Membaca bentangan sejarah panjang perjalanan Indonesia, beberapa gelombang kedatangan pengaruh budaya dari luar, asimilasi, akulturasi budaya, dan memahami secara filosofis genius nusantara yang pada dasarnya bersifat “menerima”, “menyerap”, “menumbuhkan”, dan “menyuburkan”, maka menjadilah sebagai bangsa dan negara yang penuh keberagaman. Bangsa yang majemuk, serba aneka, beranekaragam, plural, ber-bhineka atau istilah lainnya yang relevan adalah ciri atau identitas sejati bagi Indonesia.

Dibalik koneksi, bahkan yang telah membentuk jejaring sosial dan mengalami kompleksitas atau yang berada dalam bingkai keberagaman, sesungguhnya senantiasa tersimpan atau terkandung sebuah harapan, baik yang bersifat personal maupun kolektif sebagai satu komunitas dalam wilayah tertentu. Harapan secara personal, sudah pasti berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dan harapan yang bersifat kolektif, seringkali melalui sebuah pergumulan dan bahkan pergulatan pemikiran dan kepentingan dan/atau harapan personal itu sendiri. Di sinilah dibutuhkan sebuah nalar agar harapan-harapan tersebut baik bersifat personal terutama yang kolektif mampu dikonstruksi dengan baik dalam koneksi, jejaring sosial dan dalam konteks kehidupan yang lebih besar sebagai bangsa dan negara Indonesia.  

Berangkat dari dasar pemikiran inilah, sehingga penulis menilai penting untuk merekonstruksi satu bentuk tulisan, opini, pandangan meskipun sederhana dengan fokus pada “Revitalisasi Nalar Kebangsaan Menjaga Keberagaman Indonesia”. Penulis menyadari baik berdasarkan peta sejarah maupun peta sosiologis, identitas ideal Indonesia adalah “keberagaman”. Keberagaman sudah pasti memiliki dua jenis potensi: konstruktif dan/atau destruktif. Potensi destruktif bukanlah harapan dalam ruang kehidupan berbangsa dan bernegara, namun semuanya berharap dan berorientasi pada potensi konstruktif. Satu hal yang pasti, dalam pandangan penulis, bahwa potensi konstruktif bisa terwujud ketika nalar kebangsaan mampu direvitalisasi oleh anak bangsa.

Keberagaman Indonesia

Indonesia bukan hanya memiliki keanekaragaman flora dan fauna. Indonesia pun memiliki keberagaman budaya, suku, bahasa dan agama. Dalam naskah pidato pengukuhan guru besarnya, Abdul Mu’ti (2020) menegaskan bahwa “di Indonesia terdapat sekitar 733 bahasa, 1340 suku besar dan kecil. Umat Islam Indonesia juga tidak tunggal dan monolitik”. Dalam keberagaman, manusia sebagai makhluk yang paling unik sudah bisa dipastikan bahwa akan memiliki sikap yang berbeda-beda dalam meresponnya.

Idealnya keberagaman harus direspon dan disikapi bagaikan warna pelangi yang indah ditatap, bagaikan bunyi yang berasal dari instrumen alat musik yang berbeda-beda dan melahirkan simfoni irama yang merdu dan indah, bagaikan taman dengan aneka bunga dan warnanya yang indah pula. Namun dalam perjalanan Indonesia, keberagaman tersebut, tidak selamanya seperti pelangi, simfoni irama dan taman indah, kerap kali memicu sebuah disharmoni dalam kehidupan dan memunculkan “bisul-bisul peradaban”—meminjam istilah Buya Syafii Maarif—dan ini berbahaya bagi kelangsungan hidup dan keutuhan berbangsa dan bernegara. Perlu segera disikapi dan beberapa berhasil ditangani dan kembali menciptakan harmonisasi kehidupan.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas pada bagian pendahuluan, keberagaman pada dasarnya memiliki potensi konstruktif dan destruktif. Potensi destruktif akan mencuat ke permukaan dalam realitas empirik jika—minimal—kepentingan pribadi dan golongan lebih mendominasi daripada kepentingan kolektif dan termasuk ketika nilai-nilai yang selama ini menjadi perekat telah hilang dan/atau usang. Potensi konstruktif dari keberagaman sesungguhnya dambaan utama manusia sebagai makhluk sosial. Hanya saja seringkali “nalar” yang bekerja, sebagai sesuatu yang akan mempengaruhi “doing” (apa yang harus dilakukan), “meaning” (apa dan bagaimana memaknai), “relation” (bagaimana menjalin relasi), “thinking” (bagaimana dan apa yang harus dipikirkan), dan ”being” (bagaimana dan seperti apa cara menjadi), dipengaruhi oleh sesuatu yang tidak memiliki relevansi, signifikansi serta nilai yang memperkuat spirit hidup di tengah keberagaman tersebut.

Nalar Kebangsaan

Dalam pandangan penulis, agar keberagaman Indonesia berorientasi dan bermuara secara potensial pada hal-hal yang bersifat konstruktif demi kemajuan bangsa dan negara maka dibutuhkan “nalar kebangsaan”. Frase “nalar kebangsaan” mungkin saja ada yang pernah menggunakannya, namun yakin saja berbeda dengan perspektif penulis sendiri, termasuk jika merujuk pada dimensi fungsionalnya.

Nalar Kebangsaan, dalam perspektif penulis adalah akal budi, pertimbangan baik buruk yang didasarkan pada nilai atau basis nilai, menjadi akar filosofis, falsafah hidup dan ideologi yang selama ini hidup dan mengiringi dinamika kehidupan kebangsaan. Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, nilai-nilai ajaran agama, kearifan lokal dan terutama Islam sebagai agama mayoritas yang dianut, dalam pandangan penulis adalah bagian integral dan terintegrasi antara satu dengan yang lainnya dalam apa yang oleh penulis menyebutnya “nalar kebangsaan”.  

Bisakah nalar kebangsaan menjaga keberagaman Indonesia? Sebelum menjawab ini lebih jauh tentunya perlu memahami, seperti apa nalar itu dalam pandangan filsuf. Sebagaimana penulis pahami dari Gordon Graham (2015:151-152), bahwa “para filsuf mengelaborasi perbedaan antara nalar teoritis (theoretical reason) dan nalar praktis (practical reason). Pembedaan yang mereka buat tersebut pada dasarnya menyoal pembedaan antara nalar yang mengarahkan Anda pada hal yang harus Anda pikirkan atau yakini, dan nalar yang mengarahkan Anda pada hal yang harus Anda lakukan”.

Dari pembedaan dan penjelasan pembedaan tersebut, telah jelas bahwa sesungguhnya apa yang penulis maksud sebagai nalar kebangsaan mampu menjaga keberagaman Indonesia yang pada muaranya kelak terwujud persatuan Indonesia yang semakin kokoh. Karena pada dasarnya nalar menegaskan tentang sesuatu yang “harus” dipikirkan, diyakini dan dilakukan.

Membaca gagasan Graham (2015: 156-158) yang dielaborasi dari perspektif David Hume dan Kant terkait relasi antara nalar dan hasrat, ditemukan beberapa kategori imperatif (panduan mengenai apa yang harus dilakukan). Ada yang disebut imperatif hipotesis dan ada imperatif kategoris. Dari pemahaman terkait imperatif kategoris, penulis merasa menemukan pondasi teoritik yang kokoh atas keyakinan bahwa “nalar kebangsaan” bisa menjaga keberagaman Indonesia. Dari Gordom (2015: 158), Penulis memahami pula bahwa, “dengan penemuan imperatif kategoris, menurut Kant, kita bisa tiba di jantung moralitas. Imperatif kategoris mentransendensikan keinginan dan hasrat dengan cara menghadirkan prinsip rasional tindakan dimana hasrat itu sendiri akan dinilai. Para filsuf lazimnya mengekespresikan hal ini dengan mengatakan bahwa prinsip perilaku semacam itu lebih diutamakan, dalam arti bahwa prinsip-prinsip tersebut lebih diutamakan daripada jenis pertimbangan lain ketika kita mengambil keputusan”.

Apa yang penulis pahami sebagai nalar kebangsaan relevansinya dengan pandangan Kant mengenai imperatif kategoris yang bisa menyentuh jantung moralitas, akan mampu menjadi—salah satunya—prinsip-prinsip sebagai bahan pertimbangan yang lebih diutamakan daripada pertimbangan lainnya. Jika hal ini direvitalisasi dalam diri dan jiwa anak bangsa, maka persoalan perpecahan, intoleransi, disharmonisasi, tidak akan ditemukan lagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama hanya karena disebabkan keberagaman tersebut.

Mencermati perspektif Kant, penulis memandang ini bisa semakin kokoh jika nalar kebangsaan —utamanya Pancasila dan ajaran agama, khususnya Islam, sebagai agama dengan penganut mayoritas di Indonesia—dipahami secara ideologis sebagaimana pemahaman Yudi Latif pada Endorsement dalam buku “Nun Tafsir Gerakan Al-Qalam” karya Azaki Khoirudin (2014) terkait ideologi. Nalar kebangsaan dijadikan sebagai tuntunan normatif dan menjadi pedoman hidup, menjadi kerangka interpretasi dalam memahami realitas dan menjadi pedoman aksi untuk mewujudkannya dalam realitas konkret.

Untuk semakin mengokohkan bahwa sesungguhnya nalar kebangsaan mampu menjaga keberagaman Indonesia bisa dimaknai dari apa yang dikatakan oleh John Gardner sebagaimana yang telah dikutip oleh Yudi Latif (2012:2), “Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika tidak sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar”. Termasuk dari Yudi Latif (2020:25), menegaskan “Setiap bangsa harus memiliki suatu konsepsi (ide, cita) mengenai hakikat yang paling dalam negara (Staatsidee) serta konsepsi mengenai hakikat yang paling dalam dari tatanan hukum negara (Rechtsidee)”. Hal ini Yudi Latif terinspirasi dari pidato Soekarno yang memperkenalkan Pancasila kepada dunia dan disampaikan di Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada tanggal 30 September 1960, tentang pentingnya konsepsi bagi suatu bangsa, “Arus sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita (ideal). Jika mereka tak memilikinya atau jika konsepsi dan cita ideal itu menjadi kabur dan using, maka bangsa itu dalam bahaya”.

Apa yang disampaikan oleh John Gardner maupun oleh Soekarno meskipun dalam konteks yang berbeda, jika dihubungkan dengan perspektif imperatif kategoris Kant di atas maka bisa ditarik garis relevansi. Dan bisa bermuara pada satu hal sebagai basis nilai, sebagai akar filosofis, core value menjaga keberagaman Indonesia.

Dari Kant dan John Gardner, kita pun bisa bersepakat bahwa ini mengandung sebuah nilai, yang disebut dengan moralitas atau dimensi-dimensi moral. Begitupun hal di atas, sebagaimana perspektif Soekarno adalah merupakan sesuatu yang mengandung sebuah konsepsi dan cita ideal yang bisa menjadi indikator utama dan tunggal, apakah bangsa tersebut dalam keadaan bahaya/tidak.

Sebelum membahas lebih lanjut, di sini penulis memberikan penegasan karena penulis menyebut ajaran Islam sebagai bagian daripada nalar kebangsaan dan penulis setuju dengan cara pandang Yudi Latif untuk memahaminya secara ideologis. Dari hal ini penegasan yang penulis maksud bahwa bukan berarti setuju Islam menjadi ideologi negara, apalagi jika disimpulkan bahwa setuju dengan negara Islam. Kesimpulan itu tidak tepat. Penulis membedakan antara Islam dan Islamisme seperti apa yang penulis pahami dari Bassam Tibi (2016). Apalagi penulis telah sepakat dengan Muhammadiyah dengan spirit Islam Berkemajuannya, bahwa “Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah”.

Adakah contoh konkret, bahwa sesuatu yang mengandung nilai, dimensi moral, konsepsi dan cita ideal bisa menjadi elan vital untuk menggerakkan sesuatu sehingga lahir sesuatu yang ideal, terutama perilaku ideal dalam realitas konkret?. Apakah ini bukan sesuatu utopia?. Penulis yakin ini semua bisa menjadi elan vital. Kita bisa membaca perjalanan sejarah Indonesia, bagaimana Pancasila, dan beberapa hal lainnya yang masuk dalam apa yang disebut genius nusantara mampu menjadi spirit bagi bangsa ini untuk sampai ke pintu gerbang kemerdekaan Indonesia. Contoh lain meskipun apa yang saya contohkan ini bukan bagian dari nalar kebangsaan, tetapi mengandung anasir yang hampir sama. Etika protestan telah menjadi spirit lahirnya kapitalisme, etos dalam Buddhisme, Konfusionisme dan Shinto memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan di Jepang. Begitupun Shingaku dan Restorasi Meiji (Zakiyuddin Baidhawy & Azaki Khoirudin, 2015: 1-15), bisa menjadi etos atau atau nalar dalam pandangan penulis.

Revitalisasi

Dari hal di atas secara rasional, filosofis dan ideologis telah ditemukan titik terang bahwa sesungguhnya “nalar kebangsaan” bisa menjadi sumber nilai, basis filosofis dan ideologis, serta core value untuk menjaga keberagaman Indonesia.

Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, Genius nusantara (kearifa-kearifan lokas) dan agama, yang dalam pandangan penulis bisa sebagai bagian integral, determinasi dari apa yang disebut sebagai “nalar kebangsaan”, jika direvitalisasi, dikonstruksi dengan baik dan sebagai basis dan landasan filosofis maka bisa menjadi modal untuk menjaga keberagaman Indonesia. Meskipun untuk dalam konteks tulisan ini, penulis tidak akan menguraikan semua apa yang menjadi determinasi atau bagian integral dari nalar kebangsaan, satu persatu dan detail. Lebih fokus pada Pancasila dan agama khususnya agama Islam.

Pancasila, jika meminjam perspektif Mohd. Sabri. AR (Salah seorang Pengurus/jajaran BPIP RI) adalah sebuah “kode”. Bagi Mohd. Sabri “kode” dalam tradisi semiotika adalah sesuatu ketika narasi-narasi biasa tidak mampu menjelaskan/mengungkapkan realitas yang sesungguhnya. Dan tentunya ini relevan bahwa salah satu ciri khas Pancasila adalah “kemajemukan”, “serba aneka”, begitu pun dengan pandangan bahwa Pancasila adalah “titik temu”—selain “titik tumpu” dan “titik tuju” dari perbedaan-perbedaan atas keberagaman yang ada.

Jika kita memahami dengan baik sejarah perjalanan bangsa Indonesia menjadi negara, termasuk fase “pembuahan”, “perumusan”, dan “pengesahan” Pancasila, sesungguhnya di dalamnya terkandung bahkan sebagai sebuah hasil “perasan” dari pemahaman mendalam dan kesadaran akan keberagaman Indonesia yang harus dicarikan titik temu demi persatuan menuju pintu gerbang kemerdekaan dan keutuhan bangsa dan negara Indonesia pada masa yang akan datang. Pancasila di dalamnya bermuara hasil sintesis ideologi-ideologi yang berbeda, Pancasila mencerminkan nilai dan prinsip dari berbagai ragam kearifan lokal bahkan nilai agama tanpa kecuali agama Islam.

Pancasila sebagai philosofische grondslag dan Weltanschauung dipandang sebagai “meja statis”—selain sebagai “leitstar dinamis” (bintang penuntun)—yang bangunan ke-Indonesia-an dikonstruksi di atasnya. Indonesia sendiri pun, dipandang sebagai “kode” yang identik dengan kemajemukan, keberagaman, dan/atau pluralitas itu sendiri, tentunya harus disadari bahwa Pancasila landasan yang kokoh yang harus direvitalisasi untuk menjaga keberagaman tersebut. Ketika Pancasila sebagai “meja statis” dan “titik temu’ digerogoti sila-sila dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, maka sebagaimana pandangan Soekarno terkait “konsepsi dan cita ideal” yang telah dijelaskan pada bagian atas, Indonesia akan berada dalam keadaan “bahasa”.

Pancasila dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya harus mampu diinternalisasi dan sekaligus dieksternalisasi—relevan dengan yang ditemukan oleh Graham dari para filsuf yang disebutnya “nalar teoritis” dan “nalar praktis” dan mirip dengan teori habitus Pierre—agar mampu mempengaruhi nalar anak bangsa yang salah satunya akan bermuara pada upaya menjaga keberagaman Indonesia. Pancasila dengan sila-sila atau nilai-nilai yang terkandung didalamnya, secara ideologis harus mampu menjadi pedoman dalam bersikap, sekaligus menjadi alat interpretasi dalam memahami realitas empiris untuk memahami realitas dengan baik, apakah sesuai atau tidak dengan dasar negara, falsafah hidup bangsa dan ideologis bangsa dan negara. Selain itu Pancasila harus mampu menjadi pedoman dalam bertindak.

Pancasila dengan sila pertamanya, “Ketuhanan yang Maha Esa”, idealnya menjadi nalar atau mempengaruhi nalar anak bangsa termasuk para penyelenggara negara agar bisa memandu sikap dan perilakunya termasuk dalam memandang keberagaman yang penuh dengan perbedaan tersebut. Dengan sila pertama ini, harus mencerminkan pemahaman dan memantik kesadaran bahwa keberagaman itu masih dalam bingkai “unity of creation” (kesatuan penciptaan) sebagai salah satu dimensi “tauhid”. Dan sila pertama ini pun menjadi “titik temu” atas keberagaman agama-agama yang hidup di Indonesia.

Pancasila dengan sila ketiganya, “Persatuan Indonesia” idealnya mempengaruhi nalar anak bangsa khususnya dalam ”relation” (menjalin relasi) dan “meaning” (pemaknaan hidup) bahkan dalam memutuskan hal-hal yang bermuara pada kepetingan bangsa dan negara. Persatuan Indonesia menjadi kata kunci untuk mencapai “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Persatuan Indonesia juga merupakan sendi penting agar keberagaman yang ada lebih mengarah pada hal-hal yang bersifat konstruktif ketimbang destruktif.

Pada dasarnya semua sila yang terkandung dalam Pancasila harus mampu diperjuangkan dan diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara agar Indonesia yang identik dengan “keberagamannya” tetap berdiri kokoh di atasnya—sebagai meja statis. Hanya saja Pancasila dan nilai-nilainya jika dianalogi sebagai sebuah tanaman tidak bisa tumbuh subur ketika warga negara Indonesia masih lebih banyak beriorientasi “the love of power” (cinta kekuasaan) ketimbang berorientasi “the power of love” (kekuatan cinta). Hal ini saya pahami dari Yudi Latif.

Agar Pancasila sebagai “titik temu” dan sekaligus “meja statis” sebagai pondasi bangunan ke-Indonesia-an yang identik dengan kemajemukan/keberagamannya terbangun atasnya, tetap kokoh, maka merujuk pada perspektif Yudi Latif orientasi “the power of love” (kekuatan cinta) harus hadir dalam dinamika kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Sedangkan fenomena faktual seakan terbuka secara terang benderang, bahwa hari ini, sebagian besar warga negara Indonesia masih berorientasi “the love of power” (cinta kekuasaan). Dari spirit cinta kekuasaan inilah sehingga apa pun caranya termasuk ketika melabrak sendi “Persatuan Indonesia” sebagai modal keberagaman yang berpotensi konstruktif, diabaikan selama kepentingan pribadi dan golongan bisa terwujud. Salah satu indikator utamanya adalah tingkat korupsi dan hegemoni politik oligarki.

Agar mampu melakukan transformasi dari “the love of power” ke “the power of love” maka dibutuhkan sebuah nilai, basis filosofisi yang bisa mempengaruhi nalar. Untuk hal ini, jawaban tepatnya adalah agama. Agama dalam pandangan Ahmad Norma Permata (2020: 30), merupakan mekanisme institusionalisasi atau jalan membangun kehidupan. Ahmad Norma pun menegaskan, “Agama sebagai sebuah nilai tidak pernah semata konseptual. Melainkan Agama selalu merupakan upaya untuk mengubah kondisi kehidupan. Max Weber (dalam Ahmad Norma), menurutnya meskipun ajaran setiap agama penuh dengan hal-hal yang bersifat Gaib (yang tidak terjangkau indra), Magis (tidak mengikuti logika hukum alam), dan Eskatologis (terkait kehidupan sesudah mati), namun semua ajaran tersebut memiliki tujuan pokok yang sama, yaitu meneguhkan dan menata kehidupan manusia di dunia ini.

Agama dan hal keberagaman pun harus mampu menjadi instrumen untuk menata perbeda-perbedaan tersebut sebagai rahmat, bukan sebaliknya sebagai sumber petaka. Agama khususnya sebagaimana ajaran agama yang penulis anut, yaitu Islam, memandang—dan ini pun telah dikutip oleh Mu’ti dalam naskah pidato pengukuhan guru besarnya—bahwa perbedaan atau pun keberagaman sebagai ciptaan Allah atau sebagai sebuah takdir ilahi. Penegasan ini bisa ditemukan dalam QS. Al-Hujurat [49]: 13, QS. Ar-Rum [30]: 22, dan QS. al-Maidah [5]:48. Begitupun sebagaimana dikutip oleh Mu’ti dari Qardhawi, Daqaq dan Khalis, “menyebutkan bahwa pluralitas adalah sebuah keniscayaan yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah, ilmiah dan amaliah.

Pada dasarnya keberagaman dalah sebuah realitas dan keniscayaan dan bahkan sebagai takdir ilahi. Menolak hal tersebut dan bermimpi untuk menjadikan satu warna (anti keberagaman) adalah merupakan pengingkaran terhadap takdir ilahi dan sekaligus menjadi sesuatu yang “utopis”. Jadi sikap terbaik menjadi keberagaman bagaikan pelangi, simfoni irama dan taman bunga yang indah untuk menata kehidupan yang lebih baik pada masa yang akan datang.

Satu kesadaran bahwa semua itu bisa terwujud ketika nalar kebangsaan mampu direvitalisasi dalam diri dan jiwa anak bangsa agar bermuara pada terwujudnya “Indonesia Tangguh Indonesia Tumbuh” sebagai visi dan misi yang diletakkan pada Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-76.


Referensi

Baidhawy, Zakiyuddin & Khoirudin, Azaki, Etika Muhammadiyah & Spirit Peradaban, Yogyakarta: Penerbit Suara Muhammadiyah, 2017.

Graham, Gordom, Teori –Teori Etika, Bandung: Penerbit Nusa Media, 2015.

Karimi, Ahmad Faizin & Efendi David, Membaca Korona, Gresik Jawa Timur: Caramedia Communication, 2020

Khoirudin, Azaki, Nun Tafsir Gerakan Al-Qalam, Ciputat: Al-Wasat, 2014.

Latif, Yudi, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, Aktualitas Pancasila, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012.

__________, Wawasan Pancasila, Edisi Komprehensif, Jakarta: Penerbit Mizan, 2020.

Permata, Ahmad Norma, Institusionalisasi vs Rasionalisasi: Dialektika Agama dan Peradaban, Banguntapan Yogyakarta: IRCiSoD, 2020

Tibi, Bassam, Islami dan Islamisme, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2016.

Eks Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng yang sekarang menjabat sebagai Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018 - 2023

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like