Sosialisme (A’la) Bung Karno3 min read

Sukarno berpidato dihadapan BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945. Pidato tersebut dikenal sebagai pidato Lahirnya Pancasila. Ia menghubungkan kebangsaan dan kemanusiaan menjadi Sosio-Nasionalisme. Sedangkan Demokrasi dan Keadilan Sosial menjadi Sosio-Demokrasi.

Sosio-Nasionalisme adalah paham kebangsaan yang berkomitmen pada internasionalisme dan keadilan sosial. Sosio-Demokrasi adalah paham demokrasi kerakyatan. Demokrasinya Masyarakat atau Demokrasinya Rakyat itulah Sosio-Demokrasi, yakni kedaulatan rakyat dalam politik dan ekonomi. Bila rakyat berdaulat secara politik dan ekonomi, maka berakhirlah ketidakadilan sosial yang ditimbulkan oleh Kaum Borjuis dan Oligarki. Dan terwujudlah apa yang dinamakan tata tentrem kerta Raharja, yang disebut Sukarno sebagai masyarakat Sosialis Indonesia.

Menurut Bung Karno, itulah sesungguhnya yang harus dicapai di “seberang jembatan emas” Kemerdekaan Indonesia. Lantas siapakah yang dimaksud dengan “rakyat”?

Sepintas jawabannya sangat jelas : rakyat adalah tiap-tiap orang yang menjadi WNI. tapi bila kita menelusuri lebih jauh, kita akan mendapati bahwa terutama sekali Bung Karno artikan rakyat, sebagai “Marhaen”. Adapun yang dimaksud dengan Marhaen, menurut Bung Karno, adalah “Kaum Proletar (Buruh), kaum tani yang melarat, dan kaum melarat Indonesia yang lainnya”.

Karena itu, “Sosio-Nasionalisme adalah Nasionalisme Marhaen”. Yang bermaksud “memperbaiki keadaan-keadaan di masyarakat itu. Sehingga keadaan yang kini pincang itu menjadi keadaan yang sempurna tidak ada kaum yang tertindas, tidak ada kaum yang celaka, tidak ada kaum yang papa-sengsara”. Dengan kata lain, Sosio-Nasionalisme adalah “nasionalisme politik dan ekonomi, suatu Nasionalisme yang bermaksud mencari keberadaan politik dan keberesan ekonomi, keberesan negeri, dan keberesan rezeki.” Demikian juga Sosio-Demokrasi yang Bung Karno pahami sebagai “Demokrasi yang sejati, yang mencari keberesan politik dan ekonomi, keberesan negeri, dan keberesan rezeki.” Karena itu, Sosio-Demokrasi adalah “Demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.”

Menurut Bung Karno, Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi mendefinisikan Marhaenisme. Bung Karno memaparkan,

“…Bagi kita Marhaen Indonesia, Azas kita adalah kebangsaan dan ke-marhaen-an, Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi… Masyarakat yang nanti didirikan, haruslah Masyarakat Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi, cara Pemerintahan yang nanti kita jalankan adalah cara Pemerintahan Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi, republik yang nanti kita dirikan adalah republik Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi, suatu republik politik sosial yang tiada Kapitalisme dan tiada Imperialisme.”

Tapi dalam risalah Mencapai Indonesia Merdeka, Bung Karno memperingatkan :

“… Indonesia merdeka hanyalah suatu jembatan, sekalipun suatu jembatan emas! Yang harus dilalui dengan segala keawasan dan keprayitnaan, jangan sampai diatas jembatan itu kereta kemenangan dikusiri oleh orang lain selain Marhaen. Seberang jembatan itu jalan pecah jadi dua : satu kedunia keselamatan Marhaen, satu kedunia kesengsaraan Marhaen; satu kedunia sama rata sama rasa, satu kedunia sama ratap sama tangis. Celakalah Marhaen, bilamana kereta itu masuk ke jalan yang kedua, menuju ke alam modalan Indonesia dan keborjuisan Indonesia!”.

Karena itu Bung Karno menyerukan,

“…Marhaen awas-awaslah! Jagalah yang kereta kemenangan nanti tetap didalam kendalian kamu, jagalah yang politiekie macht nanti jatuh ke dalam tangan kamu didalam tangan besi kamu, didalam tangan baja kamu.”

Bagaimana cara Marhaen menjaga atau mempertahankan kemenangan dan politiekie macht atau kekuasaan politiknya?

Bung Karno Menjawab,

“Dengan demokrasi politik dan Demokrasi ekonomi itu nanti diseberang Jembatan emas masyarakat Indonesia bisa diatur oleh rakyat sendiri sampai selamat, —dibikin menjadi masyarakat yang tiada kapitalisme dan Imperialisme. Dengan demokrasi politik dan ekonomi itu, maka nanti marhaen bisa mendirikan Staat Indonesia yang tulen Staat-nya rakyat— suatu Staat yang segala urusannya politik dan ekonomi oleh rakyat, dengan rakyat, bagi rakyat.”

Secara negatif, negaranya rakyat (staat) itu :

“Bukan sistem feodalisme…bukan sistem constitutioneel monarchie… bukan sistem republik yang sebagai di Prancis sekarang atau di Amerika sekarang yang sebenarnya sistem republik daripada demokrasinya ‘kapitalisme’.”

Secara positif, negaranya rakyat (staat) itu merupakan :

“Sistem politik economische republiek yang segala-galanya tunduk pada kecakrawartian rakyat”.

Persisnya,

“Urusan politik, urusan diplomasi, urusan onderwijs, urusan bekerja, urusan seni, urusan cultuur, urusan apa sahaja dan terutama sekali urusan ekonomi haruslah di bawah kecakrawartian Rakyat itu: Semua perusahaan-perusahaan-besar menjadi miliknya staat, – staatnya Rakyat, dan bukan staatnya burjuis atau ningrat semua hatsil-hatsil perusahaan-perusahaan itu bagi keper­luan Rakyat, semua pembahagian hatsil itu di bawah pengawasan Rakyat.”


Sumber Ilustrasi: Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like