Merintis Masa Depan Indonesia14 min read

Harapan merupakan hal fundamental dalam diri manusia yang mempunyai energi untuk melakukan perubahan minimal melalui pemahaman sederhana dari negatif ke positif, dari yang off (padam) ke yang on (nyala/hidup). Harapan senantiasa berorientasi masa depan dan dipastikan “lebih baik” daripada hari ini. Ini adalah salah satu indikator keimanan. Tanpa kecuali, bangsa Indonesia memiliki harapan tentang “masa depan Indonesia.

Ada sejenis aksioma, “gagal merencanakan sama saja merencanakan kegagalan”. Masa depan Indonesia sebagai sebuah harapan fundamental dalam diri bangsa, perlu dirintis dalam sebuah praksis yang secara sederhana saya menyebutnya dalam tulisan ini “merintis”. Merintis bisa diartikan sebagaimana saya memahaminya dalam Kamus Bahasa Indonesia, membuka jalan. Meskipun dalam pengertian ini jalan yang dimaksud adalah jalan setapak, jalan kecil bahkan terkesan sebagai jalan kebun.

Perubahan dan upaya menuju harapan besar pada dasarnya bisa dilakukan secara evolutif (perubahan secara bertahap namun pasti) dan revolutif (perubahan mendasar dan terkesan cepat). Dalam konteks merintis masa depan Indonesia, bagi saya yang memposisikan diri berada dalam episentrum masyarakat yang “cinta” akan kedamaian maka jalan terbaik adalah secara evolutif atau sejak dini merintis harapan masa depan tersebut. Merintis di sini bukan hanya berdimensi praksis namun termasuk dalam dimensi idealitas dan bahkan diaksentuasikan (ditekankan) pada dimensi kedua ini.

Teringat, (kalau tidak salah dalam buku Sikap 101) John C. Maxwell mengatakan bahwa gambaran masa depan suatu bangsa 25 (dua puluh lima) atau 35 (tiga puluh lima) tahun ke depan, tercermin dari sikap dan perilaku generasi mudanya hari ini. Ini senafas dengan pernyataannya yang lain bahwa sikap awal kita menentukan lebih dari apapun juga. Ini juga relevan dengan pernyataan Ibrahim Elfiky ­­ ̶  sang maestro motivator muslim dunia  ̶  “Apa yang dialami pada masa yang akan datang adalah hasil dari apa yang dipikirkan hari ini”. Sukses sejak dalam pikiran. Pikiran adalah bagian determinan daripada sikap.

Jika kita berdiri di atas realitas empirik hari ini, sambil menatap masa depan Indonesia, sepertinya bangsa ini diliputi oleh rasa pesimisme (tambahan isme disini tidak selamanya berarti paham tetapi itu menunjukkan keadaan)  yang akut. Bahkan mungkin sebagian besar anak bangsa sudah mendengarkan “Lonceng Kematian Indonesia” atau minimal mereka melihat ada sosok atau lebih tepatnya oknum (orang tidak bertanggungjawab) yang sudah sedang berdiri dan siap membunyikan lonceng kematian tersebut. Ada banyak indikator yang bisa menjadi barometer. Sederhananya Indonesia sebagai nation state sedang tertinggal jauh dalam derap langkah kemajuan bangsa –bangsa lain di dunia, meskipun kita tetap tidak boleh berpikir nihilistik (menilai sama sekali tidak ada perubahan dari masa ke masa).

Saya sebagai anak bangsa, ingin mengajak anak bangsa lainnya untuk merintis masa depan Indonesia. Agar tetap bisa optimis mengalahkan pesimistis maka anak bangsa termasuk saya harus menjadikan idealistik (hal bersifat ide/cita-cita)sebagai starting point merintis masa depan yang dimaksud. Saya menemukan banyak hal berupa: gagasan, kekayaan intelektual dan spiritual, nilai luhur, kekayaan sosial budaya yang merupakan modal besar. Dan modal besar tersebut sekaligus bisa menjadi bagian daripada gagasan itu sendiri untuk merintis masa depan.

Mengapa harus dengan gagasan?. Sebelum menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu saya ingin memberikan gambaran secara sederhana tentang “masa depan Indonesia” seperti apa yang ingin kita rintis?. Mungkin tidak berlebihan dan sudah tepat jika masa depan Indonesia yang dimaksud berdasarkan “Paradigma Indonesia Berkemajuan dalam pandangan Muhammadiyah”.

Indonesia berkemauan sebagaimana buku yang ditulis dan diterbitkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2014) singkatnya adalah upaya paradigmatik dari Muhammadiyah untuk merekonstruksi kehidupan kebangsaan yang bermakna, karena dalam pandangan Muhammadiyah realitas kehidupan kebangsaan Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan hari ini, banyak hal paradoks dan itu menggerogoti konstruksi kebangsaan menuju arah destruktif (kehancuran).

Dalam buku Indonesia Berkemajuan (2014) “Indonesia berkemajuan dapat dimaknai sebagai negara utama (al-madinal al fadhillah), negara berkemakmuran dan berkeadaban (umran), dan negara yang sejahtera. Negara berkemajuan adalah negara yang sejahtera. Negara berkemajuan adalah negara yang mendorong terciptanya fungsi kerisalahan dan kerahmatan yang didukung sumber daya manusia yang cerdas, berkepribadian, dan berkeadaban mulia. Karena itu, negara berkemajuan harus mampu menegakkan kedaulatan (wilayah, politik, hukum, ekonomi dan budaya); mendatangkan kemakmuran (terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan dan papan).

Selain daripada itu masih dalam buku Indonesia Berkemajaun dijelaskan Indonesia atau negara berkemajuan harus mampu mewujudkan kebahagiaan material dan spiritual; menjamin kebebasan berpikir, berekspresi, dan beragama; menghormati hak asasi manusia; dan menciptakan keamanan dan jaminan masa depan. Itu di antara beberapa gambaran perspektif Muhammadiyah tentang Indonesia Berkemajuan yang tentunya merupakan harapan masa depan yang harus dirintis.

Kembali pada pertanyaan di atas, mengapa harus gagasan ? atau relevan dengan buku yang saya jadikan rujukan di atas, mengapa Muhammadiyah merumuskan “Paradigma Indonesia Berkemajuan?”. Hilman latif dalam buku Muazin Bangsa dari Makkah Darat (2015: 100 – 101) “gagasanlah yang menjadi realitas yang sebenarnya bila kita menggunakan cara berpikir yang bersifat neo-platonistik”.

Meminjam dari apa yan diuraikan oleh Hilman Latif (Sosok ilmuwan muda yang baru saja dinobatkan sebagai Professor dan beliau juga adalah Ketua LAZISMU PPM) yang saya kontekstualisasikan dalam bangunan kebangsaan Indonesia, memahami bahwa Indonesia hanya dapat menjadi besar bila diiringi oleh etos dan dijiwai oleh gagasan yang besar. Bila etos dan gagasan yang menjiwainya tidak berkembang, maka eksistensi sebuah bangsa akan mengalami kemandekan.

Namun mungkin ada yang membantah, bahwa Indonesia punya banyak gagasan bahkan dalam konsep – konsep yang dirumuskan oleh elit bangsa itu sangat canggih. Mungkin ini yang disebut  ̶  jika meminjam istilah Hajriyanto Y. Thohari dalam konteks budaya ̶  cultrulag lag, yang dalam perspektif saya gagasan itu tidak sampai. Lebih banyak hanya sebatas wacana tidak menjadi sebuah etos dan paradigma apalagi untuk diimplementasikan dalam kehidupan.

Rhenald Kasali dalam buku karyanya, Change menegaskan bahwa salah satu modal yang harus dimiliki untuk sebuah perubahan tentunya perubahan yang dimaksud adalah perubahan menuju kondis kehidupan yang lebih baik adalah to see (melihat). Selanjutnya Rhenald mempertegas yang menyebabkan kegagalan salah satunya adalah failure to see (gagal melihat). To see (melihat) yang dimaksud di sini bukan melihat dengan mata kepala tetapi melihat dengan alam mental. Tentunya sama saja jika kita mengatakan melihat dengan gagasan dan agar memiliki power maka to see yang dimaksud adalah melihat secara paradigmatik.

Pembaca jangan menyimpulkan bahwa jika melihat hanya sebatas mental, gagasan, paradigma berarti itu hanya sekedar berdimensi teori. Harapan yang dirintis tidak bisa termanifestasikan dalam realitas empirik. Sama sekali tidak seperti itu, bahkan pembaca akan keliru jika menyimpulkanya seperti itu. Erbe Sentanu dalam buku karyanya Quantum Ikhlas, saya menemukan pemahaman adanya mekanisme operasional yang terjadi dalam dua dimensi kehidupan yang berbeda tetapi kehidupan yang pertama mempengaruhi kehidupan yang lainnya.

Yang saya maksudkan adalah  ada kehidupan (perilaku) yang dipahami dalam perspektif fisika newton dan ada kehidupan yang dipahami dari perspektif fisika quantum. Apa yang terjadi dari kehidupan yang dipahami dalam perspektif fisika quantum itu mempengaruhi apa yang terjadi pada kehidupan yang dipahami dalam perspektif fisika newton.

Dalam perspekif fisika quantum yang telah dimaknai secara progresif oleh Erbe Sentanu di dalammnya ada perasaan dan pikiran dan ini sangat mempengaruhi apa yang terjadi dalam “fisika newton” berupa kata-kata, tindakan, kebiasaan, karakter dan nasib. Dari sini bisa dipahami bahwa gagasan (terutama yang bersifat etos dan paradigmatik) yang merupakan bagian integral dari perasaan dan pikiran penting untuk didahulukan dalam merintis masa depan Indonesia.

Artinya apa?, Bangsa Indonesia akan mencapai nasib kehidupan yang positif, dihuni oleh anak bangsa yang berkarakter positif, memiliki kebiasaan – kebiasaan positif, jika sejak dini, jauh hari sebelumnya, puluhan tahun sebelumnya anak bangsa atau bangsa Indonesia memiliki gagasan dan paradigma positif bagaimana melihat kehidupannya. Ini adalah law of attraction (hukum tarik menarik) yang miracle (keajaiban atau kedahsyatannya) telah banyak terbukti baik secara personal anak bangsa maupun secara kolektif sebuah bangsa.

Terkait gagasan yang pada langkah selanjutnya diharapkan menjadi etos dan paradigma, saya ingin menawarkan sebuah etos Al-Ashr, Appreciative Inquiry dan Kepemimpinan Profetik sebagai gagasan dan agar lebih memiliki power dijadikan sebagai paradigma dalam merintis masa depan Indonesia.

Pada pembahasan berikutnya ini, terkait etos Al-Ashr, appreciative inquiry dan kepemimpinan profetik saya bukan hanya menjelaskan secara berurutan tetapi akan saya uraikan secara terpadu. Tiga gagasan sekaligus sebagai etos ini adalah penting untuk mengcounter kebiasaan anak bangsa berpikir negatif, pesimis, nekrofili (meminjam istilah erich fromm yang artinya senang bahkan memiliki cinta yang meluap-luap terhadap sesuatu yang tidak memiliki makna), resistence, chaos, making fun (suka mengejek), amoral, intoleransi dan lain –lain.

Tiga hal: gagasan/paradigma/etos tersebut harus diinternalisasikan dalam diri. Jika  meminjam pemahaman aktivis IMM Sul Sel (maaf lupa namanya) sebagaimana dirinya memahami teori habitus Pierre Bourdieu dilakukan proses internalisasi eksterior (menyerap realitas eksternal). Gagasan-gagasan, nilai luhur bangsa, kekayaan intelektual dan spiritual, dll yang mungkin merupakan realitas eksternal bagi diri harus diinternalisasikan. Diendapkan dalam diri (tentunya mengalami proses pemahaman secara mendalam dan terus menerus) sampai akhirnya sebagaimana teori habitus itu sendiri akan mengalami apa yang disebut dengan eksternalisasi interior dan kelak mewujud menjadi praksis sosial. Ini juga relevan dengan perspektif Erbe Sentanu di atas, termanifestasikan menjadi sebuah karakter dan nasib bangsa.

Al-Ashr atau tepatnya teologi Al-Ashr yang menjadi etos KHA. Dahlan dalam merintis Muhammadiyah sampai menjadi spirit membawa Muhammadiyah melintasi abad kedua. Dalam bukunya Teologi Al-Ashr, Etos dan Ajaran K.H.A. Dahlan yang terlupakan (2015), Azaki Khoiruddin sosok anak muda yang telah mengurai dan memberikan kerangka paradigmatik bagaimana teologi Al-Ashr menjadi etos.

Dari buku Azaki tersebut, saya memahami dengan menjadikan teologi Al-Ashr sebagai etos maka diri kita akan menyadari bahwa pentingya kesadaran akan budaya, waktu dan kedisiplinan dalam membangun peradaban. Al-Ashr memberikan makna melihat realitas bukan sebagai sebuah ancaman tetapi sebagai sebuah peluang. Dalam teologi Al-Ashr dipahami bahwa pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup. Pengetahuan tersebut dapat dicapai dengan sikap kritis dan terbuka dengan menggunakan akal sehat dan istiqomah terhadap kebenaran akal dengan di dasari hati suci.

Terkait penggunaan akal sehat dan hati suci, saya memahami bahwa ini relevan dengan apa yang dikatakan oleh Yudi Latif dalam pidato kebangsaannya bagaimana mengkorelasikan QS. Al-Mujadalah ayat 11 dengan teori radiasi budaya Arnold Toynbee tentang 4 lapisan budaya yang penting untuk dipahami dalam mempertahankan eksistensi sebuah peradaban dan bagaimana sebuah peradaban mampu memberikan pengaruh di mata peradaban lain. Pada intinya disini menggambarkan bagaimana kesatu-paduan antara pikir dan dzikir, antara akal dan hati, antara iman (spritualitas) dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka mencapai keunggulan.

Radiasi budaya Arnold Toynbee menguraikan bahwa ada empat lapisan peradaban, lapisan pertama, lapisan terdalam (sebagai jantung peradaban) adalah nilai dan visi spiritualitas. Lapisan kedua adalah etika. Lapisan ketiga adalah estetika. Lapisan keempat, lapisan terluar adalah ilmu pengetahuan dan teknologi-sains. Selama peradaban itu masih unggul pada lapisan terdalam, meskipun lapisan kedua, keetiga dan keempat rapuh maka peradaban itu dipastikan masih bisa bertahan. Dan sebaliknya jika lapisan terdalam hancur atau tidak ada maka tunggu peradaban itu akan hancur. Dan agar suatu peradaban bisa berpengaruh bagi peradaban lain maka harus unggul pada lapisan keempat, lapisan terluarnya, yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi-sains.

Gagasan ini, termasuk pemahaman tentang iman dan ilmu yang diderivasi dalam perspektif radiasi budaya Toynbee penting menjadi paradigma dalan konteks kebangsaan agar segala perilaku amoral, nirvisi, destruktif bisa dirubah dengan lahirnya kesadaran dalam diri. Selain daripada itu akan memantik kesadaran betapa pentignya pancasila sebagai ideologi bangsa dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah sesuatu yang harus mendapatkan porsi perhatian lebih untuk mencapai keunggulan

Teologi Al-Ashr Azaki dengan harapan sebagai sebuah etos atau sikap paradigmatik akan menumbuhkan kesadaran dan sikap (kecendrungan hati yang termanifestasi dalam perbuatan) untuk saling tolong menolong dalam tawasaubil haq sebagai prinsip kesatuan hidup yang dengan dasar pemahaman bahwa orang yang kuat adalah orang yang bersedia dan mengakui kebenaran dan kebaikan orang lain.

Mereka yang tawasaubil haq akan senantiasa bersikap terbuka atas kebenaran dan ilmu pengetahuan dan bagi saya tentunya tanpa kecuali termasuk ilmu –ilmu sosial kontemporer. Berpikiran terbuka terhadap kemajuan Barat. Dan dalam diri manusia yang menjadikan Al-Ashr sebagai etos akan senantisa pula tolong menolong dalam kesabaran. Kesabaran bagi saya adalah determinan daripada keimana itu sendiri.

Bagi saya, sikap kongkret dari etos Al-Ashr dalam konteks ke-Indonesia-an adalah terwujudnya persatuan dan kesatuan, mampu menemukan titik temu antara spirit Islam dan Pancasila; Kebhinekaan dilihat sebagai peluang dan potensi yang luar biasa; Perkembangan pemikiran, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi-sains diterima sebagai sebuah keniscayaan dan beradaptasi di dalamnya untuk dijadikan modal membangun bangsa.

Etos Al-Ashr semakin kokoh dan kuat jika dipadukan dengan Appreciative Inquiry. Meskipun perintis dan penulis buku The Power of Appreciative Inquiry, Diana Whitney & Amanda Trosten Bloom berdasarkan pemahaman saya lebih mengedepankan aspek metodologisnya, namun saya mencoba memahaminya lebih sebagai sebuah gagasan besar yang bersifat paradigmatik. Setelah membaca buku Zakiyuddin & Azaki, Etika Muhammadiyah & Spirit Peradaban yang didalamnya mengelobarasi antara Etos Al-Ashr dengan appreciative inquiry, saya semakin tercerahkan untuk menjadikannya sebagai sebuah paradigma. Appreciative inquiry ini memiliki relevansi dengan teori Erbe Sentanu yang telah diuraikan di bagian sebelumnya.

Dari Diana Whitnye & Amanda Trosten Bloom, Appreciative Inquiry saya memahami bahwa secara sederhana berdasarkan pengertianya appreciative adalah apresiasi (appreciation) yang di dalamnya memuat makna ganda yaitu penghargaan (ungkapan terima kasih) dan pemberian nilai tambah. Sedangkan inquiry diartikan sebagai penyelidikan (kecendrungan untuk selalu mencari tahu). Dan terkait inquiry sebenarnya ada anjuran luar biasa yang sebenarnya sejak Sekolah Dasar (SD) kita telah mendapatkan pelajaran tersebut.  Apa itu?, anjuran untuk senantiasa bertanya dengan rumus 5 W + 1 H (Who, What, Where, When, Why dan How). Dengan menerapkan Inquiry dalam diri kita sebagai paradigma maka dengan kebiasaan memunculkan pertanyaan akan menjadi instrumen penting untuk memperluas cakrawala berpikir dan menambah wawasan keilmuan. Dengan Inquiry kita senantiasa berpikir logis, rasional, filosofis dan ideologis.

Dari uraian ini lebih lanjut, berdasarkan apa yang telah saya pahami dari buku karya Zakiyuddin & Azaki dan buku karya Whitney & Bloom bahwa appreciative inquiry pada dasarnya mengubah cara berpikir yang cenderung defisit (sisi negatif/kekurangan) ke berpikir apresiatif (cenderung melihat sisi positif, inspiratif dan potensi yang ada pada sesuatu). Sebenarnya wacana defisit diusung oleh dunia barat sedangkan wacana apresiatif diusung oleh dunia timur. Salah satu contoh dalam bidang kesehatan, dunia Barat lebih cenderung menggunakan istilah medicine (pengobatan) sedangkan dunia timur menggunakan istilah healing (menyehatkan).

Bahkan telah ditegaskan oleh Whitney & Bloom sebagaimana saya pahami bahwa sesungguhnya appreciative inquiry adalah solusi untuk menjawab kekurangan ilmu psikologi yang selama ini lebih cenderung menggunakan pendekatan problem solving. Berangkat dari sebuah masalah sehingga berakhir dari sebuah masalah.Ini relevan dengan teori kekuatan pikiran, sesuatu datang berdasarkan apa yang dipikirkan. Zakiyuddin & Azaki menyebutnya semakin dicari akan masalah(kambing hitam), maka semakin banyak pla mendapatkan persoalan”.

Zakiyuddin & Azaki (2017: 67 – 72) menjelaskan bahwa “asumsi dasarnya adalah Appreciative Inquiry berpijak pada hipotesis heliotropic yaitu organisasi berkembang sebagaimana tumbuhan berkembang mengarah kepada sesuatu yang member mereka kehidupan dan energi. Sedangkan sebagaimana saya pahami dari Budi Setiawan Muhammad dari Whitney & Bloom (2007: xv) bahwa sesungguhnya Appreciative Inquiry relevan dengan konsep energi fusi. Fusi adalah sumber kekuatan bagi matahari dan bintang. Yang dihasilkan ketika dua elemen bermuatan positif digabungkan menjadi satu.

Bahkan dari ilmu Appreciative Inquiry ini saya memahami bahwa kekuatan kata –kata penting menjadi perhatian bagi anak bangsa, ini bisa ditemukan bagaimana pidato Soekarno, pidator Martin Luther King dan kata –kata Mahatma Gandhi. Kata –kata dan hal inspiratif yang menjadikan mereka sehingga memiliki pengaruh luar biasa dalam kehidupan. Ternyata dalam penelitian psikologi “Kata bukanlah sekedar penjelasan terhadap suatu realitas, tetapi pembentuk realitas itu sendiri Budi Setiawan Muhammad dalam Whitney & Bloom (2007: xx)

Korelasi positif antara Appreciative Inquiry dengan upaya merintis masa depan Indonesia, dalam realitas kongkret bisa dalam sikap dan perilaku bangsa di antaranya: anak bangsa akan lebih fokus menemukan hal inspiratif dalam kehidupan sosial budaya; menemukan kelebihan dan relevansi dari modal intelektual-spiritual, modal sosial budaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; dalam konteks media sosial, terutama generasi millenial sejak dini melakukan aktivis medsos dengan menghindari kata-kata hoax, menghina, galau, lebay, saling menghujat; dan senantiasa menemukan kelebihan dan titik temu atas perbedaan yang ada sebagai sebuah keniscayaan dari bangsa yang sangat majemuk. Ini diantara yang bisa saya berikan sebagai contoh dan tentunya masih banyak hal lainnya.

Setelah kita memahami etos Al-Ashr dan Appreciative Inquiry sebagai sebuah gagasan dan termasuk untuk dijadikan paradigma dalam merintis masa depan Indonesia, yang paling urgen adalah kepemimpinan profetik. Hal ini penting, selain jika kita memperhatikan paradigma Appreciative Inquiry yang secara implisit bahwa sosok pemimpin penting sebagai mercusuar termasuk juga keberadaan pemimpin penting sebagai teladan, pembimbing dan motivator/pendorong.

Ketika saya meminjam perspektif ̶ lupa sumbernya, saya hanya ingat bahwa kuntowijoyo pernah menyusun sebuah bangunan teori tentang Ilmu Sosial Profetik  ̶ sifat Kepemimpinan Profetik sebagai derivasi dari Q.S At-Taubah Ayat 128.

Tiga sifat kepemimpinan profetik yang dimaksud adalah : Pertama, azizin ‘alaihi ma’anittum (sence of crisis), kepekaan, empati dan simpati, Kedua, harisun ‘alaikum (sence of achievement), semangat yang menggebu dan ketiga, raufurrahim (kasih sayang), kebaikan.

Untuk sifat ketiga ini dalam perspektif tangga kepemimpinan Ary Ginanjar Agustian menyebutnya tangga kepemimpinan pertama. Dalam pandangan penulis ESQ ini, “kita bisa mencintai tanpa memimpin, tetapi kita tidak akan pernah mampu memimpin tanpa mencintainya”.

Korelasi positif antara kepemimpinan profetik dengan merintis masa depan Indonesia adalah, bagaimana agar bangsa ini sejak dini, memupuk, melakukan proses internalisasi eksterior hal – hal yang bisa menumbuhkan rasa empati dan simpati; hal –hal yang bisa membangkitkan semangat yang menggebu-gebu dan memupuk rasa kasih sayang dalam dirinya.

Dengan menjadikan etos Al-Ashr, Appreciative Inquiry dan Kepemimpinan Profetik sebagai paradigma dalam merintis masa depan Indonesia, maka kelak kelak Indonesia akan dihuni oleh sosok yang menjiwai ketiga etos dan paradigma tersebut di atas, sehingga Indonesia Berkemajuan menjadi sesuatu yang nyata dan dampaknya dinikmati bersama oleh seluruh anak bangsa.

Keterbatasan ruang, sehingga saya sadari bahwa tulisan ini belum sepenuhnya menguraikan tiga etos dan gagasan paradigmatik di atas untuk memenuhi harapan dan upaya merintis masa depan Indonesia secara komprehensif dan holistik.

Tulisan saya ini, telah menjadi bagian dalam buku Membaca Indonesia: Esai-Esai Tentang Negara, Pemerintah, Rakyat dan Tanah Airnya (Kumpulan tulisan) yang diterbitkan oleh Caremedia Communication (2020).

Eks Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng yang sekarang menjabat sebagai Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018 - 2023

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like