
Jean-Paul Sartre, lahir di Paris pada tahun 1905, adalah salah satu filsuf dan sastrawan terpenting abad ke-20. Ia dikenal luas tidak hanya karena kontribusinya terhadap eksistensialisme, tetapi juga karena keberaniannya menolak Hadiah Nobel Sastra pada tahun 1964, sebuah keputusan yang menggambarkan sikap bebas dan konsistensinya terhadap prinsip hidupnya.
Filsafat Sartre banyak menggugah perdebatan intelektual karena ia menempatkan kebebasan sebagai inti dari eksistensi manusia. Dalam pemikirannya, manusia tidak didefinisikan oleh hakikat yang diberikan dari luar, melainkan oleh keputusan dan tindakan yang ia ambil sendiri. Ini membedakannya dari benda mati yang tidak memiliki kesadaran dan kebebasan memilih.
Karya-karyanya seperti Being and Nothingness dan esai Existentialism is a Humanism menjadi landasan penting bagi eksistensialisme modern. Ia juga dikenal karena relasinya dengan feminis besar Simone de Beauvoir, dengan siapa ia berbagi pandangan filosofis tentang kebebasan dan tanggung jawab pribadi.
Sartre percaya bahwa kesadaran manusia unik karena ia mampu menyadari keberadaannya sendiri dan memilih makna dari kehidupannya. Inilah yang menurutnya membedakan “makhluk sadar” dari “benda”. Melalui pemikiran inilah Sartre menantang berbagai pandangan filosofis sebelumnya, terutama yang menganggap manusia memiliki hakikat bawaan.
Dalam artikel ini, kita akan menelusuri gagasan utama Sartre dalam eksistensialisme: dari konsep “ada-dalam-dirinya” dan “ada-untuk-dirinya”, hingga pandangannya tentang kebebasan radikal, tanggung jawab moral, dan kesadaran manusia dalam hubungannya dengan dunia.
Salah satu konsep utama dalam filsafat Sartre adalah perbedaan antara “être-en-soi” (ada-dalam-dirinya) dan “être-pour-soi” (ada-untuk-dirinya). Konsep ini membedakan antara benda mati dan makhluk sadar, terutama manusia.
Benda seperti batu, meja, atau pembuka kaleng adalah contoh dari ada-dalam-dirinya. Benda-benda ini tidak memiliki kesadaran dan identitasnya ditentukan oleh fungsi dan keberadaannya yang tetap. Sebuah pembuka kaleng tetaplah pembuka kaleng, tak peduli siapa yang menggunakannya atau dalam konteks apa ia digunakan. Ia tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yang lain.
Sebaliknya, manusia adalah makhluk yang mampu mendefinisikan dirinya sendiri. Ia adalah ada-untuk-dirinya. Artinya, manusia sadar akan keberadaannya dan dapat mengubah dirinya melalui pilihan dan tindakan. Manusia tidak sekadar “ada”, melainkan terus-menerus menjadi melalui kebebasannya memilih.
Bagi Sartre, inilah esensi dari eksistensialisme: manusia tidak memiliki esensi tetap seperti benda, melainkan terus-menerus membentuk dirinya melalui proses kesadaran dan negasi (penyangkalan terhadap apa yang bukan dirinya).
Konsep negasi sangat penting. Dengan menyadari bahwa kita “bukan” benda-benda di sekitar kita, kita mulai memahami siapa kita. Dalam proses ini, kesadaran manusia menjadi aktif, tidak pasif seperti keberadaan benda mati.
Sartre menempatkan kebebasan dan kesadaran sebagai fondasi utama dari keberadaan manusia. Manusia tidak ditakdirkan menjadi sesuatu, melainkan menciptakan dirinya sendiri seiring waktu.
Sartre melihat manusia sebagai makhluk “tidak ada” (no-thing-ness). Artinya, tidak seperti benda, manusia tidak dilahirkan dengan makna atau tujuan yang sudah ditentukan. Kita hadir ke dunia tanpa skema bawaan—tanpa cetak biru dari Tuhan atau alam.
Ketiadaan esensi ini bukan berarti manusia tak bermakna, justru sebaliknya: artinya kita bebas untuk menciptakan makna itu sendiri. Dalam kerangka ini, Sartre menolak gagasan bahwa ada “fitrah” manusia yang berlaku universal.
Benda seperti pembuka kaleng dibuat dengan tujuan tertentu. Desainnya telah ditentukan sebelum ia eksis. Tapi manusia tidak seperti itu. Kita lahir lebih dulu, baru kemudian menetapkan siapa kita dan untuk apa kita hidup.
Kehampaan ini menimbulkan perasaan gelisah. Sebab tanpa makna bawaan, manusia harus menanggung beban untuk menciptakan makna hidupnya sendiri. Tidak ada tempat untuk bersembunyi di balik takdir atau kehendak ilahi.
Justru dari kehampaan inilah muncul kebebasan radikal yang menjadi ciri khas filsafat Sartre. Karena tidak ada yang menentukan siapa kita, maka kita sendiri yang harus menentukannya, dari waktu ke waktu.
Namun kebebasan ini tidak nyaman. Ia memunculkan rasa cemas (angst), karena kita sadar bahwa kita bertanggung jawab penuh atas kehidupan kita. Dan rasa cemas ini tidak bisa dihindari.
Dalam dunia Sartre, kehampaan bukanlah kelemahan manusia, melainkan kekuatannya. Dari ketidakpastian itulah muncul potensi untuk menjadi otentik—menjadi diri sendiri secara sadar dan bebas.
Sartre percaya bahwa manusia secara radikal bebas. Artinya, kita selalu punya pilihan, bahkan dalam situasi paling sempit sekalipun. Kebebasan ini bukan cuma soal memilih pekerjaan atau pasangan hidup, tetapi juga soal sikap batin terhadap kenyataan.
Namun tidak semua orang bersedia menerima kebebasan ini. Banyak yang justru menyangkal kebebasannya sendiri dan berpura-pura bahwa dirinya terikat oleh keadaan. Inilah yang oleh Sartre disebut sebagai mauvaise foi atau “niat buruk”.
Niat buruk terjadi ketika seseorang menipu dirinya sendiri demi menghindari tanggung jawab atas pilihannya. Contohnya, seseorang yang berkata “saya terpaksa begini karena keadaan” sedang mengelak dari kenyataan bahwa ia sebenarnya memilih untuk tunduk pada keadaan itu.
Sartre bahkan membuat pernyataan kontroversial bahwa bahkan budak pun bebas. Ia bisa memilih untuk melarikan diri atau bunuh diri. Meski pilihan itu tragis, namun tetaplah pilihan. Menyangkalnya adalah bentuk niat buruk.
Namun tentu saja, gagasan ini mendapat banyak kritik. Apakah benar manusia selalu bebas, bahkan di bawah tekanan ekstrem atau paksaan? Bagaimana dengan korban penindasan atau kekerasan?
Kritik ini membuka perdebatan panjang tentang batas-batas kebebasan dan tanggung jawab. Meski demikian, Sartre tetap konsisten bahwa kebebasan manusia tidak bisa dilepaskan, justru karena ia inheren dalam kesadaran kita.
Dengan menolak tanggung jawab atas tindakan kita, kita tidak hanya berbohong pada diri sendiri, tetapi juga menyangkal martabat sebagai makhluk sadar dan bebas.
Dalam usahanya menjelaskan kebebasan, Sartre juga mengakui bahwa ada aspek-aspek dari diri kita yang tak bisa diubah—yang disebutnya sebagai “facticity” atau kefaktualan. Ini termasuk tempat lahir, kondisi tubuh, dan latar sosial kita.
Kefaktualan bukan penjara, tetapi merupakan latar tempat kita membuat pilihan. Kita tidak bisa memilih untuk lahir di mana, tapi kita bisa memilih bagaimana merespons kondisi itu. Di sinilah kebebasan dan faktualitas bertemu.
Selanjutnya, Sartre memperkenalkan konsep temporality—keterikatan manusia pada waktu. Kita hidup dalam tiga dimensi waktu: masa lalu (apa yang telah kita alami), masa kini (apa yang sedang kita jalani), dan masa depan (proyeksi dari diri yang ingin kita capai).
Manusia bukan makhluk statis. Kita terus bergerak, menjadi, bertransformasi. Masa lalu membentuk kita, masa kini memberi kita kesempatan bertindak, dan masa depan memberi arah pada pilihan kita.
Namun Sartre juga menekankan bahwa kita bisa melampaui masa lalu. Inilah yang ia sebut sebagai transendensi: kemampuan untuk tidak dikekang oleh pengalaman atau stereotip yang melekat pada kita.
Misalnya, seorang yang pernah ditindas bisa memilih untuk tidak hidup dalam trauma, melainkan menjadikan pengalaman itu sebagai kekuatan untuk memperjuangkan keadilan.
Dengan kata lain, meskipun kita tidak bisa mengubah asal-usul kita, kita tetap bisa memilih tidak didefinisikan olehnya. Kita selalu punya kemungkinan untuk “menjadi sesuatu yang lain”.
Karena manusia bebas menentukan dirinya sendiri, maka konsekuensinya adalah tanggung jawab penuh terhadap kehidupan yang ia jalani. Bagi Sartre, ini adalah sisi lain dari kebebasan: tidak ada kebebasan tanpa tanggung jawab.
Jika kita membiarkan ketidakadilan terjadi, berarti kita memilih untuk membiarkan dunia seperti itu. Jika kita tahu ada ketimpangan sosial di sekitar kita namun diam saja, maka kita turut membentuk “hakikat manusia” melalui sikap pasif kita.
Artinya, setiap tindakan kita—atau bahkan ketidaktindakan—ikut membentuk makna dari apa artinya menjadi manusia. Kita tidak hanya bertanggung jawab terhadap diri sendiri, tetapi juga terhadap umat manusia.
Sartre menyebut hubungan antara kesadaran manusia dan dunia benda sebagai “sintesis”. Makna tidak hanya muncul dari dalam pikiran, tetapi dari hubungan antara kesadaran dan benda di luar diri.
Contohnya, gambar mobil di atas kertas hanyalah kumpulan garis hingga seseorang melihatnya sebagai “mobil”. Makna mobil lahir dari pertemuan antara penggambaran (objek) dan kesadaran (subjek).
Maka, realitas bukan sesuatu yang sepenuhnya objektif ataupun subjektif. Makna lahir dalam hubungan dialektis antara manusia dan dunia. Inilah kontribusi besar Sartre pada ontologi dan epistemologi modern.
Sartre tidak hanya berbicara soal filsafat kebebasan, tetapi juga soal bagaimana makna dunia dibentuk—dan dibebankan—pada kita.
Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.