Belajar dari Pengalaman, Energi Panas Bumi Menelan Banyak Korban7 min read

Megaproyek pembangkit listrik 35.000 MW yang direncanakan pemerintah Indonesia sejak 2011 sudah hampir selesai. PLTU Batubara sudah berdiri di mana-mana. Juga dampak kerusakannya sudah sangat lumrah. Sudah banyak yang mengulas. Sudah banyak data yang dicatat. Bahkan sudah banyak penolakan. Tapi betapapun beracun, merusak dan banyak penolakan, megaproyek itu harus diselesaikan pula.

Rupanya itu karena cadangan batubara sudah menipis. Lalu tiba-tiba negara merasa peduli terhadap kerusakan lingkungan. Katanya perubahan iklim mengancam umat manusia. Kita semua harus ikut andil menyelesaikannya.

Hanya dengan menggerakkan jari tangan, Anda  akan menemukan pernyataan-pernyataan kepedulian negara atas hal itu. Rupanya negara hendak andil dalam menurunkan beban karbon sekian juta ton. Salah satu caranya adalah dengan menyetop dari energi kotor. Lalu beralih ke energi bersih. Dari energi tinggi karbon ke energi rendah karbon. Dari energi tak terbarukan ke energi terbarukan. Masih banyak istilahnya.

Salah satu jenis energi yang hendak dibangun berikutnya adalah pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Energi panas bumi ini digadang-gadang dianggap terbarukan. Asumsi itu dilihat dari bagaimana cara kerjanya. PLTP menggunakan air dicampur fluida khusus sebagai bahan dasarnya. Cairan itu yang dipanaskan menjad menjadi uap. Setelah mendingin fluida itu digunakan lagi.

Cara kerjanya, dengan membangun semacam sumur injeksi dengan kedalaman tertentu. Melalui sumur injieksi itu cairan dialirkan ke perut bumi, sampai menyentuh batuan panas. Lalu cairan mengalami kenaikan suhu dan menjadi uap. Uap ini kemudian dialirkan ke permukaan untuk memutar turbin. Sehingga menghasilkan listrik. Uap yang sudah dingin dan kembali mencair lalu dialirkan ke perut bumi lagi. Untuk dipanaskan lagi. Berputar begitu, seterusnya. Itulah alasannya PLTP disebut-sebut terbarukan.[1]

Akan tetapi banyak perdebatan dari para ahli tentang apakah PLTP ini terbarukan atau tidak. Tetapi pengalaman di beberapa tempat telah membuktikan. Meskipun polusi karbon yang dihasilkan tidak sebesar pembakaran energi fosil, PLTP telah menimbulkan bencana industri yang tak kalah besar. Korbannya jelas manusia dan lingkungan.

Bosman Batubara (2012) dalam catatannya telah menyebutkan ada tiga dampak negatif yang ditimbulkan dari sistem energi panas bumi terhadap lingkungan. Pertama, gempa minor. Kedua, percemaran sumber air. Ketiga, amblesan tanah. Dalam catatan itu dijelaskan pula dengan rinci menurut kajian geologis bagaimana ketiganya bekerja. Dari ketiganya itu disimpulkan energi panas bumi berpotensi menelan banyak korban

Belajar dari Gempa 5,5 SR di Pohang

Ada  banyak yang dikorbankan ketika proyek energi ini beroperasi di suatu tempat. Salah satunya ketika aktivitas injeksi fluida PLTP berdampak pada penurunan daya ikat batuan dalam perut bumi sehingga menimbulkan pergerakan.

Dalam catatan Bosman disebutkan,biasanya gempa yang ditimbulkan oleh proyek PLTP berkisar di bawah 5.0 skala ritcher. Misalnya yang terkenal di Bassel, Swiss pada 2006. PLTP memicu gempa dengan skala 3,4 SR. Namun pada 2017 lalu,  PLTP memicu gempa dengan skala yang cukup besar: 5,4 SR di Pohang, Korea Selatan. Pemerintah Korea Selatan sendiri mengakui, germpa diakibatkan oleh operasi PLTP di sana.

Gempa ini tercatat sebagai gempa terbesar kedua dalam sejarah gempa di Korea Selatan. Sebetulnya, ada rentetan gempa minor yang terjadi di Pohang sebelumnya. Bahkan beberapa ilmuwan tidak mengira akan terjadi gempa dengan skala yang mengejutkan itu.

Juheon Lee dalam The Diplomat mencatat, gempa akibat proyek PLTP di Pohang itu telah menimbulkan 1.800 orang mengungsi dan 135 terluka serta merusak 57.000 bangunan yang menelan biaya sekitar 144,5 miliar won (123 juta dolar) untuk diperbaiki. Gempa besar tersebut berimbas pada dampak mental ke hampir 80 persen penduduk Pohang, dan meninggalkan trauma yang mendalam kepada 42 persen korbannya.[2]

Bisa dipahami korbannya sebanyak itu. Wilayah Pohang cukup padat. Per Desember 2008 kepadatannya mencapai 458.17/km2. Tetapi betapapun itu, intinya gempa tetaplah bencana. Ia dibuat oleh manusia, korbannya pun manusia. Oleh manusia berkekayaan luar biasa, atas ribuan manusia biasa yang tak punya salah apa-apa.

Selain dampak sosial, Lee menyebutkan kota Pohang memperoleh julukan “kota gempa.” Stigma itu kemudian mengakibatkan orang-orang dari luar pohang, termasuk wisatawan untuk berfikir dua kali untuk berkunjung ke sana. Sehinga, warga masih merasakan dampaknya bahkan setelah beberapa tahun tragedi gempa. Sampai akhirnya kota itu benar-benar bersih dari stigma.

Belajar dari tragedi bencana industri tersebut, warga Pohang menjadi lebih kritis dari sebelumnya. Misalnya Lee mencatat warga Pohang menjadi sensitif ketika pemerintah melakukan eksperimen teknologi penyimpanan CO2 di bawah perut bumi untuk mengurangi lepasan karbon di udara. Mereka meminta agar dua pipa penyimpan CO2 bawah tanah itu segera ditutup. Warga Pohang tidak lagi mau dijadikan kelinci percobaan proyek-proyek lingkungan. Ya, untuk kedua atau ke sekian kalinya.

Bencana kegempaan yang didorong oleh aktivitas panas bumi yang dialami warga Pohang ini sudah terjadi di beberapa tempat lainnya. Misalnya di proyek Geysers, Amerika Serikat pada 1972; Gempa di Prancis pada 1999; Proyek Bassel, Swiss pada 2006; Gempa Changning, China pada Juni 2019.[3] Lalu peristiwa gempa akibat proyek panas bumi terbaru terjadi di Strasbourg, Prancis pada Desember 2020 dengan skala 3,5 SR.[4]

Belajar dari Mataloko yang Tercemar

Selain masalah kegempaan, aktivitas proyek panas bumi juga berimbas pada pencemaran. PLTP berpotensi air dan udara. Lalu pada akhirnya mengancam keselamatan warga sekitarnya. Kasus kontaminasi semcam itu dapat dilihat di Mataloko. Sebuah desa di Kecamatan Ngada, Nusa Tenggara Timur. PLTP di sana sudah berjalan sejak 1998. Sehingga,  dampak yang ditimbulkan juga begitu kentara.

Dari Mataloko kita bisa belajar cukup banyak. PLTP telah banyak merugikan warga kampung sekitar. Sebuah film dokumenter Indonesiaku Trans 7 yang berjudul “Tersengat Panas Bumi Mataloko” membeberkan banyak hal. Dari bangaimana proyek itu mencemari air sungai, udara dan lahan pertanian, sampai merengut kesehatan dan rasa aman.[5] Berikutnya, inilah yang akan lihat jika Anda menontonnya.

Dokumenter itu menampilkan bahwa panas bumi berakibat pada munculnya lubang-lubang di tanah. Awalnya lubang itu kecil, lalu membesar. Tampak seperti lahan-lahan tambak, tapi berisi lumpur dan gas panas.

Pada saat dokumenter itu dibuat, sudah ada 50 titik lubang dan menyebabkan 5 hektar sawah mati total. Sekarang, mungkin lebih besar lagi. Sawah-sawah disekitarnya juga mengering, dan menurun kualitasnya.

Aliran sungai dan irigasi ikut tercemar parah. Dulunya sungai di sana bisa langsung di minum. Biasanya jadi tempat bermain anak-anak. Sekarang itu sudah tinggal jadi cerita. Air bersih menjadi bahan yang langka di sana. Hal ini juga berdampak pada ternak-ternak milik warga.

Karena irigasinya tercemar, banyak warga yang memutuskan alih komoditas tani mereka. Padi di sana sudah tak bisa ditanam lagi. Beberapa pindah ke jagung. Tapi tetap saja rugi, banyak hasil panen yang kerdil. Sehingga, harganya terjun bebas. Petani rentan mengalami kerugian. Beberapa yang bertahan, karena memang tak banyak pilihan.

Selain sungai, proyek panas bumi juga mencemari udara di Mataloko. Mau tidak mau warga menghirupnya setiap detik. Padahal, zat kontaminan pencemarnya dikenal berbahaya. Zat itu bernama hidrogen sulfida atau dikenal H2S. Berdasarkan kadar kontaminannya zat H2S secara berurutan berdapak pada bau tidak sedap, batuk-batuk, iritasi mata, berkurangnya indra penciuman, mata membengkak, hilang kesadaran, sampai kematian.[6]

Hanya selang dua tahun, di Mataloko zat kimia ini bahkan korosif terhadap atap-atap rumah. Biasanya semua yang berbahan seng, menjadi berkarat, dan rapuh seperti kerupuk. Akan hancur dengan hanya menekannya dengan tangan kosong. Sehingga, warga harus mengganti atap rumahnya, setiap dua tahun. Padahal harganya tidak murah.

Menurut catatan Floresa, ada 1579 rumah di 11 desa yang terdampak pencemaran udara oleh proyek panas bumi di Mataloko. Tepatnya, di Desa Uiubelu, Rotogesa, Waeia, Malanuza, Dada Wea, Rada Bata, Were, Ekoroka, Todabelu, Radamasa dan Mataloko tentu saja. Warga di 11 desa itu mengaku mengalami gejala penyakit pernapasan dan kulit akibat udara di lingkungannya tak lagi ramah.[7] Sedemikian besar dampaknya, proyek energi panas bumi di Mataloko hanya salah satu dari 16 titik wilayah kerja panas bumi (WKP) di seluruh pulau Flores.

Refleksi

Menurut catatan terbaru Badan Geologi, potensi panas bumi di Indonesia sebesar 23,9 Giga Watt (GW) hingga Desember 2019 lalu. Lalu data Direktorat Panas Bumi mencatat, potensi ini baru dimanfaatkan sebesar 8,9% atau 2.130,6 MW. Masih banyak yang belum dimanfaatkan. Pemerintah menargetkan peningkatan pemanfaatan panas bumi menjadi 7.241,5 MW atau 16,8% di 2025.[8]

Cadangan panas bumi di Indonesia begitu besar. Sebut saja, apabila rata-rata satu proyek PLTP berkapasitas 150 MW, maka ketika potensi 23,9 MW itu direalisasikan, kira-kira akan ada 160 proyek ekstraksi yang akan di bangun di Indonesia. Sementara itu, melihat angka korban dan keruguian warga di dua lokasi Pohang dan Mataloko begitu besar, akan berapa lagi korbannya jika potensi panas bumi sebesar itu direalisasikan?


[1] Lihat Bosman Batubara. Dampak Negatif Energi Geothermal terhadap Lingkungan. https://www.academia.edu/9416221/Dampak_negatif_energi_geothermal_terhadap_lingkungan

[2] Lihat Juheon Lee. The Social Fallout From Pohang’s Man Made Earthquake. https://thediplomat.com/2019/12/the-social-fallout-from-pohangs-man-made-earthquake/

[3] Lihat Hendro Sangkoyo. Catatan Hendro Sangkoyo Tentang Daya Rusak Industri Ekstraksi Panas Bumi untuk Pembangkitan Listrik. https://www.floresa.co/2021/02/05/catatan-hendro-sangkoyo-tentang-daya-rusak-industri-ekstraksi-panas-bumi-untuk-pembangkit-listrik/

[4] Lihat Clara Bauer Babef dan Kira Taylor. Tremor around geothermal plant in France puts spotlight on safety. https://www.euractiv.com/section/energy/news/tremor-around-geothermal-plant-in-france-puts-spotlight-on-safety/

[5] Tonton Dokumenter Tersengat Panas Bumi Mataloko. https://www.youtube.com/watch?v=XF7q_tSXXqo

[6] Lihat Redaksi Oilandgasmanagement.net. H2S dan Bahayanya. https://oilandgasmanagement.net/h2s-dan-bahayanya/

[7] Lihat Redaksi Floresa. Proyek Geothermal Mataloko: Lahan Pertanian dan 1.579  Rumah Rusak, Negara Didesak Bertanggung Jawab. https://www.floresa.co/2019/08/31/proyek-geothermal-mataloko-lahan-pertanian-dan-1-579-rumah-rusak-negara-didesak-bertanggung-jawab/

[8] Lihat Direktorat Jendral EBTKE. Potensi Besar Belum Termanfaatkan, 46 Proyek Panas Bumi Siap Dijalankan. https://ebtke.esdm.go.id/post/2020/03/27/2518/potensi.besar.belum.termanfaatkan.46.proyek.panas.bumi.siap.dijalankan

Penulis adalah alumnus Pesantran Attarbiyatul Wathoniyyah (PATWA) Mertapada; prodi Pengembangan Masyarakat Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon; dan pegiat FNKSDA Cirebon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like