Dampak Negatif Proyek Bendungan Selain Penggusuran7 min read

Dalam dua minggu terakhir Pak Jokowi mengadakan kunjungan untuk meresmikan beberapa proyek bendungan yang masuk ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Keempat bendungan itu adalah bendungan Kuningan di Jawa Barat dengan kapasitas tampung mencapai 25,9 juta meter kubik. Bendungan Way Sekampung di provinsi Lampung dengan kapasitas tampung 68 juta meter kubik.

Lalu bendungan Bendo di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur dengan kapasitas tampung 43,11 juta meter kubik. Terakhir yang akan diresmikan dalam waktu dekat adalah bendungan Paselloreng di Sulawesi Selatan dengan kapasitas tampung 138 meter kubik.

Bendungan sebanyak itu, harapannya akan memberikan tambahan kesejahteraan dan keselamatan rakyat di sekitarnya. Setidaknya itulah yang disebut-sebut ketika saya mendengar beberapa cuplikan pidato peresmian Pak Jokowi di akun instagram resmi beliau @jokowi.

Dalam beberapa pidato peresmian itu setidaknya ada tiga manfaat yang hendak dituju dari megaproyek yang baru saja diresmikan itu. Tiga manfaat itu adalah (1) meningkatkan kesejahteraan petani dengan memperluas luasan lahan irigasi; (2) mengendalikan banjir; dan (3) menghasilkan listrik terbarukan.

Barangkali ketiga manfaat itu adalah narasi yang juga akan disampaikan pada peresmian-peresmian lainnya. Sebab kabarnya pemerintah akan meresmikan 61 bendungan sampai 2024 mendatang.

Rupanya narasi itu menjadi narasi utama yang sangat mudah ditemukan di banyak artikel di media massa. Hanya sebentar saja berselancar di google, Anda akan dengan mudah menemukannya, dengan narasi yang kurang lebih hampir serupa.

Namun, alih-alih memperpanjang narasi yang itu-itu saja, tulisan ini akan mengulas dampak negatif dari proyek-proyek bendungan dan apa-apa saja yang mungkin dikorbankan. Dengan mengetahui apa saja dampak negatif yang mungkin terjadi, paling tidak kita dapat membandingkan antara manfaat yang dijanjikan dan besaran ongkos baik secara sosial maupun secara ekologis untuk membayarnya.

Menggusur Warga Lokal

Dampak negatif pertama yang paling mudah ditemukan dari setiap proyek bendungan adalah soal penggusuran warga lokal. Kebutuhan luasan lokasi penampung air yang luas memaksa proyek untuk mengusir dan merelokasi penduduk yang tinggal dan bercocok tanam di sana. Karena itu, bendungan syarat penggusuran dan pengusiran.

Bendungan Kuningan misalnya telah menggusur warga di 6 desa dari 2 kecamatan. Sementara bedungan yang sama-sama di Jawa Barat, bendungan Jatigede telah menenggelamkan 4.983 hektar  dan menggenang 28 desa.[1] Namun keduanya masih terlalu kecil.

Di belahan dunia yang lain proyek bendungan telah menggusur jutaan penduduk sebagai korbannya. Pemerintah Tiongkok misalnya telah meminggirkan lebih 1,3 juta penduduk untuk membendung sungai Yangtse, demi membangun Three Gorges Dam di Hubei. Dalihnya demi untuk meningkatkan pasokan irigasi dan upaya transisi ke energi yang lebih bersih.

Lalu bendungan di Aswan, Mesir, bendungan telah menggusur lebih 10.000 orang; Bendungan Narmanda di India mengusir 70.000 orang; Bendungan di Togo menyingirkan 10.000 orang; Bendungan Sobradinho di Brasil meminggirkan 60.000 orang; Sementara di Dhaka, Bangladesh korbannya mencapai 50.000 orang.[2] Daftar itu belum semuanya. Penggusuran atas nama transisi energi dan kesejahteraan pangan itu terjadi di banyak tempat lainnya.

Mengorbankan Warga di Hilir Sungai

Narasi kritis yang muncul terkait dampak negatif proyek bendungan biasanya hanya menyoroti masalah penggusuran. Film dokumenter besutan Watcdoc tentang bendungan Jatigede misalnya hanya merekam satu apek itu. Padahal, penggusuran adalah salah satu saja dari sekian dampak proyek bendungan. Narasi pemerintah lebih parah lagi, melihat dampak bendungan dengan hitung-hitungan kompensasi jual beli tanah saja.

Logikanya, ketika pemerintah mengatakan bahwa bendungan akan mengaliri sekian luasan wilayah irigasi yang baru. Artinya ada sekian sungai, irigasi beserta ekosistem alami di dalamnya yang akan mengering karena hulu sungainya dibendung. Sialnya, ketika pemerintah bicara banyak berbicara soal kompensai, absennya sorotan dampak hilir bendungan itu membuat korbannya tidak pernah mendapatkan kompensasi apapun.

Ritcher, dkk dalam temuan ilmiahnya mencatat kira-kira ada 472 juta orang yang terkena dampak pembangunan bendungan di wilayah hilir. Perkiraan itu berdasarkan pada analisanya atas sejumlah literatur yang mendokumentasikan bendungan-bendungan yang berdampak pada penghidupan warga dari 120 sungai di lebih dari 70 negara.[3] Korbannya adalah para petani yang mengairi irigasi dari sungai-sungai yang dibendung itu, serta para penangkap ikan yang hidup bergantung darinya.

Misalnya sungai Indus, salah satu sungai terbesar di dunia, telah dipenggal di 19 titik dan disedot oleh 43 kanal raksasa. Dampaknya, sekitar 8.800 kilometer persegi lahan pertanian tak lagi produktif. Lalu bendungan Tucurui berdampak pada penurunan 60 persen tangkapan ikan ribuan warga Brasil yang hidup disepanjang sungai hilir bendungan. Tangkapan ikan di hilir sungai Logone, Kamerun menurun hingga 90 persen.[4] Data itu cukup untuk menunjukkan mahalnya ongkos yang harus dibayar oleh mereka yang menggantungkan hidup di wilah hilir sungai yang semula mengalir alami kemudian diputus alirannya.

Menjadi Penyebab Banjir

Salah satu manfaat yang digadang-gadang dari proyek bendungan adalah untuk mengendalikan banjir. Logikanya bendungan dapat mengontrol ke mana air harus mengalir. Sehingga air tidak mengalir terkonsentrasi di satu tempat yang berpotensi terjadi banjir. Namun, praktiknya tidak sesederhana itu.

Di beberapa tempat bendungan justru menjadi akar terjadinya banjir besar. Salah satunya di India. Pelepasan air dalam jumlah yang berlebihan seringkali menyebabkan banjir di dataran yang lebih rendah di sana. Itu biasanya disebabkan oleh karena kesalahan dalam majemen pelepasan air secara berkala.

Menurut catatan Shagun Kapil, lebih dari 40.000 rumah di Karnataka rusak. Sekitar 300 ribu penduduk harus dievakuasi dari daerah dataran rendah. Ada 136 jalan penting rusak. Lalu di Belagavi, 5000 rumah rusak. Ada 51 ribu orang yang harus dievakuasi.[5] Semuanya merupakan dampak dari lepasan air bendungan yang tak teratur dengan baik.

Kapil mencatat, banjir lepasan bendungan di India itu karena pengaturan operasi bendungan gagal mempertimbangkan perkiraan cuaca dengan cermat. Ketika musim panas tiba biasaya bendungan kering. Sehingga, bendungan segera ditutup ketika awal musim hujan tiba. Namun, ketika curah hujan tinggi dan kondisi bendungan sudah melebihi kapasitas tampungnya, operator terpaksa melepas banyak air dalam waktu singkat. Akibatnya menimbulkan banjir di wilayah di bawahnya.

Penyebab lainnya kerap terjadi karena pada saat bendungan dibangun tidak mempertimbangkan perubahan iklim di masa mendatang. Sebab, biasanya hanya memperkiraan curah hujan pada saat bendungan itu dibangun. Setelah puluhan tahun, curah hujan mulai tidak menentu. Akibatnya debit air yang ada tidak lagi sesuai dengan perencanaan pada saat bendungan dibangun. Sehingga itu berpotensi sering mengalami kelebihan kapasitas tampungannya. Lalu terjadilah kesalahan manajemen seperti tadi itu.

Merusak Ekosistem Lahan Basah

Sepintas pembangunan bendungan tidak berpengaruh pada ekosistem lahan basah di wilayah pesisir. Padahal sebenarnya kaitannya sangat erat. Ada semacam keterhubungan secara ekologis antara aktivitas membendung aliran sungai di hulu dengan keberlangsungan lingkungan hidup di wilayah pantai. Salah satunya masalah sedimentasi.

Ketika sungai dibendung, aliran air terhenti dan berubah menjadi genangan yang luas. Namun, bukan saja air, material-material yang terkikis bersamaan dengan arus sungai juga ikut terbendung dan menumpuk di dasar genangan.

Tumpukan bahan seperti lumpur, pasir, kerikil dan seterusnya itu kemudian menjadi masalah turunan yang menghantui proyek bendungan. Ketika material endapan itu semakin menumpuk artinya daya tampung air semakin berkurang. Sehingga endapan harus secara berkala, jika menghendaki umur bendungan bertahan lebih lama lagi.

Material endapan itu awalnya secara alami pembentuk utama ekosistem lahan basah. Ketika itu terbendung, pembentukan lahan basah juga terhambat. Padahal ekosistem lahan basah memiliki fungsi ekologis yang begitu tinggi. Misalnya sebagai penyangga ekosistem lahan pantai, penahan abrasi air laut, daerah resapan air, dan penangkap karbon dengan kadar yang cukup besar.[6]

Pelajaran terbaik tentang endapan alami ini misalnya dari pengalaman di Amerika Serikat. Jims Robbins dalam ulasannya[7] menyebutkan bahwa bendungan Elwha dan Glines di negara bagian Washington sudah berumur sekitar satu abad. Endapannya sudah mencapai 24 juta meter kubik. Kira-kira cukup untuk mengisi 8 kali stadion sepak bola. Lalu pada 2011 lalu pemerintah memutuskan untuk membongkarnya.

Proyek itu menjadi proyek pembongkaran bendungan terbesar dalam sejarah Amerika Serikat. Butuh 3 tahun untuk menyelesaikannya. Setelah proyek selesai, endapan material seperti lumpur, pasir dan kerikil mengalir dan mengisi wilayah hilir. Lambat laun, ekosistem lahan basah mulai pulih dan merestorasi dirinya sendiri secara alami.

Robbins juga memaparkan bahwa kesadaran pentingnya pemulihan lahan basah mulai tersebar di seluruh Eropa waktu itu. Pembongkaran bendungan mulai menjadi tren. Orang-orang sudah mulai sadar bahayanya bagi kelangsungan bumi ketika miliyaran kubik sedimen alami terperangkap di belakang sekitar 57.000 bendungan di seluruh dunia. Apalagi ada kecenderungan pengikisan lahan basah skala besar di wilayah pantai karena faktor-faktor seperti pembangunan infrastruktur, bisnis aquakultur, pemukian, pertanian dan seterusnya. Dampak yang disebutkan tersebut belum semuanya. Masih ada beberapa dampak lagi yang belum didiskusikan di sini. Paling tidak kita menyadari bahwa dampak proyek bendungan bukan hanya penggusuran. Sehingga kita dapat mengatakan bahwa ongkos sosial maupun ekologis proyek bendungan jauh lebih mahal dari angka-angka kompensasi yang jadi andalan pemerintah. Sebab urusan bendungan bukan hanya soal urusan ganti rugi sepetak tanah dan ba-bi-bu-nya. Terimakasih.


[1] Watchdoc. Menggenang Bendungan Jatigede. Di akses dari https://www.youtube.com/watch?v=u9Jw7zovsnY&t=3s

[2] Zaman. Land Acquisition and Compensation in Involuntary Resettlement. Diakses dari https://www.culturalsurvival.org/publications/cultural-survival-quarterly/land-acquisition-and-compensation-involuntary-resettlement  

[3] Ritcher, dkk. Lost in Development’s Shadow: The Downstream Human Consequences of Dams. Diakses dari https://archive.internationalrivers.org/blogs/227/the-forgotten-downstream-victims-of-large-dams

[4] Ibidum.

[5] Shagun Kapil. Dams were built to control floods; they are now triggers. Diakses dari https://www.downtoearth.org.in/news/natural-disasters/dams-were-built-to-control-floods-they-are-now-triggers-66767

[6] Mengenai fungsi ekologis lahan basah dapat dilihat pada ilustrasi di Wondrous Wetlands. Diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=V-aQLwnJKWc

[7] Jim Robbins. Why the World’s Rivers Are Losing Sediment and Why It Matters. Diakses dari https://e360.yale.edu/features/why-the-worlds-rivers-are-losing-sediment-and-why-it-matters

Penulis adalah alumnus Pesantran Attarbiyatul Wathoniyyah (PATWA) Mertapada; prodi Pengembangan Masyarakat Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon; dan pegiat FNKSDA Cirebon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like