Mengapa Aidit Terlibat dalam G30S?10 min read

Kian menjadi umum untuk menjelaskan keruntuhan PKI dengan menyatakan bahwa Aidit mengkhianati partai dan pergerakan ketika secara rahasia ia terlibat dalam Gerakan 30 September (G30S). Tetapi untuk sampai pada pernyataan demikian, orang menghindar dari persoalan lebih mendasar: mengapa Aidit melíbatkan diri dalam G30S? Argumen utama menunjuk bahwa keterlibatan Aídit bersifat rasional, mengingat strategi partai tidak jalan. Karena itu masalah mendasar bukanlah langkah yang ia ambil, tetapi penyebab strateginya yang tidak efektif.

Asumsi dasar dari kesimpulan ini ialah bahwa suatu kondisi yang perlu-tetapi tentu saja tidak cukup-bagi partai seperti PKI beserta gerakan massa serumpun untuk berhasil ialah bahwa analisis dinamika politik dan ekonomi berdasar pandangan marxis mereka dan selanjutnya strategi yang mereka kembangkan tepat serta membuahkan hasil.

Tetapi apabila tidak ada masalah-masalah penting dalam analisis dan strategi, atau bila pengetahuan yang memadai tidak tersedia untuk mengembangkan petunjuk semacam itu, kita harus pertama-tama mencari jawaban di antara kondisi yang susah seperti neokolonialisme, Perang Dingin, kekuatan dan politik para musuh, dan persepsi serta kesalahan yang dibuat oleh para pemimpin seperti Aidit. Bahkan bisa juga dengan cara pendekatan konstruktivis. Tetapi kenyataannya tidak demikian.

Argumen pokok pertama ialah bahwa Aidit mundur ke dalam dinamika politik avant garde para pemuda militan tahun 1940-an —termasuk peristiwa penculikan Sukarno untuk memaksanya segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia—bukan hanya kesalahan perorangan yang sial. Lebih mendasar lagi, dan apa pun alasan Aidit, sejumlah tindakan perlu dilakukan untuk memperlemah kekuatan para petinggi militer anti komunis.

Karena kenyataannya, sementara partai dan pergerakan nampak sangat berhasil dalam tataran retorika, strategi mereka sejak sekitar 1958 adalah untuk menyingkirkan “demokrasi borjuis” dan menggantinya dengan mengikatkan diri pada “Demokrasi Terpimpin” Sukarno, reformasi tanah dan anti-imperialisme tidak mengubah imbangan kekuatan secara nyata, tetapi bahkan memperkuat cengkeraman militer dalam ekonomi dan negara.

Masalah demokasi sudah lama diabaikan dalam perdebatan tentang kegagalan PKI, pembantaian massal, bangkitnya Orde Baru serta perjuangan menentangnya. Di kalangan kiri pokok pembicaraan terpusat pada kekurangan perorangan para pemimpin, dalam hal ini sebagian menyatakan karena disingkirkannya strategi ajaran Mao “yang tepat”.

Tetapi belakangan ini, Max Lane juga menunjuk masalah PKI yang pada akhir 1950-an dan awal 1960-an meninggalkan demokrasi dan mendukung “Demokrasi Terpimpin” Sukarno, bahkan tidak menentang pembatalan pemilihan umum, di samping mendukung dilarangnya partai-partai, diberangusnya politisi, malah juga seniman yang kritis. Dengan demikian partai melepaskan perlindungan “demokrasi borjuis” dan kesempatan nyata untuk memenangkan pemilihan umum serta mengucilkan AD, juga mencegahnya merebut posisi unggul dalam ekonomi dan pemerintahan sipil, serta mendapatkan dukungan dari pihak oposisi dan Amerika Serikat.[1]

Bagi PKI pastilah sulit melangkah tanpa perlindungan Sukarno. Tetapi kita tahu bahwa di India pada pertengahan 1970, sementara Partai Komunis lama mendukung keadaan darurat yang diumumkan Indira Gandhi dan mendapatkan perlindungan darinya dengan cara yang mirip yang dialami PKI, Partai Komunis-Marxis yang lebih kuat dan yang telah memisahkan diri (dari Partai Komunis lama) bersekutu dengan sejumlah “kekuatan borjuasi”. Persekutuan ini mendukung demokrasi dan dapat bertahan dari sejumlah tindakan represif sembari mengerahkan dukungan rakyat di balik tuntutan reformasi sosial dan ekonominya yang lebih radikal.

Hal ini telah memberikan sumbangan atas dicabutnya keadaan darurat, menyerahnya Indira Gandhi, dan pada kenyataan bahwa Partai Marxis dapat memimpin sejumlah pemerintah Front Kiri di Benggala Barat dan Kerala.[2] Benar bahwa AD Indonesia jauh lebih siap melakukan intervensi politik dan penindasan dibanding tentara India. Tetapi dengan persekutuan politik yang luas akan menjadi sulit bagi AD untuk mendapatkan dukungan penuh pihak oposisi dan Barat. Bisa jadi sebagai imbalan, PKI kehilangan perlindungan Sukarno.

Di samping itu, masih mungkin bagi kaum komunis untuk memperjuangkan demokrasi sambil mendukung Sukarno dalam menerapkan kembali UUD 1945, di samping mengimbangi kekuatan partai-partai politik elite dengan perwakilan sistem yang didasarkan kepentingan.

Sebagaimana ditunjuk oleh Max Lane,[3] dalam UUD 1945 terdapat hak-hak asasi manusia dan pemilihan. Berbeda dengan Lane, saya juga berpendapat adalah mungkin berjuang dengan menggabungkan demorasi liberal dengan demokrasi berdasar kepentingan (seperti di Skandinavia) ketímbang secara de facto menerima Demokrasi Terpimpin Sukarno-kemudian oleh Soeharto dialihkan menjadi negara korporasi terpimpin patrimonial dan militer.

Namun begitu yang masih tetap tidak jelas ialah mengapa PKI—dan bukan hanya Aidit—melepaskan demokrasi. Hal tersebut merupakan argumen kedua, bahwa masalah strategi kemudian didasarkan pada analisis yang lemah terhadap akumulasi kekuasaan dan kapital di Indonesia; dan bagaimana rakyat akan mampu melawannya, serta membangun pilihan lain. Analisis lemah itu pada akhirnya berakar pada keterbatasan teori-teori marxis yang diterapkan oleh PKI.

Untuk menelusuri akar permasalahan strategi pokok, kita perlu memulainya dengan memeriksa kecenderungan PKI sejak awal 1950-an dan selanjutnya dalam mengidentifikasi—sebagaimana biasa dilakukan oleh Lenin—para aktor kuat penentang imperialisme. Juga dengan mengidentifikasi susunan feodal yang disebutnya borjuasi revolusioner, tetapi kemudian aktor ini ditingkatkan menjadi borjuasi nasional sebagaimana pendapat Stalin yang lebih kaku.

Menurut formula deterministik Stalin, “borjuasi nasional” didefinisikan lebih atas dasar para pengusaha dan profesional dalam ekonomi dengan perkiraan memiliki “kepentingan objektif” dalam melawan imperialisme, menentang “sisa-sisa feodalisme” dan bahkan mengusung “demokrasi borjuis” karena tidak punya pilihan jika mereka tak menjadi kolaborator. “Borjuasi nasional”—terutama yang mereka sebut borjuasi nasional besar—sebenarnya enggan, tetapi mereka mengetahui kaum komunis akan mampu memikul misi “borjuasi nasional” dan kemudian meletakkan sosialisme dalam agenda.

Tetapi dalam kenyataannya tafsiran tersebut meleset. Para aktor yang agak bersifat wiraswasta tersebut dekat dengan Barat dan sangat antikomunis, sedangkan kaum nasionalis tidak begitu berorirentasi pada produksi. Mereka justru menggunakan kekuatan politik radikal dan kekuasaan administrasi pemerintahan untuk memperkaya diri.

Dan orang-orang yang mestinya dianggap sebagai kaum nasionalis progresif yang berada dalam jabatan negara dan politik dimasukkan dalam perhitungan PKI—didukung oleh pemikiran baru Moskow pada akhir 1950-an tentang “perkembangan nonkapitalis”—sebagai pengganti “borjuasi nasional” yang bimbang, maka sebagian besar politisi, pejabat dan perwira macam itu dalam kenyataannya menggunakan nasionalisasi radikal dan monopoli kontrol peraturan pemerintah, aset negara, kredit, investasi, harga, pekerjaan, juga tenaga kerja dan serikat buruh demi apa yang disebut akumulasi kapital dan penyisihan surplus ekonomi primitif.

Persoalan strategis tersebut timbul karena kelemahan teori dasar marxis. Dalam model Marx tentang kebangkitan kapitalisme swasta klasik, terutama di Inggris, akumulasi kapital primitif lebih merujuk pada penyitaan tanah dan alat-alat produksi lain dari kaum tani dan pengrajin oleh para pelaku swasta yang didukung negara. Dengan demikian alat dasar produksi dijadikan kapital (yang dapat ditanamkan) dan buruh dijadikan barang dagangan (yang dapat diisap), yang membuat kaum kapitalis dapat melakukan akumulasi kapital.

Di Indonesia dan berbagai negara pascakolonial lainnya, sebagian besar pelaku swasta dominan terlalu lemah untuk bertindak dengan langkah yang serupa. Tetapi hal ini tidak berarti mereka dipaksa memilih antara, di satu pihak, menjilat kaum kolonial lama dan imperialis baru, dan di pihak lain ikut serta dalam proyek-proyek “borjuis nasional” atau “nonkapitalis” seperti yang dibayangkan PKI.

Sebaliknya, sementara mereka tidak mampu merampas sebagian besar tanah dan alat-alat produksi yang lain, bagaimanapun para aktor dominan mampu menggunakan politik, daya paksa negara dan militer untuk mengakumulasi kontrol terhadap tanah secara tak langsung. Banyak usaha kecil dan sumber daya alam yang dengan begitu juga sebagian besar surplus yang diproduksi sektor-sektor tersebut. Demikian halnya mereka menasionalisasi dan atau mengambil manfaat dari perusahaan-perusahaan asing sebagai tambahan terhadap bantuan asing.

Meskipun PKI melakukan penelitian-dipimpin oleh Ina Slamet– pada akhir 1950-an dan awal 1960-an yang mengidentifikasi adanya bentuk-bentuk pengisapan yang rumit dan kemudian memberi kontribusi terhadap perumusan konsep “tujuh setan desa”[4] daripada sekadar tuan tanah-meskipun para pemimpin PKI juga mengambil konsep Cina tentang “kapitalis birokrat” untuk menandai musuh-musuh barunya-partai tidak pernah mengakui bahwa basis utama lawan- lawan mereka terletak pada kontrol mereka terhadap politik, negara dan daya paksa ketimbang dalam hubungannya dengan kaum tuan tanah dan imperialis yang terus dipandang oleh PKI sebagai musuh utamanya. Oleh karena itu, mereka berusaha melemahkannya dengan mendukung agenda reformasi tanah Sukarno, nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing dan nasionalisme radikal umumnya.

Dengan begitu strategi PKI digerogoti. “Borjuasi nasional” dan para petinggi negara yang berdiri di belakangnya atau setidaknya menerima Sukarno tidak bertindak sebagaimana diharapkan. Ketika kaum komunis membatasi gelora militan kaum buruh untuk membangun persekutuan dengan “borjuasi nasional” dan yang dikira sebagai kaum nasionalis progresif dalam aparat negara, hanya kecil saja dampaknya dalam investasi dan pertumbuhan dinamis, tetapi justru salah kelola demikian parah dalam ekonomi dan terjadi krisis. Dan protes terhadap penjarahan dan korupsi mengundang penindasan dan kehilangan perlindungan Sukarno.

Ketika kaum komunis memobilisasi semakin banyak massa untuk melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing dan politik anti-imperialis pada umumnya guna menggerogoti kekuatan apa yang disebut kapitalis birokrat—karena menurut perkiraan PKI kekuatan mereka tergantung pada modal asing dan negara-negara Barat—terutama pihak militer, berlanjut melakukan nasionaliasi untuk mendapatkan lebih banyak perusahaan asing dan sumber daya negara demi tujuan mereka sendiri.

Ketika kaum komunis memprioritaskan reformasi tanah sebagaimana dicanangkan Sukarno untuk mencegah konsentrasi tanah dan meruntuhkan kekuatan tuan tanah—sebagai strategi utama untuk memenangkan dukungan mayoritas pendukung—dalam kenyataan konsentrasi tanah tersebut hanya sedikit sekali terjadi. Malah sangat sulit mencegah pertentangan di antara para pemegang tanah kecil, penyewa dan buruh tani yang menjadi alat eksploitasi yang rumit, termasuk “tujuh setan desa”.

Dalam tulisan selanjutnya akan berusaha merumuskan akar-akar politik perangkat yang rumit dari eksploitasi berupa akumulasi primitif kapital untuk menghimpun surplus ketimbang konsentrasi tanah (sebagai alat produksi) dan mengubah para petani menjadi buruh serta menanamkan modal. Saya masih tetap berpendapat dengan rumusan demikian.

Namun begitu semestinya dapat menerangkan lebih jelas mengapa penelitian yang baik dari Ina Slamet dan konsep “tujuh setan desa” tidak dapat mengatasi masalah, yaitu karena akar politik dari bentuk- bentuk rumit eksploitasi tetap tidak jelas, sedang reformasi tanah Sukarno masih tetap menjadi prioritas. Dan dengan catatan bahwa beberapa rumusan semestinya lebih terperinci, saya juga hendak memberikan penjelasan lain dengan menekankan bahwa meskipun benar, bahwa sebagian pemusatan surplus dapat dilakukan karena banyaknya pertanian kecil yang seringkali tidak dapat hidup sendiri, tentu saja ini bukan faktor utama.

Yang lebih penting ialah kenyataan bahwa para patron, orang-orang kuat dan yang lain telah berhasil merebut kekuatan politik, administrasi dan beberapa bentuk kekuasaan yang berkaitan dengan akibat dapat mendominasi dan memeras para produsen kecil (dan pedagang kecil). Argumen ini muncul lebih jelas lagi dalam kajian berikutnya (yang juga terbit pada 1984) tentang bagaimana pengumpulan surplus melalui sumber daya politik dan administratif yang sebelumnya agak lunak dan terhambat, sesudah 1965/1966 menjadi sangat kejam dengan dukungan negara.[5] Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa musuh utama sebagian besar rakyat negeri agraris ialah negara serta mereka yang mengendalikannya ketimbang para tuan tanah dan orang-orang kuat dengan basisnya pada kepemilikan mereka sendiri dan produksi kapitalis swasta.

Pendek kata, masalah dasarnya ialah bukan karena Aidit mengkhianati partai dan terlibat perjuangan rahasia serta petualangan elite, tetapi terdapat alasan-alasan rasional melakukan sesuatu secara luarbiasa karena strategi fundamental partai telah digerogoti. Pada gilirannya, strategi dan tindakan partai didasarkan pada perangkat Marxis yang tidak cukup untuk menganalisis dominasi akumulasi kapital primitif serta penyisihan surplus pascakolonial yang terjadi karena langkah monopoli politik dan perangkat pemaksa negara. Selanjutnya, hal ini membuka jalan timbulnya kapitalisme otoriter di bawah Soeharto.

Apa dampak teori dan akibat politiknya?


[1] Max Lane, Catastrophe in Indonesia, London, New York dan Kalkuta, Seagull, 2010, terutama h. 41-51; bukan dalam Unfinished Nation Indonesia before and after Suharto, London dan New York, verso, 2008.

[2] Törnquist, What’s Wrong with Marxism? Vol. 1: On Capitalist and State in India and Indonesia. Vol. II: On Peasants and Workers in India and Indonesia, New Delhi, Manohar, 1989 dan 1991.

[3] Lane 2010: 44, juga Törnquist, The Next Left? Democratisation and attemps to renew the radical political development project-the case of Kerala, (dengan PK Michael Tharakan), NIAS, Kopenhagen, 1995. (Juga dengan judul “Democratisation and the Radical Political Project in Kerala” dalam Economic and Political Weekly, jilid XXXI: 28-30, 1996).

[4] “Tujuh setan desa” terdiri dari kaum tuan tanah, lintah darat, tukang ijon, tengkulak jahat, kapitalis birokrat, bandit desa, dan pejabat desa jahat.

[5] Tornquist, Struggle for democracy-a new option in Indonesia? Laporan keadaan Indonesia mutakhir dalam proyek “Problems of radical political strategy under the rise of a new capitalism. South and Southeast Asia in a comparative perspective”, Uppsala: The Akut-series no. 33, Uppsala Univesity 1984.

Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like