DP3: KPU Membangun Mercusuar Demokrasi dari Desa9 min read

Mercusuar dalam makna denotatif adalah sebuah bangunan menara yang dilengkapi cahaya dan berdiri kokoh dekat dari pantai. Mercusuar secara fungsional memberikan banyak manfaat di antaranya, sebagai petunjuk arah bagi kapal atau perahu yang berlayar.

Indonesia pun yang secara konotatif bisa dianalogikan sebagai kapal kebangsaan, yang terus berlayar menuju pulau harapan, membutuhkan mercusuar. Analogi ini untuk konteks kehidupan yang semakin maju dengan revolusi teknologinya, bisa dimaknai pula sebagai “kompas”.

Dalam hati kecil semua yang berada di atas “kapal kebangsaan” ini, ingin segera sampai ke pulau harapan. Sebuah episode kehidupan yang berjalan demokratis secara substansial—bukan hanya prosedural—dalam rangka menyulam benang kehidupan yang menjadi cita-cita dan tujuan nasional sebagaimana telah dirumuskan oleh para founding fathers serta termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam samudera keanekaragaman Indonesia, ombak kepentingan yang beraneka pula, seringkali menjadi badai yang mengiringi perjalanan kapal kebangsaan. Sebelum sampai ke pulau harapan, terkadang kapal terombang-ambing. Dibutuhkan solusi, strategi, kolaborasi, komitmen, integritas dan profesionalitas agar tiba dengan selamat.

Siapa pun yang berada dalam kapal kebangsaan ini, khususnya dan terutama para “nakhoda” harus mampu menjadi solusi, memiliki strategi, mampu membangun kolaborasi, memiliki komitmen yang kuat, begitu pun integritas yang kokoh serta profesionalitas yang mumpuni, harus nyata secara praksis. Bukan hanya sebagai intellectual exercise atau sebagai retorika indah belaka.

Perjalanan kapal kebangsaan ini, oleh beberapa pengamat, dipandang masih tertinggal jauh dari kemajuan bangsa-bangsa lain, meskipun saya dan kita semua tidak boleh berpikir nihilistik, yang menilai tidak ada kemajuan sedikit pun. Dan tentunya dalam analogi “kapal”, kita menyadari bahwa “nakhoda” memiliki peran penting dan strategis yang akan menentukan pencapaian harapan-harapan tersebut. Hanya saja dalam bangunan demokrasi, konteks pemerintahan Indonesia, “nakhoda” itu secara sosiologis bukanlah “dilahirkan” tetapi “dipilih” karena Indonesia bukanlah hasil warisan tetapi hasil perjuangan bersama.

Berangkat dari kesadaran tersebut untuk memilih nakhoda yang menjalankan dan mengendalikan kapal kebangsaan, maka pemilu dan pemilihan menjadi instrument strategis dan utama serta menjadi entitas urgen bagi Indonesia sebagai negara demokrasi. Hasil pemilu dan pemilihan memiliki korelasi positif terhadap kemajuan sebuah bangsa dan negara minimal satu periode ke depan.

Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan yang dikenal dengan singkatan DP3, bagi saya—setelah membaca petunjuk teknis pelaksanaan program berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, Nomor: 290/PP.06-Kpt/06/KPU/IV/2021—adalah ikhtiar mulia KPU untuk membangun mercusuar demokrasi dari desa. Sebagai sebuah bangunan, hal ini memiliki landasan yang kokoh, baik secara konstitusional, regulatif, filosofis bahkan ideologis.

Desa dalam struktur negara adalah bagian kecil (meskipun bukan terkecil) tetapi strategis dan terdekat dengan rakyat, warga atau masyarakat. Membangun desa sama halnya membangun Indonesia. Bahkan membangun Indonesia dari desa, dalam pandangan saya jika ini dinilai sebagai aksioma, itu sangat tepat dan strategis. Jika meminjam perspektif Stephen R. Covey, saya bisa menyebutnya “mempersempit ruang problematis dan memperluas ruang peluang/harapan/solusi” dan bagian dari reinterpretasi dari perspektif “busur dua derajat” Syahril Syam (seorang pakar pengembangan diri).

Selain posisi strategis desa sebagai bagian integral secara struktural dari negara dan kultural dari bangsa. Ada hal strategis dan urgen serta memiliki implikasi dan signifikansi yang besar pula sehingga pembangunan mercusur demokrasi dari desa, dipandang sangat tepat untuk memulai pencapaian kondisi kehidupan Indonesia sebagai nation-state yang lebih baik pada masa yang akan datang. Hal dimaksud adalah peran warga dan masyarakat—terutama yang telah bersyarat sebagai pemilih—yang sangat strategis dalam proses demokrasi, khususnya dalam pemilu dan pemilihan.

Pemilu dan pemilihan sebagai instrument strategis dalam proses demokrasi atau sarana perwujudan kedaulatan rakyat secara langsung untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPRD Provinsi dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota  serta Gubenur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Wali Kota/Wakil Wali Kota membutuhkan ikhtiar, langkah strategis yang konstitusional, regulatif, filosofis dan ideologis. Ini diharapkan, agar proses yang berlangsung bisa berjalan dengan sukses dan bermuara pada pencapaian pemilu dan pemilihan yang berintegritas dan/atau demokrasi substansial, bukan hanya demokrasi prosedural.

Dalam pencapaian pemilu dan pemilihan yang berintegritas termasuk pencapaian demokrasi substansial, sudah bisa dipastikan ada aktor-aktor utama, selain aktor kunci dan aktor pendukung. Aktor-aktor ini disebut juga sebagai pemangku kepentingan.

Secara sederhana—sebagaimana ilmu yang dipahami bersama oleh para anggota KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota melalui orientasi tugasnya—bahwa aktor (pemangku kepentingan) utama adalah pihak yang menerima dampak positif maupun negatif (suka atau tidak suka) dari kegiatan kepemiluan. Aktor utama ini terdiri dari pemilih, peserta pemilu/pemilihan dan penyelenggara pemilu.

Jika target atau harapan yang ingin dicapai bermuara pada pemilu dan pemilihan yang berintegritas dan demokrasi substansial, kemudian ditarik garis relasi terhadap “input”, “proses”, “output” dan “outcome” dari pemilu dan pemilihan tersebut, jika harus memilih tingkat prioritas strategis satu di antara tiga aktor utama tersebut, maka jawabannya adalah “pemilih”. Pemilih tentunya adalah beririsan dari apa yang dimaknai sebagai rakyat, warga atau masyarakat yang ada di desa.

Pemilih memiliki peran yang sangat strategis untuk menentukan pemilu dan pemilihan yang berintegritas serta demokrasi substansial. Jika penyelenggara pemilu hanya mampu menjamin terwujudnya pelaksanaan pemilu dan pemilihan yang berintegritas secara langsung pada dimensi output atau maksimal pada pencapaian terwujudnya demokrasi prosedural, maka bagi pemilih, melampaui dari pada itu bisa sampai pada dimensi outcome dan demokrasi substansial.

Penyelenggara pemilu hanya mampu menjamin pencapaian integritas pada dimensi input, proses dan output karena penyelenggara pemilu secara etis tidak bisa mengintervensi, mengarahkan dan mengajak pemilih untuk memilih peserta pemilu tertentu meskipun secara subjektif ada penyelenggara yang memahami dengan baik kualitas yang dimiliki oleh peserta pemilu tertentu. Dalam bahasa lain yang mudah dipahami, penyelenggara pemilu, hanya mampu menjamin sampai pada tahapan terakhir menjelang peserta pemilu dilantik.

Berbeda dengan penyelenggara pemilu, pemilih bisa mengarahkan pemilih lainnya untuk memilih peserta pemilu tertentu yang dinilai memiliki rekam jejak, kualitas, kapasitas dan kapabilitas yang mumpuni. Meskipun penyelenggara pemilu sekaligus juga merupakan sebagai pemilih, namun berdasarkan kode etik yang menjadi pedoman perilakunya tidak bisa mengarahkan dan mengajak yang lainnya untuk memiliki pilihan yang sama. 

Lalu bagaimana dengan peserta pemilu? Peserta pemilu, yang sedang berkompetisi di dalam arena pemilu dan pemilihan sudah pasti menggunakan berbagai strategi untuk memenangkan kontestasi tersebut. Dan dalam realitas empirik, mungkin pembaca menemukan, ada pula yang menggunakan berbagai cara meskipun itu menerobos etika dan bermuara pada hasrat kuasa yang destruktif.

Dari uraian sederhana di atas tentang gambaran para aktor utama, maka dalam pandangan saya, KPU sebagai salah satu penyelenggara pemilu sangat menyadari bahwa pemilih memiliki positioning yang sangat dan paling strategis dan kuat untuk mewujudkan pemilu dan pemilihan yang berintegritas sampai pada dimensi outcome dan tercapainya demokrasi substansial.

Berangkat dari kesadaran KPU tersebut yang merupakan akumulasi pemahaman mendalam secara filosofis, ideologis, konstitusional dan regulatif maka berbagai upaya dilakukan untuk mencerdaskan dan meningkatkan kualitas pemilih. Dan ini pula bisa dinilai sebagai upaya tidak langsung KPU untuk menjamin integritas pemilu dan pemilihan sampai pada dimensi outcome dan termasuk secara tidak langsung KPU berupaya bukan hanya mencapai demokrasi prosedural tetapi agar terwujud demokrasi substansial.

Secara konstititusional dan regulatif ada ruang jaminan agar masyarakat berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan pemilu dan pemilihan, selain memberikan pilihannya pada hari pemungutan suara. Untuk meningkatkan kualitas dan kecerdasan pemilih, berbagai upaya dilakukan KPU: sosialisasi, pendidikan pemilih dan termasuk yang sedang didorong secara massif dan bahkan menjadi program unggulan tahun 2021 ini adalah Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan (DP3).

Meskipun nama program ini hanya menyebut desa, namun sesungguhnya kelurahan pun terintegrasi di dalamnya. Artinya tetap kelurahan bisa menjadi lokus di dalamnya. Seperti KPU Kabupaten Bantaeng, selain memilih 7 desa sebagai lokus pelaksanaan DP3, juga memilih satu kelurahan. Untuk KPU Kabupaten Bantaeng, masing-masing satu desa atau kelurahan untuk satu kecamatan.

Melalui program DP3 ditancapkan sebuah harapan besar dan langkah strategis dengan menerjemahkan pendidikan pemilih dalam sebuah inovasi yang lebih massif dan sistematis untuk memberikan dan menanamkan pencerdasan, pencerahan dan pemantik kesadaran kepada pemilih. Secara filosofis dan ideologis DP3 bisa pula dimaknai sebagai sebuah revitalisasi dan reinterpretasi daripada “Pemilih Berdaulat Negara Kuat”.

Narasi ini, “Pemilih Berdaulat Negara Kuat” meskipun lebih sering hanya dibaca melalui spanduk, pamflet atau flyer KPU, namun hal itu bukan hanya tagline semata. Ini adalah paradigma yang secara filosofis bisa diterjemahkan ulang bahwa “jika ingin negara ini kuat maka syaratnya pemilih harus berdaulat”.  

DP3 sebagaimana Keputusan KPU RI Nomor 290 yang disebutkan di atas tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Program DP3, diharapkan “melahirkan pemilih yang mandiri dan rasional serta hal ini dipahami sebagai ukuran kualitas demokrasi di suatu Negara. Indikator pemilih yang mandiri dan rasional yaitu dalam menentukan pilihan politik, ia tidak lagi berorientasi pada kepentingan jangka pendek seperti uang, kekuasaan dan kompensasi politik yang bersifat individual. Justru pilihan politik diberikan kepada partai atau kandidat yang memiliki kompetensi dan integritas untuk mengelola pemerintahan.

Melalui DP3 diharapkan lahir proses pendidikan pemilih secara sistematis, massif dan berkelanjutan dengan muatan pengetahuan tentang pemilu, pemilihan, demokrasi, kebangsaan, dan nalar kebangsaan lainnya yang sangat mendalam. Peserta yang terlibat di dalamnya, bisa dipandang sebagai kader KPU atau lebih sederhana sebagai “duta” KPU yang akan memiliki pemahaman, kesadaran dan kepedulian yang tinggi terhadap proses demokrasi, pemilu dan pemilihan.

Peserta pasca program DP3 ini, tidak hanya diharapkan menjadi output atau dalam pemahaman sederhana hanya menjadi pemilih yang memahami secara teknis dan regulatif tentang proses pemilu dan pemilihan dan hanya bermanfaat untuk dirinya semata. Termasuk berbagai pemahaman dan pengetahuan yang telah diberikan tidak hanya berhenti dan membuat dirinya sebagai intellectual Exercise.

Peserta program DP3 ini diharapkan lahir outcome, lahir aktor-aktor yang akan menjadi mercusuar demokrasi di desa. Mereka para peserta program DP3 bisa menjadi intelektual organik ala Antonio Gramsci, yang bergerak massif memberikan pencerdasan, pencerahan dan penyadaran kepada masyarakat lainnya. Minimal bagaimana masyarakat bisa menjadi pemilih yang mandiri dan rasional serta menyadari secara paradigmatik dan filosofis “Pemilih Berdaulat Negara Kuat”.

Muaranya, selain telah mampu menjadi pemilih yang mandiri dan rasional sebagaimana dijelaskan di atas, termasuk dengan memiliki kesadaran bahwa key word “negara kuat” adalah “pemilih berdaulat” maka pemilihlah yang akan bergerak proaktif memperjuangkan hak konstitusionalnya. Selain itu pemilih, dengan penuh kesadaran, pemahaman dan keberanian akan senantiasa hadir mengawal setiap tahapan yang berlangsung dalam pemilu dan pemilihan.

Dengan pemahaman mendalam dan implementasi nyata dari “pemilih berdaulat”, pemilih akan senantiasa proaktif mengecek apakah dirinya sudah tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), termasuk akan memiliki keberanian mengontrol, mencegah dan termasuk melaporkan pergerakan dan strategi para peserta pemilu yang dipandang tidak sesuai etika dan regulasi yang ada.

Minimal harapan-harapan di atas yang akan dicapai dalam program DP3. Dengan dibangunnya mercusur demokrasi dari desa, diharapkan masyarakat dan pemilih secara umum memiliki petunjuk arah, kiblat, navigator agar cerdas dalam memilih. Semua ini akan bermuara pada tujuan akhir dari demokrasi yaitu “kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Muara ini bisa pula dimaknai sebagai tujuan dan sekaligus indikator capaian daripada demokrasi substansial itu sendiri.

Tulisan di atas adalah pandangan subjektifitas saya sendiri selaku penulis dalam memahami program DP3.

Eks Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng yang sekarang menjabat sebagai Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018 - 2023

2 thoughts on “DP3: KPU Membangun Mercusuar Demokrasi dari Desa

    • Alhamdulillah, terima kasih atas apresiasinya ibu Komisioner.

      Mudah mudahan tulisan berikutnya segera selesai dengan judul “PEMILIH BERDAULAT: SPIRIT MELAMPAUI PARTISIPASI PEMILIH”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like