Tuhan Atau Sains Yang Mampu Menyelamatkan Manusia! Integrasi Sains dalam pandangan Holistik13 min read

Seorang teman yang mengaku atheis berseru dengan serius sambil menunjukkan berita tentang perkembangan jumlah korban Covid-19 yang berasal dari salah satu klaster: jika sudah begini masih perlukah kita percaya Tuhan! Bukan Tuhan, melainkan sains lah yang akan menyelamatkan umat manusia. Karena itulah Tuhan harus “dibunuh”.

Jika kita perhatikan lebih dalam  dan seksama, untuk “membunuh” Tuhan terlebih dahulu haruslah menerima keberadaan-Nya karena tidak mungkin membunuh sesuatu yang tidak ada (jika Tuhan Tidak ada maka sejatinya atheisme juga tidak ada) sehingga sebenarnya yang ditolak oleh kalangan atheis adalah kesadaran kita tentang Tuhan bukan keberadaan Tuhan itu sendiri.

Sejak triwulan terakhir 2019, Cina dibuat gempar dengan wabah virus Covid-19 yang secara drastis dan cepat menjangkiti banyak orang. Akhirnya pada bulan Maret 2020 ditetapkan sebagai pandemi global oleh WHO karena telah menjangkiti banyak wilayah di luar Cina (pusat awal wabah) dengan asumsi peningkatan mencapai 13 kali lipat. Setidaknya ada tiga alasan untuk suatu wabah dikategorikan pandemi global oleh WHO yakni pertama, pandemi mengakibatkan penyakit baru pada manusia. Kedua, menginfeksi manusia dan menyebabkan penyakit berbahaya serta ketiga, tingginya tingkat penyebaran dan berlanjut antar manusia. Amerika menuduh bahwa Covid-19 terlambat ditetapkan sebagai pandemi namun hal tersebut dibantah oleh WHO yang menyadari bahwa penetapan pandemi dapat menyebabkan guncangan pada seluruh sektor kehidupan manusia sehingga diperlukan kehati-hatian.

Kondisi pandemi merubah seluruh sendi kehidupan tak terkecuali persoalan mentalitas masyarakat. Sederhananya ada sebagian yang bermental mengarus-utamakan sains, ada pula yang bermental penuh phobia dan diantara keduanya ada kalangan yang bermental skeptis. 2 kelompok terakhir sangatlah samar sehingga terkadang merupakan “mental bayangan”.

Kalangan pengarus-utamaan sains menyakini bahwa sains mampu memberikan jawaban atas kondisi yang sedang terjadi dan menjadi sandaran masa depan. Sedangkan 2 kalangan terakhir sebenarnya meragukan bahwa kondisi saat ini parah dan berbahaya (lebih percaya kondisi saat ini adalah setting-an). Akhirnya muncullah pertentangan antara ilmuwan dan pendukungnya melawan kalangan skeptis pembela teori konspirasi. Kita telah melihat ada orang yang pergi berbelanja dengan APD lengkap seperti tenaga medis disaat persediaannya makin sulit diperoleh, sementara disisi lain terdapat orang yang yakin ini adalah konspirasi sehingga menantang untuk disuntikkan virus. Diantara kedua kalangan tersebut diatas, ada kalangan yang “tampak berani” namun perlu pegangan untuk menguatkan dirinya (terkadang mengikuti narasi teori konspirasi tapi saat bersamaan juga menumpuk penunjang kesehatan).

Ditengah pandemi Covid-19 tercatat ribuan orang meninggal dunia karena lebih percaya teori konspirasi ketimbang informasi yang disampaikan oleh ilmuwan ataupun dokter. Sebagian masyarakat lebih percaya bahwa meminum ataupun menyuntikkan cairan pembersih (disinfektan) mampu menangkal keganasan Covid-19 meskipun hal tersebut tidak logis dan bukan dari arahan tenaga medis.

Masyarakat beragama juga tidak kalah gagap menanggapi keadaan pandemi (sebenarnya penganut agama tidak anti sains jika dilihat dari kesehariannya yang telah memanfaatkan hasil-hasil kemajuan sains setidaknya dalam kebutuhan teknologi seperti komunikasi, kesehatan dan transportasi). Namun ketika himbauan untuk beraktivitas di rumah dan menghindari kerumunan yang akhirnya berimbas pada himbauan penutupan sementara rumah ibadah, tak sedikit agawan yang mewartakan bahwa kematian ada ditangan Tuhan sehingga tidak perlu takut untuk tetap beraktivitas sebagaimana biasanya. Ditambah “keyakinan” bahwa mereka adalah korban dari sebuah konspirasi jahat membuat sebagian orang merasa perlu memenangkan “peperangan” dengan cara mengesampingkan perspektif sains.

Kita harus secara jujur mengakui bahwa sains telah berjasa membawa banyak kemajuan secara radikal sejak abad ke-14 dengan menggunakan pendekatan rasional dan empiris (inderawi) yang menempatkan manusia dan kedisinian-dunianya sebagai pusat perbincangan (antrophosentrisme). Dalam radikalitasnya itulah muncul sebuah harapan tatanan baru kehidupan yang sama sekali berdiri sendiri diluar dari simbol-simbol religius dan “mengistirahatkan” Tuhan serta dunia-sana dalam pergulatan kehidupan manusia. Disisi lain, penganut agama sejak awal telah memproklamirkan diri sebagai kebenaran dari Tuhan sehingga seringkali bersikap dogmatis, baku dan kaku (theosentrime). Inilah cikal bakal perseteruan antara agama dan sains (sebenarnya termasuk didalamnya perseteruan bersama dengan filsafat). Perseteruan keduanya (atau ketiganya) merupakan isyarat bahwa sebenarnya saling berpautan sehingga tidak dapat dihadap-hadapkan secara otonom dan realistis setidaknya dalam konteks historis dan epistemologi.

Seiring semakin meningkatnya kompleksitas krisis dunia sosial modern, ketimpangan pengetahuan dalam masyarakat dan krisis ekologis akibat eksploitasi alam (termasuk didalamnya isu terkait Bioterrorisme sebagaimana pernah terjadi sebelumnya yakni serangan menggunakan bakteri Anthrax) menjadikan tuntutan evaluasi dan pertanggungjawaban etis yang disandarkan pada nalar kritis sangat relevan untuk diajukan pada setiap pengarus-utamaan sains.

Kompleksitas krisis tersebut diatas juga mengisyaratkan dengan tegas akan keterbatasan kemampuan manusia dan untuk itu diperlukan sikap terbuka atas persepsi, penafsiran dan dialog demi membangun paradigma yang sesuai dengan harapan kemanusiaan. Namun kita cenderung malas dan menyederhanakan persoalan (simplikasi) yang terjadi. Kemalasan dan penyederhanaan acapkali berujung pada kebingungan dan keputusasaan serta menganggap semua telah selesai (arrivee) kemudian melahirkan sikap fanatik dan egois.

Upaya untuk merumuskan kembali paradigma yang elaborative, konstruktif dan holistic antara sains, agama dan filsafat meliputi setidaknya 3 hal yakni pertama, sains dipandang dalam bingkai sejarah alam dan manusia. Kedua, sains dipandang dalam bingkai implikasi. Ketiga, sains dipandang dalam bingkai epistemologi.  

Pertama dan yang utama, Sains harus dipandang sebagai sebuah kesinambungan dari bentang sejarah alam dan manusia. Perkembangan sains dimanapun dan periode apapun tidak terjadi tiba-tiba yang muncul dari kebekuan kultural. Sains adalah evolusi dan optimalisasi dari potensi yang dimiliki oleh manusia dalam memandang dirinya dan alam semesta/lingkungannya (pertanyaan mendasar mengenai asal usul dan hubungan manusia dengan alam semesta).

Sains perlahan secara menyakinkan mampu menjelaskan fenomena-fenomena (gejala alamiah yang tampak atau dapat diobservasi) yang terjadi di alam semesta melalui kerja-kerja eksperimental. Kerja-kerja eksperimental ini disusun dengan ketat, sistematis, terorganisir, terukur dan dapat ditelusuri serta diuji kembali. Proses kerja-kerja eksperimental ini (kemudian dikenal dengan istilah metode ilmiah atau scientific methods) harus dipatuhi siapa pun yang terlibat didalamnya. Secara sederhana, metode ilmiah melingkupi pengamatan fenomena, pembuatan hipotesis, pengujian hipotesis dan penyempurnaan hipotesis.

Metode ilmiah tersebut tidak dapat diterapkan secara umum pada seluruh bidang eksperimentasi terutama yang berhubungan dengan ilmu-ilmu sosial atau interaksi manusia sehingga sains harus membagi diri dalam ruang yang partikular dan spesifik. Dari pembagian inilah spesialisasi, kanalisasi, teknikalisasi melahirkan bidang sains (terutama yang dikenal sebagai sains modern) yang banyak seperti neurosains, psikologi, teknologi dan lain sebagainya.

Keyakinan sains atas kemampuannya membedah realitas alam semesta tentu saja tidak berkembang sebelum akal menjadi bagian penting dalam perilaku manusia yang sebelumnya berkutat pada kepercayaan mitos. Sains berhasil menembus bentuk-bentuk realita yang fenomenal, menyingkap hukum dan hubungannya dengan realitas lainnya. “kemenangan” Galileo atas pandangan umum yang dominan dan diakui oleh kalangan agamawan (ditambah kolaborasi horror dengan penguasa/negara) mengenai kosmos dan bumi menjadi semacam palu gada yang menghantam kokohnya dinding agama ataupun mitologi dalam budaya. Renungan teoritis dari dunia hierarki dan suci diganti oleh konsepsi yang menghargai fungsi pikiran praktis. Arah baru muncul melawan system feodal dan pandangan dunia teologisnya. Alam hanya dapat dikuasai (dijelaskan) dengan pencapaian sains melalui observasi (berbasis inderawi) bukan melalui paradigma kuno khas skolatik ataupun dogma agama.

Semangat awal yang perlu pertegas dari revolusi sains adalah upaya untuk menghargai kembali manusia dan kemanusiaanya melalui penelaahan kembali atas tafsir kebenaran yang dimonopoli oleh agama dan didukung oleh penguasa. Agama menjadi alat kontrol atas kebebasan manusia sehingga mengalienasi kehidupannya dari dunia-sini disisi lain filsafat masih berkutat pada wacana abstrak dan spekulatif sehingga tidak dapat memberikan perubahan signifikan, tampak wajar jika sebuah konklusi lahir bahwa mitos padam oleh filsafat dan filsafat padam oleh sains. Atas seluruh capaiannya yang luar biasa tersebut lahirlah Fundamentalis-saintisme yakni suatu paham yang menjadikan sains sebagai satu-satunya sumber kebenaran atas realitas.

Fundamentalis-saintisme menjadi padanan dari agama itu sendiri yang merasa benar sendiri dan cenderung menolak gugatan oleh siapa pun. Aktivitas penilitiannya sepadan dengan ritual ibadah, laboratorium menjadi sejenis rumah ibadah, hasil-hasil penilitiannya menjadi semacam kitab suci dan tokoh-tokohnya menjadi seperti juru dakwah. Oleh karena itulah kita lihat pula sikap sebagian ilmuwan yang terkesan angkuh, sombong dan merasa superior atas berbagai capaiannya.

Pada akhirnya sikap fanatik menjadikan fundamentalis-saintisme dan fundamentalis-religius (suatu paham yang menjadikan agama sebagai satu-satunya sumber kebenaran dengan bersandar pada literalistik) dapat dengan mudah melahirkan tindakan terror untuk mengubah dunia yang “salah”. Pada posisi inilah sains (sebagaimana juga pemahaman terhadap agama dan filsafat) diperdebatkan.

Sains tetaplah sebuah hipotesis dan falsifiable (berpotensi salah), bukan kepastian ataupun kebenaran akhir. Meskipun begitu, beberapa ilmuwan berhasrat untuk mengklaim sains sebagai ilmu pasti dibawah naungan fisika dan matematika.

Selanjutnya, kedua, yang lebih utama lagi. Dengan fisika dan matematika yang mendasari berbagai macam rancangan observasi dan eksperimentasi inilah kemudian yang melahirkan sains modern. Kebutuhan akan perangkat penunjang serta sarana khusus untuk menjalankan eksperimentasi menjadikan sains berbiaya mahal. Kebergantungan pada modal dan sarana ini kemudian seringkali membuat sains (begitu pula yang terjadi dengan bidang-bidang kehidupan lainnya seperti ekonomi, politik, budaya bahkan agama) tidak dapat berdiri sendiri diluar kepentingan sebagian kalangan pemilik modal dan sarana yang berorientasi pada keuntungan.

Relasi antara sains dan pemodal terkadang mengesampingkan semangat abad pencerahan yang menjadikan sains sebagai salah satu proses penyelesaian masalah dan optimalisasi potensi kemanusiaan. Penundukan terhadap sains dibawah semangat kapitalistik mengakibatkan dikedepankannya prinsip nilai ekonomi dan melihat masyarakat sebagai entitas target pasar. Bagi kapitalis, buah sains haruslah berupa peningkatan efisiensi dan efektivitas serta kapasitas produksi untuk selanjutnya merangsang tingkat konsumsi pasar melalui marketing dengan asumsi matematis.

Revolusi industry 4.0 dan revolusi society 5.0 menjadi gambaran paling fenomenal relasi tersebut diatas. Artificial intelligence, big data dan robotical instruments adalah beberapa diantara temuan yang fokus pada efisiensi dan efektivitas tingkat produksi. Tenaga manusia yang mempunyai daya tahan tertentu perlahan digantikan robotical instruments yang tidak kenal lelah dan emosi. Sedangkan analisis statistik yang disusun oleh AI secepat kilat menjadi dasar promosi atau berseliwerannya iklan diberbagai akun media sosial.

Tidak hanya terbatas pada sisi produksi barang/jasa, sains terkini yang tunduk pada kepentingan kapiltalis menggiring kita sampai pada tepi jurang kemanusiaan. Manusia yang telah diubah menjadi kerumunan bilangan-bilangan tunduk pada stimulus-responsif melalui kemudahan akses digital dan media informasi untuk kemudian dikelompokkan berdasarkan kepentingan popular pada bidang-bidang seperti politik.

Kemudahan dan kepraktisan dalam proses kehidupan membuat sikap indiviualistik, pasif dan oportunis tumbuh subur diiringi dengan manipulasi kesadaran, imajinasi, persepsi dan citra manusia itu sendiri. Sains membawa kita dari imajinasi kreatif kepada realitas eksklusivistis dan hegemonial. 2 wajah sains inilah yang kemudian dikhawatirkan menjadi alat kontrol yang mengobok-obok privasi manusia sehingga tidak berlebihan jika dengan keberadaan fundamentalis-saintisme, sains mutakhir berpotensi berubah menjadi totaliter dibawah kapitalisme yang mapan.

Kecenderungan menjadi totaliter tersebut sementara ditampilkan oleh Negara-negara maju yang infrastrukturnya mendukung untuk penguasaan data dan pengembangan teknologi seperti Amerika Serikat. Google, Facebook, Tesla, Microsoft, Apple dan lainnya adalah perusahaan transnasional pemegang big data yang dapat membentuk persepsi masyarakat berdasarkan klasifikasi tertentu seperti kecenderungan politik, tingkat pendidikan, jenis kelamin, orientasi seksual dan lain sebagainya.

Chernobyl, Hiroshima, Sebrenica, skandal Los Alamos ataupun invansi Irak adalah sedikit cerita kelam dunia sains yang bercampur berbagai kepentingan. Contoh lain adalah menyangkut virus sharing (salah satu fakta soal wabah H5N1 yang pernah menimpa Indonesia tahun 2005) dimana affected countries di dunia harus mengirimkan specimen virus secara sukarela kepada WHO CC (WHO Collaborating Center) melalui Global Influenza Surveilance Network (GISN) dalam bentuk wild virus untuk selanjutnya diteliti dan diproses menjadi seed virus.

Seed virus inilah yang selain menjadi bahan baku untuk pembuatan vaksin atau rapid diagnostic kit, juga bisa menjadi bahan baku pembuatan senjata biologi. Seluruh proses penelitian, pengembangan dan perencanaan strategis berkaitan dengan seed virus hanya dapat dilakukan di negara-negara dengan infrastruktur laboratorium yang dinilai memiliki kapasitas kemananan tertentu (biosekuriti) dan biasanya berhubungan dengan system pertahanan Negara atau kemiliteran.

Persoalan virus sharing ini pernah disuarakan oleh Indonesia melalui kementerian kesehatan yang menilai system yang diberlakukan selama lebih dari 50 tahun oleh WHO sangat tidak adil dan sangat menguntungkan Negara-negara maju. Dengan fasilitas yang mumpuni, Negara maju melalui perusahaan swastanya dapat membuat vaksin atau radip diagnostic kit untuk kemudian dijual secara komersil kepada Negara yang terjangkit padahal bahan baku virusnya berasal dari Negara yang terjangkit. Affected countries tidak mendapatkan apa-apa ibarat sudah jatuh ketimban tangga.

Dari industrialisasi sains tersebut diatas diketahui bahwa arah pengembangan sains kedepan adalah program interaksi informasi dalam pemenuhannya terhadap kebutuhan praktis (seperti teknologi komunikasi 5G dan holografik) yang dapat memanipulasi kesadaran manusia dari motif ekonomi dan dominasi golongan pemodal. Kapitalisme menampakkan diri menggunakan wujud sains, namun melalui sains itu pula dapat kita mengerti mekanismenya karena sejatinya kapitalisme bergerak untuk tujuan golongan sedangkan sains bergerak dalam spectrum kemanusiaan.

Ketiga, Sains pada gilirannya sekali lagi, memegang peranan penting sebagai kekuatan independen yang dapat membebaskan manusia dari belenggu krisis yang menghinggapinya saat ini. Sains dari perjalanannya sampai abad pencerahan bercorak pada pandangan dunia materialistic yang mengesampingkan pandangan dunia metafisik yang diakui oleh agama dan filsafat. Oleh karena itu  Penting kiranya membawa sains kepada altar observasi miliknya sendiri untuk memvalidasi dasar-dasar metafisik (secara tersembunyi), asumsi-asumsi teoritis, metode dan menemukan keterbatasannya.

Sebagai hasil dari optimalisasi potensi manusia yang memiliki kemungkinan salah atau bias maka perlu mendorong sains ke sisi yang tidak netral. Elemen subjektif ini sangat erat kaitannya dengan berbagai tendensi dan sikap ilmiah. Pada posisi inilah kita temukan bahwa fundamentalis-saintisme bukanlah hasil dari sains itu sendiri tetapi merupakan pola pikir kebanyakan ilmuwan yang mungkin telah lelah mencari makna realitas namun tidak mempertimbangkan berbagai isu lain yang berkaitan.

Ada banyak realitas lain di dunia ini yang belum bisa kita pahami sehingga mengembalikan Tuhan (beserta konsep metafisis yang menyertainya) kepada pandangan dunia dan pendekatan sains adalah sebuah kemestiaan. Namun disaat yang sama agama sebagai system nilai yang mewartakan metafisika harus juga dikaji, dikritik dan didialogkan dengan penalaran dan metode yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional terutama terkait dengan tafsir atas wahyu. Demikian pula dengan filsafat harus dituntut untuk meberikan penjelasan yang fundamental, holistic dan radikal namun juga mawas diri dari pembenaran atas tindakan ideologis tertentu.   

Selanjutnya, sains bersama agama dan filsafat diposisikan sebagai sarana yang harus berpihak kepada kemanusiaan dan siap bertanggung jawab secara moral etis (sejauh mana dapat dibedakan dengan humanism-natural yang bermuara pada humanism-liberal). Semangat abad pencerahan harus ditafsirkan sebagai landasan historis semangat kebebasan dengan menggunakan sumber daya moral dan intelektual dalam rangka pengabdian kepada Tuhan.

Ironis memang jika manusia tidak diletakkan pada posisi sentral dalam upaya membangun pandangan sains-holistik. Sentralitas manusia justru menjadi sangat vital karena manusia merupakan ciptaan Tuhan menurut citra-Nya sendiri. Ini berarti segala sumber daya yang diberikan Tuhan harus serta merta menjadi sarana peningkatan martabat manusia itu sendiri. Fundamentalis-saintisme mengubah manusia menjadi objek-material belaka dan fundamentalis-religius mengubah manusia menjadi budak tanpa kreativitas (deterministic). Keduanya secara sadar atau pun tidak telah meminggirkan keunikan dan keotentikan manusia dalam eksistensi kesemestaan.

Ditengah pandemi saat ini muncul sebuah harapan akan solidaritas global, WHO mencetuskan program bernama solidarity trial Covid-19. Sebuah program riset yang melibatkan 400 rumah sakit dalam 35 negara dengan total partisipan 3500 pasien. Program riset ini merupakan salah satu langkah memperbaiki upaya pelayanan dan menurunkan angka kematian pada pasien Covid-19. Dengan program ini diharapkan ada bukti klinis yang kuat terhadap 4 treatment yang diberikan sehingga diperoleh model treatment yang pada akhir dapat mempercepat penyelesaian wabah ini. WHO juga turut membantu penggalangan dana untuk memfasilitasi jalannya treatment tersebut.

Sebagai penutup, menjawab judul diatas bahwa Tuhan telah menganugerahkan perangkat epistemik kepada manusia dan sains adalah salah satu sarananya. Integrasi sains dalam pandangan holistic merupakan bagian pengabdian kepada-Nya dengan memusatkan perhatiannya pada kemanusiaan dan hanya dengan demikianlah manusia terselamatkan.  


Referensi:

  1. Budi Hardiman, F, Humanisme dan Sesudahnya, KPG, Jakarta: 2012
  2. Fadilah Supari, Siti, Saatnya dunia berubah, Tangan Tuhan dibalik Flu Burung, SWI, Jakarta: 2008
  3. Hossein Nasr, Seyyed, Sains dan Peradaban Dalam Islam, Pustaka, Bandung: 1997
  4. Hossein Nasr, Seyyed, Antara Tuhan, Manusia dan alam, IRCiSoD, Yogyakarta: 2003
  5. Larain, Jorge, Konsep Ideologi, LKPSM, Yogyakarta: 1996
  6. Magnis-Suseno, F, Mencari Makna Kebangsaan, Kanisius, Yogyakarta: 1998 
  7. Philips, Gerardette, melampaui pluralisme: integritas terbuka sebagai pendekatan yang sesuai bagi dialog Muslim-Kristen, Madani, Jakarta: 2016
  8. Solidarity clinical trial for Covid-19, www.who.int, 16-06-2020

Pemuda kelahiran Samarinda 36 tahun silam. Disela-sela kesibukannya sebagai karyawan sebuah perusahaan milik pemerintah daerah Kalimantan Timur masih menyempatkan diri untuk menuliskan pandangan terutama menyangkut budaya, seni, sosiologi, politik, filsafat dan agama.

One thought on “Tuhan Atau Sains Yang Mampu Menyelamatkan Manusia! Integrasi Sains dalam pandangan Holistik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like