Proses Pembentukan Pemikiran Karl Marx5 min read

Karl Marx dilahirkan pada 5 Mei 1818 di Trier, Provinsi Rhein, Prusia, bersamaan dengan masa-masa awal perkembangan kapitalisme privat (private capitalism), yakni kapitalisme yang berpusat pada keluarga-keluarga industrialis. Perkembangan kapitalisme selanjutnya melibatkan negara sebagai pelaku (stategoverned capitalism).[1]

Pada masa-masa awal itu, Marx tumbuh dan berkembang dewasa serta mengalami langsung penggusuran sawah-sawah untuk pendirian pabrik-pabrik. Ironisnya, para petani miskin yang kehilangan tanahnya terpaksa melamar bekerja di pabrik-pabrik yang didirikan di atas tanah “bekas” milik mereka sendiri. Marx Muda yang terdidik dalam keluarga terpandang di masyarakat menikmati banyak kemudahan dibandingkan anak-anak lain yang kurang beruntung hidup dalam keluarga miskin.

Sebagai anak yang mengalami pendidikan yang lebih baik dan anggota keluarga terpandang, Marx memiliki peluang dan akses yang lebih terbuka pada informasi mengenai masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik. Suasana keluarga yang melek huruf dan melek hukum menjadi Sitz im Leben yang menentukan pembentukan intelektualitas, kepribadian, dan aktualisasi diri Marx di masa depan.

Sebagai anak dari keluarga terpandang, Marx mengikuti pendidikan formal memperdalam pelajaran sekolah dengan membaca berita di koran langganan sang ayah, dan terlibat dalam diskusi bersama anggota keluarga mengenai apa yang terjadi di masyarakat. Minat sang ayah akan filsafat hukum menyumbang perkembangan intelektual, kepribadian, dan sikap kritis Marx Muda dalam interaksi sosial dengan orang lain di masyarakat.

Dari John Locke dan Diderot, ia mempelajari empirisme dan materialisme. Pengaruh empirisme dan materialisme dalam pemahaman Marx Muda tentang hukum adalah masalah filosofis mengenai kontradiksi antara “the Is” dan “the Ought” sebagai problem idealisme versus materialisme. Metafisika hukum berbicara tentang prinsip-prinsip, refleksi, dan definisi konseptual mengenai “apa yang seharusnya”, sebaliknya hukum positif berbicara mengenai “apa yang ada” sebagai aturan konkret.

Tidak jarang ditemukan pertentangan antara cita-cita hukum dan realitas hukum dalam bentuk aturan-aturan konkret. Matematika sama halnya berbicara mengenai forma, bukan materi, maka sering terjadi bahwa matematika memperlihatkan bentuk pemikiran yang abstrak, bukan isi pemikiran yang diperlukan untuk mengurus apa yang nyata di masyarakat.[2]

Pemikiran Marx Sebagai Kritik

Marxisme diriwayatkan asal-usulnya pada pemikiran Karl Marx sebagai kritik, terutama kritik terhadap kapitalisme dan hubungan- hubungan kapitalisme tersebut dengan teori ilmu pengetahuan dan praksis sosial, ekonomi, dan politik.

Kritik adalah proses dialektik yang mempertimbangkan praksis secara teoretis dan mendorong teori untuk mewujudkan cita-citanya mengubah kenyataan melalui praksis. Karakteristik pemikiran Marx sebagai kritik memiliki daya tarik sehingga dinanti sekaligus diwaspadai oleh kawan dan lawan. Oleh sebab itu, tidak berlebih pandangan yang mengatakan bahwa tanpa Marx, sejarah dunia tidak terhiasi dengan pelangi “pemikiran” warna-warni yang menarik karena kontrasnya tampilan pemikiran Marx sendiri, Marxisme, dan perlawanan terhadap keduanya.

Tampang pelangi pemikiran Marx dikenal pada Marxisme. Istilah Marxisme ortodoks adalah rumusan Engels dan Kautsky yang menyatakan kesetiaan pada pemikiran asli Marx. Marxisme- Leninisme dalam rumusan Lenin berasal dari Lenin yang mene- kankan ortodoksi Marxisme Rusia pada pemikiran Marx sendiri, neo-Marxisme adalah rumusan Lukács dan Korsch untuk menyatakan revitalisasi pemikiran Marx, pada situasi zaman yang berubah, dan Teori Kritis adalah rumusan Horkheimer, Adorno, Marcuse, Habermas, dan Honneth yang diwarnai oleh kritik terhadap modernisme dan self-criticism terhadap Marxisme demi perwujudan emansipasi politik dan ekonomi.

Pelangi Itu Bernama “Pertentangan”

Kebebasan tak akan ada artinya jika tidak ada pembatasan, sekalipun pembatasan merupakan ancaman bagi hilangnya kebebasan. Pertentangan ini mewarnai perjalanan intelektual Marx sampai ia memperoleh gelar doktor filsafat (1841) dari Universitas Jena, Jerman, melewati pergumulan panjang, berpindah-pindah dari satu universitas ke universitas yang lain karena pertentangan antara apa yang dipikirkan Marx sebagai disertasi dan aturan hukum yang berlaku bagi universitas yang akan memberinya gelar akademik untuk hasil dari apa yang dipikirkan dan ditulisnya: Difference between Democritean and Epicurean Philosophy of Nature (disertasi).

Baca Juga:

Harapan untuk mendapatkan pekerjaan berdasarkan gelar akademik tertinggi pupus seiring pertentangan antara isi disertasi (dialektika materialisme historis) dan lingkungan sosial (struktur masyarakat kapitalis) yang menuntut pelayanan profesional yang klop. Situasi ini memperparah kekecewaan Marx terhadap kepalsuan kehidupan yang dihayati orang-orang yang seakan saleh dan benar tanpa kesadaran kritis. Dalam perspektif pengetahuan kritis, praksis agama yang dihayati dengan cara hidup di atas menyatakan pertentangan antara realitas dan sesuatu yang sesungguhnya adalah bayangan kosong, yang diciptakan oleh ilusi dan menjadi candu bagi pelakunya.[3]

“Pelangi itu indah” dalam ungkapan bahasa sehari-hari adalah karena ekspresi estetik tentang keindahan yang diperoleh dari pandangan mata. Pelangi merupakan pandangan untuk menerangkan konsep abstrak “keindahan”, yang sesungguhnya adalah kontras yang tercipta oleh relasi-relasi pada lapisan warna-warni tersebut. Sama halnya dengan pandangan Hegel mengenai negara hukum melibas perbedaan dalam kekuasaan absolut, maka seperti itu juga Montesquieu keliru ketika mengatakan kehormatan (honor) merupakan prinsip utama monarki, karena apa yang kita lihat adalah kontrasnya, yakni dehumanisasi manusia.

Tidak ada bedanya monarki, despotisme, dan tirani. Kepentingan negara/rakyat di atas segalanya tidak berlaku dalam praktik karena kepentingan penguasa mengambil porsi paling besar dalam perlindungan hukum, sedangkan masyarakat ada di bagian paling kecil dan tak berarti.[4] Marxisme berkembang dari dua sumber pemikiran Marx sendiri pada periode awal sebagai Marx Muda dan pada periode lanjut sebagai Marx Tua. Tanggapan mengenai hubungan dua tahap pemikiran Marx tersebut berbeda-beda; sebagian komentator menilai berkesinambungan, dan sebagian lainnya menilai tidak berhubungan satu sama lain[5].

Louis Althusser adalah pemikir Marxis yang dengan tegas mengatakan bahwa ada pemenggalan yang memisah satu sama lain (coupure) dalam pemikiran Karl Marx, dari filsafat ke sosiologi, dari humanisme ke revolusi, dari teori ke praksis, dari Marxisme ortodoks ke Marxisme-Leninisme dan seterusnya.

Singkatnya, ada perubahan radikal dalam pemikiran Marx Muda ke Marx Tua, disertai upaya mempertahankan keduanya secara murni di satu pihak, dan upaya mengadopsi dan mengadaptasi orisinalitas ajaran Marx sesuai tuntutan situasi aktual di pihak lain. Pandangan mengenai perkembangan pemikiran Marx tersebut dirumuskan Althusser dalam bukunya, Ecrits philosophiques et politiques. Tome II (1993) dan Ecrits sur la psychanalyse (1995), kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul The Humanist Controversy and Other Writings (1966- 67) dalam tahun 2003[6].


[1] Jürgen Habermas. The Structurol Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Seciety, diterjemahkan dari teks Jerman, Strukturwandel der Offentlicheit, oleh Thomas Burger dan Frederick Lawrence (Cambridge, Mass: MIT Press, 1989).

Baca Juga:

[2] Karl Marx, “To (Father) Heinrich Mane (in Trier)” dalam The Letters of Karl Marx, diterjemahkan dengan catatan penjelasan oleh Sayk K. Padover (Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice- Hall Inc, 1979), hal. 4-14.

[3] Karl Marx, “From Letter to Arnold Ruge (at Dresden)” dalam ibid., hlm. 14-16.

[4] Karl Marx. “To Arnold Ruge (at Dresden)” dalam ibid., hlm. 26-27.

[5] Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Jakarta: PT Gramedia, 2005), hlm. 8.

[6] Louis Althusser, “Marx Theoretical Revolution” dalam The Humanist Controversy and Other Writings (1966-1967) (New York: Verso, 2003), hlm. 227.

Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like