Saat Fakta Mulai Berkelindang dengan Kebenaran di Desa Wadas10 min read

Awalnya dari buntut penolakan warga Desa Wadas terhadap lokasi penambangan quarry batu andesit yang akan digunakan untuk membangun Bendungan Bener Purworejo. Apa dan bagaimana urutan kronologis dari peristiwa konflik, penulis tidak bermaksud untuk menguraikannya.

Di sini, lebih dikedepankan soal fakta, tanpa dipaksakan sebagai sesuatu yang masuk akal atau digiring menjadi dasar pembenaran atas peristiwa. Siapa yang benar dan salah adalah soal sudut pandang. Biarpun rumitnya titik permasalahan Wadas, topik lawas tentangnya tidak terhindarkan, karena fakta di lapangan akan tersingkap. Penting pula dipahami, bahwa terdapat perbedaan sudut pandang merupakan hal yang lumrah, karena semakin banyak fakta, maka semakin luas dan dalam sudut pandang tentang peristiwa Wadas.

Sudut pandang yang berbeda mengenai kasus Wadas tidak berarti pemikiran a priori sosial atau penggunaan metode penalaran rasional, dan model logical fallacy atau kekeliruan logika berpikir sirna di hadapan fakta. Sejauh ini, pihak berkepentingan yang berupaya mencari fakta akan menjadi bahan atau titik tolak untuk menggambarkan, menganalisis, menilai, dan mengevaluasi perkembangan konflik Wadas.

Banyak fakta yang tidak utuh, berarti lebih dekat pada cuilan dan kepingan fakta. Cuilan dan kepingan fakta bertumpuk tidak bisa dijadikan jalan pemecahan permasalahan Wadas. Bisa saja seseorang dirasuki oleh pikiran dan prasangka buruk lantaran fakta yang tersaji masih dekil, mentah atau data tidak memadai untuk dijadikan sebagai penarikan kesimpulan atas kasus Wadas.

Sebelumnya itu, ada baiknya kita mengajukan pertanyaan. Paling tidak terdapat dua pertanyaan. Apa itu fakta? Apa itu kebenaran dalam kaitannya dengan kasus Wadas? Bagi orang-orang atau mahasiswa yang pernah mengikuti kuliah-kuliah tentang pemikiran a priori, berpikir secara rasional, dan kekeliruan logika berpikir nampaknya cukup membantu untuk melihat mana fakta dan mana bukan fakta, yang dihubungkan dengan kasus Wadas.

Dalam pelajaran, fakta memungkinkan bisa menjadi titik tolak penarikan kesimpulan logis. Fakta mendukung berpikir rasional atau pengetahuan a priori. Sebaliknya juga demikian. Begitu pula mengikuti pelajaran atau kajian tentang fakta dan kebenaran di bangku kuliah atau di ruang non formal dengan segala macam teori yang menjelaskannya.

Apa itu Fakta?

Sambil menunggu hasil kerja Tim Independen Pencari Fakta kasus Wadas (jika sudah dibentuk) perlu berkolaborasi dan bersinergi dengan tim pencari fakta lain. Bukan apa-apa, karena ada legislator Senayan telah membentuk tim kecil pencari fakta dalam kasus yang sama. Ditambah tim pencari fakta dari LBH Yogyakarta, tim YLBHI, tim Komnas HAM hingga cek fakta atau semacam tim pencari fakta dari media online.

Turut berperan serta pula dari sejumlah warganet yang mencoba mengungkap fakta kasus Wadas. Kenampakan suara-tulisan di medsos seperti Twitter dalam bentuk tagar#WadasMelawan, #SaveWadas, dan #WadasTolakTambang sebagai rangkaian dari aksi penolakan warga Desa Wadas terhadap penambangan menandakan kelenyapan makna modernitas atau kehidupan sosial, yang selama ini dipelihara dan dieluk-elukan.

Fakta kasus Wadas dipercaya masih tetap tidak berubah atau permanen, tetapi rawan dengan pembalikan fakta di lapangan. Pihak kontra menyebutkan bahwa telah terjadi tindakan kekerasan dari aparat adalah fakta. Sebaliknya, pihak pro mengatakan telah terjadi provokasi saat pengukuran lahan tambang. Keduanya memasuki wilayah black or white sebagai salah satu fallacy. Pro dan kontra muncul karena berada dalam tarikan benar dan salah tentang kasus Wadas. Jika bukan X yang benar, maka Y yang benar. Logika berpikir keliru seperti itu sering beradu dalam situasi runyam, seperti yang dialami warga Desa Wadas.

Marilah kita mengecek fakta! Meski tidak ada definisi baku dan final tentang apa itu fakta, kita mencoba sedikit lebih ringan pembicaraannya. Dikutip dari id.strephonsays.com, informasi yang dikumpulkan disebut fakta. Sesuatu yang tidak bersifat universal atau fakta lebih bersifat obyektif. Seperti cermin memantulkan bayangan persis sama dengan gambar atau sosok yang berdiri di hadapannya.

Menganggap benar kasus Wadas kadangkala sebagai fakta. Misalnya, penangkapan warga Wadas yang menolak penambangan andesit sedang mengarah pada fakta. “Kami punya bukti videonya,” kata Insin Sutrisno, warga Desa Wadas[1]. Sudah tentu, pihak yang pro memiliki argumentasi yang berbeda.  Menurut kuasa hukum warga Desa Wadas, Julian Duwi Prasetia dari LBH Yogyakarta, yang menyebut data warga yang menolak pembebasan lahan sekitar 80 persen. Meski bukan murni data statistik, hal ini menunjukkan kehadiran fakta berkaitan dengan data[2].

Sekurang-kurangnya ada enam fakta kasus Wadas. Terbagi dari lima fakta yang dikutip oleh viva.co.id dan satu fakta dari hasil temuan Komisi III DPR RI, yang dikutip oleh voi.id. Berikut, lima fakta yang dikutip oleh viva.co.id ketika terjadi peristiwa pengepungan warga Desa Wadas[3].

Pertama, Calon Proyek Waduk Bener. Desa Wadas diketahui akan menjadi calon lokasi Proyek Waduk Bener maka dari itu dilakukan pengukuran lahan oleh sekitar 70 petugas BPN. Adapun luas area yang akan dibebaskan untuk pelaksanaan proyek tersebut diketahui mencapai 124 ha. Proyek pembangunan Waduk Bener tercantum dalam Perpres Nomor 109 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden RI Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Proyek Strategis Nasional.

Kedua, Lahan mata pencaharian warga Desa Wadas.Pembebasan lahan yang akan dijadikan sebagai proyek Waduk Bener tersebut sempat ditolak oleh warga desa karena lahan tersebut menjadi sumber kehidupan dan mata pencaharian dari warga yang sebagian besar adalah seorang petani. Sehingga dikhawatirkan pendapatan mereka nantiya akan terancam jika lahan tersebut dialih fungsikan.

Ketiga, Desa Wadas dikepung polisi. Dalam pengukuran lahan yang akan menjadi proyek Waduk Bener, petugas BPN didampingi oleh 250 petugas gabungan dari TNI, Polri, dan Satpol PP Kabupaten Purworejo guna menghindari terjadinya ketegangan. Aksi pengepungan polisi di Desa Wadas itu juga diduga disertai dengan aksi represif.

Keempat, Sejumlah warga diamankan polisi. Dalam ketegangan yang terjadi antara warga yang pro dan kontra dengan proyek strategis nasional di Desa Wadas tersebut, diketahui sebelumnya polisi telah mengamankan 23 orang yang diduga membawa senjata tajam lalu membawanya ke Polsek Bener. Namun informasi terbaru jumlah warga yang ditangkap oleh aparat kepolisian bertambah totalnya menjadi 64 orang.

Kelima, Tindakan represif aparat dikecam. Aksi represif yang dilakukan aparat kepolisian terhadap warga Desa Wadas, Kecamatan Benerm, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah dikecam oleh Majelis Hukum dan HAM (MHH) serta Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Hal itu dikarenakan pengepungan dan penangkapan warga yang dilakukan oleh aparat kepolisian pada warga desa tersebut.

Keenam, Desa Wadas bukan wilayah proyek strategis nasional Bendungan Bener. Satu fakta yang dikutip oleh voi.id dari hasil temuan Komisi III DPR RI.[4] Berdasarkan hasil temuan itu, menegaskan Desa Wadas tidak termasuk dalam wilayah proyek strategis nasional, sehingga penolakan dari masyarakat terkait penambangan dimungkinkan bisa dilakukan.

Dari aspek politik, para politisi tidak bisa menyuarakan apa ada pencitraan dan penjatuhan nama tokoh dibalik peristiwa konflik Wadas itu jika tidak didukung fakta yang jelas dan pasti. Dari sisi hukum, institusi hukum tidak bisa memutuskan siapa yang benar, berapa banyak pelanggaran hukum dalam kasus Wadas jika tidak ada bukti-bukti kuat diantara fakta yang telah ditemukan. Termasuk seberapa jauh pelanggaran HAM dalam kasus bisa dibuktikan berdasarkan fakta-fakta yang jelas dipertanggungjawabkan secara hukum.

Aspek sosial, penyelenggara negara, sosiolog dan pemerhati sosial tidak mampu menarik kesimpulan apa-apa tentang berapa banyak rumah tangga petani yang kehilangan lahan akibat kasus Wadas. Sejauh mana tingkat keterbelahan sosial antar warga desa akibat konflik tersebut. Berapa banyak anak usia sekolah yang terdampak konflik Wadas dan sebagainya. Semuanya memerlukan fakta menjadi data di lapangan.

Aspek ekonomi, penyelenggara negara, ekonom, dan pengamat ekonomi tidak serta merta memastikan berapa besar dampak pada daya beli masyarakat akibat konflik. Berapa besar pengaruh konflik Wadas terhadap ketimpangan distribusi pendapatan. Berapa jumlah UKM yang terdampak konflik dan sejauh mana ‘isu kepentingan bisnis’ di balik kasus Wadas akan terkuak jika didukung oleh fakta-fakta dengan data yang ditemukan dan dianalisis secara obyektif.

Dari aspek lain juga penting diamati secara seksama. Sebagaimana pengaruh psikologis terhadap warga desa, seperti gejala-gejala traumatis, egois, alienasi atau ketercampakan mental dan alienasi sosial akibat kasus atau konflik. Saya kira perlu juga melihat berapa banyak warga yang menjunjung budaya gotong royong di tengah konflik dan jika telah terkikis atau bergeser di jenis budaya mana yang lagi diganrungi tetap perlu didukung oleh fakta-fakta menjadi data yang tersedia, terutama fakta atau data dari tim pencari fakta.

Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat fakta akan menjadi data terpilah dibalik kasus Wada. Misalnya, “data suplai air untuk lahan sawah beririgasi seluas 13.589 Ha sebagai daerah irigasi eksisting dan daerah irigasi baru seluas 1.110 Ha.” Ada lagi fakta akan menjadi data, seperti rencana lokasi pembangunan bendungan Bener akan menyediakan air baku untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan kapasitas sekitar 1.500 liter/detik, yang  bertujuan utama, yaitu untuk mengurangi potensi banjir.[5]

Calon lokasi dan sumber mata pencaharian masyarakat desa bukan hanya mencerminkan fakta ekonomi atas kasus Wadas, tetapi juga keterlibatan fakta-fakta politik, hukum, sosial hingga psikologi dan budaya setempat.

Apa itu Kebenaran?

Kasus Wadas diperhadapkan dengan kebenaran. Pengungkapan kebenaran itu perlu, karena tuntutan zaman dan secara terbuka ingin diketahui oleh publik. “Kebenaran adalah validitas fakta yang dikumpulkan.” Begitu definisi kebenaran menurut id.strephonsays.com.[6] Mengapa kebenaran perlu diungkapkan karena tuntutan zaman? Bukan rahasia lagi, kita hidup di zaman medsos dan internet. Setiap orang akan mengetahui peristiwa yang terjadi di luar sana berkat fakta-fakta kasus, yang disebarkan melalui medsos dan internet.

Menolak atau menerima kebenaran tidak menjadi soal, ketika kasus Wadas diperhadapkan pada fakta dan kebenaran. Ciri-ciri yang melekat pada kebenaran, diantaranya ketidakhadiran kesimpulan atau asumsi logis membuat kita terjebak dalam pembalikan fakta dan permainan kebenaran, yang ada kemungkinan bisa sama-sama dimainkan oleh pihak yang pro dan kontra atas kasus tersebut.

Seiring pula dengan fakta yang divalidasi, bahwa kebenaran yang diinginkan publik adalah kebenaran tanpa hoaks dan tanpa topeng. Masing-masing pihak mengakui dirinya benar, berada dalam kebenaran dengan kepiawaian berargumentasi tentang kasus atau peristiwa. Telah lebih dekat dengan pengetahuan mengenai kasus atau peristiwa bersifat umum, tatkala kebenaran akan pincang jika tidak didukung oleh fakta yang telah divalidasi.

Terhadap kasus dan peristiwa baru atau yang berulang-ulang, bukan lagi kebenaran untuk kebenaran, fakta untuk fakta, melainkan interaksi antara kebenaran dan fakta dibalik penolakan warga Desa Wadas terhadap penambangan andesit.

Kebenaran bisa jadi muncul dan lenyap. Tetapi, membiarkan sebuah permainan kebohongan darimana saja datangnya, sekalipun mengatasnamakan kebenaran yang ditopang oleh materi tidak lebih sebagai kekuatan yang menghilang dalam kekosongan diantara keduanya. Dari hal-hal yang bersifat subyektif dan obyektif akan menjadi beban ganda bagi kebenaran. Pandangan subyektif dan obyektif sekarang agak sulit dibedakan dalam sebuah upaya pencarian kebenaran. Sedangkan sebuah fakta memungkinkan dirinya untuk mengungkapkan bahwa kebenaran ilmiah yang bersifat obyektif pun bisa dibantah oleh kebenaran lain yang muncul sesudahnya. Apakah itu kebenaran ilmiah atau bukan tidak menjadi soal. Bukankah juga fakta yang telah divalidasi akan menghasilkan teori ilmiah?

Pihak aparat beralasan mengenai konflik Wadas dengan mengatakan ada warga melakukan provokasi dengan melempar batu dan membawa senjata tajam. Sementara, pihak kuasa hukum warga Desa Wadas sejalan dengan pihak yang pro menyatakan argumentasi untuk membantah bahwa tidak benar ada provokasi dari warga.

Seorang pengamat politik menyatakan seputar posisi antara pihak yang pro dan kontra atas kasus Wadas. “Kalau hanya saling klaim sepihak, nggak bisa, kalau nggak ada masalah nggak ada keributan karena itu untuk membuktikan itu yang buat independen pencari fakta mestinya seperti itu.”[7] Setiap pernyataan dengan argumentasi yang dimiliki oleh pihak yang pro dan kontra tersebut merupakan bagian dari permasalahan kebenaran yang melanda kasus Wadas, yang semestinya kebenaran berdasarkan fakta yang telah divalidasi. Jika perlu, fakta yang diverifikasi dilakukan secara berulang-ulang untuk menghasilkan kinerja yang optimal. Akhirnya, kebenaran yang tidak menuntut fakta dan tergila-gila pada pembuktian ilmiah adalah keadilan.


[1] Misalnya, penangkapan warga Wadas yang menolak penambangan andesit sedang mengarah pada fakta. “Kami punya bukti videonya,” kata Insin Sutrisno, warga Desa Wadas. Diakses dari https://www.kompas.com/cekfakta/read/2022/02/10/101100682/cek-fakta–menilik-klaim-mayoritas-warga-desa-wadas-setuju-pembebasan?page=all, tanggal 11 Februari 2022, pukul 18.35 WITA.

[2] Menurut kuasa hukum warga Desa Wadas, Julian Duwi Prasetia dari LBH Yogyakarta, yang menyebut data warga yang menolak pembebasan lahan sekitar 80 persen.. Diakses dari https://www.kompas.com/cekfakta/read/2022/02/10/101100682/cek-fakta–menilik-klaim-mayoritas-warga-desa-wadas-setuju-pembebasan?page=all, tanggal 11 Februari 2022, pukul 18.35 WITA.

[3] Lima fakta yang dikutip oleh viva.co.id ketika terjadi peristiwa pengepungan warga Desa Wadas. Diakses dari https://www.viva.co.id/berita/nasional/1447794-5-fakta-desa-wadas-purwerejo-yang-dikepung-ribuan-aparat-polisi?page=1&utm_medium=page-1, tanggal 11 Februari 2022, pukul 21.13 WITA.

[4] Satu fakta yang dikutip oleh voi.id dari hasil temuan Komisi III DPR RI. Diakses dari https://voi.id/berita/133819/datangi-langsung-lokasi-komisi-iii-dpr-temukan-fakta-desa-wadas-bukan-wilayah-proyek-bendungan-bener, tanggal 11 Februari 2022, pukul 20.21 WITA.

[5] Rencana lokasi pembangunan bendungan Bener akan menyediakan air baku untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan kapasitas sekitar 1.500 liter/detik. Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2022/02/11/14391521/tim-pencari-fakta-konflik-wadas-dari-wakil-rakyat-purworejo-dan-seruan-agar?page=all,  tanggal 11 Februari 2022, pukul 21.23 WITA.

[6] “Kebenaran adalah validitas fakta yang dikumpulkan.” Begitu definisi kebenaran menurut id.strephonsays.com. Diakses dari https://id.strephonsays.com/facts-and-truths-7574, tanggal 11 Februari 2022, pukul 22.06 WITA.

[7] Seorang pengamat politik menyatakan seputar posisi antara pihak yang pro dan kontra atas kasus Wadas. “Kalau hanya saling klaim sepihak, nggak bisa, kalau nggak ada masalah nggak ada keributan karena itu untuk membuktikan itu yang buat independen pencari fakta mestinya seperti itu.” Diakses dari https://www.suara.com/news/2022/02/11/123023/demi-cari-keadilan-dan-cegah-kebohongan-harus-ada-tim-independen-pencari-fakta-usut-kasus-wadas,  tanggal 11 Februari 2022, pukul 19.20 WITA.

ASN/PNS Bappeda Kabupaten Jeneponto/ Aktivis Masyarakat Pengetahuan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like