Solilokui Baskara (Tentang Senandika Orang yang Patah)8 min read

Teruntuk Arunika,
secercah jiwa yang hilang seketika.
Ku tuliskan sebuah senandika untukmu,
sebuah kalimat yang berawal dari kata dalam kisah yang semu.
Apa kabar??
Semoga saja rasa mu tak hambar karna sering bertukar kabar.
Semoga kau baik-baik saja,
setelah bumi saat ini sedang tidak baik karena di serang pandemi yang menjajah.
Semoga saja.
Dari aku yang kemarin, untuk kamu yang pergi.
Tertanda
~Baskara

Dering telepon berbunyi, “tttttttttttttt” ku buka handphone ku dan membaca pesan yang di kirim seseorang. “Kamu dimana?” Sebuah pesan tertulis dari kontak yang bernama Arunika. Sontak aku membalasnya dengan cepat, “Saya lagi di parkiran fakultas, kamu udah di mana?”. “Saya di gerbang kampus, tunggu saya di sana”, balas Arunika. “Baiklah saya tunggu kedatanganmu”, menutup akhir dalam kolom chat dan bersiap untuk bertemu.

Sebelum cerita ini semua di mulai, ijinkan aku untuk memperkenalkan diri. Sebab pepatah mengatakan “Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta” tapi bagiku “tak cinta maka tak apa”. Perkenalkan namaku Baskara. Seorang lelaki yang menjuluki diri sendiri dengan julukan “Lelaki patah dan hilang arah” karena sering patah berkali-kali karena cinta dan sebuah kepergian adalah petualang menuju hilang arah bagiku. Cerita ini di mulai antara dua insan manusia yang saat ini orang-orang menyebutnya dengan istilah “Kaum Milennial”. Cerita ini berawal di saat bumi sedang baik-baik saja, sebelum bumi kita tercinta, bumi ku dan bumi Arunika di serang pandemi dan teganya memisahkan dua insan manusia yang sedang berbahagia. Cerita ini hanyalah cerita tentangnya, bagiku mengenalnya adalah rasa syukur yang tiada tara dan musabab hati menuju kondisi yang bernama lara.

Arunika namanya, seorang perempuan manis bergigi gingsul alasan senyum nya begitu manis. Perempuan ini tak sengaja ku temukan dalam pertemuan yang terduga. Bukankah ini permainan semesta bukan? Sungguh semesta selalu membuat cerita hingga kita lupa bahwa sebuah cerita tersebut adalah jalan menuju derita. Bagiku Arunika merupakan perempuan langkah yang ku temui, kenapa tidak? Hobinya pada membaca dan menulis membuat ku begitu kagum akannya. Karena bagiku perempuan yang hobi membaca dan menulis itu adalah hal terbaik bagiku karena hobi kita sama dan bisa bertukar pikiran hingga bertukar rasa dalam kata. Bagiku mengenalnya adalah rasa syukur alasan jiwa ini enggan mundur.

Pertemuan tak terduga itu berawal di saat kita masih beraktivitas seperti biasa. Di saat bumi masih baik, sebelum wabah pandemi menyerang. Arunika yang merupakan mahasiswa fakultas tetangga ku di suatu universitas negeri yang berada di suatu kota, sebut saja namanya kota “G”. Tak sengaja aku menemukannya di persimpangan jalan fakultas, sebab fakultas ku dan fakultasnya berdekatan dan tak sengaja aku melihatnya duduk di beranda perpustakaan kampus. Aku yang jarang melihat seorang perempuan milenial yang meluangkan waktu untuk membaca, membuat ku kagum akannya. Terlebih dari jauh aku memandang, dia tidak menghiraukan teman-temannya yang sedang asik bermain HP dan dia meninggalkan zona nyamannya dengan membaca. Rasa penasaran ku akannya terus menggema di kepala, ku beranikan diri untuk mendekatinya walau hati begitu tergoncang karena berdetak kencang tiada akhir. Kusapa dia dengan kata “Hai”. Arunika menjawab dengan kata “halo”, berawal dari dua kata tersebut perkenalan kita di mulai dan berakhir dengan dua insan yang sudah dekat mendekati sebuah hubungan, ya istilahnya “pedekate” kalo kata anak milenial.

Setelah beberapa minggu aku mengenalnya, tak habis cara aku untuk selalu mencari topik pembahasan untuk selalu mendekatinya melalui kolom chat. Topik apapun itu selalu ku angkat, entah tentang buku, tulisan, serta kegemaran kita pada hal lain. Bagiku kita itu sama pernah patah karena cinta, dia tak segan menceritakan masa lalunya begitu pun aku sebab cerita masa lalu adalah sejarah yang bisa kita ceritakan di masa depan nanti. Dan bagiku masa depan tersebut berada di hadapanku sekarang seorang makhluk ciptaan tuhan bernama “Arunika”. Satu bulan berlalu, ku beranikan diri untuk mengajak Arunika bertemu. Aku mengajaknya bertemu untuk sekadar bertukar buku bacaan merupakan alasanku untuk selalu di dekatnya. Alasan itu merupakan alasan konkret bagiku selain kita bisa lebih dekat kita juga bisa bertukar pikiran melalui bacaan yang kita baca. Arunika pun menyetujuinya dan akan bertemu dengan ku ketika malam di kampus, karena dia masih di sibukkan dengan aktivitas kuliahnya di pagi hari. Aku pun begitu, menunggunya hingga malam di kampus karena kebetulan aku terlibat dalam kegiatan di fakultasku. Hari itu pun tiba, sore menjelang malam  hingga datang pada waktunya. Aku yang sedang duduk santai di sekitaran parkiran fakultas. Tiba-tiba dering telepon berbunyi, “tttttttttttttt” ku buka handphone ku dan membaca pesan yang di kirim seseorang. “Kamu dimana?” Sebuah pesan tertulis dari kontak yang bernama Arunika. Sontak aku membalasnya dengan cepat, “Saya lagi di parkiran fakultas, kamu udah di mana?”. “Saya di gerbang kampus, tunggu saya di sana”, balas Arunika. “Baiklah saya tunggu kedatanganmu”, menutup akhir dalam kolom chat dan bersiap untuk bertemu. Aku melihatnya dari jauh dan aku menghampirinya, nampaknya alasan dia menunggu dari kejauhan sebab dia masih sangat malu-malu bertemu banyak orang, tak apalah setidaknya ini adalah waktu aku berdua dengannya. “Kenapa di tunggu disini? Di sini gelap”. Ku awali dengan membuka percakapan. “Saya malu bertemu banyak orang, jadi saya tunggu di sini saja”, jawab Arunika dengan manis. “Bagaimana kalau kita berdua duduk di taman kampus?” Tanya ku sembari mengajak. Arunika pun mengangguk tanda setuju “Baiklah, ayo”. Kamipun menuju taman kampus.

Di taman kampus kami duduk terdiam. Ku beranikan diri membuka percakapan, “Buku apa yang kamu bawa?”. Arunika pun mengambil sebuah buku dari dalam tas dan mengatakan “Ini sebuah buku novel”. Buku yang bersampul kuning tersebut begitu menarik dan kulihat isinya setelah itu ku isi dalam tas. Aku pun mengeluarkan buku yang ku bawa untuk ku tukar bersama Arunika sembari berkata. “Ini buku yang mau di tukar”. Ku berikan buku bersampul putih kepada Arunika. “Bagaimana isi dari buku ini?” Tanya Arunika dengan penasaran. Aku pun menjawab dengan menjelaskan “Buku ini merupakan isi tulisan penulis yang di kumpulkan dari kumpulan tweetnya, dan di satukan dalam buku, takutnya nanti tulisannya di laman twitter di copy paste orang.” Arunika pun melihat isi buku tersebut dan menaruhnya di dalam tas. Setelah itu percakapan kami berdua cair dengan cepatnya, cerita tentang masa lalu, cerita tentang buku, cerita tentang kisah masing-masing terlontarkan begitu saja antara kami berdua. Setelah itu kami berdua kembali pada aktivitas masing-masing, awal pertemuan tersebut adalah pertemuan yang manis dan kami begitu dekat dan mendekati ambang suatu komitmen.

Beberapa hari berlalu, waktu silih berganti. Bumi di kejutkan dengan sebuah wabah pandemi yang menyebabkan kematian banyak orang dalam seketika. Hal inilah yang memisahkan dua insan manusia dan merupakan tantangan dan hambatan bagi kami untuk selalu bertemu. Karena kami harus menjaga jarak demi penanganan virus selesai. Sebelum aku dan Arunika akan berpisah dengan sebentar karena pandemi, aku menemuinya dan mengatakan “Setelah bumi pulih kembali, semua yang kita rencanakan akan kita lakukan. Jaga dirimu dan jangan lupa jaga perasaanmu meski kau belum membuka hati Arunika”. Arunika hanya terdiam dan mengangguk. Kami pun kembali ke tempat pulang yang bernama rumah. Harapanku saat itu perpisahan itu hanya sebentar, tapi nyatanya perpisahan itu ada dan melukai dua insan anak manusia. Dua bulan aku dan Arunika melewati masa karantina dan tak bertemu, aku selalu menghubunginya melalui via chat dan kami berdua sering berbicara melalui via telpon hingga berjam-jam berbicara apa saja, entah cerita ikan paus di laut ataupun khayalanku yang ingin menjadi Hokage di dalam Anime Naruto. Kami begitu nyaman dengan kisah masing-masing meski saat ini kita sudah menjadi sepasang yang asing. Satu hal yang tak ku ketahui tentang Arunika, ku kira aku sudah mengenalnya begitu dekat hingga tak ada lagi sekat. Arunika yang manis, sering terbawa perasaan hingga menangis karena kesalahan-kesalahan kecil. Dan kesalahan-kesalahan tersebut ku lakukan berulang kali dan Arunika memilih pergi karena kesalahanku tersebut. Kesalah pahaman antara aku dan Arunika adalah penyebab kita pergi dengan luka masing-masing. Arunika memilih pergi dan sekarang di begitu asing bagiku, aku pernah mengatakan padanya bahwa aku mencintainya tanpa batas tapi kini dia hanya tinggal tapal batas. Batas antara dua orang manusia yang tak bisa bertemu. Andaikan bumi ini sedang dalam normal, aku pasti akan menemuinya dan menjelaskan apa yang belum jelas dari sebuah kerumitan hubungan yang ada. Tapi sayangnya, kita terhambat oleh kondisi bumi saat ini. Tantangan terberatnya adalah menunggu bumi pulih kembali dan aku akan bertemu dengannya jika dia masih sudi bertemu denganku.

Kini, tak ada dia. Tak ada Arunika yang sering menangis ketika menceritakan masa lalunya, tak ada Arunika yang sering ku tuliskan puisi di setiap pagi dan malam, tak ada Arunika yang sering memanggil namaku “Baskara”, dan tak ada Arunika yang sering ku ceritakan tentang impianku untuk mengelilingi negeri ini untuk berliterasi. Sudah tak ada, kini dia menjadi asing, membawa luka pada kisah masing-masing. Satu hal yang kupelajari dari kepergian Arunika “Jangan selalu membuat kesalahan berulang-ulang kali”. Padahal itu adalah pelajaran penting bagiku, kenapa aku mengabaikannya? Aku memang seorang lelaki yang bodoh. Kini patah dan hilang arah dan mungkin aku akan menghilang menuju antah-berantah. Jika ada kesempatan untuk aku bertemu Arunika, aku akan menahan egoku dan memaksanya untuk tak pergi, menjelaskan semua isi hati dan mengatakan “Aku mencintai tanpa batas”. Semoga saja semesta merestui, kini aku menyerah pada semesta yang membuat cerita penyebab timbulnya sebuah derita.

Di persimpangan jalan aku menemukanmu dalam temu duga,
sebuah rasa syukur tiada tara alasan kisah ini begitu berharga.
Kadang semesta selalu bercanda,
membuat kisah yang mengada-ada.
Maha kuasa tuhan yang membolak-balikan hati manusia,
hingga rasa itu begitu sia-sia.
Jika kau tak menemukan jalan pulang,
aku disini menantimu untuk bertualang.
Menuju suatu tempat yang bernama rumah,
alasan untuk enggan hilang arah.

Tertanda
~Baskara

Seseorang yang ingin menjadi manusia merdeka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like