Otentisitas dan Inotentisitas Opini Publik10 min read

Beberapa waktu lalu muncul perdebatan di media massa dan media sosial terkait pernyataan presiden Indonesia Joko Widodo untuk menyarankan kepada masyarakat agar lebih aktif mengkritik. Hal ini ditanggapi pesimis oleh berbagai kalangan, baik akademisi, aktivis, jurnalis dan oposisi politik. Tanggapan pesimis ini dikarenakan bahwa pernyataan presiden tersebut tidak secara nyata melindungi kebebasan warga negara untuk mengkritisi pemerintah. Beberapa kritikan dari warga negara tidak jarang berakhir dengan pidana akibat dikenakan pasal UU ITE. Jika tidak dengan UU ITE tersebut, kritikan warga negara khususnya di media sosial, sering diserang oleh para buzzer pendukung pemerintah.

Fenomena buzzer akhir-akhir ini memicu diskursus baik yang sifatnya akademik, maupun populer. Pertanyaan yang sering diajukan adalah seberapa bahayanya para buzzer dalam mempersempit ruang sipil, atau apakah buzzer merupakan entitas yang sifatnya struktural yang digerakan oleh kekuasaan untuk mendominasi opini publik. Di sini dirasa perlu untuk menguak praktik-praktik dominasi opini publik oleh kekuatan-kekuatan politik tertentu yang dengan sengaja mengaburkan opini publik yang sifatnya kritis menjadi sentimen-sentimen kontraproduktif.

Tulisan ini bermaksud untuk melihat bagaimana sebetulnya opini publik memunculkan  relasi yang sifatnya politis antara otentisitas dan inotentisitas opini publik yang mencuat di jagat digital. Otentisitas opini publik berkaitan dengan suara publik yang secara otentis memberikan penilaian kritis terhadap suatu fenomena publik berdasarkan nilai-nilai yang ia pegang. Sedangkan inotentisitas opini publik berkaitan dengan suara publik yang otentisitasnya masih diragukan dan tidak memiliki penilaian otentik atas suatu permasalahan publik. Tetapi sebelum itu diperlukan penelusuran genealogis atas konsep opini publik tersebut, setidaknya mulai dari Inggris, Prancis, dan Jerman sekitar abad 18.

Pencarian Tentang Opini Publik

Kata opini dalam bahas Inggris dan Prancis diserap dalam bahasa Yunani yakni opinio: penilaiaan yang tidak pasti dan meyakinkan, sebuah penilaian yang kebenarannya tidak dapat dibuktikan sepenuhnya. (Habermas, 2007: 128). Menurut Habermas kata ‘opini’ memiliki dua makna, yakni kebenaran yang tidak pasti dan masih harus dibuktikan dan, ‘opini’ yang berarti reputasi yang pada dasarnya bersifat mencolok di depan khayalak.

Kata-kata seperti ‘opini bersama’ (common opinion), ‘opini umum’ (general opinion), dan ‘opini vulgar’ (vulgar opinion) menurut Habermas memiliki makna yang kurang lengkap karena tidak menunjukkan pada pengertian ‘opini publik’ (public opinion) atau belum memiliki ‘roh publik’ (public sippirit). (Habermas, 2007: 129). Kata-kata tersebut lebih mecerminkan interaksi yang muncul di wilayah sosial begitu saja tanpa terlebih dahulu memiliki makna politis sebuah opini publik dan roh publik. Baru nanti pada abad 18 lah kata ‘opini publik’ memiliki makna refleksi-kritis dari kemampuan publik untuk membentuk penilainnya sendiri. (Habermas: 2007).

Habermas bermaksud menggali pertalian sejarah dari penggunaan kata opini publik untuk memahami tesisnya tentang perkembangan ruang publik politis yang berawal di abad 18. Misalnya saja ia mengacu pada Hobbes di abad 17 yang mengidentifikasi ‘suara hati’ (conscience) yang mengacu pada kesadaran dan hati nurani serta opini. Menuru Hobbes, suara hati tidak lain adalah penilaian dan opini itu sendiri. Menurut Habermas, yang lupt dari Hobbes adalah mengidentifikasi suara hati sama dengan opini, yakni ia menambahkan apa yang ada di dalam suara hati ke dalam opini yang selanjutnya menjadi klaim kebenaran.

Sedangkan pada Locke, Habermas menyinggung mengenai ‘kaidah opini’ (Law of Opinion) sebagai kaidah yang posisinya setara disamping hukum ilahi dan negara. Kaidah opini mampu menilai kabajikan dan kejahatan, di mana kabajikan diukur persisnya berdasarkan kehormatan publik.

Sedangkan Edmund Burke, yang berpidato di dalam pemilihan umum Bristol (Speech to the Electors of Bristol) menegaskan bahwa tak satu bagian pun dari hak legislatif dapat diterapkan tanpa mendengar terlebih dahulu opini umum (general opionion). Opini umum yang dimaksud adalah entitas penting yang menjadi kendaraan bagi kemandirian legislatif.

Menurut Burke, semua orang memiliki kepedulian terhadap urusan publik, dan bahwa mereka berhak memiliki hak membentuk serta menyebarkan opini mengenai urusan tersebut. Dengan menjadikan topik-topik publik sebagai bahan pemikiran dan penyelidikan, maka semakin banyak dari mereka memiliki pengetahuan tentang yang publik. (Habemas, 2007: 135). Burke memberi pemahaman pada opini publik dengan memberikanya sebuah makna publik yang memiliki ‘roh publik’, atau yang-publik.

Sedangkan di Prancis opini publik muncul pada pertengahan abad-18 . Opinion Publique baru memperoleh makna yang ketat, berupa sebuah opini yang dimurnikan lewat diskusi kritis di ruang publik untuk menjadi sebuah opini yang benar (true opinion). (Habermas, 2007: 136).

Pembentukan makna opini publik yang berciri kritisisme dari publik tersebut tidak lepas dari kontribusi kaum fisiokrat Prancis yang di mana mereka sering memperdebatkan persoalan-persoalan publik. Kaum cerdik-cendekia inilah pembentuk opini publik sesungguhnya, di mana pemerintah harus memperhatikan apa pun kesimpulan yang ditarik dari refleksi kritis yang dipandu ahli tersebut. (Habermas, 2007: 137).

L’ opinion publique menerut Habermas adalah hasil pencerahan dan refleksi bersama yang sifatnya publik menganai fondasi-fondasi sosial. Karena merupakan hasil pencerahan, untuk itu ia tidak bersifat memerintah,  melainkan mencerahkan penguasa yang bersedia mengikuti petunjuknya.

Sedangkan di Jerman, Friedrich Georg Forster—di awal tahun 1890-an—menerjemahkan opini publik sebagai öfentliche meinung. Di Jerman sendiri, konsep opini publik sebagaimana dimengerti di Inggris dan Prancis, belum memiliki pengertian yang jelas. Setidaknya menerut Habermas, itu karena di Jerman masih tidak ada ‘roh masyarakat’ dan opini publik.

Wieland, seorang pewarta Jerman, memberi penjelasan lebih lanjut soal opini publik yang berkembang di Jerman. Opini publik menurutnya berakar pada mereka yang memiliki informasi yang menyebar, utamanya diantara kelas-kelas yang peduli terhadap suatu pesoalan. Kelas yang dimaksud bukanlah kelas rendah di masyarakat, karena mereka di bawah tekanan rutinitas kerja dan kebutuhan, sehingga tidak memiliki waktu untuk berkomentar terhadap suatu persoalan. Dengan demikian, yang menjadi pembentuk opini publik merupakan kelas menengah itu sendiri, dengan tradisi pencerahan dan terdidik, mempersoalkan hal-hal publik dengan kemandirian berpikirnya.

Dari uraian genealogis sejarah tentang opini publik tersebut, dapat dikatakan bahwa opoini publik selalu berkaitan dengan struktur kelas di masyarakat yang terus-menerus memproduksi opini. Kelas ini adalah kelas menengah, atau dalam tesis ruang publik Habemas disebut kelas borjuis. Kelas inilah yang membentuk ruang publik politis di abad 18, berawal dari salon, caffe¸dan plaza.

Dalam uraian di atas tersebut juga diketahui bahwa opini publik selalu merupakan penilaian kritis dan reflektif atas sebuah permasalahan yang dianggap publik. Ia selalu muncul dari penilaian-penilaian yang berakar pada tradisi kritisisme abad pencerahan. Penilaian tersebut dilakukan berdasarkan refleksi kritis, oleh sebab itu ia berkaitan erat dengan nilai-nilai publik tentang apa yang dianggap baik untuk publik itu sendiri.

Dalam hal ini, kita dapat melihat otentisitasnya, di mana para subjek secara aktif mencerna persoalan publik, membuatnya sebagai pemikiran sehari-hari, serta menjadikanya sebagai pengetahuan yang dimanifestasikan dalam opini. Uraian mengenai perkembangan opini publik mulai dari Inggris, Prancis, dan Jerman tersebut memberi landasan teoritik penggunaan konsep opini publik untuk mempermudah melacak mana opini publik yang inotentik di era hari ini, terutama di ruang digital kita.

Opini Publik Otentik dan Inotentik: Penelusuran di Jagat Digital

Jika kita menelusuri percakapan di sosial media, khususnya twitter, kita bisa melihat beragam pendapat atas suatu persoalan publik. Ruang digital seperti Twitter sangat penuh dengan informasi dan pendapat, hal tersebut membutuhkan penilaian lebih jauh akan keaslian opini publik yang muncul secara organik atau yang sengaja dimunculkan sebagai bagian dari dominasi opini publik.

Pengamat komunikasi politik Hendri Satrio menilai keberadaan buzzer dapat membunuh demokrasi. Sebab ia menutupi opini publik yang asli. (Kumparan: 2021). Ia selanjutnya membedakan antara buzzer dan influencer. Menurutnya influencer memiliki opini pribadi mengenai suatu hal. Sedangkan buzzer hanya bekerja mendengungkan opini pihak yang memesan dan membayarnya.

Tetapi pernyataan ini amat problematis. Jika demikian, apakah orang-orang seperti Abu Janda, Denny Siregar, dll, bukan bagian dari buzzer? Bukan kah mereka juga menutupi opini publik dengan sentimen-sentimen yang kontraproduktif dan non-argumentatif?

Di sini yang perlu dilihat bahwa, apakah opini yang disampaikan muncul secara otentik berdasarkan penilaian kritis akan suatu hal? Jika dilihat dari aktivitas sosial media mereka, mereka memainkan opini yang sebenarnya jauh dari refleksi kritis bahkan kemauan publik terhadap pemerintah. Misalnya Denny Siregar yang mendukung kampanye parwisata di saat awal munculnya Covid-19, di mana mayoritas opini publik menginginkan langkah-langkah pencegahan efektif dari pemerintah.

Atau sekelompok artis dan komedian yang tiba-tiba kompak membuat vidio mengkampanyekan RUU Omnibus Law Cipta Kerja dan menaikan hastag yang sama disaat penolakan terhadap undang-undang itu sedang masif. Apakah itu mencerminkan otentisitas dari opini publik atau justru dominasi opini publik dengan opini yang inotentik?

Temuan LP3ES misalnya menunjukkan bahwa akun-akun buzzer mendominasi peta percakapan pada partai politik yang mendukung UU Cipta Kerja. Akun seperti @dennysiregar7, @seruanhl, @dinihardianti selalu muncul dalam percakapan pendukung UU tersebut. Analisis LP3ES ini berasal dari Media Analytics pada 3-13 Oktober 2020. (Tempo: 2020).

Direktur Center For Media and Democracy LP3ES, Wijayanto menyebut manipulasi opini publik di media sosial terjadi di lima kasus politik Indonesia, yaitu Pilpres 2019, Revisi UU KPK, New Normal, Omnibus Law, dan Pilkada Serentak. Menurutnya ada upaya manipulasi opini publik di media sosial untuk membenarkan kebijakan-kebijakan yang bermasalah. (Gatra: 2021). Manipulasi itu berupa munculnya narasi yang berupa teks, foto dan meme di sosial media yang dimunculkan secara tiba-tiba oleh cyber troops. Tentara siber tersebut berupa buzzer, influencer, dan bots yang memiliki jumlah signifikan. Bahkan, beberapa akun muncul di lebih dari satu kasus. Hal ini mengindikasikan kemunculan tentara siber untuk membentuk opini publik agar bersesuaian dengan tujuan-tujuan tertentu.

Drone Emprit, sebuah analisis sistem media sosial berbasis data dengan teknik analisis jaringan mencoba memetakan percakapan di Twitter mengenai Omnibus Law dengan keywords; OmnibusLaw, Omnibus Law, Ciptaker, Cipta Kerja.

Peta SNA yang ditunjukikan Drone Emprit memperlihatkan bahwa percakapan Omnibus Law di Twitter 4-5 Oktober memiliki cluster penolakan yang besar, yang mendominasi percakapan, dan cluster yang mendukung sangat kecil dan berada dipinggiran. (Ismail Fahmi: 2020).

Cluster yang menolak di dominasi oleh akun-akun aktivis, mahasiswa, buruh, akademisi dan media. Akun seperti @AksiLangsung mendapat retweet sebanyak 6.186, dan akun media @TirtoID mendapat retweet sebanyak 5.080. Analisis Drone Emprit menunjukkan bahwa top narasi penolokan Omnibus Law antara lain menjelaskan alasan penolakan, dampak jika RUU tersebut disahkan, menandai partai-partai yang mendukung pengesahannya, statemen PKS dan Demokrat yang menolak. (Ismail Fahmi: 2020).

Sedangkan hastags dari para penolak menjadi hastags yang trending di Twitter, misalnya #BatalkanOmnibusLaw, #MosiTidakPercaya, #DPRKhianatiRakyat, dan #JEGALSAMPAIGAGAL. Sementara itu hastgas pendukung Omnibu Law berada paling bawah yakni #RakyatButuhKerja.

Dari total 64k akun yang terlibat percakapan mengenai Omnibus Law, 66.41% berhasil dideteksi status bot-nya. Hasil score postingan berdasarkan bot adalah 1.76. Artinya sangat dekat ke percakapan yang natural. (Ismail Fahmi: 2020).

Tetapi seperti diketahui, percakapan digital mengenai Omnibus Law sampai hari cenderung sepi dari pembahasan. Pada akhirnya opini yang inotentiklah yang mewarnai percakapan dengan mengkampanyekan suatu program tertentu. Misalnya saja di beranda Facebook, sering kedapatan akun-akun yang mengkampanyekan menganai UU Cipta Kerja. Akun-akun tersebut hampir semua berstatus bot. Percakapan yang sifatnya inotentik ini akhirnya mendominasi ranah digital. Hal tersebut dikarenakan elemen-elemen masyarakat yang menolak UU Cipta Kerja tidak lagi mengangkatnya sebagai topik pembahasan. Artinya tidak terjadi konsistensi pengawalan issu. Sedangkan para buzzer cenderung konsisten dan dibarengi dengan pembaharuan konten.

Kesimpulan

Sampai di sini bisa dilihat bahwa inotentisitas opini publik sering merupakan bagian dari relasi kekuasaan tertentu untuk mendominasi percakapan. Dalam kontek ruang digital, ini dibarengi dengan mobilisasi cyber troops untuk membenarkan suatu kebijakan tertentu dan membendung suara-suara otentik yang mengkritisi, di mana itu datang dari para akademisi, aktivis, mahasiswa, media, buruh, dan oposisi politik.

Opini publik tidak dapat dipahami sebagai percakapan yang muncul begitu saja. Ia selalu bersifat politis, pertama ia merupakan refleksi kritis dari para penilai, dan kedua ia bisa merupakan bagian dari entitas kekuasaan tertentu yang mempunyai serangkaian tujuan. Dengan memahaminya seperti ini, kita bisa tertarik menganalisa hal-hal yang melatarbelakangi sebuah opini publik, dan relasi kekuasaan yang ada dibaliknya.


Referensi

Habermas, Jürgen. (2007). “Ruang Publik: Sebuah Kajian Tentang Kategori Masyarakat Borjuis”. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Kumparan.Com  (2021). “Buzzer Bisa Membunuh Demokrasi karena Menutupi Opini Publik yang Asli”. Di akses pada 15, Februari 2021.

Tempo.Co (2020). “Temuan LP3ES: Akun Buzzer Dominasi Peta Percakapan UU Cipta Kerja”. Di akses pada 15, Februari 2021.

Gatra.Com (2021). “Hari Pers Nasional: Tantangan Media di Tengah Pandemi”. Di akses pada 15, Februari 2021.

Fahmi, Ismail. (2021). “Omnibus Law: Peta Aspirasi Publik di Media Sosial”. Di akses pada 15, Februari 2021. http://dea.uii.ac.id

M. Taufik Poli adalah mahasiswa Ilmu Politik di Fakultas Ilmu Sosial & Politik Universitas Pembangunan Indonesia Manado. Minat studi penulis adalah demokrasi Indonesia, dan dinamika kekuasaan pasa-Orde Baru. Beberapa tulisannya bisa dilihat di media online.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like