Islam, Pancasila dan Keindonesian dalam Perspektif KH Abdurrahman Wahid (Bagian 1)7 min read

Hubungan antara Islam dan Pancasila mencerminkan hubungan antara Islam dan nilai-nilai keindonesiaan. Hubungan ini bersifat dialektis baik dalam artian pembenturan, maupun penselarasan. Pola pembenturan terjadi justru di masa-masa awal perumusan Pancasila dan sistem kenegaraan, sedangkan pola penselarasan terjadi kemudian, bersamaan dengan munculnya para cendekiawan Muslim. KH Abdurrahman Wahid (1940-2009) merupakan salah satu intelektual yang mengembangkan pola penselarasan.

Hubungan awal Islam dan Pancasila terjadi di masa-masa perumusan dasar negara ini. Sebagai bagian dari pola berpikir, para aktivis Islam pada saat itu telah mengembangkan corak pemikiran politik Islam yang telah berkembang di dunia Islam, jauh sebelum perdebatan agama dan negara terjadi di negeri ini.

Untuk menyajikan secara lebih jelas gagasan-gagasan politik umat Islam dan keterkaitan mereka dengan pembentukan negara Islam di dalam negara Indonesia merdeka, perlu dibahas secara singkat tentang teori-teori yang diajukan oleh para intelektual Muslim. Secara umum, pemikiran politik Muslim modern mengenai hubungan antara agama dan negara dapat diklasifikasikan ke dalam tiga teori utama.

Pemikiran pertama berpendapat bahwa negara dan agama tidak harus dipisahkan, karena Islam sebagal agama yang integral dan komprehensif mengatur, baik kehidupan duniawi maupun kehidupan ukhrawi. Menurut pandangan ini, tidak ada aspek dari aktivitas keseharian umat Islam, termasuk dalam pengelola negara, dapat dipisahkan dari agama. Oleh karena itu, konstitusi negara secara resmi harus didasarkan pada Islam. Teori ini didukung oleh, antara lain, Abui A’la Maududi (1903-1979) dari Pakistan yang memimpin Jamaat-i Islami, Hasan al-Banna (1906-1949), serta Sayyid Outb (1906-1966) dan para ideologi lain Ikhwan al-Muslimin dari Mesir. Baik Jamaat-i Islami maupun Ikhwan al-Muslimin dikenal sebagai gerakan fundamentalis. Saudi Arabia, Iran dan Pakistan dapat dilihat sebagai contoh dari Negara Islam dalam tipe ini. Pembelaan mereka tentang kesatuan negara dan agama dimanifestasikan dalam jargon politik bahwa Islam adalah al-din wa al-daulah (agama dan negara).

Menurut teori yang kedua, negara dan agama harus dipisahkan, dan agama terbatas pada urusan-urusan pribadi. Tidak boleh ada campur tangan agama dalam persoalan politik. Konstitusi negara tidak harus didasarkan pada Islam, namun pada nilai-nilai sekuler. Contoh dari kasus ini adalah negara Turki Modern. Teori ketiga mengusulkan pemisahan resmi antara agama dan negara di mana konstitusi negara secara resmi tidak didasarkan pada Islam, namun negara tetap memberikan perhatian atau mengurusi persoalan-persoalan agama. Dengan kata lain, negara terlibat dalam masalah-masalah agama yang ada di dalam wilayahnya. Ketiga kemungkinan hubungan antara agama dan negara ini, mewakili pilihan- pilihan yang dapat menentukan semua karakteristik struktur sosial dan politik dari negara Muslim dan bagaimana negara harus dijalankan dalam menghadapi tuntutan dan tantangan modernitas.

Khususnya teori pertama yang disebutkan di atas, sangat kuat mewarnai pemikiran politik para pemimpin umat Islam Indonesia tahun 1940-an dan 1950-an. Jadi, baik dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tahun 1945 maupun Majelis Konstituante (1956-1959), faksi Nasionalis-Islam memperjuangkan agar Islam digunakan sebagai daşar negara. Dalam hubungan ini, harus dicatat bahwa tidak ada indikasi bahwa pemikiran politik Nasionalis-Islam Indonesia tahun

1940-an dan 1950-an dipengaruhi oleh gagasan-gagasan sekularis Kemal Attaturk. Juga tidak ada indikasi bahwa pemimpin politik kelompok Nasionalis-Islam Indonesia ketika itu dipengaruhi oleh kecenderungan sekuler dari Ali Abd al-Raziq (1888-1966) yang menetapkan bahwa khalifah, termasuk Khulafa al- Rasyidin, bukan rezim agama namun rezim keduniaan tanpa landasan agama. Abd al-Raziq berpendapat bahwa meskipun mempunyai klaim terhadap kekuasaan, para khalifah tidak mungkin menggantikan Nabi, karena menurutnya, Nabi tidak pernah menjadi seorang raja, dan tidak pernah berupaya membangun pemerintahan atau negara; Dia semata-mata seorang utusan yang dikirim oleh Tuhan, dan tak pernah menjadi pemimpin politik.

Menurut Abd al-Raziq, kekhalifahan tidak mempunyai landasan baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah, karena tidak ada dalil khusus mengenai persoalan ini dalam sumber-sumber tersebut. Lebih dari itu, menurutnya, secara jelas tidak ada rujukan baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah bagi umat Islam untuk membangun sebuah sistem politik, karena sistem semacam itu merupakan sebuah persoalan temporal dan bukan bersifat keagamaan. Dengan argumen ini, pada dasarnya Abd al-Razq ingin menegaskan bahwa Islam tidak menentukan rezim tertentu, dan tidak memaksa umat Muslim untuk megikuti sistem tertentu; tetapi Islam memberi kebebasan penuh untuk mengatur negara sesuai dengan kondisi politik, sosial dan ekonomi di mana kita berada dengan mempertimbangkan kebutuhan zaman.

Dengan mempertimbangkan faktor-faktor di atas, konflik ideologi antara kaum sekular dan Nasionalis Islam dalam sidang-sidang BPUPKI dapat diperkirakan sejak awal. Pada tanggal 31 Mei 1945 Soepomo mengatakan bahwa tujuan umat Islam adalah mendirikan negara berdasarkan Islam, sementara kaum Nasionalis-sekular yang didukung oleh Mohammad Hatta mengusulkan bentuk Indonesia sebagai negara kesatuan nasional yang akan memisahkan negara dari persoalan-persoalan agama. Soepomo mendukung gagasan Hatta untuk mendirikan negara kesatuan nasional di Indonesia, dengan alasan bahwa, menciptakan Negara Islam di Indonesia dapat berarti kita tidak menciptakan negara kesatuan.

Menciptakan Negara Islam di Indonesia dapat berarti membangun negara yang hanya terkait dengan kelompok terbesar, kelompok Islam. Jika Negara Islam diciptakan di Indonesia, maka sudah pasti persoalan minoritas akan muncul, persoalan tentang kelompok-kelompok kecil: agama, kelompok Kristen dan yang lainnya. Meskipun Negara Islam akan menjamin kepentingan kelompok-kelompok lain sebaik mungkin, kelompok-kelompok kecil ini sudah tentu tidak dapat merasakan keterlibatannya dalam negara. Karena itu, cita-cita Negara Islam tidak sesuai dengan cita-cita negara kesatuan yang didambakan bersama.

Meskipun demikian, dia kemudian menegaskan bahwa “negara kesatuan nasional tidak berarti sebuah negara dengan karakter non-agama. Tidak. Negara kesatuan nasional ini akan berlandaskan moral yang agung seperti yang juga didukung oleh Islam.” Kaum Nasionalis-Islam menolak dengan tegas gagasan Nasionalis-sekular untuk membangun negara Indonesia merdeka di mana agama dan negara dipisahkan.

Sebuah pertanyaan kemudian muncul: Mengapa kelompok Islam sedemikian kuat berhasrat untuk mendirikan negara berdasarkan Islam dalam negara lndonesia merdeka? Satujawabanatas pertanyaan ini adalah karena adanya tujuan mereka untuk menerapkan syariat secara efektif di segenap penjuru wilayah negara. Mohammad Natsir, pemikir Islam dan kemudian menjadi pemimpin Partai Masyumi, mengklaim bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan salah satu cita-cita perjuangan Islam.

Klaim ini mengarah pada argumen selanjutnya bahwa pencapaian kemerdekaan Indonesia merupakan bagian integral dari perjuangan islam untuk menerapkan ajaran Islam. Klaim ini agaknya diilhami oleh kenyataan bahwa umat Islam Indonesia sebagai kelompok mayoritas berperan besar, jika tidak yang terbesar, dalam perjuangan kemerdekaan di mana, “nama-nama mereka, jihad dan perjuangannya menjadi benang merah dalam sulaman tarikh tanah air.”

Untuk mendukung argumen ini, umat Islam Indonesia seringkali menyebut nama-nama pejuang Muslim yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, seperti Sultan Babullah dari Temate, Sultan Hasanuddin dari Makassar, Pangeran Diponegoro (pemimpin Perang Diponegoro 1825-1830), Imam Bonjol (pemimpin Perang Padri, 1921-1937), dan Teuku Umar, Tjut Nya’ Dhien serta Tengku Tjhik di Tiro (pemimpin-pemimpin dalam Perang Aceh, 1872-1912), yang menggalang kekuatan dan perang jihad melawan Belanda dalam perjuangan mereka untuk mengusir penjajah dari kepulauan Indonesia. Perlawanan umat Islam ini dianggap oleh Natsir sebagai perjuangan yang tidak hanya untuk kemerdekaan Indonesia namun juga bagi komunitas Muslim Indonesia, dan untuk kebebasan agama Islam itu sendiri agar hukum dan peraturan-peraturan Islam dapat diwujudkan dalam negara Indonesia merdeka.

Ki Bagus Hadikusumo adalah salah seorang wakil kelompok Nasionalis-Islam yang paling vokal dalam BPUPKI yang memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Dalam menolak gagasan kelompok Nasionalis-sekular untuk memisahkan negara dari agama, dan sebaliknya mengajukan Islam sebagai dasarnya, Hadikusumo mengargumentasinya dengan mengatakan:

“Tuan-tuan yang terhormat! Jika anda ingin menciptakan keadilan, dan pemerintahan negara kita berdasarkan perilaku moral yang luhur dan demokrasi permusyawaratan serta toleransi tanpa pemaksaan agama, maka bangunlah pemerintahan berdasarkan Islam, karena Islam menyediakan semua itu”.

Ki Bagus Hadikusumo

Menurut Hadikusumo, berdirinya negara yang berdasarkan Islam di Indonesia memungkinkan komunitas Muslim untuk menerapkan syariat secara penuh dan bebas karena kemerdekaan Indonesia juga berarti kebebasan untuk merealisasikan syariat, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh umat Islam di bawah kekuasaan kolonialisme.

Hadikusumo kemudian menguatkan argumentasi ini dengan menunjukkan kebijakan Belanda yang perlahan-lahan berusaha menghilangkan hukum waris menurut Islam pada tahun 1922. Kebijakan yang menjadi lebih mencolok pada tahun 1934 dengan upayanya menganti hukum waris Islam dengan hukum waris adat, sebuah kebijakan yang telah ditentang oleh umat Islam. Oposisi Muslim terhadap hukum adat didasarkan pada kenyataan, bahwa hukum adat bertentangan dengan doktrin Islam. Penguasa kolonial Belanda juga memberlakukan kebijakan yang sama terhadap hukum perkawinan Islam yang telah dijalankan selama berabad-abad oleh umat Islam Indonesia, dengan mencoba menggantinya dengan hukum perkawinan sipil yang bertentangan dengan doktrin Islam. Akibat reaksi yang keras dari umat Islam, pemerintah kolonial Belanda tidak jadi menerapkan kedua kebijakan tersebut.

Dengan berakhirnya kolonialisme Belanda, Hadikusumo melihat tidak ada hambatan lagi untuk mewujudkan syariat dalam negara Indonesia merdeka. Dia mendukung alasan K. H. Ahmad Sanusi yang mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak hanya mengatur urusan dunia namun juga urusan akhirat, ketetapan yang harus digunakan untuk mengatur negara dan agama. Dia menunjukkan bahwa hanya 600 dari 6000 ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan kewajiban- kewajiban akhirat, sementara kebanyakan ayat Al-Qur’an berkaitan dengan politik dan persoalan-persoalan dunia.

Pada sisi yang lain, kelompok Nasionalis-sekular menolak seruan kelompok Nasionalis-Muslim untuk mendirikan negara berdasarkan Islam di indonesia. Soepomo, sebagaimana disebutkan di atas, secara tegas menolak gagasan pendirian Negara islam dalam Indonesia merdeka, sekalipun dia mengakui kesempurnaan ajaran islam. Dia menjelaskan bahwa Indonesia tidak sama dengan negara-negara yang berdasarkan Islam seperti Saudi Arabia, Mesir, atau Iran karena Indonesia mempunyai karakter khusus dari segi penduduk, budaya, pengalaman sejarah dan kondisi geografis. Bahkan wakil ternama dari kelompok Nasionalis-sekular yang ahli dalam bidang hukum meragukan apakah syariat dapat memenuhi tuntutan dan tantangan suatu bangsa modern.[1]



[1] Ismail, Islam , Politics and Ideology in Indonesia, h, 40-48.

Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like