Kala Puisi Terasa Ganjil di Telinga Kita8 min read

Sederhananya, puisi itu produk manusia yang sewajarnya mempunyai daya guna. Ia bisa menjadi alat, mainan, atau sekedar untuk koleksi belaka, seperti halnya pisau atau korek api. Ia mungkin saja dianggap sebagai kebutuhan wajib atau kebutuhan primer sampai-sampai terlalu sulit untuk kita diabaikan. Mungkin juga, bagi sebagian orang, ia merupakan sesuatu yang sakral, butuh perlakuan khusus dan ritual-ritual tertentu untuk bisa digunakan.

Puisi, dengan demikian menjadi sangat penting dalam kehidupan. Tapi, kadang juga ia tidak penting sama sekali. Atau paling tidak, agak penting lah. Gae nduwe-nduwean.

Namun, yang pasti, seperti juga produk manusia lain, ia diciptakan alias diadakan. Jadi, pada mulanya ia memang tidak ada. Di mana sih puisi itu? Kapan adanya puisi itu? Kenyataan ruang dan waktu akan mengungkapkan bahwa puisi itu sesungguhnya memang tidak ada. Yang ada hanyalah puisi yang tak bisa dibuat menjadi sebuah wujud, yang tak bisa diciptakan dan ditulis. Tulisan-tulisan atau ucapan-ucapan yang biasa kita sebut puisi itu sesungguhnya bukan puisi yang sebenarnya. Tapi, kalau boleh disebut, ia hanya dongeng saja, ada-tiada, semu.

Sebutir puisi, sehimpun puisi, atau semenit ucapan puisi yang sering kita temui sehari-hari hanya merupakan salah satu bentuk komunikasi puisi dalam rangka mensosialisasikan puisi (saja, tidak lebih). Dari kenyataan itu, kita bisa mengatakan bahwa puisi itu untuk menyalakan rokok, hiburan, atau koleksian belaka. Sosialisasi puisi semacam itu mempunyai peran “sangat penting” dari ideologi kesusastraan kita. Setiap puisi lahir, selalu dibarengi dengan perbincangan, diskusi, launching, atau bedah puisi. Tanpa ada ‘ritual’ pokok semacam itu, sebagian orang akan mengatakan puisi itu tak berdaya guna – tak bisa dijual, tak berkualitas. Puisi, dengan demikian, tak ubahnya seperti pisau, yang baru ‘ada’ saat ia sudah mengalami proses distribusi atau dipasarkan.

Aku yakin, kita semua pasti pernah ‘menciptakan’ puisi – meski tak selesai atau sepenggal saja atau apapun bentuknya. Tapi harus diakui dengan berat hati, bahwa puisi kita tidaklah ‘ada’ sampai ia disosialisasikan pada masyarakat dan ‘diterima’ oleh masyarakat (penerbit?). Dan karenanya, puisi terasa sangat asing di telinga sebagian masyarakat kita. Kenapa? Ada tiga hal yang perlu dicatat di sini: komunikasi puisi, kualitas puisi, dan keasingan puisi.

Komunikasi Puisi

Sebagaimana barang-barang lain, setiap barang mempunyai bahan utama untuk membuatnya. Pisau dari besi, korek dari dari gas. Puisi, bahan utamanya adalah bahasa. Bahasa – yang mempunyai kerumitan – sendiri sederhananya bisa berupa tulisan atau ucapan. Pun puisi. Karena bahan utama itu seringkali menjadi inti, maka puisi bisa juga kita panggil sekedar sebagai ‘sistem ungkap’. Namun, apakah puisi hanya sekedar itu? Tentu tidak.

Dalam bahasa, setiap kata mempunyai makna – atau setiap penanda mempunyi tinanda. Setiap kita bicara, selalu ada makna di sana. Karena itu keduanya juga secara inhern ada setiap puisi lahir.

Pertama, puisi itu ‘ada’, kemudian dikomunikasikan dengan hanya dalam bentuk tubuh tulisan atau dengan lisan. Antara puisi tulisan dan puisi lisan punya dimensi dan bidang yang berbeda. Puisi tulisan – surat cinta, antologi, rubrik koran, (quote?) dan sebagainya – lebih bersifat personal, lebih intim. Sementara puisi lisan – deklamasi, panggung, pembacaan puisi, dan sebagainya – lebih bersifat umum, berlangsung dalam komunikasi yang lebih kolektif.

Kedua, setelah puisi itu mewujud, masing-masing bentuk mempunyai keunggulan masing-masing. Secara kualitatif, komunikasi tulisan lebih unggul. Tapi puisi lisan lebih unggul secara kuantitatif.

Puisi lisan umumnya lebih aktif. Ia mempunyai kemungkinan yang lebih luas untuk ‘didengarkan’ masyarakat. Lomba-lomba puisi – yang kini mulai jarang – saat 17 Agustus, deklamasi puisi di kampus-kampus atau di gedung-gedung, pernah menjadi catatan sejarah menarik. Atau di masa kiwari ini, musikalisasi puisi, podcast puisi, dan teater puisi, sudah menjadi tren di permasyarakatan puisi Indonesia. Memang, biasanya puisi lisan diawali dengan tulisan, tapi dulu sering kutemui penyair biasanya langsung mencipta puisi on-the-spot. Pernah juga aku dilatih seseorang untuk mencipta puisi di momen dadakan. Toh, dulu puisi-puisi Chairil, Rendra, dan Sapardi banyak yang hafal. 

Sementara itu, puisi tulisan umumnya lebih pasif. Biasanya hanya tergantung pada ‘kehendak pasar’. Di sini, puisi seringkali hanya menjadai komoditi belaka. Kadang media tertentu merasa butuh puisi karena ada permintaan, kadang juga tidak butuh karena semi permintaan. Penerbitan buku puisi oleh penerbit-penerbit besar pun sering melakukan hal serupa, menerbitkan buku puisi hanya-jika sekiranya ‘laku’ dan berdaya jual. Penerbit-penerbit kecil pun ketika menerbitkan buku puisi seringkali hanya karena alasan perkawanan. Tidak usah merengut. Bahkan sangat mungkin kita temui penyair yang membuat puisi sendiri, ia kurasi sendiri, ia terbitkan sendiri, dan ia konsumsi pribadi. Wajar saja. Karena itu, sifatnya lebih ke personal.

Tidak semua seperti itu, tentunya. Di saat-saat tertentu, kadang puisi tulisan lebih aktif dibanding puisi lisan. Bahkan daya jangkau puisi tulisan pada dasarnya mempunyai potensi menjangkau 270 juta+ manusia Indonesia – ya tapi mana mungkin buku puisi dicetak penerbit lebih dari 10ribu eksemplar. Jadi, sebagai ‘perwujudan tubuh’ dari puisi, baik puisi tulisan dan puisi lisan mempunyai kelemahan dan kelebihan masing-masing, sebagaimana pisau dapur dan pisau sembelih. 

Kualitas Puisi

Setelah mewujud dan dikomunikasikan, puisi secara langsung membawa makna – atau nilai, atau pesan – di dalamnya. Lalu dari makna inilah kecenderungan orang-orang menilai kualitasnya. Puisi yang berkualitas adalah puisi yang bermakna (celakanya, atau kadang beruntungnya, persoalan kualitas dan makna seringkali lebih bersifat subjektif belaka. Setiap orang punya standar kualitas masing-masing. Jutaan teori sastra seakan sia-sia lantaran tak berguna). Ada makna, ada harga!

Layak tidaknya keberadaan puisi ditentukan oleh kualitas itu. Sebagaimana dikatakan di awal, puisi itu awalnya tidak ada. Baru dikatakan ada setelah mewujud dalam bentuk tulisan atau lisan dan kemudian dibumbui dengan kualitas. Ini memang menyiratkan bahwa tidak semua puisi itu puisi – adigum ini biasanya dijadikan dali para ‘senior’ untuk ‘menguji mental’ penyair Noob.

Lihat saja pada event tahunan lomba penulisan puisi di penerbit-penerbit besar atau di lembaga atau di dewan kesenenian tertentu. Milyaran puisi terkumpul. Tapi tidak sampai 10 puisi mendapat ‘predikat’ puisi lantaran kalah berkualitas. Dewan juri yang baik hati dengan rendah hati lalu membaptis puisi 10 butir puisi itu menjadi puisi, berdasarkan penilaian kualitas. Sementara semiliar kurang 10 lainnya bukan puisi lantaran kalah saing kualitasnya. Semoga saja tidak berakhir di tong sampah, mending dibuat bungkus nasi saja. Akan tetapi, persaingan kualitas puisi, di satu sisi memang menyakitkan. Tapi di sisi lain, itu memang perlu untuk menunjukkan fakta bahwa puisi bukan barang sembarangan, ia adalah barang berkualitas tinggi.

Lalu 10 puisi itu lalu tercatat dalam sejarah. Mereka ditulis, diterbitkan, dikomunikasikan, dipasarkan, kemudian lenyap tertimbun peristiwa-peristiwa percintaan yang tak selesai. Dengan bermodal kenal Pak Eliot, Pak Wellek, Pak Yassin, dan kolega-koleganya, para dewan juri, editor, penerbit, dan CEO pabrik puisi menciptakan puisi yang sesungguhnya puisi. Mereka butuh jawara, butuh yang terbaik, butuh yang berkualitas. Sebab merekalah yang punya dan penjaga gawang ‘sejarah’ dunia perpuisian Indonesia. Merekalah yang punya hak preogratif menyaring isi sejarah perpuisian Indonesia.

Keberatan-keberatan yang dibarengi pertanyaan-pertanyaan tentu mengemuka di sini. Tapi kenyataannya demikian. Meskipun tidak semuanya. “Tidak ada demokrasi dalam puisi,” seloroh seorang kawan dalam suatu perbincangan. Rasa-rasanya memang iya. Bagaimana Anda membayangkan slogan: ‘dari puisi, untuk puisi, oleh puisi’? Apakah urusan puisi itu untuk puisi saja atau menyangkut kehidupan?

Keterasingan Puisi

Pertanyaan-pertanyaan itu adalah pertanyaan klasik dan membosankan. Ujung-ujungnya ke situ arah perbincangannya. Puisi itu ‘hanya’ produk manusia seperti pada umumnya. Kadang penting, kadang tidak. Tapi yang utama darinya ialah kemampuannya untuk menawarkan sesuatu dari atma atau dunia dalam diri manusia: sebuah ide, perasaan, gagasan, keluh-kesah, dan uneg-uneg lainnya. Karena itu, yang pokok adalah atma itu sendiri. Atma ini cenderung abadi – karena setiap manusia mempunyai atma masing-masing yang bersifat khas.

Namun, dunia dalam itu sendiri tidak serta-merta terbatas hanya pada diri individu manusia yang itu-itu saja, lantaran bersama waktu ia juga berhubungan dengan individu manusia lainnya, berhubungan dengan lingkungan sekitar. Kalau tidak salah, manusia itu makhluk sosial. Jadi, dunia dalam diri manusia itu sekaligus merupakan ‘dunia luar’ yang tak terbatas.

Mudahnya, puisi itu seperti mode pakaian. Dunia dalam kita memunculkan mode pakaian model A, tapi kita tahu dari dunia luar ada model B, C, D dan seterusnya. Kita terpengaruh, lalu menggunakan mode pakaian kombinasi AB, AD, atau CD.

Puisi pun demikian, normalnya berubah-rubah. Puisi harus berinovasi, baru, dan dinamis. Sebab, bersama waktu, ia wajib untuk selalu mampu menawarkan dunia dalam itu. Di titik inilah, keterasingan puisi muncul. Di satu sisi, dunia dalam itu kekal. Ia merangkum identitas diri manusia. Sementara di sisi lain, puisi itu tak kekal. Untuk bisa menjadi kekal, puisi harus bergerak. Ia harus menempuh kekekalan itu dengan keberubahan.

Itulah keterasingan dari puisi. Ia diciptakan dari dalam diri manusia yang yang kekal, tapi ia juga harus berperang dengan dunia luar yang selalu berubah. Menang-menangan. Ketika ia kalah dalam perang dan tidak bergerak, puisi itu akan terasing dan menjadi sampah. Puisi opo toh iki?

Puisi-puisi dipaksa hidup berdampingan dengan komoditi lainnya, dipaksa bersaing di lokapasar, dan diharuskan bermain-main dengan teknologi-teknologi mutakhir. Kadang ia seberharga senjata api, kadang ia tak cukup membeli nasi.

Manusia pencipta puisi, atau kita sebut penyair, tentu menyadari ini. Eksistensi penyair adalah puisinya. Eksistensi manusianya, lain urusan. Predikat penyair itu kemudian mewujud menjadi pagar dari predikat manusianya. Pagar itu yang menjadi tempat pemusatan segala nilai hidupnya. Ia menumpahkan keseluruhan dirinya di dalam pagar itu, hanya berkutat di pagar itu saja, dan bukan malah membuka pagar itu dan melihat keluar, mengambil sesuatu dari luar pagar untuk merawat segala yang ada di dalam pagar.

Sering kita temui kawan-kawan penyair kita, ia asik hidup dan bermain dalam dunia ke-puisi-annya, tapi lupa dengan kuliah atau lupa dengan tetangganya atau lupa harga cabe mencapai ratusan ribu. Dengan berpuisi, penyair sangat lihai mengajak untuk menjadi manusia, padahal ada sanak keluarganya yang kesulitan bayar SPP sekolah daring.

Penyair dan manusia adalah berbeda, puisi dan kehidupan adalah berbeda, seperti halnya dunia dalam dan dunia luar. Puisi adalah barang dari dunia dalam. Hoi, para penyair! Ayolah, sesekali ajaklah puisi jalan-jalan keluar melihat kenyataan sekitar. Biar ia tidak terkungkung di dalam, biar puisi tidak terasing!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like