Bom Bunuh Diri: DNA Qabil dan Teologi Maut9 min read

Berbagai peristiwa bom bunuh diri yang pernah terjadi, termasuk beberapa hari yang lalu, tepatnya pada hari Ahad, 28 Maret 2021 di depan Gereja Katedral Makassar. Setiap peristiwa bom bunuh diri, mengundang beragam spekulasi dan argumentasi tentang motif yang melatari. Bahkan tuduhan dan kecaman tidak luput untuk diarahkan ke golongan ataupun agama tertentu.

Hal ini memantik kesadaran dan intelektualitas saya untuk menuangkan sepercik perspektif. Secara fungsional, saya bertujuan, guna memberikan satu bentuk pemahaman, bahwa peristiwa bom bunuh diri tidak boleh serta merta dijustifikasi sebagai refleksi apalagi dipandang sebagai bagian daripada ajaran fundamental (mendasar dan kokoh) dari suatu agama tertentu. Term “fundamental” disini bukan dalam makna fundamentalisme agama yang cenderung dimaknai negatif atau yang relevan dengan konservatisme.

Selain daripada itu, saya tertarik mengintegrasikan kasus tersebut dengan “DNA Qabil” dan “Teologi Maut”. Tujuan kedua ini untuk menegaskan agar tujuan pertama di atas tidak terjadi karena sesungguhnya, setiap agama secara esensial tidak mengajarkan hal-hal yang bersifat “kekerasan”. Selain itu, menjelaskan sesuatu yang menjadi determinisme sejarah dan built-in dalam diri manusia, juga adanya kesalahpahaman dalam memaknai kehidupan dan menafsirkan ajaran agama.

Sejarah Awal Manusia penuh “Kontradiktif”

Jika membaca dan mamahami Al-Qur’an—karena saya selaku penulis, beragama Islam—dan dipertajam secara filosofis oleh Ali Syariati (2012: 141-161) kisah Adam diawali oleh sebuah “peperangan” subjektif, peperangan batiniah yang terjadi dalam esensinya sendiri. Sedangkan peperangan kedua putranya (Qabil dan Habil) adalah peperangan objektif terjadi pada kehidupan luar. Qabil dengan berbagai motif negatif (salah satunya, perebutan perempuan yang bakal dinikahinya) yang mendasari—sehingga jiwa kemanusiaan dan kesadaran religiusnya hilang—untuk membunuh saudaranya sendiri, Habil.

Dari sejarah panjang ini, yang dalam pembacaan saya bahwa Ali Syariati menegaskan, sejarah awal manusia ditandai dengan sesuatu yang “kontradiktif”—menurut saya termasuk “pembangkangan” dan “pembunuhan”. Begitupun yang saya pahami darinya (baca, Ali Syariati): Pertama, berdasarkan aliran pemikiran Islam, filsafat sejarah didasarkan atas jenis tertentu dari determinisme historis; Kedua, sejarah memrepresentasikan aliran peristiwa yang tidak putus, termasuk hal-hal yang kontradiktif (tanpa kecuali kisah pembunuhan Habil oleh Qabil); dan ketiga, sebagaimana dijelaskan oleh pertama dan kedua, sesungguhnya seiring pencapaian kesadaran, semuanya bergerak menuju kesempurnaan.

DNA Qabil dan Sistem Sosial sebagai Pemicu.

Apa yang dipahami oleh Ali-Syariati dari sejarah panjang manusia yang penuh kontradiktif dialektis, terutama yang direpresentasikan oleh kutub Qabil dan Habil—saya menemukan garis relevansi dengan peristiwa bom bunuh diri—yakni DNA Qabil. Bahwa kekerasan, pembunuhan yang terjadi adalah representasi dari kutub Qabil, sejarah yang berulang. Dalam diri pelaku bom bunuh diri sedang teraktivasi DNA Qabil. DNA yang sedang teraktivasi dalam diri Qabil pada saat membunuh saudaranya sendiri (baca: Habil) adalah sama yang sedang teraktivasi dalam diri pelaku bom bunuh diri.

Term “DNA” yang disematkan pada term/nama Qabil dalam konteks tulisan ini bisa saja memiliki makna konotatif. Namun dalam makna denotatif pun term “DNA” tetap saja bisa menjadi tilikan filosofis untuk memahami sesuatu yang menjadi pemantik seseorang melakukan “kekerasan” ataupun “pembunuhan”.

Jika kita memahami ilmu DNA, maka ditemukan sebuah pemahaman bahwa sesungguhnya mulai dari Habil dan Qabil sampai keturunan Adam hari ini, begitupun keturunan yang akan datang, memiliki DNA yang sama. Kita semua berasal dari satu sel (hasil hubungan cinta Adam dan Hawa). Pertanyaannya kemudian, mengapa antara Habil (yang memrepresentasikan kutub kebaikan) dan Qabil (Kutub Kejahatan) bisa berbeda? Begitupun hari ini, kita menemukan jenis manusia yang menggambarkan hal kontradiktif sebagaimana preseden histrorisnya kita temukan dalam diri Habil dan Qabil. Kita menyaksikan jenis manusia seperti pelaku bom bunuh diri, dan pada dimensi kehidupan lain, bertemu dengan manusia yang penuh dengan kasih sayang.

Sebelum lebih jauh membahas tentang DNA Qabil, terlebih dahulu, ditegaskan bahwa yang saya maksud, bukanlah dalam perspektif garis relasi silsilah (keturunan) secara runut antara pelaku bom bunuh diri dan Qabil sebagai nenek moyangnya sesudah Adam. Kita semua, manusia yang hidup hari ini sesungguhnya juga merupakan anak cucu Qabil (setelah Adam). Habil sudah meninggal sebelum menikah sehingga bisa dipahami tidak memiliki keturunan dan anak cucu hingga hari ini.

Ali Syariati, berdasarkan analisa mendalamnya terkait perbedaan sikap dan perilaku antara Habil dan Qabil, menjadi dasar keyakinannya bahwa motif perbuatan “kekerasan”, “pembuhanan” Qabil bukanlah persoalan “seksualitas” sebagaimana yang menjadi tesis freud—tetapi pengaruh dari sebuah “sistem sosial”.

Berbeda dari Ali Syariati, Freud maupun para Freudian, saya mencoba melihat dari perspektif DNA. Untuk perspektif DNA ini, saya meminjam teori Kazuo Murakami, Ph.D.—seorang Ahli Genetika terkemuka dunia—dalam buku karyanya The Miracle of The DNA: Menemukan Tuhan dalam Gen Kita (2012). Sistem sosial dan berbagai determinasinya, bagi saya tetap menjadi bagian urgen hanya saja sebagai pemantik mekanisme on/off yang terjadi dalam DNA.

Deoxiriboucleic acid (DNA) adalah zat yang kita sebut sebagai gen. “DNA terdiri dari dua untai berbentuk spiral, yang menjadi permukaan tempat terdapatnya molekul-molekul yang namanya dapat disingkat menjadi empat huruf: A (Adenin), T (Timin), C (Sitosin), dan G (Guanin). ini adalah kode genetik”. DNA ini sesungguhnya bukan hanya kode genetik yang mengandung semua informasi yang dibutuhkan untuk membentuk kehidupan dalam makna material-biologis. Namun sesungguhnya DNA ini juga mengandung informasi yang menjadi blue print (cetak biru) untuk menjalani kehidupan manusia dalam makna sosio-psikologis.

Dari pemahaman DNA yang mengandung blue print kehidupan, maka saya meyakini bahwa sikap dan perilaku positif/negatif, kekerasan-kasih sayang, adalah implikasi nyata dari mekanisme on/off DNA. Dalam DNA ada mekanisme on/off. Jadi on atau off-nya suatu potensi (informasi) baik positif dan negatif—yang menentukan sikap dan perilaku manusia—dipicu oleh sesuatu. Sesuatu itu sebagaimana dijelaskan oleh Murakami, bisa berupa lingkungan, sikap diri dan orang lain. Dan saya tambahkan, yang bisa mempengaruhi mekanisme on/off DNA itu termasuk ajaran/pandangan keagamaan, kondisi sosio-politik dan perkembangan ilmu pengetahuan yang ada. Atau dalam perspektif Ali Syariati di atas, bisa disimpulkan dalam satu kata, “sistem sosial”.

DNA yang mengandung 4 huruf Alfabet basa bisa (di/ter)rangkai menjadi huruf-huruf kimiawi untuk menyusun informasi-informasi yang setara dengan ribuan bahkan jutaan buku. Jadi dalam diri kita ini bagaikan big data yang beroperasi dalam algoritma diri untuk selanjutnya mempengaruhi sikap dan perilaku kita. Inilah penyebab utama perbedaan antara Qabil dan Habil, termasuk perbedaan yang terjadi dalam diri manusia hari ini.

Dari DNA dan mekanisme on/off-nya bisa dipahami bahwa perilaku “kekerasan” ataupun “pembunuhan” sadis yang dilakukan oleh para pelaku bom bunuh diri, karena DNA negatifnya sedang di-on-kan dan DNA positifnya sedang di-off-kan. Yang dalam konteks tulisan ini, saya bisa istilahkan “DNA Qabil”-nya sedang di-on-kan dan “DNA Habil”-nya sedang di-off-kan.

Multi-faktor aktivasi DNA

Perbuatan bom bunuh diri, tidak bisa dijustifikasi sebagai refleksi dan ajaran esensial dari ajaran agama tertentu. Karena perbuatan tersebut adalah dipicu oleh “DNA Qabil” yang teraktivasi oleh banyak faktor. Bisa saja faktor tersebut adalah “alasan agama”, saya tidak menyebutnya “ajaran agama”. Namun selain daripada itu bisa dipicu oleh pandangan dunia tertentu yang tidak berbasis agama (seperti sistem sosial berupa kapitalisme atau komunisme). Bisa juga oleh lingkungan berupa kondisi sosial-politik yang menjadi ruang ontologis para pelaku bom bunuh diri.

Meskipun demikian, saya pribadi menyadari bahwa faktor agama seringkali dan bahkan mempunyai pengaruh yang kuat untuk mengaktivasi “DNA Qabil”, sehingga lahir perbuatan negatif, kekerasan dan pembunuhan. Hal ini saya simpulkan setelah membaca pandangan Sarlito Wirawan Sarwono dalam tulisannya “Sebab-Sebab Psikologis Kemunculan Terorisme: Sebuah Pengantar Teoritis” dalam buku Reformulasi Ajaran Islam: Jihad, Khilafah dan Terorisme (2017: 147-170).

Secara singkat dan sederhana, dari tulisan Sarlito tersebut, bahwa ada faktor psikologis yang menjadi motif para pelaku bom bunuh diri. Kesimpulannya dikutip dari penelitian Mapparesa. Mapparessa melakukan penilitian ini berdasarkan hasil wawancara bagi yang masih hidup dan bagi yang sudah tewas dipelajari motivasinya melalui data-data sekunder, seperti catatan harian dan pesan-pesan terakhir sebelum melakukan bom bunuh diri.

Dari data yang ditemukan oleh Mapparessa dalam Sarlito, bahwa ada beragam faktor psikologis dan kondisi sosio-psikologis yang melatari sehingga mereka melakukan bom bunuh diri. Namun dari beraneka ragam latar psikologis yang ada, ada satu variabel, atau kesamaan latar psikologis, semua pelaku yang diteliti mengalami apa yang oleh Mapparessa dinamakan “kehilangan kebermaknaan diri”.

Para pelaku bom bunuh diri, pada dasarnya mengalami perasaan “kehilangan kebermaknaan diri” dalam hidupnya, terkesan hidupnya tidak ada artinya, apa yang dilakukannya tidak memiliki nilai atau makna. Ini relevan dan sedikit melampaui dari apa yang dikatakan oleh Syahril Syam (seorang motivator, pakar pengembangan diri) “bahwa keyakinan orang pesimis adalah sudah tidak ada lagi jalan keluar. Ujung dari pesimis adalah depresi. Dan ujung dari depresi adalah bunuh diri”.

Dari perasaan, sebagai determinan psikologis akan “kehilangan kebermaknaan diri” inilah yang bisa menjadi pintu masuk terbaik untuk menjadikan “agama” atau “ajaran agama” sebagai alasan atau dorongan kuat untuk melakukan tindakan “bom bunuh diri”. Kehadiran—aktor tertentu—dalam kehidupan pelaku bom bunuh diri yang mengajarkan pemaknaan agama yang bisa disebut “menyesatkan” memiliki implikasi besar.

Teologi Maut Bisa Mengaktivasi DNA Qabil.

Agama yang pada dasarnya menuntun manusia—khususnya pemeluknya—menemukan makna yang tidak terbatas, memiliki daya tarik tersendiri bagi orang-orang yang merasa “kehilangan kebermaknaan diri”. Hanya saja para aktor brainwash, menggiring mereka pada arah yang salah: Surga yang diawali dengan kematian diri dan orang lain secara tidak manusiawi dan jauh dari kematian yang diridhoi Allah; penantian bidadari surga bagi mereka yang siap melakukan—apa yang oleh Buya Ahmad Syafii Maarif—sebagai “teologi maut”.

Padahal bagi Buya Syafii, ‘teologi maut” adalah “mereka berani mati karena tidak memiliki keberanian untuk hidup. Mereka (kelompok) ini tidak memiliki visi dan cita tentang kehidupan yang damai di bumi. Mereka lebih memendam angan dan igauan tentang kehidupan bersama bidadari di alam setelah kematian nanti” (2017: 19).

“Kehilangan kebermaknaan diri” untuk kemudian mudah dimasuki oleh aktor yang melakukan brainwash terutama jika menggunakan “alasan agama” relevan dengan yang dikutip oleh Haidar Bagir dari Noor Huda Ismail (2017: 41), gagasan tentang lethal cocktail (campuran mematikan). Lethal cocktail terkait 3 faktor yang mendorong orang terlibat kekerasan atau terorisme: individu yang termarjinalkan, kelompok yang memfasilitasi dan ideologi yang membenarkan.

Dari 3 faktor di atas, “individu yang termarjinalkan” jika ditarik garis relevansi dari hasil penelitian Mapparessa, adalah orang-orang yang merasa kehilangan makna diri. Dan untuk “ideologi yang membenarkan” bisa karena—sebagaimana kesimpulan Ali Syariati di atas—sistem sosial. Ideologi atau pun sistem sosial ini, bisa dipandang dalam bentuk agama, maupun dalam bentuk lainnya.

Namun diakhir tulisan ini, saya menegaskan, secara esensial—meskipun punya potensi dan pengaruh kuat—agama tidak mengajarkan tentang kekerasan. Kehadiran agama sesungguhnya untuk mengaktivasi, meng-on-kan DNA Habil dan meng-off-kan DNA Qabil. Termasuk dalam diri Qabil dan pelaku bom bunuh diri—secara fitrah—memiliki potensi kebaikan untuk berbuat kebaikan dalam hidup ini. Hanya saja belum menemukan dan dipertemukan dengan ajaran esensial agama yang sesungguhnya. Belum diarahkan dan diberikan pemahaman tentang sistem sosial yang tepat yang bisa mengaktivasi DNA positifnya.

Agama Meng-on-kan DNA Habil dan Meng-off-kan DNA Qabil

Disinilah urgensi kehadiran agama dan pemuka agama untuk terus mendakwahkan tentang agama cinta, spiritualitas ihsan untuk menyelamatkan orang-orang yang “kehilangan kebermaknaan diri”. Selain daripada itu, jika merujuk pada satu dimensi ajaran agama, maka penting untuk memberikan pemahaman teologi (ilmu kalam). Teologi sangat mempengaruhi cara pandang manusia, sehingga memiliki implikasi yang besar terhadap dinamis atau fatalis dalam menjalani kehidupannya.

Meskipun tulisan ini, bisa diulas lebih dalam tentang berbagai perspektif yang bisa diintegrasikan di dalamnya, namun kesadaran akan keterbatasan ruang media online, begitu pun dari awal saya hanya meniatkan untuk memberikan sepercik perspektif, maka tulisan ini tentunya belum memuaskan para pembaca. Insya Allah mungkin selanjutnya akan ada tulisan dari saya yang memiliki relevansi dengan tulisan ini.

Eks Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng yang sekarang menjabat sebagai Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018 - 2023

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like