Islam Kebudayaan dalam Perspektif KH Abdurrahman Wahid (Bagian 2)9 min read

Dalam perkembangan selanjutnya, keselarasan Islam dan Pancasila terjadi di dalam pemikiran keislaman yang belakangan hari telah mencetuskan istilah “Islam Indonesia”. Gagasan “Islam Indonesia” sendiri dilontarkan salah satunya36 oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sejak tahun 1987. Gagasan ini ia lontarkan untuk mengimbangi kecenderungan Arabisasi di sebagian gerakan Islam. Istilah “Islam Indonesia” ia pilih berkaitan dengan gagasan pribumisasi Islam yang merupakan realitas historis “Islam Nusantara”. Oleh karena itu, apa yang kemudian disebut “Islam Indonesia” adalah bentuk kultural Islam di Indonesia, sebagai hasil dari proses kesejarahan pembentukan kultur Islam di Nusantara.[1]

Selain Gus Dur, Nurcholish Madjid (Cak Nur) juga merupakan pionir gagasan Islam Indonesia. Gagasan Cak Nur berporos pada keselarasan antara Islam, rasionalisme, modernisasi dan sekularisasi (Lihat dalam e-book Setelah Pluralisme, Apa Lagi?). Oleh karenanya, Indonesia yang dipahami Cak Nur adalah nilai-nilai modern yang memusat di dalam rasionalitas ilmu pengetahuan dan sekularisasi politik. Maka jika Islam mampu mengembangkan dua hal tersebut, secara substantif ia telah terlibat di dalam pembangunan Indonesia modern.[2]

Selanjutnya, Gus Dur lebih sering menggunakan kalimat Islam di Indonesia untuk menggambarkan persoalan kontemporer Islam di Indonesia, sebagaimana termaktub dalam makalah, Islam in Indonesia: Challenges and Future Prospects. Dalam makalah ini, Gus Dur mengelaborasi tantangan dan masa depan Islam di Indonesia di tahun 1985. Tantangan yang dimaksud adalah hubungan Islam dan Pancasila, serta prospek ke depan Islam dalam menggerakkan demokratisasi.

Oleh karena konteks lontaran “Islam Indonesia” di tahun 1987 itu dalam kerangka pribumisasi Islam, maka dibutuhkan perumusan “Islam Indonesia” dalam konteks keindonesiaan. Hal ini terkait dengan gagasan “Islam Indonesia” itu sendiri yang tidak hanya berbicara tentang masa lalu (“Islam Nusantara”) melainkan pula konteks keindonesiaan di era Gus Dur muda, tepatnya di dekade 1980-an. Karena Gus Dur tidak merumuskan definisi, struktur nilai dan kerangka pemikiran dari “Islam Indonesia” dalam konteks keindonesiaan, maka buku ini akan menuntaskan rumusan tersebut.

Hanya saja untuk mengetahui basis kultural dari “Islam Indonesia”, perlu pula dipahami konstruksi “Islam Nusantara” yang menjadi bantalan budaya dari corak Islam kebudayaan. Hal ini amat penting sebab “Islam Indonesia” tidak akan terbentuk tanpa pribumisasi Islam ke dalam bumi Nusantara. Bangunan Islam kebangsaan kita memang berpijak pada kultur Islam yang bersifat kultural yang disebut sebagai Islam Nusantara. Islam Nusantara, yakni keberislaman yang berada dalam konteks (budaya) Nusantara, merupakan salah satu khasanah khas Islam di Indonesia. Istilah ini merujuk pada karakter kultural dari pola keislaman muslim Nusantara, hasil akulturasi antara Islam dan budaya lokal. Salah satu pemikir yang dengan bernas mengabarkan hal ini tentulah Gus Dur dengan ide utamanya: pribumisasi Islam.

Pada tulisan ini (bagian pertama; Islam, Pancasila dan Keindonesian dalam Perspektif KH Abdurrahman Wahid (Bagian 1)) akan menggambarkan warisan pemikiran Gus Dur ini, yang di satu sisi mungkin telah dikenal banyak orang, namun pada saat bersamaan, belum banyak diketahui signifikansinya. Banyak dikenal orang, karena pribumisasi Islam memang menjadi trade mark dari Gus Dur. Namun bagaimana gagasan ini menjelaskan sejarah, mekanisme dan karakter Islam Nusantara; hal ini belum banyak dipahami.

Untuk itu, kita perlu memahami terlebih dahulu gagasan pribumisasi Islam. Pada titik ini perlu dicatat bahwa Gus Dur, dalam konteks Islam Nusantara, memang hanya berbicara tentang pribumisasi Islam yang merupakan proses dan mekanisme bagi terbentuknya kultur Islam Nusantara. Dengan demikian, dalam diskursus Islam Nusantara, Gus Dur hanya mewariskan metodologi bagi Islam Nusantara, dan tidak tentang Islam Nusantara itu Sendiri. Namun demikian, pandangan tentang Islam Nusantara bisa didapatkan pada pandangan Gus Dur tentang sejarah kedatangan Islam di Nusantara, proses akulturasi antara Islam dan budaya Nusantara, hingga corak kultural dari keislaman pesantren, yang menurutnya menjadi produk akumulatif dari islamisasi di Nusantara.

Dalam kaitan ini, karena wilayah Islam Nusantara berada pada wilayah Islam dan budaya Nusantara, maka pribumisasi Islam menjadi metodologi bagi pembumian Islam ke dalam budaya tersebut. Hal ini terjadi karena pribumisasi Islam merupakan proses peleraian ketegangan antara Islam dan budaya. Islam merupakan agama hukum yang memuat “jaringan aturan”, sedangkan budaya merupakan kreasi manusia yang memuat “proses perubahan”. Antara aturan yang menuntut ketetapan, dengan kreasi yang meniscayakan perubahan; sering melahirkan kontradiksi dan akhirnya ketegangan antara agama dan kebudayaan.

Hanya saja Gus Dur mengajak kita untuk tidak khawatir dengan ketegangan ini, sebab hubungan agama dan budaya berada dalam hubungan otonom namun saling membutuhkan. Ini seperti hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan (sains). Filsafat bukan ilmu pengetahuan, namun filsafat membutuhkan ilmu sebagai media korektif untuk menvalidasi idealitas normatif kepada realitas empirik. Capaian ideal yang hendak diraih filsafat harus dikontekskan pada realitas empirik yang telah dirumuskan oleh sains. Demikian sebaliknya. Sains sebagai disiplin keilmuan pasti, membutuhkan filsafat untuk merefleksikan dasar bangunan ontologis, epistemologis dan etis, agar sains tidak membatu dalam kekerasan epistemik yang tanpa kritik.

Hubungan ini terjadi pula pada agama dan budaya. Sebagai nilai ketuhanan, agama tentu bukan kreasi manusia. Oleh karenanya, ia transenden dari budaya. Namun meskipun melampaui budaya; agama membutuhkan budaya sebagai media sosialisasi nilai. Sehingga bagi Gus Dur, meskipun agama bukan budaya, namun tidak menutup kemungkinan terjadinya manifestasi kehidupan agama dalam bentuk budaya. Artinya, yang menjadi budaya adalah perwujudan kehidupan beragama. Bukan prinsip-prinsip utama agama yang berubah menjadi budaya. Dari sini terlihat bahwa prinsip utama Islam tetap dijaga di dalam perubahan bentuk kehidupan di masyarakat, dari bentuk budaya Arab menjadi bentuk budaya Nusantara.

Oleh karena itu, pribumisasi Islam memuat beberapa pemahaman. Pertama, pribumisasi Islam adalah bagian dari sejarah Islam, baik di negeri Arab maupun di negeri lain, termasuk Indonesia. Kedua sejarah itu membentuk sungai besar yang terus mengalir dan kemudian dimasuki lagi oleh kali cadangan sehingga sungai itu semakin membesar. Bergabungnya kali baru, berarti masuknya air baru yang mengubah warna air yang telah ada. Bahkan pada tahap berikutnya, aliran sungai ini terkena ‘limbah industri’ yang sangat kotor. Maksud dari perumpamaan itu adalah bahwa proses pergulatan dengan kenyataan sejarah tidaklah mengubah Islam, melainkan hanya mengubah manifestasi dari kehidupan agama Islam.

Kedua, pribumisasi Islam bukanlah Jawanisasi atau sinkretisme, sebab ia hanya proses mempertimbangkan kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri. Ketiga, pribumisasi Islam bukan upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fiqh dan qaidah fiqh. Keempat, pribumisasi Islam merupakan pengembangan pemahaman nash agar berjalan lebih sistematik dengan cakupan yang lebih luas dan argumentasi yang lebih matang. Jika hal ini terjadi, maka Islam telah dipribumisasikan, yakni pemahaman terhadap nash dikaitkan dengan masalah-masalah di negeri kita.”[3]

Di samping pemahaman yang bersifat positif yang menguraikan “apa itu” pribumisasi Islam, Gus Dur juga menyediakan “batasan negatif” tentang “apa yang tidak boleh terjadi” dalam pribumisasi Islam. Meliputi, pertama, tidak boleh terjadi pembauran Islam dengan budaya, sebab berbaur berarti hilangnya sifat-sifat asli. Islam narus tetap pada sifat Islamnya. Al-Qur’an harus tetap dalam bahasa Arab, terutama dalam shalat, sebab hal ini telah menjadi norma. Kedua, penyesuaian ajaran Islam dengan kenyataan hidup hanya diperkenankan sepanjang menyangkut sisi budaya. Dalam soal wali nikah misalnya, ayah angkat tetap bukan wali nikah untuk anak angkatnya. Ketentuan ini adalah norma agama, bukan kebiasaan.

Ketiga, karena adanya prinsip-prinsip yang keras dalam hukum Islam, maka adat tidak bisa mengubah nash melainkan hanya mengubah atau mengembangkan aplikasinya saja dan memang aplikasi tersebut akan berubah dengan sendirinya. Misalnya, Nabi tidak pernah menetapkan beras sebagai benda zakat, melainkan gandum. Lalu ulama yang mendefinisikan gandum sebagai qutul balad, makanan pokok. Dan karena definisi itulah, gandum berubah menjadi beras untuk Indonesia.[4]

Dari sini kita bisa memahami bahwa pribumisasi Islam digerakkan Gus Dur dalam duá maksud. Pertama, kontekstualisasi Islam. Di dalam maksud ini, terdapat dua pemahaman, yakni: a). Akomodasi adat oleh figh (al-‘adah muhakkamah). Contoh: akomodasi hukum waris Islam atas adat waris lokal seperti adat perpantangan (Banjarmasin) dan gono-gini (Yogyakarta-Solo). Akomodasi ini dilakukan melalui pemilahan harta warisan menjadi dua bagian. Bagian pertama dibagi menurut tradisi gono-gini, bagian separuhnya dibagi melalui waris Islam. b). Pengembangan aplikasi nash. Contoh: Setelah lahir wacana emansipasi wanita (modern), dibutuhkan perubahan cara-pandang keadilan dari keadilan menurut suami, menjadi keadilan menurut istri dalam kasus poligami. Kasus ini merujuk pada Q.S. 4:3. Dengan adanya perubahan cara pandang atas keadilan, maka istri mendapat keadilan dengan cara tidak dipoligami, tanpa harus mengganti nash al-Qur’an itu sendiri.

Kedua, kulturalisasi Islam. Poin inilah yang melahirkan manifestasi (bentuk) Islam dalam kultur lokal. Contoh, atap Masjid Demak yang menggunakan arsitektur rumah ibadah Kapitayan, yakni atap “Meru”. Dalam kerangka ini, dilakukanlah “islamisasi substansi” dengan tetap menjaga bentuk budaya lokal. Mengapa? Karena atap “Meru” yang dijadikan atap masjid, telah diislamkan melalui pemaknaan tiga sap dalam atap “Meru”; atap paling bawah menggambarkan tahapan iman, kemudian Islam dan akhirnya iman. Orang baru berada di tahapan paling bawah ketika ia hanya mengikrarkan iman secara lisan. Setelah melaksanakan syariah, baru ia menapaki tahap selanjutnya: Islam. Namun tahapan Islam-syariah ini bukan tahap tertinggi, sebab ia merupakan tahap-antara menuju ihsan: penyerahan diri secara total kepada Allah dengan pengamalan agama yang merujuk pada penyebaran rahmat bagi seluruh alam.[5]

Proses pribumisasi Islam dalam kerangka manifestasi Islam dalam bentuk budaya lokal ini telah menjadi mekanisme kultural bagi terbentuknya Islam Nusantara. Dalam perkembangannya, Gus Dur memiliki dua macam pemikiran tentang Islam Nusantara. Pertama, deskriptif. Model pemikiran ini bersifat menggambarkan fakta Islam di Nusantara beserta keragaman karakter kulturalnya. Dalam model ini Gus Dur bersifat bebas-nilai dan hanya ingin mendeskripsikan kemajemukan Islam di Nusantara. Kedua, preskriptif. Dalam model pemikiran ini, Gus Dur sudah memiliki preskripsi tertentu dalam melihat “apa yang terbaik” dari Islam Nusantara. Preskripsi ini lahir dari pribumisasi Islam sebagai paradigma keislamannya.

Oleh karena itu, Gus Dur telah menempatkan pribumisasi Islam yang merupakan mekanisme akulturasi Islam dan budaya Nusantara, sebagai paradigma keislaman yang menentukan idealitas keislaman di Nusantara dan di Indonesia. Oleh karenanya, paradigma pribumisasi Islam kemudian melahirkan corak ideal Islam Nusantara yang unik, karena memiliki sistem nilai dan pola budaya sendiri. Pada titik ini Gus Dur sudah tidak bebas-nilai lagi karena ia membasiskan diri pada paradigma “Islam pribumi”.

Model preskripsi ini diawali dengan penjajagan Gus Dur atas kesejarahan Islam di Nusantara yang telah menentukan corak keislaman Nusantara. Artinya, jenis Islam dan sumber Islam yang hadir di masa awal islamisasi menentukan corak khas Islam Nusantara. Menurut Gus Dur:

“Hingga saat ini, dunia pengetahuan di negeri ini masih menerima pendapat bahwa Islam dibawa kemari oleh para pedagang Arab. Akan tetapi, S.Q. Fatimi dalam karyanya yang bertitel, Islam Comes to Malaysia (Singapura, 1963), secara halus menolak anggapan itu, dan membuktikan masuknya Islam ke kawasan ini adalah karena usaha para da’i (misionaris) mistik Islam dari wilayah Bengal. Pendapat Fatimi ini lebih mendekati hakikat penyebaran Islam setelah masuk ke kawasan ini, yaitu dengan berkembangnya watak mistik yang sesuai (indigenous) dengan sikap di kawasan ini semenjak zaman pra-Hindu.



[1] Assalamu’alaikum-Monitor, Editor No. 15/Thn. IV/22 Desember 1990

[2] Lihat Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 2014

[3] Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam, dalam Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, (Depok: Desantara, 2001), h., 119-124

[4] Wahid, Pribumisasi Islam, h., 119-123

[5] Wahid, Pribumisasi Islam, h., 118

Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like