Terorisme Berbasis Agama, Kemanusiaan dan Literasi Agama8 min read

Panorama kehidupan bangsa Indonesia hari-hari ini mempertontonkan gejala-gelaja miris. Hal ini ditengarai oleh beberapa faktor di antaranya; masalah Pandemi Covid-19 yang tak kunjung berakhir, masalah dekadensi moral yang mendera pejabat publik, dan masalah bencana alam yang datang bentubi-tubi.

Selain deretan masalah tersebut, terdapat masalah mutakhir yang mencuat belakangan ini di ruang publik yakni masalah terorisme (bom bunuh diri). Aksi bom bunuh diri ini terjadi di depan Gereja Katedral Makassar, pada Minggu 28 Maret 202l, sekitar pukul 10.28 Wita. Peristiwa tersebut terjadi pascaperayaan misa kedua Minggu Palem umat Katolik di Makassar (Kompas.com 29/03/2021).

Munculnya aksi bom bunuh diri itu sontak menuai banyak respon dari publik. Ada yang langsung mengutuk, ada yang mengeritik, ada yang mengecam, dan ada pula yang menanggapinya dengan lantunan doa spontan terlebih khusus terhadap orang-orang tak berdosa yang menjadi korban. Reaksi spontan dari publik ini pada hemat penulis tidak salah. Sebab aksi bom bunuh diri merupakan aksi biadab dan irasional yang tidak memperhitungkan  hak orang lain seperti; hak untuk hidup, hak untuk beribadah dan hak untuk hidup aman.

Tampilnya masalah tersebut semakin memperpanjang litani traumatis publik di antara banyak kejadian traumatis yang masih mendera publik sampai saat ini. Masalah bom bunuh merupakan masalah serius yang berpotensi merobek realitas pluralisme di Indonesia terlebih khusus pluralisme agama. Masalah ini mesti ditangani secara serius. Sebab masalah ini bukan hanya berimplikasi terhadap realitas pluralisme agama yang menjadi kekayaan bangsa Indonesia tetapi juga terhadap citra kemanusiaan.

Terorisme

Term terorisme, teroris, dan teror berasal dari bahasa Latin terror, yang diturunkan dari kata kerja terrere, artinya “menakut-nakuti”, to frieghten (Constantinus Fatlolon, 2016; 58). Lebih jauh, menurut KBBI, terorisme merupakan sebuah tindakan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dan kengerian. Pengertian tersebut setidaknya menerangkan satu hal bahwa terorisme merupakan sebuah tindakan kejahatan yang bertujuan untuk menakut-nakuti.

Tindakan menakut-nakuti biasanya dilakukan secara terstruktur atau sistematis. Perwujudan tindakan intimidasi dapat dilakukan dengan pelbagaimacam cara, salah satunya adalah melalui aksi bom bunuh diri seperti yang terjadi beberapa hari yang lalu di Makassar. Tujuannya adalah untuk menciptakan situasi caos, ketidaknyamanan, dan perasaan takut yang berkepanjangan dalam diri publik.

Terorisme sejatinya merupakan masalah lama yang muncul dalam sejarah. Kata terror pertama kali digunakan di Prancis pascarevolusi, di mana kekuasaan yang memerintah pascarevolusi dinamakan sebagai Reign Of Terror (antara tahun 1793-1795), karena memerintah dengan menggunakan strategi intimidasi dalam mencapai tujuan-tujuannya. (Silvester Ule, 2011; 4). Kata yang sama digunakan di Inggris pada tahun 1798, yang sekaligus mengawali penggunaan kata tersebut di seantero jagat (ibid.).

Dalam perjalanan waktu, intensitas penggunaan istilah terorisme kembali menguat pascaterjadi serangan ganas terhadap menara kembar WTC,  di New York, Amerika Serikat pada 11 September 2001. Serangan tersebut sekaligus menandai kebangkitan idiologi terorisme di seantero jagat. Ekspansi idiologi terorisme kemudian menembus sekat-sekat batas negara-negara. Dalam sejarahnya, terorisme tidak hanya ditengarai oleh satu faktor, tetapi ditengarai oleh pelbagaimacam faktor seperti, politik, sosial, hukum, ekonomi, dan agama. Namun di tengah kompleksitas motif terorisme, penulis mencoba menyoroti secara khusus terorisme bermotif agama.

Terorisme Berbasis Agama

Terorisme berbasis agama yang marak terjadi hari-hari ini memiliki banyak penyebab. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa terorisme berbasis agama muncul sebagai reaksi terhadap neoimperialisme dan neokolonialisme yang digalakan oleh Negara-negara Barat sekular terhadap negara dunia ketiga melalui ekonomi. Hal tersebut berimplikasi terhadap ketimpangan ekonomi internasional.

Implikasi lain juga nampak terlihat dalam diri agama itu sendiri di mana peran publik agama semakin digeser atau didomestifikasi ke ranah privat. Agama dinilai tidak relevan dan irasional. Dari sinilah muncul gerakan radikal dari para pemeluk agama. Mereka memproklamasikan “perang” terhadap dominasi globalisasi produk Negara-negara Barat sekular. Tujuannya untuk menjaga puritanisme agama. Agama dibela agar ekses globalisasi tidak mengkontaminasi agama.

Titik awal munculnya resistensi terhadap dominasi neoliberalisme dapat dibaca dalam peristiwa serangan terhadap menara Kembar WTC, New York, Amerika Serikat, pada tanggal 11 September 2001 silam. Filsuf kontemporer Jurgen Habermas menggambarkan serangan tersebut sebagai (the new monstrous act in world history atau“tindakan baru yang dahsyat dalam sejarah dunia (Constantinus Fatlolon , op.cit. 62-62).

Hemat penulis, selain bentuk respon terhadap dominasi globalisasi Barat sekular, terorisme berbasis agama juga disebabkan oleh maraknya penyebaran paham atau idiologi radikal dikalangan umat beragama. Hal ini banyak ditemukan dalam konteks negara Indonesia. Para penganut agama yang nota bene memiliki pengetahuan rendah tentang seluk-beluk agama dan ajaran-ajarannya diindoktrinasi sedemikian rupa sehingga mereka menginternasisasi dan mengimplementasikan ajaran-ajaran sesat dalam kehidupan sehari-hari. Pada tataran ini mereka berlaku pasif. Mereka menerima begitu saja (taken for granted) ajaran-ajaran tersebut kendatipun ajaran tersebut sangat menyimpang. Mereka dilatih untuk memahami ajaran-ajaran Kitab Suci Kitab Suci secara literer.

Secara sederhana literalisme dimafumi sebagai sebuah pemahaman yang dicapai lewat cara membaca teks tanpa melihat konteks dan sejarah penulisan teks, melainkan berdasarkan makna harafiahnya. Sebuah pembacaan menjadi literalisme ketika apa yang tertulis dianggap sebagai maksud final yang disampaikan penulisnya (Peter Tan, 2020; 311). Tafsiran ketat terhadap teks, konteks, dan sejarahnya tidak perlu atau dalam bahasa F. Budi Hardiman “tidak perlu dipertanyakan, cukup percaya saja”.

Penafsiran literer terhadap isi ajaran Kitab Suci tentu sangat berbahaya. Berbahaya karena tafsiran yang sempit terhadap ajaran Kitab Suci akan menghantar orang pada sikap ekstrim. Orang akan mengklaim diri paling benar. Klaim kebenaran sepihak inilah awal munculnya aksi jihat. Menurut mereka, ajaran agama lain itu kafir dan tidak benar. Klaim kebenaran sepihak tersebut kemudian melegitimasi aksi jihat atau perang terhadap orang-orang yang berseberangan dengan mereka.

Mereka meyakini bahwa tindakan bom bunuh diri dan kekerasan yang mereka lakukan merupakan tindakan kemartiran untuk memurnikan dunia dari kekafiran, suatu ibadah kepada Allah. Mereka mengklaim bahwa membunuh adalah salah satu jalan menuju surga (F. Budi Hardiman, 2018; 122). Ketika mereka membunuh atau dibunuh, mereka akan mendapat upah atau pahala di Surga. Mereka akan disambut oleh malikat di Surga. Itulah credo umum yang mereka pegang. Hamat penulis, di sinilah kejanggalan terjadi. Bahwa kepatuhan buta (blind obidience), terhadap ajaran radikal ini membuat mereka buta terhadap kemanusiaan. Mereka berani membunuh sesama manusia yang tak berdosa hanya kerena ajaran agama yang menurut mereka paling benar. 

Terorisme dan Tragedi Kemanusiaan

Indonesia sejak awal dikenal sebagai bangsa yang beradab karena Indonesia memiliki Idiologi Pancasila. Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia. Pancasila in se mengandung nilai-nilai dan pedoman etis bagi manusia Indonesia dalam menjalani kehidupannya. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sangat mumpuni dalam membina manusia Indonesia agar kehidupannya menjadi lebih labih baik. Nilai Kemanusiaan misalnya, menjadi garansi bagi bangsa Indonesia dalam kehidupan sosial, sehingga kehidupan sosialnya diwarnai oleh spirit humanisme. Spirit humanisme membawa orang pada situasi hidup saling menghargai dan menghormati satu sama lain tanpa memandang suku, agama, ras dan budaya.

Namun anggapan tersebut serentak memudar tatkala berhadapan dengan masalah terorisme yang semakin marak terjadi dewasa ini. Aksi bom bunuh diri yang terjadi di Makassar beberapa hari yang lalu misalnya, menjadi bukti bahwa spirit kemanusiaan yang adil dan beradab mulai memudar. Hal tersebut tentu menjadi pukulan serius terhadap bangsa Indonesia karena citra kemanusiaan menjadi luntur. Citra kemanusiaan menjadi ambruk lantaran mengganasnya pukulan maut terorisme.

Bom bunuh diri yang merupakan manifestasi dari terorisme, hemat saya merupakan aksi bodoh, biadab, dan tak berprikemanusiaan. Bom bunuh diri sangat kontrapoduktif dengan eksistensi manusia sebagai animal rationale. Orang menghancurkan hidupnya sendiri dan orang lain tanpa melalui pertimbangan rasional, moral, dan kemanusiaan. Pada aras ini, rasionalitas, moralitas, dan kemanusiaan pelaku seakan mati tak berbedaya.

Kepatuhan buta terhadap ajaran agama seakan menutup terang budi, moral dan kemanusiaannya. Barangkali inilah yang oleh Hannah Arendt sebut sebagai fenomena kegagalan berpikir (thoughlessness). Implikasi logis dari kegagalan berpikir hematnya adalah munculnya banyak kejahatan terhadap kemanusiaan yang disebutnya sebagai worldlessness (Yosef Keladu Koten, 2018; 48).

Signifikansi Literasi Agama

Terorisme berbasis agama merupakan masalah serius yang tengah mendera Negara Indonesia hari-hari ini. Eksistensi teorisme berbasis agama dalam negara Indonesia yang plural ini tentu sangat berbahaya. Selain berimplikasi terhadap realitas pluralisme agama, terorisme juga berimplikasi negatif terhadap kemanusiaan. Kemanusiaan menjadi ambruk. Oleh karena itu, mesti ada upaya serius yang bersifat holistik untuk menangkal dan memeranginya.

Salah satu cara alternatif yang hemat penulis memiliki kontribusi dalam menangkal aksi terorisme berbasis agama adalah melalui literasi agama. Literasi agama pertama-tama hadir sebagai jawaban atas kedangkalan pemahaman pemeluk agama terhadap ajaran agamanya sendiri dan ajaran agama orang lain. Literasi agama membantu para pemeluk agama untuk memahami isi ajaran agamanya sendiri dengan benar dan melihat hal-hal positif yang terdapat dalam ajaran agama lain.

Diane L. More, sebagaimana yang diseter Patresia Kirnandita, mendefinisikan literasi agama sebagai kemampuan untuk melihat dan menganalisis titik temu antara agama dan kehidupan sosial, politik, dan budaya dari beragam sudut pandang (https://tirto.id/cjTZ). Seturut defenisi ini, kita dapat melihat bahwa literasi agama sangat penting. Signifikansi literasi agama tatkala behadapan dengan fenomena “agama minus nalar”, di mana pemahaman umat beragama terhadap ajaran agamannya sendiri dan ajaran agama lain sangat dangkal.

Pemahaman yang dangkal ini seringkali terperangkap dalam klaim kebenaran yang bersifat eksklusif. Hal ini dapat dibaca dalam klaim-klaim sepisak semisal, ajaran agama saya lebih benar dari ajaran agama lain, atau Kitab Suci saya lebih benar dari Kitab Suci agama lain. Pemahaman sempit semacam inilah yang menjadi awal munculnya aksi-aksi terorisme. Aksi terorisme seakan dilegitimasi atau dijustifikasi oleh ajaran agama bahwasannya ajaran agama saya  benar, sedangkan yang lain salah, sesat, dan kafir.

Oleh karena itu tindakan kekerasan atas nama agama menjadi legitim. Signifikansi literasi agama nampak terlihat di tengah fakta memudarnya dialektika iman dan akal budi. Tentang hal ini, Peter Tan dalam bukunya, menjelaskan, skandal agama hari-hari ini di Indonesia, seperti radikalisme, terorisme, jihat, dll, pertama-tama diprovokasi oleh lenyapnya dialektika nalar dan agama, akal budi dan iman (Peter Tan, op.cit, xxix). Oleh karena minimnya dialektika iman dan akal budi maka fenomena radikalisme dan terorisme merajalela.

Gerakan literasi agama seyogyanya digencarkan oleh seluruh lapisan masyarakat, mulai dari keluarga, sekolah dan masyarakat. Pemerintah mestinya menjamin terlaksananya gerakan tersebut. Hemat penulis, apabila gerakan literasi agama diimplementasikan dengan baik, bukan tidak mungkin konstelasi kehidupan bersama yang harmonis menjadi mungkin.

Orang akan semakin menjunjung tinggi nilai toleransi, karena ia samakin moderat. Kehidupan bersama akan bertransformasi dari ko-eksistensi ke pro-eksistensi. Dan lebih daripada itu orang akan semakin menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Bahwasanya kemanusiaan lebih krusial daripada yang lain. Kemanusiaan kemudian menjadi agama baru yang dihormati. Dengan demikian, orang tidak mudah terjerat dalam aksi bom bunuh diri seperti yang terjadi di Makassar beberapa hari yang lalu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like