Pasca bubarnya Republik Indonesia Serikat (RIS) yang kemudian kembali pada Negara Kesatuan RI pada tanggal 17 Agustus 1950, Indonesia memasuki masa pembentukan Konstitusi negara serta pedoman-pedoman penyelenggaraan negara yang menyertainya. Konstitusi yang dipakai ialah UUD Sementara tahun 1950, dimana sistem pemerintahan berbentuk Parlementer, dan Bentuk Negara Kesatuan dan bercorak politik demokrasi liberal. Pelaksanaan demokrasi liberal ini agaknya mencontoh sistem politik barat. Sistem parlementer juga merupakan sistem pemerintahan dimana hubungan eksekutif dan legislatif sangatlah erat.
situasi politik transisional tersebut juga mempengaruhi parlemen yang ada dan juga merombak susunan DPR yang baru. Hal tersebut menggambarkan fase baru dalam percaturan keterwakilan di Indonesia. Lembaga legislatif ini dibentuk berdasarkan pasal 77 UUDS 1950, Dimana DPR keanggotaannya harus dipilih lewat pemilu.
Pada masa sebelumnya, ketika Indonesia berbentuk Republik Federasi, lembaga legislatif seharusnya sudah mampu menyelaraskan peletakan demokrasi pada tempat yang proporsional, bukan menjadi sebuah alat politik namun sudah menjadi wadah penampung aspirasi masyarakat. Dimasa itu belum bisa diharapkan jika berbicara Demokrasi secara proporsional. Dimana keputusan yang telah disepakati melibatkan seluruh elemen pada masa tersebut masih terganjal gejolak politik luar negeri yang melibatkan pemerintah Indonesia dan Belanda lewat aksi polisionil, sehingga masa itu lembaga legislatif dijalankan atas dasar apa yang ada maupun terpaksa.
Seperti pada pengalaman demokrasi Sebelumnya gejolak yang ada didalam parlemen sangat jamak terlihat, karena dominasi unsur tertentu yang menjadi penentu tanpa disadari. PNI dan Masyumi menjadi unsur yang paling berpengaruh didalam parlemen. Namun dilihat dari Komposisi DPRS yang dilantik 16 Agustus 1950, masih mencerminkan konstelasi politik 5 tahun sebelumnya yakni pada masa Perjuangan kemerdekaan. Akan tetapi dengan porsi yang sangat sedikit. Keanggotaan DPRS berdasar pasal 77 UUDS 1950 mencakup baik dari tokoh tokoh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) Maupun tokoh tokoh yang sebelumnya duduk di Senat dan DPR RIS, yang anggota-anggotanya mencakup wakil-wakil dari negara-negara bagian yang didirikan oleh Kolonial Belanda.
Kemudian, keanggotaan DPRS terbagi dalam Golongan Pro-republik kesatuan dan golongan Pro-republik federasi. Dari jumlah total 236 anggota DPRS, 111 orang adalah Pro-NKRI dan 125 orang adalah Pro-RIS. Akan tetapi perlahan 125 orang Pro-RIS melebur dengan kelompok Pro-NKRI sehingga perbedaan diantara kedua golongan ini menjadi kabur. Ada hal lain yang mempengaruhi adalah relatif sedikitnya orang orang Pro-RIS yang didukung oleh partai yang terorganisir maupun oleh daerah masing-masing.
2 partai besar Masyumi dan PNI menjadi partai yang mendapatkan kursi terbanyak yakni 49 Kursi dan 36 Kursi. Namun partai partai kecil juga memainkan peranan yang besar dan melebihi proporsi yang ada lewat pengaruhnya dalam masyarakat luas. Sehingga kadang mereka sanggup untuk memainkan peran besar untuk percaturan politik di parlemen.
Komposisi Kursi DPRS:
Karena jalan yang ditempuh untuk menjadi anggota parlemen bermacam-macam, kesetiaan terhadap anggota parpol juga kurang teguh. Seperti contoh banyak terjadi kecurangan pada sejumlah anggota partai yang menyeberang ke partai lain. Hal tersebut dapat disebut juga dengan Fragmentasi partai yang terjadi dalam kurun waktu masa demokrasi liberal yang juga mempengaruhi keanggotaan di DPRS.
Sebagai contoh jika sebelumnya pada masa KNIP ada PSII yang anggotanya berpisah dari Masyumi tahun 1947 dan PRN yang anggotanya keluar dari PNI pada tahun 1950. Hal demikian juga terjadi pada DPRS era 1950-1954. NU keluar dari Masyumi pada 1952, yang mengakibatkan Masyumi kehilangan 8 Kursi, dan dengan demikian posisi sebagai fraksi yang sangat dominan agak melemah. NU menjadi Parpol pertama yang berdiri selama berlangsungnya Demokrasi Liberal dan berlakunya UUDS 1950 pada tanggal 1 Mei 1952, yang kemudia diikuti oleh Berdirinya Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) oleh AH Nasution pada 20 Mei 1954.