Refleksi Milad 59 IPM12 min read

IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah) sebagai organisasi kepemudaan mempunyai dimensi kerja yang begitu luas. Banyak sekali isu-isu strategis yang diangkat pada forum-forum IPM untuk diselesaikan permasalahannya sebagai bentuk kepedulian terhadap problem kebangsaan dan keummatan. Isu strategis yang menjadi ciri khas IPM adalah isu literasi dan penyampaian dakwah keagamaan. Kata “penyampaian” yang disandarkan kepada kata “dakwah” ini penting untuk dicatat karena kata “dakwah” secara umum memiliki implikasi makna yang sangat luas. Literasi dari masa ke masa menjadi salah satu isu strategis IPM yang selalu digaungkan didalam forum-forum apapun. Hal ini tidak mengherankan jika mengingat semboyan IPM adalah surat Al-Qolam ayat 1.

Selain dua isu strategis tersebut, IPM dengan segenap idealismenya berikhtiar menginisiasi isu-isu yang lain, seperti ekologi, advokasi pelajar, kewirausahaan, seni budaya, olahraga, vandalisme, kebijakan publik, kebencanaan, sosial masyarakat, komunitas, big data, kesehatan, dan lain-lain. Semua permasalahan di atas akan menjadi kebanggaan bagi kader-kader IPM di seluruh Indonesia jika mampu mengelola isu dengan baik, minimal adanya perubahan pasca persentuhan IPM dengan isu-isu strategis tersebut. Hal ini seiring dan sejalan dengan intensitas disuarakannya isu-isu strategis pada forum-forum resmi IPM sehingga menjadi putusan resmi Muktamar, Musyawarah Wilayah, Musyawarah Daerah, dan lain-lain. Namun, pada sisi lainnya menjadi beban berat bagi kader-kader IPM mengingat banyaknya kompetensi khusus yang harus dimiliki dalam menyikapi berbagai isu-isu tersebut.

Penulis akan mencoba berbicara dalam tataran yang sangat teknis terutama yang terjadi pada tataran grassroot (akar rumput). Nyawa gerak nadi IPM berada di cabang dan ranting. Apabila cabang dan ranting di suatu tempat tidak ada maka IPM dipastikan tidak dikenal di tempat tersebut. Oleh karena itu, penting bagi elite untuk terus memperhatikan tingkatan grassroot. Dalam hal ini, yang paling berperan strategis adalah Pimpinan Daerah. Pimpinan Daerah dalam hierarki kepemimpinan di IPM berada tepat di tengah. Pimpinan Daerah tidak terlalu sulit menjangkau Pimpinan Pusat sekaligus mampu turun gunung ke Pimpinan Ranting. Faktanya, banyak dijumpai bahwa yang menghidupkan Pimpinan Cabang dan Pimpinan Ranting hampir selalu Pimpinan Daerah, bukan Pimpinan Wilayah apalagi Pimpinan Pusat. Dengan demikian, ada tiga tingkat kepemimpinan yang menjadi ujung tombak pergerakan IPM, yaitu ranting, cabang, dan daerah.

Sampai di sini, terdapat 1 problem yang cukup krusial, selain disparitas yang begitu tinggi antara elite dengan grassroot, yaitu daerah sering kehilangan identitas secara substansial ketika mencoba menerjemahkan isu-isu strategis IPM yang begitu banyak. Semangat kader-kader di daerah tentu tidak bisa diragukan. Keikhlasan mereka berjuang tanpa mendapatkan fee apapun adalah keistimewaan tersendiri. Namun, semangat mereka membawa kepada percobaan penyelesaian semua isu secara bersamaan dalam satu atau dua periode saja. Contohnya termaktub dalam tanfidz Muktamar XXI. Dalam tanfidz tersebut, terdapat setidaknya empat agenda aksi yang diangkat oleh IPM, yaitu ekologi (Student Earth Generation), sosial (campaign inklusi sebagai manifestasi gerakan teman sebaya), wirausaha (studentpreneur), dan kesehatan (gerakan pelajar sehat). Seharusnya, hal ini menjadi ideal mengingat usia IPM yang sudah lebih dari setengah abad dengan basis massa seluruh siswa sekolah Muhammadiyah yang berjumlah ribuan. Namun, pada tataran praksis, terutama pada tingkatan daerah, justru yang terjadi adalah bias identitas secara substansial.

Bias identitas secara substansial yang dimaksud adalah sulitnya pelajar atau masyarakat secara umum untuk mendefinisikan identik IPM. Dengan kata lain, mereka sulit mengatakan IPM identik dengan apa. Jika IPM diidentikkan dengan literasi, itu merupakan identik simbolis. Begitu juga ketika IPM diidentikkan dengan dakwah secara penyampaian langsung (tabligh). Dengan demikian, sebagai alternatif, mencermati tanfidz Muktamar XXI, sangat penting bagi daerah untuk berkolaborasi dengan cabang ranting guna memasifkan gerakan dalam opsi-opsi agenda aksi di tanfidz Muktamar XXI. Namun, mengingat keterbatasan rata-rata dari daerah-daerah yang ada, terlalu sulit untuk menggerakkan keempat opsi tersebut di atas secara berbarengan.

Dalam tulisan ini, akan diberikan satu alternatif gerakan yang mencoba untuk memecah stagnasi gerakan IPM yang sering terjebak pada formalitas, simbol, eksistensi, dan asatirul awwalin (mengekor kegiatan-kegiatan periode sebelum-sebelumnya). Benar bahwa Muhammadiyah adalah gerakan yang sangat modern pada awal berdirinya, tetapi ia berpotensi menjadi gerakan kuno di era sekarang jika tidak disertai dengan inovasi-inovasi yang segar. Terlebih dengan masuknya gerakan Islam transnasional pascareformasi yang membuka ruang publik menjadi lebih luas dan lebih bebas.

Setelah berkaca pada tulisan diatas, penting bagi daerah bersama cabang ranting untuk memilih salah satu atau salah dua dari opsi-opsi yang ada untuk dijadikan sebagai brand utama dari daerah tersebut. Dalam hal ini, kita mengambil contoh PD IPM Surakarta, salah satu daerah di Jawa Tengah. PD IPM Surakarta mengambil isu student earth generation untuk menjadi isu di kota tersebut akan diselesaikan dalam satu periode (2 tahun) bersama seluruh cabang ranting yang ada. Spesifikasi isu yang di breakdown dari student earth generation, misalnya, isu sampah plastik. Pada awal periode kepemimpinan, masyarakat di Kota Solo menghasilkan ½ ton sampah plastik per hari, kemudian PD IPM Surakarta melakukan gerakan yang terstruktur, sistematis, dan masif sehingga target ketika Musyawarah Daerah pada akhir periode adalah masyarakat di Kota Solo hanya menghasilkan 0,2 ton sampah plastik per hari.

Kegiatan yang dapat dilakukan, yaitu sosialisasi bahaya sampah plastik, kampanye pengurangan sampah plastik melalui seluruh jaringan yang dimiliki, pembagian botol minum kepada masyarakat, bersih-bersih sungai, pengolahan kembali sampah plastik, pendirian bank sampah, dsb.  Semua tergantung kreativitas dan kebutuhan masing-masing. Jika dilakukan gerakan ini menjadi gerakan riil dan berdampak secara nyata ke pelajar secara umum dan masyarakat luas. Jadi, tugas suatu kepemimpinan dalam satu periode dapat diukur dengan jelas, yaitu melalui target yang ingin dicapai di akhir periode sebagai goal utama. Dengan demikian, program kerja tidak disusun secara sembarangan dan mengikuti kebiasaan periode sebelumnya yang menimbulkan stagnasi gerakan.

Berangkat dari hal ini, identitas IPM secara substansial dapat terbentuk. IPM di Solo menjadi IPM yang berwajah ekologis. Jika ada pelajar umum di Solo yang mendengar kata “IPM”, ia akan langsung teringat dengan gerakan ekologi, khususnya penanggulangan sampah plastik. Hal ini dapat terjadi ketika kader IPM melihat bendera partai yang berlambang pohon beringin pasti akan langsung tertuju dengan bendera IPM. Begitu juga dengan pelajar se-Kota Solo yang akan mengidentikkan IPM dengan gerakan ekologi. Jadi, setidak-tidaknya ada 2 keuntungan sekaligus. Pertama adalah manfaat dari keberadaan IPM dapat dirasakan secara riil. Kedua adalah identitas IPM menjadi menguat secara substansial.

Contoh lainnya, ada suatu daerah yang mengambil isu literasi sebagai pekerjaan utama kepemimpinan selama satu periode. Tugas utama kepemimpinan tersebut adalah memastikan setiap pimpinan (setiap gerakan harus dimulai dari yang menggerakkan terlebih dahulu) melek literasi. Parameternya adalah menghabiskan satu buku selama maksimal satu bulan. Memang terlalu lama, tetapi tidak mengapa sebagai permulaan. Setelah satu tahun penuh pimpinan dicetak untuk menjadi pembaca ulung. Satu tahun setelahnya pimpinan dilatih untuk menulis. Parameternya adalah setiap pimpinan menghasilkan satu tulisan selama maksimal setiap satu bulan, seperti artikel, esai, puisi, cerpen, karya ilmiah, dll. Dengan kata lain, dalam satu periode, internal pimpinan daerah adalah orang-orang yang berwawasan luas dan melek literasi.

Pada periode selanjutnya, gerakan ini dinaikkan satu tingkat, yaitu mempengaruhi dan menyebarkan virus literasi. Sembari menerapkan pola lama kepada pimpinan yang baru masuk di periode setelahnya, pimpinan yang sudah menjabat dari periode sebelumnya bertugas untuk menyebarkan virus literasi. Misalnya, dengan parameter setiap pimpinan memiliki lima kader di cabang ranting yang dikader secara serius, khususnya dalam hal literasi. Pola yang diterapkan bisa sama dengan pola yang internal atau dibuat pola khusus kader. Jika ada 10 pimpinan lama yang sudah melek literasi masing-masing mengkader lima orang dari cabang ranting, dalam satu periode akan muncul 50 kader yang melek literasi yang siap melanjutkan kepemimpinan di tingkat yang lebih tinggi. Jika hanya 50% dari kader yang menetas, sekurang-kurangnya muncul 25 orang yang melek literasi. Artinya, ini menjadi jumlah yang fantastis jika melihat realita literasi di Indonesia seperti hari ini. Jika pola perkaderan ini terus berlanjut hingga tiga, empat, atau lima periode, hal ini akan mempengaruhi tingkat literasi nasional dan membawa dampak perubahan positif bagi masa depan bangsa Indonesia.

Dengan demikian, ini akan menjadi manifestasi dari terminologi “karya nyata” yang belakangan ini sering disuarakan pada forum-forum IPM. Karya nyata ini bisa berbentuk konkret maupun abstrak. Bentuk konkret meliputi tulisan, buku, video, film, merchandise, seni, dan aneka produk lain. Abstrak bisa berbentuk manfaat yang dirasakan, misalnya berkurangnya intensitas banjir, terselamatkannya pelajar dari amoral, munculnya kewirausahaan pelajar yang professional, pengawalan kebijakan publik yang pro terhadap pelajar, dan lain-lain sesuai isu yang diangkat.

Menuju era yang semakin dewasa ini, kegiatan-kegiatan yang bersifat pelatihan cum elitis yang masih mendominasi kegiatan di IPM harus mulai segera ditinggalkan. Kemudian, digantikan dengan kegiatan yang bersifat gerakan yang lebih memberikan dampak positif kepada pelajar maupun masyarakat luas. Gerakan yang diangkat dapat bermacam-macam, sesuai dengan urgensi dan kemampuan kader-kader IPM. Isu yang ada dalam agenda aksi tanfidz Muktamar XXI sangat cukup untuk menjadi rujukan pilihan bagi daerah di seluruh Indonesia. Satu atau dua isu yang dipilih lebih baik daripada semua isu sekaligus mencoba ditangani secara bersamaan, tetapi tidak berjalan dengan maksimal sehingga tidak memberikan dampak yang maksimal. Hal ini membuat IPM menjadi bias identitas. Fokus pada satu atau dua isu akan menghasilkan gerakan yang lebih masif.

Beberapa best practice yang sudah dituliskan pada tanfidz dapat menjadi contoh yang baik bagi gerakan IPM, tinggal bagaimana gerakan ini lebih fokus dan lebih masif. Mengingat sejauh fakta yang penulis amati, kegiatan-kegiatan di IPM masih bersifat elitis, kering makna, formal, dan yang paling parah adalah selalu mengikuti pola kegiatan di periode sebelumnya. Tentu, kegiatan berbasis gerakan akan lebih baik daripada kegiatan berbasis pelatihan formal elitis yang sering kering makna dan miskin rencana tindak lanjut (RTL).

Dengan demikian, beberapa problematika di IPM dapat dibagi menjadi tiga hal. Pertama, tanggung dalam menyelesaikan masalah. Kita ambil contoh dalam hal literasi, misalnya, di kabupaten A tingkat literasi pelajarnya pada tahun 2000 adalah 0,2%. Pada tahun ini, PD IPM di daerah A didirikan. Sekarang, di tahun 2019, ketika PD IPM sudah berdiri selama 19 tahun, kira-kira sudah mendongkrak berapa persen tingkat literasi di kabupaten A tersebut? Apakah masih sama atau justru mengalami penurunan atau justru PD IPM tidak pernah memiliki data tingkat literasi pelajar di kabupaten/kota masing-masing?

Isu literasi dan keilmuan yang menjadi identitas formal IPM masih terus digaungkan. Namun, kita sangat jarang menemukan data indikator-indikator tingkat literasi beserta peningkatan-peningkatan yang dilakukan oleh IPM. Jika data tersebut tidak ditemukan, IPM sangat mungkin untuk melakukan penelitian guna mengukur tingkat literasi atau semacamnya di tingkat masing-masing pimpinan. Oleh karena itu, data tersebut bisa digunakan untuk membuat indikator ketercapaian program dalam satu periode.

Kedua, idealisme yang tinggi untuk menyelesaikan banyak isu dalam satu periode. Isu yang banyak ini kemudian di breakdown menjadi bidang-bidang yang masing-masing ingin menyelesaikan isunya secara terpisah. Isu tersebut, meliputi isu literasi di breakdown menjadi bidang PIP, isu dakwah di breakdown menjadi bidang KDI, isu advokasi di breakdown menjadi bidang advokasi, dan seterusnya.

Realita yang terjadi adalah hanya ada satu atau dua orang yang tersisa sampai akhir periode dalam satu bidang. Hal ini menjadikan isu yang digarap oleh bidang tersebut tidak maksimal bahkan hampir tidak memberikan efek apapun. Dalam istilah bahasa Arab terkenal dengan sebutan “wujuduhu ka adamihi” yang berarti adanya seperti tiadanya.

Banyak PD IPM yang dalam satu periode memiliki program yang baik dan maksimal dalam satu atau dua isu saja. Sangat jarang yang mampu menyelesaikan semua isu sesuai kesepakatan di renstra atau visi misi gerakan. Dari sini, dapat dilihat urgensi suatu pimpinan khususnya PD IPM untuk memilih satu atau dua isu utama yang dijadikan branding dan identitas substansial. Kemudian, satu atau dua isu ini dapat diselesaikan dengan maksimal dan memiliki kontribusi nyata untuk lingkungan sekitar. Analogi dari hal ini dapat dibaca pada tulisan “Stagnasi Gerakan IPM” sebagaimana yang disebutkan di atas.

Ketiga, keterputusan strategi gerakan antar periode. Salah satu kelemahan IPM adalah sistem periodisasi yang sangat singkat sehingga menyebabkan gerakannya tidak berkesinambungan (sustainable). Ada dua komponen yang turut menciptakan ketidaksinambungan ini. Pertama, pimpinan baru yang tidak mau mendengar arahan alumni karena menganggap mereka lebih memahami realitas di lapangan. Selain itu, mereka menganggap arahan-arahan alumni adalah cara lama yang sudah tidak relevan lagi dengan zaman sekarang. Sebenarnya, arahan alumni inilah yang menjadi nyawa bagi kesinambungan program IPM dari periode ke periode.

Kedua, alumni yang memberikan arahan hanya dalam hal-hal politis bukan gerakan. Diakui atau tidak, alumni sering mengarahkan kader-kadernya untuk kepentingan politis. Hal ini yang juga menyebabkan komunikasi alumni dan pimpinan baru tidak berjalan pada rel yang seharusnya. Sebaiknya, relasi alumni dengan pimpinan baru adalah relasi orang yang memiliki pengalaman dalam gerakan dengan penerusnya agar setiap gerakan memiliki umur dan nyawa yang panjang. Selain itu, hal ini dapat menghindarkan pimpinan baru dari kesalahan yang sama dan pernah dialami oleh alumni sehingga IPM tidak jatuh pada lubang yang sama untuk kedua kali bahkan kesekian kali.

Urgensi kesinambungan program seharusnya menjadi nyawa bagi perkaderan IPM. Kegiatan perkaderan tidak hanya berbicara kader dengan kuantitas dan kualitas yang baik. Namun, juga kader yang mampu melanjutkan gerakan napas panjang. Istilah gerakan napas panjang ini adalah hasil ketika suatu PD IPM sudah memilih satu atau dua isu yang diselesaikan. Penyelesaian isu dalam bentuk gerakan itu haruslah gerakan yang memiliki napas panjang dan bersifat lintas periode. Dengan demikian, urgensi kesinambungan program diwajibkan untuk menunjang penyelesaian isu yang tidak tanggung dan memberikan efek yang nyata.

Untuk menyelesaikan hal ini, setiap pimpinan dapat membuat panduan dan analisis gerakan jangka panjang seperti Kebijakan Program Jangka Panjang IPM 2014-2024 yang dibuat oleh Pimpinan Pusat, namun bersifat lebih konkret dan kontekstual, disertai dengan indikator-indikator ketercapaian yang jelas dan berbasis data. Dalam Kebijakan Program Jangka Panjang IPM 2014-2024, pada poin 6 tentang tahapan kebijakan program, berbunyi: “Muktamar XXI (2018-2020) diarahkan kepada pembangunan komunitas kreatif sebagai strategi kultural Gerakan Pelajar Berkemajuan untuk melakukan transformasi individu, transformasi sosial, dan transformasi kebudayaan di tengah masyarakat global.”

Coba kita tanyakan maksud kalimat di atas kepada teman-teman ranting, terutama ranting SMP, tentu mereka akan kesulitan dalam menerjemahkan kalimat-kalimat yang tertulis dalam dokumen resmi tersebut. Tetapi inilah yang menjadi dasar pentingnya penyusunan kebijakan program jangka panjang pada tingkat lebih bawah seperti PD, PC, atau bahkan PR.

Kebijakan program jangka panjang di tingkatan ini harus mengandung latar belakang, landasan, prinsip, tujuan, dan tahapan pelaksanaan gerakan. Pada tahapan pelaksanaan gerakan harus disertakan indikator ketercapaian yang jelas dan berbasis data. Misalnya, kenaikan tingkat literasi dalam satu tahun adalah lima persen, terdapat 10 kader yang disiapkan menjadi khatib yang setiap satu bulan sekali berkhotbah di beberapa masjid, menanam dan merawat 100 pohon dalam satu periode, menyiapkan 10 kader yang disiapkan menjadi seniman atau olahragawan melalui IPM, dan seterusnya. Semua itu harus berbasis data berupa angka riil. Dengan penyelesaian isu yang tidak serba tanggung, fokus kepada satu atau dua isu tertentu, dan penyelesaian yang bersifat jangka panjang tersebut, diharapkan kehadiran IPM benar-benar mampu dirasakan oleh masyarakat luas terutama pelajar. Dengan begitu, manfaat eksistensi IPM ini tidak hanya dapat dirasakan oleh kader-kader IPM saja yang berupa pendewasaan dalam hal organisasi, tetapi juga dirasakan oleh orang-orang di luar IPM.

Co-Author:  Muhammad Nurul Huda (Ketua Umum)

Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah Jawa Tengah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like