Setiap orang menghadapi dan mengalami sesuatu—atau minimal pernah—yang bisa dimaknai sebagai “masalah”, “rintangan” atau “tantangan”, begitupun sebaliknya “peluang”, dan “kemudahan”. Dalam menghadapi apa yang saya sebutkan ini, setiap orang bisa dipastikan memiliki respon yang berbeda-beda. Sesuatu bisa saja bermakna “masalah” bagi seseorang, tetapi belum pasti bagi orang lain, bisa justru sebaliknya adalah meresponnya sebagai “peluang”.
Sama halnya, sebagaimana dalam tulisan saya sebelumnya, “Berselancar di Atas Badai Kehidupan”, mungkin ada saja di antara kita ketika menghadapi badai langsung putus asa dan menyerah. Bagi sebagian orang, justru bisa saja mengaktivasi potensi lain dalam dirinya, dan berusaha tetap berselancar di atas badai.
Ketika saya lahir di tengah kehidupan yang memiliki keterbatasan ekonomi dan identitas sosial lainnya, saya harus teringat dengan kisah “burung Rajawali”, yang lahir dan dibesarkan oleh induk ayam. Bahwa di mana pun kita lahir, jika potensi kita bisa terbang, maka kita harus memiliki impian, terus belajar dan berdo’a agar bisa terbang. Jangan seperti seekor burung Rajawali dalam cerita itu, yang sampai dewasa dan tua tidak bisa terbang, karena hasil pembacaan, tepatnya konsep diri terhadap dirinya keliru.
Hal di atas menggambarkan beberapa kondisi tentang masalah, rintangan, dan tantangan. Ada pun yang bisa kita pahami bersama sebagai ilustrasi yang bisa bermakna “peluang” tetapi bermuara pada satu di antara dua hal “kejahatan/keburukan” atau “kebaikan/amal baik”. Jika pada suatu waktu, kita menemukan ponsel mewah tergeletak di tempat wudhu Masjid. Pada saat itu, tidak ada seorang pun yang melihatnya kecuali diri kita.
Pada saat itu bisa muncul dua kecenderungan hati dari seseorang. Ada yang menilai sebagai peluang dan mumpung ada ponsel bagus untuk dimiliki, lalu dia mengambilnya, dimatikan dan dibawa pergi secara diam-diam. Atau bagi orang lain, menilai ini bukan haknya, kasihan pemiliknya pasti kebingungan dan sedih, sehingga harus menyerahkan ke pengurus Masjid untuk diumumkan atau dititip jika seandainya ada yang mencarinya.
Dari beberapa gambaran di atas, merupakan kecenderungan hati dan disebut sebagai “sikap” (attitude). Jadi gambaran atau defenisi sederhana dari sikap adalah kecenderungan hati. Meskipun jika orientasinya adalah bersifat keburukan, saya tidak mau mengatakan bahwa kecenderungan hati ini adalah potensi fitrawi manusia.
Fungsi utama hati dalam pemahaman saya hanya dua “mengajak kita kepada kebaikan” dan “mencegah kita dari keburukan”. Berarti berdasarkan fitrahnya, hati bermuara pada kebenaran, kebaikan dan keindahan. Lalu mengapa pada bagian di atas, ada satu ilustrasi yang memberikan contoh ke arah keburukan? Pada ulasan berikutnya, setelah melewati beberapa rangkaian narasi, pembaca akan menemukan jawabannya.
Berdasarkan berbagai literatur yang saya baca, terutama dari karya Erbe Sentanu “Quantum Ikhlas”, yang kemudian saya interpretasi ulang, sesungguhnya secara sunnatullah, masa depan atau bisa pula dimaknai “nasib” itu berawal dari sikap. Mungkin dari sini, meskipun karya Erbe Sentanu tersebut tidak pernah dibacanya, John C. Maxwell menyimpulkan “sikap awal menentukan lebih dari apa pun juga”.
Meskipun demikian, sebagaimana bisa dipahami bahwa ini beroperasi dalam sunnatullah, law of attraction (hukum tarik menarik), sehingga tidak serta merta bisa digeneralisir (disimpulkan secara keseluruhan) pandangan Erbe dan Maxwell di atas. Sunnatullah maupun law of attraction juga merupakan ciptaan Allah, sehingga Allah berdasarkan hak prerogatif-nya bisa mengintervensi keduanya kapan saja.
Terkait bentuk intervensi Allah atas sunnatullah atau law of attraction kita bisa menemukan dalam sejarah kenabian Ibrahim AS. Berdasarkan sunnatullah, idealnya Ibrahim sudah hangus terbakar atas tindakan raja Namrud bersama pasukannya. Pada faktanya, api tidak membakar tubuh Ibrahim. Dirinya selamat dari kobaran api.
Kembali pada sikap, ada banyak aksioma yang telah dirumuskan oleh Maxwell, salah satunya telah disebutkan di atas. Yang lainnya, Maxwell menegaskan bahwa perbedaan antara seseorang dengan yang lainnya itu sangat kecil. Namun perbedaan kecil ini bisa menimbulkan perbedaan besar. Lalu apakah perbedaan kecil dan besar itu di antara kita? Perbedaan kecilnya adalah sikap dan perbedaan besarnya adalah apakah sikap kita positif atau negatif.
Jika fokus pada mekanisme dan operasionalitas sunnatullah atau law of attraction, maka saya bisa pastikan capaian masa depan sangat tergantung atau dimulai dari sikap yang dimiliki. Meskipun demikian saya bukan hanya menempuh mekanisme ini. Dalam hidup ini, selain pada mekanisme yang telah disebutkan, saya dan kita sebaiknya menghadirkan Allah dengan kesadaran akan kekuasaan dan kasih sayang-Nya yang merajai alam semesta dan memiliki hak prerogatif.
Hati adalah hardware dan sikap adalah software. Islam menegaskan dalam diri manusia ada “segumpal daging” jika itu baik maka baiklah semuanya. Meskipun ada hal kontroversial terkait apa yang disebut “segumpal daging” ini. Ada yang memaknai adalah hati dalam pengertian bukan organ tubuh yang bernama “liver” (organ hati) dalam diri, tetapi “heart” (organ jantung). Ada pula perspektif lain dan bagi saya itu lebih rasional dan logis, bahwa sesungguhnya yang disebut sebagai “segumpal daging” yang memiliki fungsi dan penentu kebaikan hidup adalah “otak”. Pada tulisan ini, saya tidak fokus pada aspek kontroversialnya, saya juga masih sedang mendalami referensi untuk kelak saya menetapkan cara pandang yang benar.
Sikap sebagai software dan hati sebagai hardware, dari pemahaman ini, saya pun memandang bahwa niat—yang dalam pandangan Islam menentukan perbuatan kita—juga adalah sikap. Dan dari Erbe dan beberapa referensi lainnya, saya menarik kesimpulan bahwa sikap sebenarnya akumulasi dari niat, perasaan, pikiran, termasuk sikap itu merupakan pandangan dunia seseorang yang menentukan dimensi ideologisnya.
Sikap menjadi modal utama menggapai impian yang gemilang. Hal ini, saya simpulkan karena sikap akan menentukan respon, pilihan dan keputusan yang ditetapkan dan/atau dilakukan terhadap situasi dan kondisi yang dihadapi. Bahkan sikaplah yang akan menentukan jenis cita-cita atau impian kita, menentukan misi—yang dalam pandangan saya bukan hanya bersifat mekanistik-operasionalistik tetapi termasuk yang bersifat psikologis.
Sikap akan memandu urutan ikhtiar yang dijalani, termasuk apakah ada kesadaran ilahiah di dalamnya. Sikap akan menentukan apakah kita tetap bertahan, komitmen dan konsisten dalam perjuangan atau dalam upaya memaksimal misi dalam mencapai visi. Dan sebaliknya kita akan menyerah, kembali ke awal dan menyimpulkan diri telah “gagal”.
Dari alur “perasaan ke nasib” yang disusun secara hierarkis oleh Erbe, tepatnya: “Perasaan-Pikiran-Tindakan-Kebiasaan-Karakter-Nasib”, ada beberapa hal yang saya bisa tarik kesimpulan. Pertama, Perasaan dan pikiran yang saya maknai sebagai “sikap” itu berada dalam ruang “tak tampak” yang dalam pandangan Erbe berada dalam dimensi “fisika quantum”. Sedangkan tindakan, kebiasaan, karakter dan nasib, berada pada ruang “tampak” atau dalam dimensi “fisika Newton”.
Kedua, masa depan gemilang, kesuksesan atau bisa pula dimaknai nasib, dan yang sebelumnya termasuk adalah karakter sangat ditentukan oleh perasaan dan pikiran, meskipun sebelumnya harus diupayakan menjadi kebiasaan terlebih dahulu. Ketiga, sikap bisa berkontribusi maksimal atau memiliki korelasi positif yang besar terhadap masa depan, dengan syarat sikap harus menjadi karakter terlebih dahulu. Sebelum dan selain itu, mengalami kesulitan, kecuali sebagaimana pemahaman di atas, intervensi Allah hadir.
Karakter jika merujuk pada defenisi Asep Zaenal Ausop (2014), adalah kecenderungan hati (sikap, attitude) yang diikuti oleh tindakan. Saya pribadi tidak bisa serta merta membenarkan defenisi ini meskipun secara bahasa benar tetapi secara psikologis dan “fenomenologis” tidak semudah itu. Saya lebih bersepakat memaknai karakter sesuai alur hierarkis yang disusun oleh Erbe (2007).
Artinya sebuah sikap (pikiran dan perasaan) akan menjadi karakter jika terlebih dahulu menjadi tindakan, setelah itu bukan tindakan sesaat, sehari atau spontan, tetapi sering dilakukan (atau menjadi kebiasaan, habits). Setelah menjadi kebiasaan barulah kemudian menjadi karakter. Karena kebiasaan secara sunnatullah atau law of attraction baik dalam dimensi makrokosmos (alam semesta) maupun mikrokosmos (diri manusia) akan menimbulkan dampak atau efek berupa “jejak yang dahsyat”.
Karakter kurang lebih bisa dipahami dalam ilustrasi ini. Jika ada tindakan atau kegiatan yang dilakukan sebelumnya, terasa berat atau sulit, seperti aktivitas menulis yang rutin saya lakukan ini. Awalnya sangat terasa sulit dan berat, bahkan memulai kalimat pertama saja, luar biasa kesulitan yang saya rasakan. Tetapi tetap saya lakukan sebagai dorongan sikap (buah dari perasaan dan pikiran). Lalu saya paksakan diri untuk mengulangnya berkali-kali. Setelah berkali-kali saya lakukan (dijadikan kebiasaan) meskipun berat dan sulit, saya terus lakukan dengan harapan kelak menjadi “karakter”.
Ketika sudah menjadi karakter, maka bisa dipastikan aktivitas menulis (sebagai salah satu contoh saja) akan terasa ringan, mengalirkan bagaikan air, bahkan akan terasa bagaikan sarapan pagi dan makan siang. Artinya apa? Ada perasaan “kurang” dan “harus segera dilakukan dan dipenuhi” jika belum menulis. Karena sudah terasa sebagai kebutuhan pokok. Sebagaimana menurut penjelasan seseorang, Prof. Azyumardi Azra, Cendekiawan terkemuka Indonesia, setiap hari bangun dini hari pukul 03.00 untuk menulis (selain beribadah) sampai jam 07.00 pagi.
Ketika sudah menjadi karakter maka berikutnya yang menjadi dalam penantian adalah “nasib” atau kesuksesan. Lalu seperti apa rupa “nasib” kita sangat tergantung daripada karakter kita. Karakter yang dimiliki pun sangat relevan dengan apa yang dibiasakan. Dan kebiasaan sudah pasti berdasarkan tindakan yang sering dilakukan. Dan tindakan pun sesuai dengan sikap (pikiran dan perasaan) yang dipancarkan. Atau singkatnya seperti apa kecenderungan hati kita.
Hari ini sering berpikiran dan merasakan sesuatu tentang tulisan dan apa yang akan saya tulisakan, saya terus lakukan meskipun berat. Saya yakin jika sudah menjadi kebiasaan, kelak saya memiliki karakter sebagai seorang penulis (bukan hanya karakter tulisan yang terbentuk) dan setelah itu, saya yakin kelak saya akan menjadi penulis dengan karya yang bisa menjadi rujukan.
Sikap sebagai kecenderungan hati, pancaran suara hati hanya saja seringkali memiliki belenggu atau dalam konteks tulisan ini lebih tepatnya saya istilahkan lapisan. Dan lapisan ini mempengaruhi percikapan apa yang kemudian akan mempengaruhi tindakan, kebiasaan dan karakter kita.
Lapisan hati yang saya maksud akan menentukan kualitas tindakan yaitu: Pertama, prasangka. Jika prasangka kita selalu positif maka yakin saja, tindakan kita akan selalu positif. Mungkin bagi orang lain sudah menilai “tantangan”, tetapi karena kita berpikir positif, dipahami sebagai “peluang”. Kedua, prinsip hidup. Prinsip akan mempengaruhi sikap kita. Ada orang cepat menyerah ada juga yang terus bertahan, tidak berbalik arah sebelum sampai tujuan. Ketiga, kepentingan. Bagaimana kita menetapkan dan menentukan jenis kepentingan akan mempengaruhi sikap kita.
Keempat, pengalaman. Pengalaman akan bisa mempengaruhi sikap, apatah lagi jika ada sebuah pengalaman negatif yang tertanam kuat, maka kemungkinan besar akan menjadi penghalang untuk maju karena diri kita terjebak pada kondisi “trauma”. Kelima, pembanding. Pembanding termasuk yang menjadi lapisan hati, sehingga akan mempengaruhi sikap. Ada orang dalam mencapai impiannya menempuh atau melakukan misi negatif, karena menggunakan pengalaman negatif dari orang lain.
Keenam, sudut pandang sebagai salah satu yang bisa menjadi lapisan hati yang akan mempengaruhi penilaian kita ini, sangat menentukan pilihan, sikap, tindakan dan keputusan yang ditetapkan dan dilakukan. Dan ketujuh, literatur. Agar bisa memiliki sikap yang baik kita harus memiliki banyak literatus, melalui belajar, membaca, relasi sosial termasuk bagaimana ibadah kita kepada Allah agar bisa senantiasa mendapat percikan hidayah atau minimal mendapat intuisi atau ilham.
Tujuh lapisan hati ini, saya interpretasi ulang dari tujuh belenggu hati Ary Ginanjar Agustian melalui karyanya buku ESQ. Perbaikilah pikiran dan perasaan (sikap) kita karena itu akan menentukan tindakan (termasuk kata-kata). Perbaikan tindakan kita karena itu akan mempengaruhi kebiasaan kita. Perbaikan kebiasaan kita karena itu akan menjadi karakter kita. Perbaikilah karakter kita karena itu akan menentukan seperti apa “nasib” kita.
Lalu dimana posisi kekuasaan Allah. Sebagaimana penegasan Allah, “aku sesuai dengan persangkaan hambaKu”. Maka dalam sikap kita yang benar, baik dan tepat Allah sudah bisa menjadi hidayah dalam pencapaian nasib, impian gemilang kita pada masa yang akan datang.
Eks Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng yang sekarang menjabat sebagai Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018 - 2023