Cerpen – Langit Mendung4 min read

Ada sebuah kisah yang pernah aku dengar saat aku masih belia, ini bukan dongeng maupun kisah fantasi, bukan juga kisah Romeo dan Juliet hanya kisah sepasang manusia yang menjalin asmara di saat angin berhembus, begitu sejuk dan tenang saat aku bersandar pada pohon beringin besar di taman yang kini sepi, langit gelap, sudah mulai mendung menandakan jika sebentar lagi hujan.

Seseorang laki-laki bersiul pelan sambil tersenyum kecil dengan matanya terpejam saat berbaring di atas rerumputan.

“Aku mencarimu, Zyan.” Ujar seorang perempuan dengan rambut panjang yang indah datang dan duduk di sampingnya.

“Ariane, kau tahu aku senang sekali melihat langit.”

Perempuan bernama Ariane itu hanya tersenyum kecil lalu mendongak, ikut menatap langit. Tidak ada yang istimewa, itu hanya langit mendung yang gelap, mungkin akan berbeda ketika langit sedang cerah.

“Itu hanya awan mendung, kenapa kau senang melihatnya?”

Zyan hanya tersenyum lalu duduk, lalu menatap Ariane dengan lembut, tangannya terulur mengambil beberapa rambutnya dan sedikit memainkannya , “karena cantik.”

Arine menghela napas menyentil dahinya karena mendengar apa yang Zyan katakan, “kau memuji langit atau memujiku?”

Saat itu Zyan menatapnya dengan lekat sambil tersenyum penuh kenyamanan, “aku pernah melihat wanita yang terlihat putus asa dan ingin menyerah akan hidupnya, sekarang wanita itu ada di depanku, dia bersinar layaknya mentari bahkan langit mendung pun terlihat cerah saat dia datang …”

Zyan beralih meraih tangannya, “dia cantik dan dia sempurna … Aku mungkin tak mengenal seperti apa romansa itu karena aku juga pria apatis. Tapi untukmu aku rela berbisik pada angin menyampaikannya pada semesta bagaimana indahnya kamu dan bagaimana romansa kita tercipta.”

Ariane tidak bisa berkata-kata, matanya hanya terpaku pada Zyan, matanya sedikit berkaca-kaca karena bahagia, “aku tidak senang jika kau berbisik pada angin karena seluruh semesta akan tahu bagaimana kamu yang begitu sempurna bersama wanita menyedihkan seperti aku.”

Zyan hanya terkekeh kecil, menggenggam tangannya dengan erat, “sudah aku bilang, kau itu sempurna …”

Keduanya saling bertatapan sambil tersenyum penuh kenyamanan dan senang, hujan pun turun namun anehnya tidak mengenai mereka, seolah hujan tidak bisa menyentuh mereka karena langsung terjatuh ke tanah melewati tubuh mereka. Mereka hanya tersenyum lalu berdiri dan mulai berjalan meninggalkan dua buah nisan di belakang mereka, bertuliskan, Ariane Nirwana dan Zyan Alamsyah.

“Ayo pergi ke kehidupan sebenarnya.” Ucap Zyan sambil menggenggam tangan Ariane dengan erat.

Aku menatap mereka yang sudah berjalan pergi ke tempat seharusnya sedangkan aku berdiri di dekat batu nisan perempuan itu sambil menggenggam bunga tulip putih favoritnya, aku hanya bisa tersenyum kecil karena tahu yang aku saksikan tadi bukan sebuah kisah yang pernah aku dengar.

Helaan napas pelan keluar dari mulutku, aku hanya tersenyum kecil menatap batu nisan mereka, meletakan bunga tulip masih-masing di depan nisan mereka, tidak adil jika aku hanya memberikan tulip pada nisan Ariane saja.

“Aku harap kali ini kamu bahagia, Ariane.” Ujarku dengan suara pelan.

Aku kembali mendongak menatap langit yang terlihat mulai menangis, meneteskan air bernama hujan yang membasahi diriku, aku duduk di antara nisan mereka sambil mengeluarkan seputung rokok dari saku celana, membakarnya dan menghisapnya dengan pelan.

Hembusan asap kecil keluar dari mulutku, rasa penyesalan, frustasi, kesedihan, dan kemarahan seolah terbawa oleh asap, aku terkekeh kecil, seolah mengejek sesuatu, ya aku mengejek diriku.

Aku terus menghisap putung rokok dengan duduk di antara nisan mereka walaupun di basahi hujan putung rokokku masih menyala, asap-asap kecil hanya semakin terlihat keluar dari sela-sela bibirku.

Aku terus melakukannya untuk beberapa saat sebelum menoleh menatap pohon beringin, sosok bertudung hitam sedang bersandar di sana, sedang menatapku dengan tatapan dinginnya.

“Putrimu akhirnya bahagia dengan pria yang pantas.” Suaranya yang tenang namun juga menyesakkan dada hanya membuatku tersenyum getir.

Rasa penyesalan, amarah, dan kesedihan kembali menyeruak seolah menenggelamkanku ke dasar lautan.

“Ariane, dia cantik seperti ibunya.”

“Dan kau mencampakkan ibunya dan membuang putrimu dalam jurang kegelapan.”

Aku terdiam mendengar kata-katanya, terkekeh kecil menertawakan betapa hinanya diriku, mengingat bagaimana aku mencampakkan istriku lalu membuat hancur hidup putriku dengan melampiaskan semua amarah dan kebencian semua orang padanya.

“Kau ayah yang buruk.”

Air mata tak henti keluar dari mataku, aku menangis berteriak keras, mengutuk diri, mencaci diri namun semuanya tidak berguna karena putriku tidak akan bangun lagi untuk semuanya.

Di bawah langit mendung, hujan yang datang, aku menangis mengutuk diri.

“Bisakah aku memutar waktu lagi?” Tanyaku pada sosok bertudung hitam itu yang berada di bawah pohon beringin itu.

Dia dengan tegas berbicara, ekspresi wajahnya dingin dan tenang, “tidak, ini waktumu. Ayo kita pergi, kau mungkin menyusul putrimu tapi tidak akan pergi ke tempatnya berada.”

Aku hanya menangis dalam diam tanpa mengatakan apa-apa, “ya, aku lebih buruk dari apapun, buang aku dalam kegelapan yang tak pernah akhir.”

Sosok itu hanya mengangguk kecil bersamaan dengan itu, aku merasakan waktu berhenti, semua di sekitarku berhenti lalu ada suara berbisik, “kalau begitu matilah.”

Dan semuanya tiba-tiba menjadi gelap saat aku merasakan tubuhku jatuh ke tanah tepat menghadap nisan putriku, setelah beberapa saat akhirnya sadar, aku mati dalam kegelapan abadi.

Hanya seseorang yang gemar membaca.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like