Mubaligh: Optimalisasi Dakwah dan Sensitivitas “Peran(g) Ideologi”9 min read

Judul ini sesungguhnya terinspirasi pada kegiatan orientasi mubaligh yang dilaksanakan oleh Badan Komunikasi Mubaligh Indonesia (BAKUMOBIN) Kab. Bantaeng, yang saya hadir pada saat itu, tahun 2017 di ruang pola kantor Bupati Bantaeng. Dan bahkan judul dan substansi sebagaimana dalam tulisan ini merupakan bentuk tanggapan dan interupsi saya kepada narasumber pada saat itu.

Saya yakin para pembaca mampu membaca secara filosofis dan menangkap makna, bahwa penulis seakan ingin memberikan interupsi dan sekaligus “instruksi” kepada Mubaligh. Interupsi yang dimaksud ingin mengingatkan kepada sebagian mubaligh bahwa aktivitas dakwah yang dilakukan dan materi dakwah yang disampaikan selama ini terasa kurang menyentuh kebutuhan zaman, sehingga perlu diberikan “instruksi” bahwa ini yang sebaiknya dilakukan: seorang mubaligh perlu memiliki sensitivitas akan “Peran(g) Ideologi”.

Selaku penulis tentunya merasa bahwa saya belum memiliki otoritas keilmuan dan posisi (baca: jabatan) untuk kemudian memberikan interupsi dan instruksi kepada mubaligh, apalagi saya bukanlah seorang mubaligh (kebetulan saja diundang juga pada saat itu oleh panitia). Namun pada sisi lain, mungkin inilah langkah yang tepat karena jika mubaligh yang menyoroti, menginterupsi dan menginstruksi mubaligh lain apalagi aktivitas, model dan materi dakwah yang disampaikan tidak jauh berbeda maka itu sama saja “jeruk makan jeruk”.

Dan yang pasti bahwa landasan keilmuan, teori dan referensi yang melandasi tulisan ini berbasis pada pemikiran, pemahaman pada sosok ilmuan yang otoritas keilmuannya tidak diragukan lagi.

Membaca secara filosofis realitas kehidupan dan kebangsaan kita, Indonesia sebagai bangsa dan Negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, penuh dengan fenomena paradoks. Sebagaimana disampaikan Syafiq Mughni — Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah — pada prolog buku mercusuar peradaban  “ bahwa persoalan besar yang muncul di tengah – tengah umat manusia sekarang ini adalah krisis spiritualitas, dan lebih lanjut dikatakan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dominasi rasionalisme, empirisme dan positivisme ternyata membawa manusia kepada kehidupan modern dimana sekularisme menjadi mentalitas jaman dan karena itu spiritualitas menjadi anatema bagi kehidupan modern”, (Azaki, 2015).

Aktivitas dakwah, pembangunan masjid, jumlah jamaah haji setiap tahun—apalagi jumlah antrian sampai 30 tahun ke depan—terus meningkat. Geliat ibadah umroh membuat para usaha travel kewalahan karena banyaknya permintaan/pendaftar. Ternyata pertumbuhan dan kemajuan itu, kurang berkorelasi poisitif dengan perbaikan moral bangsa.

Hal ini sesuai pembacaan Buya Ahmad Syafii Ma’arif dalam bukunya, Islam dalam Bingkai Keindonesia dan Kemanusiaan (2009). Korupsi semakin merajalela, kemiskinan dan kebodohan kurang mengalami penurunan secara signifikan, berita dan tingkat kejahatan terus mewarnai realitas kehidupan, begitupun (saya tambahkan) berita hoax, dan making funLife style yang cenderung ke arah materialistik, hedonis dan konsumtif. Keikhlasan, jiwa altruis, gotong royong seakan menjadi barang mewah yang hanya dimiliki oleh segilintir orang saja.

Dari realitas tersebut di atas, tentunya kita patut menginterupsi peran dan fungsi dakwah yang selama ini diperankan oleh para mubaligh. Saya yakin mubaligh akan melakukan pembelaan bahwa “memperbaiki kehidupan, termasuk moral bangsa” bukan hanya tugas mubaligh, mubaligh hanya sebatas memberikan peringatan, apakah nantinya dia beriman atau menjadi kafir, itu lebih pada pilihannya masing – masing. Dan tentunya saya tetap sepakat dengan pembelaan Mubaligh ini.

Saya selaku penulis yang sedang menginterupsi peran dan fungsi mubaligh, ingin menegaskan bahwa berdasarkan pembacaan saya, mubaligh memiliki posisi strategis dalam meluruskan kiblat dan memperbaiki moral bangsa secara keseluruhan dan umat Islam pada khususnya. Mubaligh, kita memahaminya “dipercaya”, memiliki otoritas untuk menyampaikan pesan – pesan moral, seruan – seruan ilahi yang tentunya memiliki integrasi dan sinergitas untuk kehidupan yang lebih baik di dunia serta nilai – nilai universal yang memiliki korelasi positif dengan harapan mulia manusia sesuai esensi dan eksistensi kehidupannya.

Jika kita jujur mengakui, untuk sebagian mubaligh─tentunya tidak bisa digeneralisir untuk seluruhnya­­­­─jika dikonfirmasi dengan realitas kehidupan maka aktivitas dakwah yang dilakukan kurang menyentuh, kurang menggugah dan kurang menggerakkan kehidupan untuk mengalami transformasi pada kehidupan sosial yang lebih baik.

Memperhatikan kajian akademis Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History and The Last Man: bahwa sejarah telah berakhir, dan yang dimaksudkan adalah bahwa “titik akhir dari evolusi ideologis umat manusia” dan “bentuk final pemerintahan manusia”, dimenangkan oleh kapitalisme dan demokrasi liberal. Ideologi – ideologi lainnya  telah runtuh dan hancur, termasuk Islam telah terkalahkan dalam dimensi kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya.

Jika kita mengonfirmasi dalam konteks Indonesia sebagai bangsa dengan penduduk mayoritas muslim bahkan penduduk Islam terbesar dunia, dalam kehidupan sosial, kita menemukan paradoks dan oposisi biner dari nilai – nilai Islam, kalaupun ada upaya perlawanan seakan kita dihinggapi psikologi kekalahan, rendah diri, atau inferiority complex dan bahkan mengalami krisis percaya diri (self confident). Terasa, umat Islam Indonesia hanya mayoritas secara kuantitatif tetapi minoritas secara kualitatif terutama dalam hal ekonomi.

Hal tersebut saya simpulkan sebagai efek kausalitas dari keberhasilan  Mubaligh yang hanya mampu menumbuhkan dan menggugah kesalehan individual dan kurang berhasil dan menggerakkan dalam dimensi kesalehan sosial. Keberhasilan menumbuhkan dimensi kesalehan individual berkorelasi pada materi dakwah yang disampaikan hanya menyentuh dimensi langit, surga neraka, nilai – nilai transendental kurang diterjemahkan dalam dimensi profan untuk mempengaruhi realitas sosial.

Sebagian Mubaligh terkadang hanya fokus pada materi tata cara shalat, rukun puasa, qurban, sejarah hijrah Nabi, dan jarang mencoba, menyentuh sisi bagaimana shalat berkorelasi terhadap character building, puasa dan kepekaan sosial, qurban dan spirit altruisme yang diorientasikan terhadap nasionalisme kebangsaan. Materi hijrah jangan hanya dilihat dari aspek historis dengan melihat sisi perpindahan secara geografis, melainkan harus dilihat dari sisi lain bahwa hijrah memiliki korelasi terhadap perubahan pola pikir bahkan bersentuhan dengan mekanisme on-off DNA manusia yang mempengaruhi capain hidupnya.

Ali Syariati menyimpulkan bahwa semua peradaban, mulai dari peradaban paling kuno, seperti Sumeria, selalu diawali dan berakhir pada puncak sebuah proses yang bernama hijrah. Apakah sebagian besar Mubaligh berani, mau dan secara serius mengarahkan konsep – konsep transedental dalam dimensi sosial politik, ekonomi dan budaya. 

Dari sini saya ingin mengajak para Mubaligh untuk memahami bahwa apapun yang terjadi dan kita alami dalam kehidupan ini, sebagaimana yang dikatakan oleh Andre Kukla dalam Konstruktivisme Sosial dan Filsafat Ilmu bahwa “semuanya adalah hasil konstruksi sosial”,(2000). Dan sistem yang mampu mengonstruksi kehidupan sosial adalah ideologi, kenapa ideologi ?, karena ideologi sebagaimana dijelaskan oleh John B. Thompson dalam dua karya mutakhirnya Analisis Ideologi Dunia (1984) dan Kritik Ideologi Global (1990),  memiliki kemampuan untuk memutarbalikkan realitas, karena ideologi memiliki relasi yang kuat dengan komunikasi massa, termasuk sampai pada persoalan bahasa, pikiran dan perilaku manusia. Dan bahkan “ideologi sarat dengan kepentingan dan pastinya diikuti oleh hasrat kuasa” (Asratillah, 2014:41).

Dalam kerangka besar ideologi bisa diklasifikasi menjadi tiga, ideologi kapitalisme-demokrasi liberal, Ideologi Islam dan ideologi komunisme-sosialisme─meskipun pada bagian ini saya menyebut Ideologi Islam namun bukan berarti saya memberi lampu hijau mendukung khilafah dalam pengertian berdirinya Negara Islam. Tetapi saya sepakat dengan tawaran Buya Ahmad Syafii Maarif, tentang mengutamakan politik “garam” daripada “gincu”. Tidak perlu Indonesia menjadi Negara Islam, yang utama umat Islam melaksanakan ajaran agama Islam secara benar dan baik. Apalagi Pancasila dipandang sebagai perasan nilai-nilai Islam dan termasuk akumulasi nilai luhur bangsa dan/atau jenius nusantara.

Untuk bisa memahami lebih mudah terkait pentingnya ideologi, kita bisa melihat pada pernyataan apresiasi (tepatnya endorsement) Yudi Latif pada buku Nuun karya Azaki Khoiruddin (2014). Beliau mengatakan bahwa ideologi itu mengandung tiga unsur: keyakinan, pengetahuan dan tindakan.

Pertama, ideologi mengandung seperangkat keyakinan berisi tuntutan – tuntutan normatif-perspektif yang menjadi pedoman hidup. Kedua, ideologi mengandung semacam paradigma pengetahuan berisi seperangkat prinsip, doktrin dan teori yang menyediakan kerangka interpretasi dalam memahami realitas. Keitiga, ideologi mengandung dimensi tindakan yang mengandung level operasional dari keyakinan dan pengetahuan dalam realitas konkret.

Dari uraian ini tentunya kita bisa memahami bahwa ideologi sangat mempengaruhi kehidupan kita dalam realitas konkret dan bahkan karena beroperasi dalam alam bawah sadar sehingga memiliki kekuatan penggugah dan penggerak dalam mempengaruhi perilaku manusia. Moh.Mudzakkir─Dosen Program Studi Sosiologi UNESA/Ketua PW LPCR Muhammadiyah Jawa Timur─mengatakan bahwa sebuah pergerakan harus memiliki landasan filosofis, paradigma dan ideologi, ataupun teori gerakan sebagai dasar dalam bergerak (2014).

Dan saya selaku penulis melihat bahwa aktifitas dakwah yang diperankan oleh Mubaligh harus mampu diterjemahkan sebagai sebuah gerakan yang harus memiliki landasan ideologis agar bukan hanya menumbuhkan kesalehan individual tetapi juga kesalehan sosial. Materi – materi dakwah mampu menjadi embrio perubahan sosial menuju kehidupan yang lebih sesuai nilai – nilai Islam.

Di sinilah sebagaimana judul di atas, menemukan ruang relevansi dan signifikansi bahwa Mubaligh perlu memiliki sensitivitas “peran(g) ideologi”Sensitivitas, kita pahami sebagai kepekaan jiwa dan pikiran untuk melihat apa yang sedang beroperasi dalam realitas konkret kehidupan dan secara abstrak beroperasi mempengaruhi jiwa dan alam pikiran manusia. Apalagi jika kita mendalami teori discourse Michael Foucaultdan konsep hegemoni Antonio Gramsci kita akan mampu menyingkap apa yang beroperasi dalam sebuah wacana dan mempengaruhi kehidupan tanpa kecuali umat Islam.

Life style yang cenderung ke arah materialistik, hedonis dan konsumtif karena ada sebuah sistem pemikiran ideologi tertentu yang sedang beroperasi dalam alam pikiran kita, dan di sinilah dibutuhkan sensitivitas tersebut untuk mampu memahaminya. Sebagai contoh kecil dan saya mencurigai kita kurang sensitif selama ini, termasuk para guru agama yang ada di sekolah – sekolah dan mubaligh, karena selama ini, belum pernah ada salah seorangpun yang pernah saya dengar memberikan kritikan terhadap hal tersebut.

Hal yang dimaksud adalah tulisan yang ada di tembok sekolah dasar yang berbunyi, “Mens Sana In Corpore Sano”,”Di dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat”. Sekilas kata – kata itu sangat menarik dan menggerakkan tetapi ada kesalahan besar di dalamnya dan saya menyimpulkan telah memiliki efek luar biasa dalam realitas konkret kehidupan kita.

Kita lebih cenderung lebih memperhatikan fisik daripada jiwa, orientasi pembangunan, porsi terbesarnya pada fisik, dan jiwa mengalami kegersangan. Itu disebabkan karena kata–kata tersebut di atas sejak kecil beroperasi di alam bawah sadar kita dan menjadi bom waktu dan bahkan telah menimbulkan ledakan dahsyat. Kata–kata itu terbalik sejatinya jiwa yang harus sehat terlebih dahulu, kemudian tubuh akan menjadi kuat.

Apalagi kalau kita memperhatikan akar ideologi kebangsaan kita, termasuk sebagaimana yang tertuang dalam lagu Indonesia Raya, membangun jiwa terlebih dahulu kemudian membangun badan/raga. Saya pernah menelusuri jejak pemikiran tersebut, ternyata saya temukan bahwa kata– kata itu lahir dari seorang ideolog yang mengaungkan materi.

Contoh lain adalah ungkapan, waktu adalah uang, bias dari prinsip ini telah mengikis keikhlasan manusia, tanpa kecuali sebagian Mubaligh, karena tidak bisa dipungkiri ada juga mubaligh yang mengutamakan dan mengukur besaran “isi amplopnya”, dan bahkan ada yang pasang target jutaan rupiah satu kali tampil berdakwah.

Dan sebagai penutup saya ingin berharap kepada Mubaligh, agar memiliki pemahaman terhadap ideologi bukan hanya ideologi Islam, tetapi ideologi lainnya agar sebagai sebuah sistem keyakinan, sistem berpikir yang mempengaruhi tindakan kita bisa memahami seperti apa mekanisme operasionalnya dalam kehidupan.

Harus dingat bersama bahwa kehidupan ini adalah hasil konstruksi sosial. Belum lagi jika kita klasifikasikan perkembangan pemikiran era kontemporer sekarang lebih pada persoalan logosentrisme, fokus diskursus pemikiran lebih pada peran ilmu pengetahuan dan tanpa kecuali persoalah bahasa dan wacana. Ini sangat berbeda dengan model dan orientasi pemikiran sebelumnya, geosentrisme, teosentrisme dan antroposentrisme.

Saya yakin ada pembaca yang berstatus mubaligh yang mungkin tersinggung dengan tulisan ini, tetapi marilah kita terbuka untuk menerimanya dan mencoba untuk mengintrospeksi diri, dalam hal perubahan tidak ada kata terlambat mari kita putar aluan dalam hal aktivitas dakwah kita. Mubaligh adalah insan cendekia yang memiliki posisi strategis meluruskan kiblat dan menjaga moralitas bangsa. Saya dan tentunya banyak lagi yang lainnya menaruh harapan besar kepada Mubaligh─sebagai muadzin bangsa─untuk senantiasa hadir memberikan pencerahan, penyadaran dan pencerdasan bagi umat manusia khususnya umat Islam.

Tulisa ini─yang telah mengalami perubahan judul dan perubahan isi untuk beberapa hal substansial─pernah terbit pada bulan April 2017 (dua kali terbit/dua bagian) di media online www.khittah.co.

Eks Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng yang sekarang menjabat sebagai Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018 - 2023

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like