Cerpen – Bertemu Si Pembunuh Tuhan di Kannenfeld3 min read

Setelah lima jam menulis untuk buku yang direncanakannya, pemuda itu merebahkan badan lalu tertidur. Beberapa jurus kemudian ia merasa berada di sebuah taman, tempat yang tidak pernah ia kenal sebelumnya. Ia berjalan menyusuri taman hingga sebuah papan nama menghentikan langkahnya. Tertulis di sana: Kannenfeldpark.

Sekarang ia tahu sedang ada di mana, di kota Basel. Tepatnya di distrik St. Johann, kota Basel, Swiss. Kannenfeldpark adalah taman terbesar di kota Basel. Kota ini tumbuh dalam kompleksitas sejarah. Di timur Kannenfeldpark terdapat sungai Rhein, sungai terpanjang di Eropa. Turun ke bawah sedikit berdiri megah Universität Basel. Dekat dari situ ada situs bersejarah Basilisken-Brunnen. Kota Basel berada di perbatasan tiga negara: Swiss, Jerman dan Perancis.

Pemuda itu berjalan lagi menyusuri taman. Beberapa saat kemudian ia melihat seorang laki-laki berkumis tebal sedang berdiri memandangi Le Monument Aux Morts. Sebuah monumen peringatan tewasnya tentara Prancis melawan Prusia pada 1870-1871. Laki-laki berkumis itu perlahan menoleh dan memanggil pemuda itu dengan isyarat tangan. Pemuda itu mendekat mencoba memastikan, ia terkejut karena laki-laki berkumis itu mirip seorang filsuf besar abad sembilan belas. Mirip sekali. Kumis macam tanduk mungil, rambut klimis, tampilannya necis. Gambar orang ini banyak tersebar di internet. Hari-hari ini, ketika fenomena depresi semakin menggila, ucapan orang ini banyak dikutip di mana-mana sebagai aspirin.

“Apakah Anda Nietzsche, maksud saya Friedrich Wilhelm Nietzsche?”

“Tentu. Saya Nietzsche sahabatmu, Bung. Apa kau lupa?”

Si pemuda mendelik bingung. Ia bertanya-tanya bagaimana bisa Nietzsche menyebutnya sahabat. Padahal Nietzsche adalah filsuf besar yang banyak dibicarakan di ruang diskusi, di buku-buku, di mana-mana. Seorang filsuf kontroversial.

Pernah pada tahun 1882, Nietzsche menerbitkan sebuah buku yang di dalamnya terdapat perkataan ini: “God is dead —tuhan sudah mati. God remains dead —tuhan tetap mati. And we have killed him —Dan kami telah membunuhnya.” Inilah perkataan yang membuat ia dijuluki sang pembunuh tuhan. Julukan paling berani yang pernah disematkan pada manusia.

Di hadapan pemuda itu, Nietzsche tampak antusias, seperti seorang sahabat yang lama tidak bertemu. Spontan mereka bercakap-cakap layaknya teman lama. Mula-mula ia merasa aneh. Tapi kemudian tak ingin melewatkan momen itu, si pemuda pun mengabaikan perasaannya. Si pemuda melanjutkan percakapannya dengan Nietzsche. Mereka menikmatinya. Hingga di ujung percakapan, mereka terlibat dalam pembahasan yang agak sentimental.

“Apa Bung pernah jatuh cinta,” tanya Nietzsche.

“Pernah.”

“Satu kali?”

“Tiga kali. Tapi katakanlah itu hanya cinta tak sampai, karena tak pernah kunyatakan.”

“Mengapa?”

“Perhatianku terlalu besar untuk diriku.”

“Bukankah itu artinya Bung dikuasai ego?”

“Apa begitu?”

“Apa Bung telah mempersiapkan diri menjomlo selamanya seperti… Si Bung Madilog itu?”

Si pemuda terdiam. Kikuk.

“Tapi, Nietzs,” katanya, “Sebenarnya aku memiliki pendapat lain soal ini.”

“Maksudmu?”

“Kau pernah menulis dalam Ecce Homo bahwa permintaan untuk dicintai adalah jenis arogansi paling besar. Kupikir perkataanmu itu ada benarnya.”

“Lalu?”

“Bukankah itu artinya ego menguasai jiwa orang-orang yang menuntut untuk dicintai. Aku tidak menuntut siapa pun mencintaiku.”

“Hei, Bung! Kau dengar aku baik-baik. Sesungguhnya Ecce Homo kutulis dengan perasaan angkuh. Aku merasa marah karena tidak ada wanita yang mau menemani laki-laki gila sepertiku sampai menjelang kematianku. Rasa kecewa itu kumuntahkan dalam Ecce Homo. Di sana aku mengimajinasikan diri sebagai manusia paling sempurna —Übermensch, manusia soliter yang istimewa, manusia super nan luhur. Kau tahu, hanya orang gila yang mau percaya dan mengutip perkataan omong kosong itu!” Terang Nietzsche.

“Apakah maksudmu kita ini dua laki-laki gila?”

Sambil melangkah pergi dengan senyum kecil Nietzsche berkata, “Setidaknya kegilaan telah menjadikanmu filsuf.”

“Hei! Kau mau ke mana?”

“Sudah waktunya kau bangun. Kau harus melanjutkan tulisanmu.”

“Tapi… Tunggu!”

Nietzsche tak menghiraukan teriakan si pemuda. Ia terus melangkah mendekati sungai Rhein. Si pemuda mengejar. Hingga akhirnya si pemuda menyaksikan sang filsuf gila itu perlahan terbang menjadi buliran cahaya jingga. Melesat menyusuri sungai Rhein. Berbelok tajam ke langit … lalu menghilang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like