Momok dari Masa Lalu5 min read

Aku baru saja menyaksikan sebuah tayangan berita di televisi. Kabarnya, seorang siswi SMA berada dalam kondisi kritis setelah melakukan percobaan bunuh diri dengan pengiris urat nadinya. Itu terjadi karena ia depresi setelah mengalami perundungan yang berkepanjangan atas tubuhnya yang tambun. Ia merasa tak tahan dengan semua perlakuan itu, hingga ia merasa lebih baik mati.

Seketika pula, aku teringat pada Rina, sekelasku semasa SMA. Aku pun mengenangnya dengan kepiluan. Aku merasa bersalah kepadanya, sebab dahulu, aku kerap meremehkan dan menghinanya. Aku dan teman segeng perempuanku senantiasa mempermainkannya sesuka hati. Terlebih lagi, sebagai pemimpin geng, akulah yang paling getol memojokkannya.

Pada masa itu, Rina memang seorang perempuan yang punya banyak persoalan atas penampilannya. Ia sangat pemalu dan penyendiri. Ia tampak culun dengan rambut poni dan kacamatanya. Karena itulah, ia selalu menjadi sasaran empuk untuk hinaan dan olok-olokanku bersama teman segengku.

Waktu itu, kami tak sedikit pun merasa bersalah atas kejailan dan kenakalan yang kami lakukan terhadapnya. Kami bahkan merasa senang-senang saja untuk terus merundungnya. Apalagi, ia hanya akan diam atau merengut kesal setiap kali kami mempermainkannya, seolah-olah ia tak bisa meluapkan kemarahannya.

Tingkah kami pun terus menjadi-jadi sebab Rina memang sangat rendah diri. Ia tampak tidak percaya diri atas penampilannya yang sederhana akibat perekonomian keluarganya yang pas-pasan. Ibunya telah meninggal, sedangkan ayahnya hanya bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik tekstil. Sebab itulah, ia tak punya daya untuk bergaya dengan kostum dan aksesoris yang menarik, atau berdandan dengan bahan kosmetik dan parfum yang menawan.

Atas keadaannya yang tertinggal itulah, aku dan teman-temanku jadi gandrung mengoloknya dengan julukan yang merendahkan. Kami kerap memanggilnya culun, gembel, atau jelek atas penampilannya. Kami bahkan sesekali mengerjainya dengan tindakan fisik, termasuk dengan mengotori pakaian dan barang-barangnya, demi membuat penampilannya semakin buruk.

Puncak kejailanku dan teman-temanku kemudian terjadi pada satu hari, ketika kami menguncinya di dalam toilet kala ia sedang buang air. Akibatnya, setelah ia berhasil keluar entah dengan bantuan siapa, ia pun menghampiri kami di kelas, lalu berucap dengan raut datar, “Lakukanlah apa yang ingin kalian lakukan terhadapku. Bersenang-senanglah. Tetapi kelak, aku yakin, kalian akan mendapatkan balasan yang setimpal,” katanya, sembari menatapku sebagai pemimpin geng.

Aku hanya mendengkus dan melepas tawa mendengar ancamannya, disusul tawa teman-teman segengku.

Tetapi setelah kejadian itu, aku dan teman segengku mulai menahan nafsu kejailan kami terhadapnya. Pasalnya, pada semester akhir itu, menjelang ujian nasional, ia memutuskan untuk tidak lagi pergi ke sekolah, dengan alasan bahwa ia merasa tak tahan atas permainan kami dan siswa-siswi yang lain. Untuk itu, kami pun mendapatkan peringatan keras dari guru-guru untuk tidak lagi mengganggunya, atau kami akan mendapatkan sanksi.

Sampai akhirnya, kini, untuk semua yang telah kulakukan kepadanya, aku pun merasa sangat bersalah. Aku yakin bahwa tindakan perundungan yang kulakukan terhadapnya, telah memberi dampak negatif untuk kondisi kejiwaannya. Pasalnya, aku telah menyaksikan banyak kisah orang-orang yang melakukan tindakan fatal karena trauma psikologis akibat perundungan di masa lalu. Terlebih lagi, saat ini, aku telah menjadi seorang sarjana psokologi, sehingga aku jadi paham soal itu.

Sungguh, aku telah menginsafi bahwa aku telah berlaku biadab kepadanya. Aku telah bersikap congkak dengan menghina penampilannya atas diri kami yang sesama perempuan. Aku menghina keadaannya atas kondisi perekonomian ayahnya yang bukanlah siapa-siapa, sembari meninggikan keadaanku atas kondisi perekonomian ayah dan ibuku yang berkecukupan sebagai pegawai berstatus PNS.

Rasa bersalahku pun semakin mendalam setelah ibuku meninggal delapan bulan yang lalu. Aku jadi bisa merasakan kesedihan dan kesepian atas kepergian seorang teman berbagi untuk segela persoalan hidupku. Karena itu pula, aku jadi menerka-nerka, betapa berat Rina melewati masa-masa suramnya di masa SMA atas perundunganku dan teman-temanku, tanpa kehadiran sosok ibu sebagai teman curhatnya.

Tetapi rasa bersalahku sedikit menawar setelah aku menyaksikan keadaannya di media sosial. Ia terlihat bahagia dengan rupa yang semakin cantik atas kemahirannya berdandan. Ia pun telah menjadi seorang sarjana, dan telah bekerja sebagai pegawai berstatus honorer. Atas kenyataan itu, aku berharap semoga kehidupannya semakin membaik, sehingga ia benar-benar melupakan memori pahitnya atas tindakanku dan teman-temanku di masa lalu.

Kini, di tengah rasa bersalahku yang masih menggunung terhadapnya, aku pun terus berusaha untuk menjadi pribadi yang rendah hati dan tidak lagi merendahkan diri orang lain atas alasan apa pun. Aku terus berusaha untuk menghargai siapa pun, sebagaimana aku ingin dihargai. Apalagi, aku tentu tidak ingin kalau kelak aku dikaruniai anak, dan ia menjadi korban perundungan sebagaimana Rina.

Demi membalas sisi kejamku terhadap Rina di masa lalu, aku pun terus melatih diriku untuk menjadi pribadi yang sabar seperti dirinya. Karena itu, aku tak merisaukan keadaan kakiku yang pincang dan sisi pipiku berbekas luka setelah mengalami kecelakaan tunggal dengan mobil yang kukemudikan sebulan yang lalu. Aku bahkan merasa kalau keadaan baruku adalah sebuah balasan dan pelajaran bagiku supaya menghargai dan menghormati penampilan fisik orang lain.

Di tengah pertobatanku, menjelang sore hari ini, aku pun kembali bersiap-siap untuk menyambut kedatangan ayahku, sembari menyaksikan film di layar televisi. Seperti biasa, aku yakin bahwa ia akan kembali membawakanku hidangan lezat dari warung favorit kami. Itu karena di rumah kami memang tak tersaji hidangan yang lengkap atas ketidaksempatannya atau ketidakmampuanku untuk memasak.

Tak lama kemudian, di tengah keasyikanku menonton televisi, aku pun mendengar ketukan di daun pintu. Dengan menumpu pada tongkat, aku lalu berjinjit ke gerbang pintu untuk membuka kuncian. Hingga akhirnya, setelah menyibak pintu, aku terkejut setengah mati setelah menyaksikan kehadiran seorang wanita yang tampak menawan sebagaimana yang kulihat di media sosial, yang masih kukenali sebagai Rina, teman sekolahku.

“Kau masih mengenalnya, kan?” tanya ayahku kemudian.

Aku pun mengangguk saja, lantas melayangkan senyuman kaku dan singkat kepada Rina. Aku tak kuasa berkata-kata atas keterkagetan yang masih menjalari tubuhku.

“Syukurlah,” tanggap ayahku, dengan wajah semringah. “Rina banyak bercerita, bahwa dahulu, kalian memang berteman baik semasa sekolah.”

Tak pelak, aku terheran atas keterangan itu, sebab kenyataannya adalah sebaliknya.

Ayahku kemudian mengajak kami untuk masuk. Kami lantas duduk di kursi yang berhadapan.

Perlahan-lahan, aku semakin penasaran untuk mengetahui perihal hubungan ayahku dengan Rina.

Tetapi seketika, ayahku melontarkan pancingan, “Nak, tidak lama lagi, Rina akan tinggal di rumah ini untuk menemanimu dan membantu keperluanmu.”

Aku pun semakin bertanya-tanya. “Maksud Ayah?”

Ayahku lantas tersenyum semringah. “Maksudku, kami telah bersepakat untuk menikah di akhir bulan ini.”

Perasaaanku sontak menjadi kacau.

“Aku kira, kau akan senang dengan kehadiran Rina di sini,” sambung ayahku, lalu menoleh pada Rina. “Sebaliknya, aku yakin, Rina pun akan senang menemanimu. Kan?”

Rina pun mengangguk sekali, kemudian melayangkan senyuman yang aneh ke arahku, yang tak bisa kutafsir sebagai wujud perasaan apa.

Fan grup band One Ok Rock

One thought on “Momok dari Masa Lalu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like