Langsung ramai komentar soal frasa “tanpa persetujuan korban” dalam salah satu pasal Permendikbudristek RI No. 30/2021. Disitulah muncul logika terbalik, yang dimainkan terutama reaksi dari pihak yang menentangnya.
Jika demikian, “atas dasar suka sama suka diperbolehkan penyaluran seksual”. Menerima persetujuan dari salah satunya, berarti suatu pengecualian. Pasal, ayat, dan huruf tertentu paling santer diberitakan sebagai titik tolak penilaian legalisasi perzinaan, yang akhirnya disoroti oleh berbagai pihak.
Yang lucu atau dianggap lucu yang tidak lucu, ada orang belum melihat apa sesungguhnya isi dari regulasi tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi serta merta ikut berteriak dan menyumpahi bahwa telah mengarah pada pemberlakuan seks bebas.
Pro dan kontra pun tidak terelakkan dengan kemunculan regulasi tersebut. Saat teman menampilkan laman media online tentang berita yang bersangkutan di grup WhatsApp. Sontak, saya menanyakan mengapa unduhan regulasinya tidak ditampilkan. Maksudnya, paling tidak kita bisa membaca secara seksama apa isinya.
Hal tersebut, tergantung dari pembaca obyek peristiwa, apakah kita mempermasalahkan atau tidak atas kehadiran regulasi, yang dari beberapa aspek tentang keasusilaan dinilai sebagai pelanggaran norma atau moral Ketimuran yang sangat serius dan berakibat fatal.
Mengapa dikatakan seksual adalah bukan permasalahan ada atau “tanpa persetujuan korban?” Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya: pertama, kita mengambil rujukan tentang frasa “tanpa persetujuan korban” secara tidak langsung akan memancing atau membangkitkan perhatian secara individu dan kolektif atau warganet dalam bentuk respon atau reaksi penolakan dan dukungan dari berbagai pihak yang berbeda. Apalagi suatu kebijakan kontroversial mampu menciptakan rangsangan obyek tontonan melalui kata-kata atau teks tertulis, seperti termuat dalam dokumen atau rancangan regulasi yang berkaitan.
Berapa banyak pernyataan, komentar, dan ujaran lain dari berbagai pihak menyangkut penilaian bahwa regulasi tidak sesuai konstitusi negara bahkan regulasi tentang kekerasan seksual lain yang searah dianggap tidak terjalin kelindang antara satu sama lain.
Di pihak pendukung regulasi lantas mengajukan pertimbangan yang berbeda mengenai adanya regulasi yang bersifat spesifik untuk menopang regulasi sesudahnya[1]. Padahal semuanya tertuju pada frasa “tanpa persetujuan korban”, selanjutnya ia dianalisis, dinilai, dan dideskripsikan menjadi tema pembicaraan yang menantang dan menggiurkan penampilan kata-katanya.
Frasa “tanpa persetujuan korban” membuat pihak yang satu tertimpa dan terzalimi. Sedangkan pihak lain membuat terbantu dan tertampung teks tertulis yang sama dengan alasan tidak ada maksud dibalik kata-kata atau frasa “tanpa persetujuan korban” untuk menggelincirkan dalam kebebasan seksual atau legalisasi perzinaan di tengah kehidupan sosial [2].
Sebaliknya, pihak pendukung melihat rangkaian teks tertulis dalam regulasi yang mengundang kontroversi tersebut sesungguhnya menjadi upaya pencegahan kekerasan seksual sedini mungkin, yang selama ini dalam setiap kemunculan kasusnya dianggap berlalu begitu saja, tanpa kepedulian tinggi dari seluruh pemangku kepentingan, yaitu pemerintah dan masyarakat sipil.
Sebagaimana kenikmatan yang menantang dan menggiurkan, begitu pula kata-kata akan menimbulkan kekerasan konsep sekaligus kekerasan seksual yang halus melalui teks tertulis atau susunan kata-kata yang berbicara dengan caranya sendiri.
Kedua, kebangkitan rangsangan dari luar dibentuk oleh ketidaksadaran teks (Derridian). Kata-kata atau frasa, misalnya “tanpa persetujuan korban” menimbulkan ketidakstabilan makna. Tidak stabil, cair, dan heterogen melekat pada frasa “tanpa persetujuan korban”, sehingga menandai makna yang ditafsirkan secara berbeda.
Semakin kontroversial suatu kebijakan yang dipadatkan melalui teks tertulis, semakin menimbulkan pula hasrat untuk penafsiran yang beragam. Sesuatu yang erotis datang dari teks tertulis melalui dokumen kebijakan kontroversial.
Tuntutan dari pihak yang menolak regulasi dengan cara melakukan evaluasi dan revisi terbatas pada teks tertulis, yang mengandung kontroversial nampak dari penampilan kata-kata atau frasa “tanpa persetujuan korban.”[3] Di sini, kita akan mengajukan satu pertanyaan seputar struktur bahasa yang berada di ujug frasa, yaitu “korban.” Seseorang diletakkan sebagai obyek dari korban. Siapa korban itu? Mengapa diposisikan sebagai korban dalam kaitannya dengan kekerasan seksual?
Jika salah satu dari kedua belah pihak tidak melakukan persetujuan seksual, maka dia disebut korban. Sama halnya, tatkala kedua belah pihak telah berada dalam persetujuan bersama, maka mereka juga betul-betul sebagai “korban”, karena menggiring dirinya dalam pelanggaran batas-batas norma kesusilaan berdasarkan jalan pernikahan yang sah dan ditambah mereka adalah korban dari kebebasan, yang berlindung dibelakang persetujuan seksual. Ketiga, berawal dari hal-hal biasa diutarakan melalui ruang komunikasi yang luar biasa melebihi ruang bendawi, yang kasat mata.
Berselang waktu yang tidak terlalu lama, kehidupan seksual adalah kehidupan itu sendiri. Setiap orang tidak bisa memungkiri kesenangan seksual, sekalipun bukan satu-satunya energi manusia dan bukan pula untuk memutlakkan hasrat untuk memiliki penampilan tubuh yang menggoda.
Hanya saja, suatu pelajaran penting dibalik peristiwa regulatif, ketika hasrat seksual yang tidak tersalurkan sesuai dengan ikatan resmi dan ditempuh secara represif akan mengarah pada bentuk kekerasan seksual. Membungkam dan membatalkan penyaluran seksual melalui institusi pernikahan akan menyiksa dan menegang, akhirnya bergerak pada bentuk pelampiasan yang tidak tertahankan hingga mengarah pada kekerasan seksual.
Bagaimanapun juga dalam pemikiran modern, kehidupan seksual dengan rincian seks adalah kebenaran. Wilayah kebenaran seks tidak menjadi permasalahan moral selama terkontrol dan terpenuhi kehidupan seksual yang jelas dan sah adanya.
Pemenuhan kehidupan seksual yang bagaimana jika terjadi penolakan atas frasa “tanpa persetujuan korban” setelah terjadi jalinan antara mesin tulisan dan mesin hasrat seksual, ‘seni tulisan’ dan ‘seni erotis’ dalam regulasi tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Bentuk kekerasan seksual seperti lelucon, rayuan, dan siulan yang bernada seksual, tatapan yang penuh nafsu seksual, ujaran yang melecehkan dan mendiskriminasi penampilan tubuh fisik hingga penampilan alat kelamin dengan segaja tanpa persetujuan korban menandai kemunculan artikulasi kesenangan seksual yang baru dan cukup ketat.
Belum lagi permasalahan atas kemunculan frasa “tanpa persetujuan korban” seakan-akan sebagai kata-kata yang diselundupkan dalam regulasi. Pembicaraan pun akan berkembang secara luas ketika terjadi pembatasan diskursus seksualitas, yang melibatkan diskursus pendidikan. Kita mulai tidak berpikir saat pergerakan praktek seksual dalam kaitannya dengan seks bebas.
Sebagian orang faham tentang keberadaan regulasi tersebut sebagai praktek pembebasan kekerasan seksual. Mungkin, kita menganggap regulasi menjadi kemungkinan dari kesenangan yang baru melalui erotisasi tubuh tekstual, yang diperhadapkan dengan bagian-bagian tubuh yang memikat dan aneh. Saya pikir, itulah jenis regulasi yang kreatif. Dari teks ke seks.
Tulisan seksual tidak lagi menjadi ‘kode’ kesenangan fisik dan verbal belaka dalam konteks kekinian. Sebagian masyarakat berada dalam taraf penandaan warisan erotis dan sebagian lain terdapat jarak antara fenomena aneh dan pemikiran diskursif tentang seksualitas bersama kekerasan seksual yang menyeruak ke permukaan.
Michel Foucault mencoba menganalisis sekitar ‘deseksualitas tubuh’ dan ‘deseksualisasi kesenangan’, yang merupakan bagian dari sejarah pemikiran Barat[4]. Lain hal di Timur kontemporer, ketika pembicaraan kekerasan seksual, yang dihubungkan dengan ‘hukum’ tentang seks ternyata masih tetap tidak memberi peluang kebangkitan atas nama aparatur seksualitas, khususnya terhadap kehadiran frasa “tanpa persetujuan korban”, yang dinilai oleh pihak penentang sebagai titik tolak penyimpangan norma seksual di lingkungan perguruan tinggi. Suatu kebenaran seks yang tertunda untuk diikuti.
Setelah kebenaran dibentuk oleh seks, maka kehidupan seksual saling menandai dan saling melengkapi dengan kehidupan itu sendiri. Apakah yang seksual selalu muncul melalui tubuh? Bagaimana cara pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi, yang bentuk-bentuknya tidak diatur dalam regulasi? Rangkaian pertanyaan lain akan muncul dalam wilayah pemikiran diskursif tentang seksualitas memungkinkan bukan hanya menyentuh dalam hal-hal yang lebih bersifat pribadi[5], tetapi juga tertuju pada kehidupan sosial, yang dipertajam oleh kekerasan maupun penyimpangan seksual seperti peristiwa yang terjadi selama ini.
Karena itu, kehidupan seksual juga tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sosial, dimana sejak kelahiran manusia telah membawa seks sebagai bagian dari kodrat atau pilihan dalam kehidupan. Kebenaran seks akan menghilang dalam kekerasan seksual yang kelam. Pilihan terhadap kebenaran seks seiring dengan kehidupan moral, yang meletakkan seks sebagai kehormatan tersendiri. Selama individu berada dalam kekerasan seksual dan bentuk-bentuknya, ia tidak lebih dari kebenaran yang berkedok sebagai sifat alami manusia.
Pengakuan atas kebenaran seks ditandai saat kita belum melihat dan mendengar apa saja tentang wujud seksual sudah membuat raut wajah nampak berseri-seri, otot-otot yang tegang serentak menjadi lumer, dan adrenalin laki-laki terpicu.
Mengkhayalkan lekukan tubuh saja menimbulkan birahi, apalagi memerhatikannya. Khayalan birahi bisa bergelora, sekalipun tanpa tatapan atas bagian tubuh yang seksi. Rangsangan seksual bisa berlangsung tanpa penampilan fisik. Suatu kekerasan seksual muncul bukan hanya melalui penampilan fisik dan secara verbal, tetapi juga melalui hasrat atau dorongan libido yang meluap-luap. Kata lain, bahwa kekerasan seksual terjadi bukan semata-mata diakibatkan oleh pertukaran tanda kekerasan fisik, simbolik atau verbal, tetapi datang dari kekerasan pikiran, selera, khayalan, dan imanijasi. Selain kekerasan seksual berasal dari ujaran dan penampilan, ada juga yang berakar dari kekerasan hasrat atau kekerasan tanda.
Dari kekerasan hasrat dan pikiranlah akan memunculkan kekerasan seksual lain dalam bentuk kekerasan fisik, simbolik, dan verbal. Jadi, keakaran dari kekerasan seksual datang dari kekerasan hasrat dan pikiran.
Aura kekerasan hasrat lebih kuat dan tajam dibandingkan kekerasan seksual yang bersifat lahiriah atau inderawi. Titik tolak dari dugaan dan pembacaan atas teks tertulis atau frasa “tanpa persetujuan korban”, yang dipahami oleh pihak tertentu, sehingga muncul penilaian dan penafsiran tentang kemunculan wilayah legalisasi perzinaan atau tindakan seks bebas.
Menyangkut kekerasan hasrat, khayalan, dan selera membuat frasa “tanpa persetujuan korban” lebih menyentuh ruang abstrak daripada yang lain. Seandainya yang terjadi adalah berdasarkan “persetujuan korban”, berarti bukan lagi dalam posisi korban. Jika bukan korban ganda atau korban kedua belah pihak, maka saat kemunculan kata-kata “tanpa persetujuan korban” dan “persetujuan korban” sebagai relasi tanda bolak-balik.
Saat hasrat untuk menyenangi muncul dibalik frasa “persetujuan dari salah satu pihak” hanyalah tanda implikasi dari frasa atau tindakan “tanpa persetujuan korban.” Lebih dari itu, jika tidak terkontrol, kekerasan hasrat bisa lebih menantang dan bahkan lebih berbahaya bagi kekerasan seksual yang bersifat lahiriah atau inderawi. Semoga pak Nadiem Makarim, Mendikbudristek mampu bernafas legah kembali dan bagi pihak penentang regulasi tersebut diharapkan bisa berlapang dada. Semuanya memiliki ide dan mimpi tentang masa depan negeri ini.
[1] Mengenai regulasi yang bersifat spesifik. Diakses dari https:/3/m.republika.co.id/berita//r2dgsj430/menag-tanggapi-penolakan-permendikbud-30, tanggal 11 November 2021, pukul 20.33 WITA.
[2] Pihak pendukung beralasan tidak ada maksud dibalik kata-kata atau frasa “tanpa persetujuan korban” untuk menggelincirkan dalam kebebasan seksual atau legalisasi perzinaan. Diakses dari https://m.republika.co.id/berita/r2edr9282/politikus-pdip-permendikbudristek-bukan-legalkan-seks-bebas, tanggal 11 November 2021, pukul 20 39 WITA.
[3] Tuntutan dari pihak yang menolak regulasi dengan melakukan evaluasi dan revisi terbatas, terutama pada frasa “tanpa persetujuan korban”. Diakses dari https://m.mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/445598/permendikbudristek-nomor-30-tahun-2021-dipertanyakan, tanggal 11 November 2021, pukul 15.32 WITA. https://monitorday.com/sikap-muhammadiyah-dan-anggota-dpr-terkait-permendikbud-30-tahun-2021,%20tanggal%2011%20November%202021,%20pukul%2019.57%20WITA.
[4] ‘Deseksualitas tubuh’ dan ‘deseksualisasi kesenangan’, yang merupakan bagian dari sejarah pemikiran Barat. Lihat Michel Foucault dalam Power/Knowledge, Phanteon Books, New York, 1980, hlm. 191 dan Ethics: Subjectivity and Truth, The New Press, New York, 1997, hlm. 165.
[5] Wilayah pemikiran diskursif tentang seksualitas. Lihat Michel Foucault dalam The History of Sexuality, Volume 1, 2, and 3, Phanteon Books, New York, 1978.
ASN/PNS Bappeda Kabupaten Jeneponto/ Aktivis Masyarakat Pengetahuan