Ateisme dalam Masyarakat Modern12 min read

Pernahkah anda mendengar kisah orang gila yang menyalakan lentera di pagi hari yang cerah, lari ke pasar, dan tidak henti-hentinya berteriak, “Aku mencari Tuhan!” Ketika banyak orang yang tidak percaya kepada Tuhan berdiri di sekitar dia waktu itu, ia membuat mereka tertawa keras. Kenapa, apakah Tuhan tersesat? Kata seseorang. Apakah ia tidak tahu jalan seperti anak kecil? Kata yang lain. Ataukah bersembunyi? Takut sama kita? Apakah ia lagi bepergian? Atau pindah rumah? Begitulah mereka bersorak dan tertawa. Orang gila itu meloncat ke tengah-tengah mereka dan memandang mereka dengan tatapan tajam.

“Ke mana Tuhan?” ia berteriak. “Kubilang kepada kalian, kita sudah membunuhnya-kamu dan saya. Semua kita adalah pembunuhnya. Tetapi bagaimana kita melakukannya? Bagaimana kita mampu meminum habis air samudra? Siapa yang memberi kita busa untuk menyapu seluruh cakrawala? Apa yang kita lakukan ketika kita lepaskan bumi dari mataharinya? Ke mana bumi ini bergerak kini? Ke mana kita sekarang bergerak? Menjauhi semua mentari? Apakah kini kita terguling terus- menerus? Ke belakang, ke pinggir, ke depan, ke seluruh arah? Masihkah tersisa ke atas atau ke bawah? Tidakkah kita terkatung-katung dalam ketíadaan tanpa batas? Tidakkah kita merasakan napas dari ruang hampa? Tidakkah udara menjadi lebih jauh dari mereka dari gemintang yang paling jauh-dan toh mereka telah melakukannya sendiri.”

Diriwayatkan selanjutnya pada hari yang sama, orang gila itu memasuki beberapa gereja dan menyanyikan lagu kematian Tuhan, requiem acternan dea. Setiap kali diminta pertanggungjawaban, ia diriwayatkan menjawab, “Bukankah gereja-gereja ini tidak lain hanyalah kuburan dan peti mati Tuhan?”1

Kisah kematian Tuhan yang sangat emosional ini dituturkan Friedrich Nietsche. “Walaupun kematian Tuhan dalam kutipan ini jelas merupakan metaforis, ia tampaknya menjelaskan, walaupun dalam bahasa kiasan, pengalaman sebenarnya orang Barat. Dengan kata lain, metaforis kematian Tuhan menunjukkan pengalaman banyak orang, pengalaman dunia, bukan di mana Tuhan tidak ada, tapi di mana Tuhan telah meninggalkan kita,” tulis Fernando Molina.2 Niersche boleh disebut “semacam” ateis; bukan ateis yang mengingkari keberadaan Tuhan, tapi ateis yang melihat Tuhan sebagai musuh kebebasan dan penentu moralitas. Dengan membunuh Tuhan, manusia memperoleh kebebasan untuk menentukan nilai, memilih baik dan buruk. Dalam bahasa Sartre, hanya dengan meniadakan Tuhan kita baru bertindak “otentik”. Nietsche

Nietsche, seperti Sartre, mewakili mazhab ateisme romantik. Bila dalam kalangan umat beragama ada “angry believers“, ateisme romantik mengenal “angry disbelievers“, mereka melihat Tuhan sebagai penyebab ketidakadilan, penindasan, dan penurunan nilai kemanusiaan. Agar bebas dan terbuka, manusia harus melepaskan dirinya dari Tuhan. Manusia harus berdiri sendirian di alam semesta, bertanggungjawab sepenuhnya akan apa pun yang ia lakukan, “likely to remain in lowly state, but free to reach above the stars3 pada hakikatnya ateisme romantik menggantikan Tuhan dengan individualitas. Dengan segala kejelekannya dan penderitaannya, individualitas dipandang sebagai “the highest good“. Dalam khotbah Nietsche berikut ini, ateisme romantik disimpulkan dengan indah “Be a man and do not follow me-but yourself.” Aliran ini muncul pada abad ke-19 dan banyak kita temukan dalam karya-karya sastra dari Rilke, Kafka, Camus, juga Sartre adalah contoh- contoh lainnya.

Dalam tulisan ini, hanya untuk membatasi wacana, saya tidak membincangkan ateisme romantik (yang sebetulnya lebih menarik hati saya). Saya akan mencurahkan perhatian pada ateisme rasionalistik. Aliran ini diperkirakan muncul pada masa Renaissance dan pasca-Renaissance; dan mencapai puncaknya pada masa pencerahan pada abad ke-18. Para filosof Perancis sebelum ravolusi Perancis mempunyai banyak ateis seperti Voltaire, Diderot, dan Baron de Holbach. Yang disebut terakhir ini konon pernah dijamu makan malam oleh David Hume, jagoan skeptisisme dari Skotlandia. Hume bercerita bahwa ia tidak pernah menemukan orang yang betul-betul ateis. Mendengar itu Holbach berkata, “Mungkin sangat penting untuk Anda ketahui, Monsieur, bahwa malam itu tuan sedang makan malam dengan tujuh puluh (ateis sebenarnya).”4

Ateisme rasionalistik mengingkari Tuhan karena penjelasan ilmiah yang rasional tidak memerlukan Tuhan dalam menjelaskan dunia. Dalam tingkatnya yang paling ekstrem, ateis rasionalistik mengatakan bahwa pernyataan “Tuhan ada” bukanlah pernyataan yang berarti. “Tuhan ada” adalah nonsense, karena tidak dapat diverifikasi secara empiris. Pada masa kini, aliran ini mempengaruhi pemikiran modern dalam bentuk materialisme, positivisme logis, dan psikoanalisis. Ketiganya akan menjadi tema utama prolog ini.

Materialisme

“Manusia adalah produk sebab-sebab yang tidak dapat diketahui akibat yang ditimbulkannya; bahwa asal-usulnya, pertumbuhannya, harap dan takutnya, kecintaan dan kepercayaannya, hanyalah akibat susunan atom yang terbentuk secara kebetulan; bahwa neraka, heroisme, intensitas pikiran dan perasaan, tidak dapat menampung kehidupan individu setelah kematian; bahwa semua kerja keras selama berabad- abad, semua pengabdian, semua inspirasi, semua kecerdasan umat manusia yang cemerlang, ditakdirkan punah dalam kematian tata surya, dan seluruh istana prestasi manusia akhirnya tidak bisa tidak harus dibenamkan di bawah runtuhan alam semesta-semua ini, jika tidak diperdebatkan, hampir dapat dikatakan mendekati kepastian, sehingga tidak satu pun yang menolaknya dapat bertahan.”

Ucapan Bertrand Russel di atas menunjukkan materialisme dalam bentuknya yang telanjang. Materialisme mempunyai sejarah panjang sejak kaum atomisme terdahulu seperti Leucippus dan Democritus pada abad ke-5 SM, sampai pada banyak ilmuwan modern sekarang ini. Mereka mempunyai keyakinan yang sama bahwa di alam semesta ini tidak ada satu pun perilaku yang tidak dapat dijelaskan dengan hukum-hukum fisika; bahwa tidak ada yang disebut Tuhan atau roh atau wujud metafisik-yakni, sosok yang imaterial, tanpa tubuh, tidak terdapat dalam ruang, bahwa semua pemikiran dan kesadaran hanyalah proses mekanis (Karl Vogt terkenal karena ucapannya bahwa pikiran berkaitan dengan otak sama seperti empedu berkaitan dengan liver dan air kencing berkaitan dengan ginjal).

Kepercayaan akan hukum-hukum alam yang bersifat material diperkuat dengan keyakinan akan kemampuan rasio sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan. Bermula sejak masa pencerahan (Aufklarung), orang merasa yakin bahwa kekuatan sains dan logika dapat menjawab semua persoalan. “Dalam Spinoza, keyakinan akan rasio telah melahirkan struktur geometri dan logika menakjubkan: alam semesta meniadi sebuah sistem matematik, dan dapat digambarkan a priori dengan hanya deduksi dari aksioma-aksioma yang Sudah diterima. Dalam Hobbes, rasionalisme Bacon menjadi ateisme dan materialisme yang tegar; sekali lagi yang ada cuma ‘atom dan kekosongan.’ Dari Spinoza ke Diderot, kehancuran iman terjadi bersamaan dengan kemajuan rasio: satu demi satu dogma lama menghilang; katedral, kepercayaan abad pertengahan dengan segala keanggunan dan keindahannya, hancur berantakan; Tuhan jatuh dari singgasananya bersamaan dengan jatuhnya keluarga Bourbon, surga memudar menjadi langit, dan neraka menjadi ekspresi emosional. Helvetus dan Holbach memopulerkan ateisme di salon-salon Perancis, sehingga para pendeta pun menganutnya: La Mettrie menjajakan ateisme di Jerman di bawah perlindungan raja Rusia.5

Sekarang, dalam pandangan para filosof Aufklarung, yang ada hanyalah yang bisa dijelaskan oleh sains atau diperoleh melalui deduksi logis dari dalil-dalil umum (seperti dalam matematika). Tuhan tentu saja tidak ada, karena tidak dapat diteliti di laboratorium. Shalat tidak bermanfaat karena tidak dapat diuji dengan metode ilmiah. Agama hanyalah sisa-sisa dari penjelasan masa pra-ilmu.

Materialisme, yang bertopang pada saintisme, kemudian bergabung dengan empirisme dan melahirkan Positivisme logis (yang sebentar lagi kita bicarakan). Bentuk lain dari materialisme, yang mempunyai banyak pengikut karena didukung pemerintah, adalah materialisme dialektik. Engels merumuskan materialisme dialektik sehingga ia menjadi tonggak utama Marxisme. Mengawinkan materialisme dengan dialektika sebetulnya perbuatan yang aneh. Materialisme berada dalam dataran materi, sedangkan dialektika (seperti yang dirumuskan Hegel) berada dalam dataran ide. Marxisme menggabungkan keduanya. Dalam dialektika Hegel, sejarah berkembang karena benturan di antara kekuatan-kekuatan dalam masyarakat. Kontradiksi diselesaikan secara kreatif melalui sintesis. Marx menurunkan Hegel ke bumi. Alih-alih ide, yang bertarung dalam masyarakat adalah kekuatan-kekuatan ekonomi, kekuatan yang menentukan produksi dan distribusi kebutuhan hidup. Faktor-faktor produksi dan infrastruktur menentukan faktor-faktor kesadaran seperti ideologi, kebudayaan, dan agama. Tuhan adalah konsep yang dibentuk oleh tatanan sosio ekonomis. Tuhan berubah sejalan dengan perubahan tatanan sosio ekonomis. Lenin menjelaskan:6

Dalam negara-negara kapitalistik modern, basis agama terutama sekali bersifat sosial. Akar agama modern tertanam secara mendalam pada penindasan masa pekerja, dan dalam ketidakberdayaan mereka yang tampaknya menyeluruh ketika berhadapan dengan kekuatan buta kapitalisme, yang setiap hari dan setiap jam menyebabkan penderitaan dan siksaan yang mengerikan bagi kelas pekerja, ribuan kali lebih banyak dari penderitaan akibat perang, gempa bumi dan sebagainya. “Ketakutan menciptakan Tuhan.” Ketakutan akan kekuatan buta dan kapital-buta karena massa tidak dapat melihat tindakannya-kekuatan yang pada setiap langkah kehidupan mengancam pekerja dan orang kecil dengan kehancuran dan kebinasaan yang “mendadak, tidak terduga, kebetulan,” sambil membawa gelandangan, kesengsaraan, prostitusi dan kematian karena kelaparan-inilah akar tunggang agama modern yang pertama kali dan terutama sekali harus diyakini oleh kaum materialis, jika ia tidak ingin tetap terpojok dalam mazhab materialisme kanak-kanak.

Sampai di sini, materialisme dialektik menampakkan ciri ateisme romantik. Tuhan yang diinstruksikan dalam agama mengalihkan massa pekerja dari pemecahan masalah sosial yang dihadapi mereka. Tuhan menjadi delusi yang menenangkan mereka dari penderitaan mereka. Agama, karena itu, menjadi candu rakyat.

Positivisme Logis

Positivisme adalah “a family of philosophies characterised by an extremely positive evaluation of science and scientific method.7 Positivisme ditegakkan di atas lima asumsi (yang dapat kita sebut sebagai “rukun iman”-nya Positivisme) yakni: Logika-empirisisme, realitas obyektif, reduksionisme, determinisme, dan asumsi bebas-nilai.

Rukun pertama, logika empiris, menyatakan bahwa proposisi hanya berarti bila dapat diverifikasi dengan pengalaman inderawi. Kita dapat menentukan apakah sebuah proposisi benar atau salah dengan menghubungkan proposisi itu pada pembuktian empiris. Proposisi “Jakarta itu panas” adalah proposisi yang berarti. It makes sense, karena kita dapat mengeceknya dengan datang ke Jakarta. Kita dapat merasakan udara panas itu atau memasang termometer di tempat terbuka. Banyak proposisi tidak dapat diverifikasi, karena itu proposisi-proposisi itu tidak berarti, not make sense, atau nonsense. Di antara proposisi itu misalnya “Korupsi itu jelek”, “Roh itu ada” dan “Tuhan itu ada.” Tidak ada pembuktian inderawi (sense experience) untuk menentukan apakah korupsi itu jelek atau baik; sama seperti sukar membuktikan secara empiris apakah Tuhan itu ada atau tidak ada. Karena filsafat seringkali mempersoalkan hal-hal yang metafisik yang non-sensory-positivisme menolak untuk membicarakannya. Soal-soal metafisik hanyalah pseudo-proposition yang tidak mempunyai makna. Problem yang dipikirkan pemikir-pemikir besar sepanjang sejarah sejak Plato, Aquinas, sampai Sartre dianggap tidak bermakna dan karena itu harus ditingggalkan. Dengan begitu, semua wacana filosofis diruntuhkan. Alfred Jules Ayer berkata, “The traditional disputes of philosophers dre, for the most part, as unwarranted as they are unfruitful.

Rukun kedua, realitas obyektif, disebut juga realitas naif menyatakan bahwa hanya ada satu realitas yang dapat diketahui sepenuhnya melalui pengalaman. Realitas fisikal, temporal dan sosial dapat diketahui melalui studi individual, walaupun hanya bersifat perkiraan (aproximation). Bila cukup waktu dan dengan manggunakan metode yang benar penelitian dapat menggabungkan realitas perkiraan tersebut. Realisme melihat bahwa “dunia yang kita ketahui berada terlepas dari pengetahuan kita terhadapnya.” Ada garis demarkasi antara dunia obyektif yang dapat dipersepsi oleh individu dalam kesendiriannya. Yang pertama adalah dunia ilmiah; yang kedua menghasilkan pengetahuan yang tidak dapat diverifikasi secara publik. Yang mengetahui terpisah dari yang diketahui.

Rukun ketiga, reduksionisme, menyatakan bahwa kita dapat mengetahui dunia dengan memecah-mecah dunia itu kepada satuan-satuan kecil. Melalui pengetahuan kita pada satuan-satuan kecil ini, secara induktif, kita dapat menggeneralisasikannya kepada dunia yang lebih besar. Fenomena yang kompleks dapat disederhanakan menjadi unsur- unsur yang kecil. Temperatur udara dapat diketahui dengan mengamati gerakan molekul, perilaku manusia diketahui dengan meneliti stimulus dan respons, warna dapat diselidiki melalui panjang gelombang, pikiran diketahui melalui gelombang otak, cinta dan benci dianalisis dengan mengukur komposisi kimiawi sekresi glandular. Lalu, bagaimana Tuhan bisa diketahui. Tuhan adalah “konsep” yang tidak bisa dioperasionalkan, karena itu tidak dapat diukur; karena itu pula, tidak ada.

Rukun keempat, determinisme, menyatakan bahwa dunia ini diatur oleh hukum sebab akibat yang bersifat linear. Baik sebab maupun akibat terjadi pada dunia empiris. Apa pun yang terjadi sekarang terjadi karena sebab-sebab yang mendahuluinya. Anda hadir dalam pengajian karena pengalaman masa kecil Anda. Laki-laki berperilaku agresif karena pengalaman evolusi biologis mereka. Perempuan memiliki kecenderungan untuk memelihara dan merawat anak, karena kelakuan itu sudah ditentukan dalam “kode genetik” mereka. Positivisme menegaskan determinisme dalam proposisi “jika-maka”. Dengan determinisme, ilmu dapat meramalkan dan juga mengendalikan berbagai peristiwa di alam semesta. Makin berkembang ilmu pengetahuan, makin banyak hukum sebab-akibat dari segala sebab, para ilmuwan memasukkan ke dalam sebab segala hal kecuali Tuhan.

Rukun kelima, asumsi bebas nilai, menyatakan bahwa karena peneliti dan yang diteliti terpisah maka setiap penelitian ilmiah selalu bebas nilai. Nilai bersifat subyektif, sedangkan dunia pengamatan bersifat obyektif. Ketika Descartes memisahkan “jiwa” yang diketahui lewat pengalaman subyektif dan “materi” yang menjadi obyek kajian ilmu, para ilmuwan dilepaskan dari tanggungjawab dan nilai. Mereka memusatkan perhatian pada penelitian “materi” dan menyerahkan hal-ihwal “jiwa” seperti nilai, tujuan hidup, agama dan sebagainya- kepada para teolog, filosof, dan agamawan. Kritik pada

Materialisme dan Positivisme Logis

Materialisme rasionalistik yang ditegakkan di atas landasan ilmiah belakangan ini ditumbangkan karena berbagai penemuan ilmiah. Fisika-yang dianggap ilmu yang paling materialistis-sekarang telah memasuki bidang yang sangat metafisis. Mekanika Quantum Godel’s incompletness theorem, principal of uncertainty dari Heisenberg, Bell’s theorem, telan menumbangkan prinsip-prinsip materialisme. Ketika membicarakan problem kucing Schrodinger, Wolf menulis8:

Apa yang telah kita maksud ketika kita berbicara “realitas”? Biasanya yang kita maksudkan adalah dunia yang kita inderai. Dunia di sana terdiri dari benda-benda yang dapat kita lihat, dengar, rasa, cium, dan sentuh-obyek real, solid dan subtansial dari kehidupan kita sehari-hari. Kita menerima begitu saja bahwa benda-benda tersebut akan tetap ada dalam bentuknya yang bisa diindera walaupun kita tidak berada di sana untuk mengamatinya. Pengamatan kita hanyalah memverifikasi realitas yang sudah ada. Tetapi tidak demikian yang dikatakan mekanika quantum. Tampaknya telah terjadi perubahan drastis dari apa yang kita sebut warisan mekanika klasik. Inilah posisi yang kemudian dikenal sebagai posisi Kopenhagen atau Bohr Complementary Principle. Tidak ada realitas sebelum realitas itu dipersepsi. Persepsi kita tentang realitas akibatnya akan tampak agak kontradiktif, dualistik dan paradoksal. Pengalaman yang segera dari realitas kini sama sekali tidak akan nampak paradoksal. Hanya ketika kita sebagai pengamat berusaha mengonstruksi sejarah persepsi kira barulah realitas menjadi paradoksal.

Ketika membahas perkembangan fisika baru, Zukav9 membedakan mekanika Newton dengan mekanika quantum:

Pelajaran fisika Newtonian menyatakan bahwa alam semesta diatur oleh hukum yang dapat ditangkap dengan pemahaman rasional… Bertentangan dengan fisika Newton, mekanika quantum menyatakan bahwa pengetahuan kita tentang apa yang mengatur peristiwa pada tingkat subatomik tidaklah seperti yang kita asumsikan. Mekanika quantum menyatakan kita tidak dapat meramalkan kemungkinan. Secara filosofis implikasi quantum mekanik sangat psikodelis. Bukan saja kita yang mempengaruhi realitas, tapi sampai tingkat tertentu kita menciptakan realitas. Karena berdasarkan sifat benda, kita dapat mengetahui momentum partikel atau posisinya, tetapi tidak bisa mengetahui kedua-duanya. Karena itu kita harus memilih mana di antara kedua sifat ini yang harus kita tentukan. Secara matafisik, ini hampir dapat kita katakan bahwa kita menciptakan sifat tertentu karena kita memilih untuk mengukur sifat ini. Dengan kata lain, mungkin bagi kita menciptakan sesuatu yang mempunyai posisi, seperti partikel karena kita bermaksud menentukan posisinya. Tidak mungkin kita menentukan posisi tanpa mengadakan sesuatu yang menempati posisi yang ingin kita tentukan.


Catatan-catatan:

  1. Dikutip kembali dari Walter Kaufmann, Existensialism: From Dostoevsky to Sartre, New York: New American Library, 1975, hlm. 126-127.
  2. Fernando Molina, Existensialism as Philosophy, New Jersey: Prentice Hall, 1963, hlm. 27.
  3. Kaufmann, op. cit., hlm. 47.
  4. Encyclopedia Americana, 2:604, Connecticut: Groller, 1982, “Rationalistic Atheism arose about the modern confidence that scientific reason could offer an explanation of the world that made religious superstition obsolete.
  5. Will Durrant, The Story of Philosophy, New York: Simon and Schuster, 1933, hlm. 193.
  6. Lenin, On Religion, hlm. 19.
  7. W. L. Reese, Dictionary of Philosophy and Religion, New Jersey: Humanities, 1980, hlm. 450.
  8. Fred Alan Wolf, Taking the Quantum Leap, San Fransisco: Harper and Row, 1981, hlm. 127.

Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like