Homo Intellectus: Antara Gelar Sarjana dan Godaan Untuk Korupsi2 min read

Parah dan parah di negeri ini. Pantasan ada pernyataan ‘darurat korupsi’ di Indonesia. Bukan main, ironi ditujukan terhadap bidang pendidikan. Teringat dengan ungkapan seorang teman di suatu hari. Dia mengatakan, sekarang orang tidak bisa lagi dibedakan, yang mana bersekolah, bergelar sarjana dan mana yang bukan. Bayangkan, jika yang bergelar sarjana saja berprilaku koruptif.

Kadangakala terbit dalam benak kita, bisa jadi juga kita bagian dari sebuah ‘lingkaran setan korupsi’, di lingkungan masing-masing, tempat dimana kita berkiprah. Tercatat, 86 persen koruptor yang ditangkap oleh KPK adalah lulusan perguruan tinggi, tentu itu ironis sekali,” begitu kata Nurul Ghufran, Wakil Ketua KPK[1]. Label lulusan perguruan tinggi yang dimaksud sama dengan orang yang bergelar sarjana.

Dari data yang ada, apakah prilaku koruptif yang dilakukan oleh oknum lulusan perguruan tinggi hanya merupakan permasalahan yang bersifat kasuistik? Jawabannya tidak kan? Lihatlah angkanya! Pemberitaan skandal korupsi dari media boleh dikatakan cukup mengejutkan sekaligus menyebalkan bahkan mengerikan.

Apa jadinya jika kaum terpelajar atau kaum intelektual yang tidak memiliki integritas, sedangkan orang yang bergelar sarjana saja berprilaku koruptif, lalu bagaimana yang lain? Wajah kita seakan-akan tercoreng moreng; ingin ditaruh kemana lagi wajah ini.

Segala embel-embel kesarjanaan dipertaruhkan di hadapan kehidupan dan pemikiran. Terbayang pula di tahun yang silam, ketika orang yang bergelar sarjana, bersekolah tinggi dari institusi penyelenggara pemilu terjerat hukum gegara korupsi.

Ngeri-ngeri sedap, istilah Sutan Batugana. Sudah berapa banyak terjerat hukum dari penyelenggara negara. Beberapa kepala daerah telah tersangka korupsi, yang rerata berlatarbelakang pendidikan sarjana.

Menambah daftar panjang prilaku koruptif dari sekian jumlah oknum pejabat yang bergelar sarjana menyeret diri mereka ke atas panggung mahkamah sejarah, yang memulai masa keruntuhan intelektual. Sejak lama, seperti buku berjudul Korupsi, karya Mochtar Lubis kembali mengingatkan kita tentang akar-akar kesejarahan dari korupsi.

Singkatnya, pejabat yang bergelar sarjana tersangka korupsi menjadi satu proses pembelajaran penting. Wajah tanpa bayangan dalam cermin. Setelah lenyap dalam masa depan ilusi, ternyata citra sarjana dari oknum pejabat tidak sementereng saat runtuh atau rusaknya mental mereka sendiri.

Kepala mereka dipenuhi dengan perhitungan rasional tentang kemakmuran material, tetapi mentalnya diperbudak oleh tanda kepangkatan atau jabatan, berikatan dalam godaan uang. Sehingga oknum pun mempermalukan gelar sarjana yang disandangnya dan setiap orang yang bergelar sarjana, di depan dan dibelakang namanya sepadu dengan jabatan yang dimilikinya.

Pandangannya maju kedepan, tetapi mentalnya menjadi tawanan masa sesaat atau jangka pendek; mereka digoda oleh uang, jabatan atau melalui jabatan dan kedudukan itu sendiri di tengah kehidupan materi. Dunia idealnya tenggelam dalam kegemerlapan gaya konsumsi, titik dimana mereka terperangkap dalam kenikmatan yang memuncak.

Peristiwa kemunculan skandal korupsi yang didukung oleh data berdasarkan metode tertentu, yang bergerak dari satu kasus menuju kasus lain yang berlipatganda, menjamur, berdiam sejenak, dan berkambuh kembali. Selama nafsu menggoda, selama itu pula seseorang atau lebih digoda oleh materi uang dengan jabatannya akan melemparkan dirinya dalam kekosongan yang tidak terkira.


[1] 86 persen koruptor yang ditangkap oleh KPK adalah lulusan perguruan tinggi. Diakses dari https://m.republika.co.id/berita/r1ev5m484/kpk-86-persen-koruptor-yang-ditangkap-bergelar-sarjana, tgl. 23 Oktober 2021, pukul 21.12 WITA.

ASN/PNS Bappeda Kabupaten Jeneponto/ Aktivis Masyarakat Pengetahuan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like