Paulo Freire dan Filsafat Tutwuri6 min read

Paulo Freire tiba-tiba menjadi pusat perhatian, tidak kalah dengan klab sepak bola Santos yang baru beberapa waktu lalu [1972, ed.]melawat ke Indonesia. Orang tua berjenggot yang, sesudah berkelana sebagai orang usiran, kini kembali dan menetap di Brasil, tiba-tiba banyak disebut namanya. Aneh bin ajaib, bahwa praksisnya yang muncul dari keprihatinan atas budaya wong cilik negerinya sendiri (dan negeri-negeri Dunia Ketiga), tiba-tiba disejajarkan dengan gerakan kiri yang muncul karena kejenuhan hidup di negeri-negeri Eropa Barat dan Amerika Utara.

Selidik punya selidik, dua penerbit terkemuka di Jakarta ternyata secara hampir bersamaan menerbitkan dua terjemahan berbeda dari satu buku yang sama, Pedagogy of the Oppressed (1972). Pendidikan Kaum Tertindas (1985) dari LP3ES memuat gagasan yang sama dan sebangun dengan Pendidikan, Pembebasa,n dan Perubahan Sosial (1984) dari YIIS.

Garda Depan

Agaknya Freire juga tidak eksplisit berbicara tentang sistem ekonomi. Salah satu daya tarik Freire sebenarnya terletak pada sistem pendidikannya yang dilandasi oleh filsafat manusia yang kurang lebih padu. Sistem pendidikan itu menarik, antara lain karena menunjukkan keberhasilan yang berarti di Brasil, Chile, Peru atau Guinea Bissau.

Dalam kampanye pemberantasan buta huruf, orang-orang dewasa dengan tingkat kecerdasan rata-rata ternyata dapat membaca dan menulis hanya dalam waktu enam hingga delapan pekan. Kuncinya ialah dialog, sikap hormat kepada gotong-royong otentik, yang mendasarkan diri pada kemandirian otentik. Gotong royong otentik sekaligus merupakan kritik terhadap Kartesianisme. Bukan “aku berpikir, maka aku ada”, melainkan “kita berpikir, maka kita ada”.

Pemikiran otentik muncul dalam dialog, bukan dalam komunike (pengumuman atau pemberitahuan resmi dari pemerintah) satu arah. Ini menjadi dasar sistem pendidikan Freire, yang dengan mengingat bahwa kesadaran wong cilik biasanya merupakan kesadaran nrimo, berupaya agar dialog itu sekaligus merupakan konsientisasi.

Bersama dengan Ivan Illich dan Everett Reimer, Freire sering dianggap sebagai pedagog garda depan, pedagog dengan pemikiran-pemikiran dan penjelajahan yang lebih mendasar daripada pelbagai kecenderungan atau orientasi baru yang sampai kini pernah diketengahkan. IDAC mendokumentasikan adanya lima kecenderungan pembaharuan itu.

Yang pertama ialah kecenderungan yang melihat terdidik atau anak murid sebagai pusat kegiatan pendidian dan mencoba menyesuaikan suasana kehidupan di sekolah dengan suasana kehidupan sang anak. Dalam perspektif ini, setiap usaha untuk mengalihkan pengetahuan dari guru kepada anak atau untuk memaksa anak mengikuti “program resmi” ditolak. Anak hanya perlu dibekali sarana-sarana untuk menyusun dan mengembangkan gagasan-gagasan dan kehidupan intelektualnya sendiri, untuk pada gilirannya menjawab tantangan-tantangan lingkungannya sendiri. Dalam “sekolah baru” atau “sekolah aktif” ini, guru harus mampu memasuki “dunia” anak: bahasa, pola perilaku, proses sosialisasi anak. Inilah langkah lebih maju dalam kegiatan pendidikan sebagai tutwuri handayani di pihak guru.

Kecenderungan kedua memberi prioritas kepada perkembangan sosio-emosional anak atau terdidik. Ini seringkali dipadukan dengan kecenderungan-kecenderungan pertama di atas: kepribadian tidak hanya memuat segi kognitif tetapi juga afektif. Para pendidik yang sungguh-sungguh menaruh hormat kepada perkembangan sosio-emosional anak selalu siap mengubah rencana pelajaran. Bagaimana pun, kedua kecenderungan di atas sama-sama mau memperbaharui sistem persekolahan dengan menarik perhatian pada perlunya memperbaiki prosedur persekolahan sedemikian sehingga kebutuhan khas setiap anak diperhatikan.

Adapun kecenderungan ketiga, di bawah pengaruh psiko-analisis, mempersoalkan peranan pendidik atau guru dalam proses belajar-mengajar. Kemampuan pendidik untuk menerima orang lain (murid) sebagaimana adanya, mengandaikan bahwa pendidik sudah mampu menerima dirinya sendiri, relatif sudah menyatu dengan —dalam istilah romo Mangunwijaya— jati dirinya. Peranan hierarkis dan birokratis yang dimainkan oleh kebanyakan guru dalam proses pendidikan —peranan yang tidak otentik itu— menimbulkan banyak kesulitan bagi guru. Seringkali diabaikan oleh kebanyakan guru, adanya gejala-gejala psikis yang muncul dalam hubungannya dengan murid, seperti “transferensi”, “proyeksi”, identifikasi”, dan lain sebagainya.

Kecenderungan keempat berusaha mengembangkan kelas menjadi kelompok yang hidup. Perhatian dipusatkan untuk membangun kelas menjadi suatu kelompok atau kelompokkelompok kerja, baik homogen maupun heterogen. Dengan demikian diperhatikan pula kehidupan sosial dalam kelas dan perkembangan sosial setiap anak sebagai hasil dari interaksi dalam kelompok. Para pendidik yang mendukung perspektif ini menyadari, bagaimana program sekolah yang birokratis dan hierarkis mematikan perkembangan sosial ini.

Kecenderungan kelima sering disebut “pedagogi institusional”, berusaha meretas kontrol birokratis yang membatasi semua usaha untuk menata kembali kelas. Kecenderungan ini mencoba menghidupkan suatu “pelembagaan dari dan oleh kelas sendiri”. Dinamika inti kelas harus diusahakan sedemikian rupa sehingga mampu menggantikan patokan-patokan administratif resmi yang menyangkut program, evaluasi maupun penjadwalan. Refleksi harus terus-menerus dilakukan terhadap aksi berkelas, terhadap pelembagaan-pelembagaan yang tumbuh dalam kelas.

Bagaimanapun, kelima kecenderungan baru itu kurang efektif dan kurang memadai karena terpaku pada refleksi dan modifikasi peranan guru dalam kelas atau sekolah, seakan- akan sekolah ialah sesuatu yang abstrak, suatu lembaga yang terisolasi dari berbagai pengaruh. Padahal, sekolah dikondisikan oleh lingkungan sosio-historis, oleh struktur sosial dan budaya, oleh berbagai institusi lain di luar sekolah. Dalam seluruh jalinan itulah sekolah mendapat tempat dan fungsinya. Justru karena itu pula sistem pendidikan hanya akan menjadi kambing hitam yang pantas dikasihani manakala kesadaran bahwa sekolah dikondisikan secara struktural dibenamkan ke bawah permukaan telaga sosial yang semu tenang.

“Tutwuri Handayani”

Agak berbeda dengan Illich dan Reimer, Freire tidak terutama menggugat sistem persekolahan, melainkan lebih memberi sosok jelas bagi program pendidikan yang menjawab masalah (La Belle, 1976). Dalam berbagai bukunya, Freire mengungkapkan sistem pendidikannya yang sungguh-sungguh berasas filsafat tutwuri handayani.

Freire menggariskan perlunya para pendidik bersikap tanpa pamrih, dalam arti tidak memaksakan latar belakang kebudayaan atau pandangan dunia dari kelas sosialnya sendiri. Kata-kata kunci atau tema-tema pendidikan perlu digali dari dunia tematis wong cilik atau terdidik sendiri sehingga kata-kata yang mereka ucapkan adalah kata-kata sejati, bukan mantra-mantra dari luar yang sekadar harus dilafalkan.

Pendidikan ialah problem posing education, bukan sekadar pendidikan gaya bank, dimana pendidik menyuapkan pemecahan masalah kepada terdidik (problem solving). Malah dalam salah satu makalahnya, Freire dengan bahasa profetis mengatakan bahwa para pendidik mesti “mati” (meninggalkan prasangka dan pamrih elitisnya) untuk mengalami “paskah”, yaitu “dibangkitkan bersama dengan” para peserta didik. Pendidikan tidak boleh jatuh menjadi “bimbingan dan pengarahan” (atau “ekstensi” dalam istilah Freire), karena hal itu hanya akan mengingkari situasi gnoseologis (atau epistemologis) sejati.

Pengetahuan sejati tumbuh dari dialog antarsubjek (model hubungan antarmanusia menurut Marcel atau Buber), bukan antara subjek dengan objek (model hubungan antarmanusia menurut Sartre). Dari pihak guru, pendidik atau katakanlah pemimpin masyarakat, diharapkan adanya sikap tutwuri handayani sebagai salah satu sikap yang mutlak perlu.

Teori dan metode pendidikan Freire sebenarnya juga sarat dengan nilai-nilai religius, kemanusiaan, percaya diri sebagai suatu bangsa, kerakyatan, dan keadilan sosial. Meskipun tak perlu diingkari, bahwa aspek tertentu dari sosialisme ilmiah memang merupakan salah satu inspirasi bagi teori dan metode pendidikan Freire, tetapi bukannya tanpa perbedaan yang tajam pula.

Freire secara tegas menolak tidak hanya “sektarianisme kanan”, melainkan juga “sektarianisme kiri” karena kedua- duanya berpretensi “mengurung sejarah”. Sektarianisme kanan karena pamrih-pamrihnya menganggap bahwa dimensi historis paling penting ialah masa kini dan karena itu sektarianisme kanan cenderung mempertahankan status quo. Sektarianisme kiri cenderung menganggap bahwa dimensi historis paling penting ialah masa depan dan karena itu punya obsesi untuk menjungkir balikkan segala nilai. Kedua-duanya manipulatif dan hanya menimbulkan penderitaan di kalangan wong cilik (bdk. Berger, 1974).

Akan tetapi, sikap tutwuri handayani merupakan salah satu unsur yang sukar diwujudkan dalam metode pendidikan Freire. Dengan terbata-bata, Freire sendiri mengejanya dengan kata- kata metaforis, semisal “mati”, “paskah”, “bangkit”, “metanoia”, dan lain-lain. Lapisan menengah rupa-rupanya lebih sibuk dengan mobilitasnya sendiri daripada sungguh-sungguh prihatin dengan nasib bangsa sebagai suatu keseluruhan.

Salah satu pertanyaan Pak Abdurrahman Wahid dalam Kata Pengantar yang ditulisnya bagi buku Freire yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ialah, mengapa para pemimpin nasional kita yang nota bene banyak eks guru, “segera larut ke dalam pola kehidupan sebagai elite negeri?” (Freire, 1984a).

Dalam memetik sumbangan Freire dan menanggapinya, justru pada titik inilah sebaiknya kita termangu: metode apakah yang bisa membuat para pendidik dan pemimpin tetap bersikap dialogis, tidak mendikte, tidak asal memberi “cap” dan tetap tutwuri handayani?

Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like