Situasi pasca kemerdekaan Indonesia pada 1945 menimbulkan suatu euforia dengan lahirnya berbagai macam organisasi masyarakat, dalam hal ini berarti lembaga di luar negara, mulai dari partai politik, paramiliter, laskar, hingga serikat profesi. Tumbuhnya berbagai macam organisasi rakyat ini dapat disebut sebagai “kelahiran kembali” berbagai macam perserikatan yang sebelumnya pernah hadir ketika negara kolonial Hindia Belanda masih eksis.
Menjadi menarik di tengah situasi yang cukup runyam ketika Belanda berusaha menduduki kembali Indonesia yang mereka anggap masih sebagai tanah jajahan miliknya, berbagai organisasi lahir dan kemudian turut menggerakan Revolusi yang sedang terjadi. Pada akhirnya, nyaris seluruh organisasi yang terbentuk pada masa ini, ikut angkat senjata dan memerangi Belanda.
Kondisi ini kemudian memunculkan pertanyaan: mengapa selama periode Revolusi Indonesia (1945-1949) yang amat bergolak dengan perang dan perlawanan, banyak sekali terbentuk berbagai macam organisasi masyarakat mulai dari politik, sosial, budaya, hingga profesi? Kemudian, bagaimana organisasi-organisasi tersebut terbentuk dan apa yang mereka lakukan di tengah situasi pendudukan dan perlawanan tersebut?
Buku-buku yang tentang Revolusi Indonesia, utamanya setelah ibukota Republik dipindah ke Yogyakarta, nyaris selalu menuliskan mengenai kongres dalam situasi bergolak ini, entah kongres badan perjuangan, laskar, partai politik, hingga organisasi profesi. Berikut ini akan diuraikan penjelesan untuk menjawab dua pertanyaan tersebut.
Berorganisasi dan berserikat bukanlah hal baru bagi masyarakat Indonesia ketika mereka secara resmi memproklamirkan berdirinya sebuah negara yang merdeka dan berdaulat pada 1945. Hal ini bisa ditelusuri jejaknya sejak awal abad ke-20 dengan berdirinya berbagai organisasi seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, Perhimpunan Indonesia, dsb.
Munculnya elit bumiputra terpelajar kemudian memunculkan berbagai kelompok pergerakan nasional yang mencita-citakan nasionalisme serta kemerdekaan Indonesia.[1] Dalam periode awal ini mayoritas organisasi pergerakan masih terbatas pada sekat-sekat tertentu, terutama etnis dan agama. Maka muncul berbagai macam perserikatan seperti Tri Koro Dharmo atau Jong Java (1915), Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Ambon (1918), Studerenden Veereniging Minahasa (1918), Kaum Betawi (1923), dll.[2]
Pulau Jawa, khususnya Batavia/Jakarta, tentu saja menjadi melting pot atau titik temu bagi kehadiran berbagai organisasi yang berbasis kedaerahan ini mengingat banyaknya sekolah tinggi yang mulai didirikan pertama kali di kota ini. Bukan berarti di pulau-pulau lain tidak muncul inisiatif yang kurang lebih serupa. Hanya saja di Pulau Jawa ini kemudian kesamaan ide tentang negara-bangsa yang berdaulat lantas menyatu menjadi benih bagi kemunculan gagasan nasionalisme Indonesia.[3]
“Demam organisasi” ini semakin menjadi pada dekade 1930an ketika berdiri banyak sekali berbagai macam perserikatan, baik yang berdasarkan politik, agama, hingga profesi. Buruh, baik yang bekerja di pelabuhan, kereta api, hingga pabrik gula, menjadi salah satu kelas sosial yang memiliki berbagai macam serikat pekerja. Meski pada awalnya keanggotaan didominasi oleh para pekerja berkebangsaan Eropa, namun lama kelamaan para buruh pribumi turut masuk ke dalam serikat.[4]
Salah satunya adalah VSTP (Vereeniging voor Spoor en Tramweg Personeel), serikat buruh kereta api dan trem di Semarang yang didirikan pada 1918 yang dikenal progresif dan memiliki anggota cukup banyak. Dapat disebut bahwa dalam periode ini kesadaran kelas serta kesadaran kebangsaan sudah semakin subur dan mapan keberadaannya yang kemudian menghasilkan bentuk negara Indonesia merdeka pada periode berikutnya.
Hanya saja semua organisasi ini dimusnahkan ketika Hindia Belanda diduduki oleh Jepang sepanjang 1942-1945. Pemerintahan balatentara tersebut membubarkan semua organisasi masyarakat yang ada dan menggantinya dengan organisasi baru yang berada langsung di bawah kontrol serta hanya untuk kepentingan pemerintah. Rakyat Indonesia dilarang berserikat atau berorganisasi di luar lembaga resmi pemerintah karena dikhawatirkan dapat menjadi basis pemberontak. Maka kemudian muncul beberapa organisasi yang menyebut dirinya sebagai bawah tanah, bergerak secara diam-diam tanpa diketahui oleh pemerintah.[5]
Sepanjang tiga tahun masa pemerintahan militer Jepang ini penduduk Indonesia sepenuhnya dimobilisasi dan dimanfaatkan untuk kepentingan perang semata, mengingat posisi Jepang yang mulai terdesak dalam palagan Perang Dunia II. Para penduduk yang berusia muda diutamakan masuk sebagai pasukan cadangan militer.
Maka kemudian muncul berbagai macam organisasi paramiliter dengan berbagai macam kategori seperti PETA, Sendenbu, Keibodan, Heiho, dan Fujinkai. Selain itu mereka ada yang direkrut untuk bekerja dalam pembangunan infrastruktur penunjang perang yang lantas dipekerjakan secara paksa dan tidak manusiawi, yang kelak disebut sebagai romusha.[6]
Salah satu aspek penting yang terjadi sepanjang Revolusi Indonesia adalah digelarnya berbagai macam kongres berbagai perserikatan, laskar, organisasi, persatuan, dsb. yang seringkali berlangsung antara lain di Yogyakarta dan Surakarta. Umumnya kongres-kongres ini mempertemukan berbagai macam organisasi-organisasi kecil yang memiliki kesamaan bentuk serta visi untuk kemudian disatukan dalam sebuah organisasi yang lebih besar.
Salah satunya adalah Kongres Pemuda Indonesia yang berlangsung di Yogyakarta pada 10-11 November 1945. Kongres ini berlangsung dengan dihadiri 28 organisasi pemuda dari berbagai daerah di Jawa seperti API (Jakarta), Gerpri (Yogyakarta), Pelopor (Jakarta), Pemuda Muhammadiyah Mataram, Pemuda Nahdlatull Ulama Surabaya, Pemuda Katolik, Pemuda Protestan, dll.[7]
Salah satu putusan yang cukup penting dari kongres pemuda tersebut adalah didirikannya Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Organisasi ini adalah gabungan atau fusi dari tujuh organisasi pemuda yaitu Angkatan Pemuda Indonesia, Pemuda Republik Indonesia, Angkatan Muda Republik Indonesia, Gerakan Pemuda Republik Indonesia, Angkatan Muda Kereta Api, Angkatan Muda Gas-Listrik, dan Angkatan Muda Pos, Telegraf, dan Telekomunikasi.[8] Dari satu kongres ini saja sudah nampak ada 28 organisasi pemuda yang terbentuk di Pulau Jawa saat usia Republik Indonesia baru sekitar tiga bulan saja.
Kongres Pemuda Indonesia ini adalah sebuah kongres akbar di mana 629 orang hadir sebagai delegasi dari berbagai daerah di Indonesia. Organisasi-organisasi yang mereka wakili seperti disebutkan di atas kebanyakan adalah laskar-laskar pemuda yang di kemudian hari menjadi milisi-milisi dalam berperang melawan pasukan Belanda dan sekutu yang datang untuk mengambil alih Indonesia.[9]
Selain berbasis pemuda, badan-badan perjuangan ini juga ada yang mendasarkan organisasinya atas gender. Saskia Wieringa mencatat ada begitu banyak badan dan laskar wanita yang berdiri sejak bulan-bulan pertama kemerdekaan Indonesia. Misalnya saja Laskar Wanita Indonesia yang didirikan sebagai laskar pejuang kemerdekaan khusus untuk wanita yang didirikan pada Oktober 1945.
Selanjutnya ada Partai Wanita Rakyat, satu-satunya partai wanita yang pernah ada di Indonesia yang didirikan oleh Ny. Sri Mangunsarkoro. Kemudian ada Barisan Buruh Wanita, Wanita Negara Indonesia, Isteri Sedar, dll. Mereka kemudian tergabung dalam Kongres Wanita Indonesia yang menaungi berbagai macam organisasi wanita dengan berbagai latar belakang ideologi.[10]
Kelompok yang berdasarkan profesi juga membentuk organisasinya pada masa ini. Salah satunya adalah petani yang mendirikan organisasi Barisan Tani Indonesia (BTI) pada November 1954 di Yogyakarta sebagai hasil dari kongres berbagai organisasi tani yang ada di Indonesia. Organisasi ini didirikan oleh antara lain Wijono, Soemartojo, dan S. Sardjono.[11]
Pada perkembangannya BTI cukup aktif terlibat dalam berbagai usaha-usaha perlawanan yang dilakukan oleh berbagai laskar dan badan perjuangan selama menghadapi agresi militer Belanda. Organisasi seperti BTI dan berbagai laskar serta badan perjuangan lainnya inilah yang kemudian sering disebut menggerakkan jalannya Revolusi Indonesia, selain tentu saja tentara yang dididik zaman Jepang dan Belanda serta para elit politik yang memegang jabatan dalam struktur pemerintahan Republik.
Dalam kurun waktu yang sama, partai politik lahir dan bermunculan dalam jumlah yang cukup banyak pula. Dalam Revolusi ini terjadi semacam pembagian peran antara organisasi pemuda dan laskar dengan partai politik. Jika pemuda dan laskar berjuang langsung di medan pertempuran, maka partai politik fokus dalam politik elit yaitu parlemen dan kabinet.
Latar belakang pendidikan setiap orang juga berpengaruh terhadap pilihan di organisasi mana mereka seharusnya bergabung untuk ikut terlibat dalam jalannya Revolusi Indonesia.[12] Namun sejatinya keduanya tetap memiliki irisan, terutama terkait ideologi perjuangan, bentuk negara, serta cita-cita kemerdekaan Indonesia. Sebagian besar badan pemuda dan laskar yang ada kemudian ditarik menjadi bagian dari partai-partai politik tertentu, meskipun seringnya bersifat cair.
Lahirnya partai-partai politik ini mulanya diserukan oleh Sjahrir melalui pamfletnya yang berjudul Perdjoeangan Kita.[13] Ia menuliskan dalam pamflet tersebut bahwasanya harus segera dibentuk partai-partai yang revolusioner guna mendukung Revolusi dan kemerdekaan Indonesia. Lantas hal ini bersambut dengan keputusan yang ditandatangani Mohamad Hatta sebagai Wakil Presiden yang mengizinkan serta mendorong dibentuknya partai-partai politik.[14]
Maka kemudian sejak November 1945 lahir antara lain Partai Sosialis Indonesia, Partai Rakyat Sosialis, Partai Buruh Indonesia, Partai Komunis Indonesia, Partai Nasional Indonesia, dan Masyumi. Sejatinya beberapa partai yang disebutkan di sini sudah lahir terlebih dahulu di zaman kolonial, hanya saja karena mereka sempat dilarang di akhir periode kolonial dan semakin terdesak di zaman Jepang, maka mereka kemudian mendeklarasikan berdirinya partai kembali.
Dari komposisi yang ada, seperti halnya badan pemuda dan laskar, partai-partai politik ini memiliki perbedaan politik yang cukup tajam dalam hal ideologi. Negara yang baru terbentuk, ditambah dengan kehadiran kekuatan asing yang masih berusaha menguasai Indonesia kembali, membuat posisi politik Republik Indonesia tidak mudah karena harus mengelola dua hal ini.
Perlawanan terhadap kekuatan asing yang membutuhkan sumber daya yang begitu besar kemudian mesti terbagi dengan beragamnya tujuan partai-partai politik yang ada dengan berbagai cara yang mereka lakukan. Perbedaan-perbedaan ideologi dan tujuan ini sejatinya yang coba diusahakan untuk disatukan oleh Tan Malaka dalam Persatoean Perdjoeangan,[15] meski pada akhirnya gabungan ini yang dihabisi oleh pasukan tentara dalam Tragedi Madiun 1948.
Pada akhirnya keberadaan berbagai macam organisasi mulai dari badan pemuda, laskar, hingga partai politik utamanya diawali sebagai respon terhadap semangat Revolusi Indonesia, terutama dalam hal mempertahankan kemerdekaan seiring datangnya kembali pasukan Belanda bersama Sekutu yang berusaha mengambil alih Indonesia dari Jepang. Badan-badan ini, yang hampir seluruhnya menyediakan diri untuk perjuangan fisik, menjadi sarana ekspresi berbagai kelompok yang terdapat dalam rakyat Indonesia, baik yang didasarkan atas pilihan ideologi politik, pilihan agama, jenis profesi, hingga perbedaan gender. Maka tidak heran pada bulan-bulan pertama Indonesia merdeka pada 1945, hadir banyak sekali berbagai macam organisasi di tiap-tiap kota, yang dalam perkembangan selanjutnya kemudian melakukan fusi dengan organisasi lain yang sekiranya memiliki ideologi dan kesamaan.
Proses mendirikan organisasi-organisasi inipun relatif cukup mudah jika melihat jumlah mereka yang amat banyak dengan bentuk serta ideologi organisasi yang sangat beragam. Kemudahan ini tentu saja karena mereka sejatinya telah mengorganisir diri sejak masa akhir pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Meski dalam perkembangannya mereka kemudian dibubarkan oleh Jepang yang datang pada 1942, namun tetap saja mereka sudah memiliki akar berorganisasi sejak lama, selain pada masa ini mereka juga diorganisir kendati hanya sebatas untuk kepentingan perang.
[1] Pada mulanya, gagasan tentang Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara dimulai oleh berbagai perserikatan kedaerahan yang kemudian mendeklarasikan cita-citanya pada Kongres Pemuda II 1928. Lihat Robert Edward Elson, The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan. (Jakarta: Serambi, 2009), hlm. 47-53.
[2] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. (Jakarta: Serambi, 2008), hlm. 362.
[3] Lihat misalnya roman Salah Asuhan (Balai Pustaka, 1928) karya Abdul Muis yang di dalamnya berisi suatu konflik pemikiran tentang yang mana yang seharusnya diikuti, apakah budaya tradisional-kedaerahan atau modernitas Barat, yang keduanya berkelindan dan menjadi pengalaman empiris dari sang penulis roman tersebut. Keith Foulcher, “Biography, History and The Indonesian Novel: Reading Salah Asuhan”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 161, No. 2/3, 2005.
[4] John Ingleson, “Worker Consciousness and Labour Unions in Colonial Java”, Pacific Affairs, Vol. 54, No. 3, Autumn, 1981.
[5] Salah satunya adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) yang tetap bergerak secara diam-diam untuk membentuk organisasi anti-fasis selama masa pemerintahan Jepang di Indonsia. Lihat Anton Lucas (ed.), Radikalisme Lokal: Oposisi dan Perlawanan Terhadap Pendudukan Jepang di Jawa (1942-1945). (Yogyakartaa: Syarikat Indonesia, 2012), hlm. 139-149.
[6] Aiko Kurasawa, Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942–1945. (Depok: Komunitas Bambu, 2015), hlm. 131-138.
[7] Benedict Anderson, Revoeloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2018), hlm. 296.
[8] ibid., hlm. 298.
[9] Norman Joshua Soelias, PESINDO: Pemuda Sosialis Indonesia, 1945-1950. (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2016), hlm. 39.
[10] Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan, Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI. (Yogyakarta: Galangpress, 2010),hlm. 148-155.
[11] Benedict Anderson, ibid., hlm. 505.
[12] Struktur dari partai politik serta badan-badan pemuda dan laskar jelas menunjukan latar belakang pendidikan mereka. Jika badan pemuda dan laskar umumnya diisi oleh massa-rakyat pada umumnya, maka partai-partai politik nyaris seluruhnya diikuti oleh mereka yang mengenyam pendidikan menengah dan tinggi di masa kolonial. Hal ini tentu saja berasal dari sistem pendidikan masa kolonial yang memungkinkan mereka dari kelas priyayi memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan menengah dan tinggi. Agus Suwignyo, “The Great Depression and the Changing Trajectory of Public Education Policy in Indonesia, 1930-42”, Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 44, No. 3, October 2013.
[13] Benedict Anderson, ibid., hlm. 236.
[14] Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 1: Agustus 1945-Maret 1946. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta, 2008), hlm. 177.
[15] ibid., hlm. 207-208. Beragamnya ideologi dari partai politik, badan pemuda, dan laskar dapat dilihat dari perwakilan yang datang saat sidang pertama Persatoean Perdjoeangan di Purwokerto pada 4 Januari 1946. Dengan jumlah sekitar 300 orang yang mewakili 40 organisasi, terlihat ada beragam organisasi dengan ideologi bervariasi mulai dari nasionalis, sosialis, komunis, Islam, hingga perwakilan wanita.
Mahasiswa di Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada