Pada suatu hari, di sebuah lautan biru yang luas hiduplah berbagai macam penghuni laut. Ada berbagai macam ikan, berbagai macam kepiting, udang, cumi-cumi dan juga seekor kura-kura kecil bernama Karu.
Karu berwarna hijau dengan sebuah cangkang yang menempel di atas tubuhnya. Cangkang itu amat keras dan berat. Oleh karena itu, dia berjalan lambat di daratan karena harus membawa cangkangnya. Tetapi, uniknya Karu berenang cepat ketika berada di lautan.
Hingga suatu siang di tengah laut, beberapa penghuni laut sedang berkumpul.
Di sana ada berbagai macam ikan, ada yang berwarna merah, biru, kuning dan warna indah lainnya. Tidak ketinggalan juga ibu gurita dengan delapan lengan panjangnya, dan Pak Udang yang bongkong dengan kumis panjangnya. Wajah mereka terlihat serius sedang membahas sesuatu.
“Bagaimana laut dan daratan kita makin rusak karena ulah manusia,” seru ibu gurita dengan nada kesal.
“Benar tuh ! para Manusia itu suka sekali membuat sampah sembarangan. Terakhir gara-gara ulah mereka ada seekor kura-kura jadi korban, ada sedotan yang tersumbat di hidungnya,” kata pak Udang.
“Iya, manusia harus bertanggung jawab dengan sampah-sampah dan kerusakaan alam yang sudah mereka buat. Jika mereka terus-menerus melakukan ini, mungkin saja laut dapat marah kepada mereka,” kata ikan yang dapat meramalkan terjadi tsunami.
“Kita harus mengingatkan manusia agar tidak lagi membuang sampah sembarangan! Tetapi bagaimana caranya ? Apakah di antara kita ada makhluk yang bisa hidup di darat maupun di laut,” tanya ibu cumi-cumi sembari mengerutkan dahi.
Mata penghuni laut yang sedang berdiskusi itu sontak tertuju kepada dua warga lautan lainnya, Kepiting dan Karu.
“Jangan saya ! Saya takut jadi kepiting saus tiram,” respon kepiting dengan cepat.
Berarti tidak ada pilihan lain. Karu harus bersedia mengemban tugas berat ini. Dia harus ke daratan bertemu dengan salah satu manusia untuk mengingatkan agar menjaga alam.
Karu pun berangkat menuju daratan, sebelumnya Karu telah dibekali kekuatan dari dewa laut agar dapat berbicara dengan salah satu orang manusia yang memiliki hati berbalut kebaikan dan keberanian.
Lima ratus meter jarak dari bibir pantai Kuta. Karu hampir membatalkan tekad untuk mengingatkan manusia tentang berhenti membuat sampah sembarangan. Karena sempat terlintas dibenak Karu bagaimana jika manusia akan menangkapnya dan menjualnya.
Tetapi Karu teringat apa yang menimpa sahabat kura-kuranya costa rika yang menjadi korban sampah sedotan. Karu berpikir lagi jika tidak mengingatkan manusia akan bahaya membuang sampah kelautan. Mungkin penghuni laut, daratan, manusia, dan termasuk dirinya jadi korban selanutnya dari murkanya sang laut.
Sesampainya di bibir pantai Kuta. Karu berjalan dengan perlahan, karena tubuhnya yang kecil sehingga tidak banyak manusia yang memperhatikan dia. Lalu Karu melihat seorang anak bersama keluarga sedang bermain di pantai.
Yang menarik perhatian Karu kepada anak ini karena dia sedang mengumpulkan sampah-sampah di pantai bersama adik perempuannya. Akhirnya Karu memutuskan dan yakin anak ini dapat menolongnya. Karu pun mendekati anak ini. Karena senang melihat Karu yang kecil dan lucu, Putu pun membawanya pulang untuk dipelihara.
Karu pun akhirnya tinggal bersama Putu hampir 1,5 tahun. Hingga pada suatu pagi di mana kami terbangun di atas tempat tidur, terbangun oleh sengatan matahari yang kian hari kian panas. Pagi hari itu serasa siang hari, “Uhuk – uhuk” anak itu batuk karena debu yang terbawa angin kering dari jendela kamarnya, jendela kamar yang terletak tepat di samping kanan tempat tidurnya.
Musim hujan telah berlalu, setelah banjir melanda kota tempat tinggal anak itu, kini kekeringan melanda kota tersebut, tak lelah sedikitpun bencana terus melanda kota ini.
Meskipun begitu, Putu tetap semangat berangkat ke sekolah. Setelah pulang sekolah. Putu mendapatkan tugas dari gurunya untuk menulis esai. Karu berjanji dalam hati akan membantu Putu menulis esai tentang ekosistem laut yang rusak.
Untuk mencuri perhatian Putu, Karu pun memakan plastik yang ada di lantai.
“Eh, mengapa kamu makan plastik ?,” tanya Putu sambil mengeluarkan plastik itu dari mulut Karu.
“Plastik seperti ini banyak di laut,” jawab Karu.
“Dan kami penghuni laut menyangka plastik adalah makanan nikmat.” Karu melaknjutkan kata-katanya.
Putu sangat terkejut!
“Ka-ka-kamu bisa bicara ?” tanya Putu dengan gagap.
“Jangan takut Putu. Perkenalkan nama saya Karu,” jawab karu yang berusaha menenangkan kegugupan Putu dan menjelaskan tujuan Karu.
“Saya datang ke sini dan sengaja makan plastik itu karena ingin mengingatkan kamu dan manusia yang lain bahwa rumput-rumput di laut sudah digantikan dengan sampah plastik dari kalian” Karu dengan nada serius mencoba untuk menjelaskan.
“Ekosistem laut sudah rusak. Itu pasti juga berdampak dengan kalian.” Kembali Karu menambahkan.
Putu hanya terdiam dan merenung, tak ada satu kata pun yang keluar dari mulut anak manusia ini, seolah dalam benaknya merasa tidak percaya apa yang sedang dia lihat dan dia dengar.
“Coba kamu dengarkan putu”. Karu Kembali menjelaskan. Sebuah suara tangisan bayi tetangga memekakan telinga, bayi yang merasa panas terus menerus menangis merindukan kesejukan berhembus ditubuhnya, ibunya mengipasi anak bayi itu dengan penuh semangat dan kasih sayang. Tetapi tetap saja, tangan sang ibu yang memegang kipas tak kuat lagi mengimbangi panasnya iklim kota tempat tinggal kalian Putu.
Itu terjadi karena terganggunya proses terbentuk hujan. Sampah kalian di laut menghalangi matahari untuk menyerap air sehingga awan mendung sulit terbentuk.
Bencana kekeringan akan segera terjadi di kota ini. Kota ini akan segera mengalami polusi udara dan diperburuk lagi oleh racun asap kendaran dan pabrik industri. Orang-orang mengalami sesak napas, asma, sampai penyakit jantung atau paru-paru kronis. Bencana kelaparan bukan saja terjadi di laut atau kota. Tetapi juga desa-desa, para petani mengalami gagal panen.
“Lalu apa yang bisa saya lakukan ?,” tanya Putu memotong penjelasan Karu.
“Melalui tugas esai kamu tentang perubahan iklim !,”
“Koh bisa !,”
“Ayo kita kerjakan bersama !,” kata Karu dengan lantang.
Putu pun akhirnya dibantu oleh Karu untuk mengerjakan tugasnya. Selama mengerjakan tugas perubahaan iklim, Putu menjadi begitu resah dengan data-data yang ditunjukan oleh Karu. Akhirnya tugas esai pun jadi dengan judul ‘Laut sehat, Bumi Pun Sehat’.
Esok harinya, di sekolah, Putu membacakan esainya dengan lantang.
“Kondisi laut kita sedang sakit! sakit karena ulah kita yang suka membuang sampah ke laut. Banyak hewan laut mati oleh plastik yang kita buang sembarangan ! Kita merusak siklus air laut ! Kalau kita tidak menghentikan kebiasaan buruk ini, bencana alam bisa terjadi setiap saat!” seru Putu dengan semangat.
Putu mendapatkan banyak tepuk tangan dari teman-temannya. Esainya pun menjadi terkenal dan menyadarkan banyak orang-orang di kotanya agar tidak membuang sampah plastik ke laut.
Selain itu Putu mendapatkan kesempatan mewakili Youth conference di PBB sebagai anak muda yang berbicara tentang perubahaan iklim. Gerakan Putu pun semakin luas dengan hastag #PutuDariLaut.
Gerakan ini menginisasi berbagai anak muda dalam melakukan aksi dan membuat kebijakan untuk mencegah perubahaan iklim. Seperti kebijakan menghapus sedotan plastik menjadi bambu atau besi. Berbagai penelitian sumber energi baru, dan aksi setiap kamis di depan gedung perwakilan rakyat dan sebagainya.
Dan sejak itu, tidak banyak lagi sampah plastik dibuang ke laut. Karena tugasnya sudah selesai, Putu pun melepaskan Karu untuk kembali ke laut, dan sesampainya di lautan Karu dengan semangat mengabarkan kisahnya bersama Putu kepada para penghuni laut lainnya.
Penulis cerita anak