
Materialisme dan dialektika adalah dua konsep sentral dalam filsafat yang saling berkaitan erat, khususnya dalam tradisi Marxis. Materialisme menegaskan bahwa dunia materi—benda dan fenomena yang dapat diindra—adalah realitas objektif yang ada secara independen dari pikiran atau kesadaran.
Dialektika, di sisi lain, menekankan bahwa segala sesuatu dalam kenyataan itu dinamis dan berproses terus-menerus melalui pertentangan internal. Filsafat dialektika, yang dipengaruhi oleh G.W.F. Hegel, memandang fenomena dalam gerak, perubahan, serta interaksi antara sisi-sisi yang bertentangan, sehingga pertentangan itulah yang menjadi pendorong utama perubahan.
Dalam kerangka pemikiran Marxis, kedua konsep ini digabungkan menjadi materialisme dialektis (dialektika materialis): dunia materi dipahami secara objektif dan real, sementara perubahan dalam alam semesta maupun masyarakat dipelajari melalui dialektika sebagai metode analisis.
Materialisme bukanlah konsep baru; akar gagasannya dapat ditelusuri ke filsafat kuno. Para filsuf pra-Sokratik seperti Demokritus dan Leukippos (abad ke-5 SM) mengembangkan atomisme, menyatakan bahwa alam semesta tersusun dari atom tak terhingga yang bergerak dalam kehampaan. Epicurus (abad ke-4 SM) adalah salah satu materialis Yunani paling berpengaruh, yang mengemukakan bahwa atom-atom bergerak melalui ruang dengan arah tertentu dan kadang berbelok secara acak untuk menjelaskan perubahan dan kehendak bebas.
Setelah masa klasik, gagasan materialisme sempat meredup selama Abad Pertengahan, namun muncul kembali pada abad ke-17 saat Revolusi Ilmiah. Filsuf seperti Pierre Gassendi membangkitkan kembali atomisme dalam kerangka ilmu modern, dan Thomas Hobbes mengembangkan materialisme mekanistik dengan menyamakan pikiran manusia dengan gerakan di otak.
Pada abad ke-18, masa Pencerahan, beberapa intelektual Prancis dan Eropa semakin menekankan pandangan materialistik. Julien Offray de La Mettrie (L’Homme machine, 1747) menganggap manusia sebagai mesin biologis, Denis Diderot memperluas pandangan materialistik melalui studi fisiologi dan hereditas, dan Paul d’Holbach menulis Système de la nature (1770) yang mengajarkan materialisme deterministik: semua fenomena, termasuk kehidupan, dijelaskan sepenuhnya dengan materi dan energi. Tokoh-tokoh ini melemahkan posisi agama dan idealisme tradisional dengan argumen ilmiah kontemporer.
Memasuki abad ke-19, materialisme menguat dipicu reaksi terhadap idealisme Hegel dan Neo-Hegelian di Jerman. Ilmuwan dan filsuf Jerman seperti Ludwig Büchner dan Karl Vogt menegaskan materialisme biologis, misalnya dengan analogi bahwa otak “menyebarkan” pikiran sebagaimana hati mengeluarkan empedu. Kemajuan sains—termasuk sintesis urea oleh Wöhler (1828) yang menunjukkan tidak ada garis pemisah tegas antara benda hidup dan tak hidup—serta teori evolusi Charles Darwin, semakin memperkuat pandangan materialistik. Darwinisme menegaskan kontinuitas antara manusia dan mahluk hidup lain dan mampu menjelaskan munculnya kompleksitas alam tanpa campur tangan adikodrati.
Di antara pemikir abad ke-19 yang berpengaruh terhadap Marx dan Engels, Ludwig Feuerbach menonjol sebagai filsuf yang mengembalikan materialisme ke arena filsafat. Marx dan Engels memang mengakui jasa Feuerbach yang “mengembalikan materialisme kepada haknya”, tetapi mereka mengkritik materialisme Feuerbach sebagai masih “terikat oleh jerat-jerat idealis tradisional”.
Mereka mengambil “inti batin” (inner kernel) materialisme Feuerbach dan mengembangkannya menjadi teori materialisme ilmiah baru, membuang sisa-sisa idealisme dan etika religius yang melekat pada pemikiran pendahulu mereka. Dengan demikian, materialisme yang berkembang pada masa Marx–Engels tidak lagi bersifat mekanistik atau sekadar penolakan dogma lama, tetapi menjadi kerangka filosofis ilmiah yang dinamis dan revolusioner.
Kata “dialektika” berasal dari bahasa Yunani dialego (berdebat), mengacu pada metode mencapai kebenaran melalui penyingkapan kontradiksi antara argumen yang berlawanan. Konsep dialektika sudah ada sejak Plato dan Aristoteles dalam bentuk dialog dan kritik logis, tetapi sebagai metode filsafat sistematis dialektika baru mengemuka dalam idealisme Jerman abad ke-19.
G.W.F. Hegel (1770–1831) adalah tokoh sentral dalam tradisi dialektika idealis. Menurut Hegel, realitas bersifat dinamis dan prosesual. Ia menolak pandangan metafisik kuno yang melihat benda-benda statis dengan sifat tetap; sebaliknya, Hegel menekankan bahwa segala sesuatu “dalam pergerakan dan perubahan, saling terkait dan berinteraksi”. Segala eksistensi berada dalam “proses pen-dadi-an dan musnah diri” yang tiada akhir.
Dalam pandangan Hegel, setiap entitas mengandung aspek-aspek bertentangan; ketegangan atau konflik di antara aspek ini menjadi kekuatan penggerak perubahan. Perjalanan ini, dalam filsafat Hegel, ialah eksplresi Roh Mutlak (Idea) yang merealisasikan diri melalui alam dan masyarakat manusia.
Namun, Marx berpendapat bahwa dialektika Hegel harus “dibalik” dari idealisme menjadi materialisme. Marx menyatakan: “Metode dialektikku bukanlah hanya berbeda dari Hegel, melainkan lawan langsungnya. Bagi Hegel, proses berpikir (‘Idea’) adalah pengarang dunia nyata, dan dunia nyata hanyalah wujud lahiriah dari Idea itu. Tetapi bagiku, sebaliknya, yang ideal tidak lain adalah dunia material yang dipantulkan oleh pikiran manusia”.
Marx menegaskan bahwa tidak ada Ide-absolut yang mandiri; gagasan dan kesadaran manusia adalah refleksi dari kondisi material yang riil. Dengan demikian, ia mempertahankan bahwa logika dialektika yang dinamis tetap valid, tetapi dasar realitasnya bukan pikiran melainkan materi.
Setelah Hegel, para “Hegelian Muda” Jerman, termasuk Marx sendiri pada awalnya, mengadaptasi dialektika ke dalam pemikiran sosial. Namun Marx dan Engels dengan sengaja memisahkan diri dari idealisme Hegel. Sebaliknya, mereka mengambil “inti rasional” dialektika Hegel—yaitu penekanan pada perubahan, kontradiksi, dan totalitas—sambil menghilangkan “cangkang idealistik”-nya. Hasilnya adalah dialektika materialis: metode berpikir dan analisis yang mengawali kajian realitas dari kondisi materi, tetapi mengakui karakter dinamis dan kontradiktual dari perkembangan tersebut.
Friedrich Engels (1879) bersama Karl Marx adalah pendiri pemikiran materialisme dialektis. Bagi Marx dan Engels, materialisme berarti dunia materi nyata adalah realitas objektif dan mandiri; pikiran dan kesadaran manusia berada di bawah kekuasaan dunia materi tersebut. Sebagai lawan idealisme, mereka meyakini bahwa gagasan atau ide timbul semata-mata sebagai produk dan pantulan kondisi material yang ada.
Dengan kata lain, perubahan dalam alam ataupun masyarakat bukanlah hasil kehendak batin atau Roh abstrak, melainkan timbul dari proses materi yang dialektis. Mereka menolak upaya menjembatani idealisme dan materialisme karena beranggapan hal itu hanya menimbulkan kekaburan dan kontradiksi.
Marx dan Engels menyadari bahwa menggabungkan dialektika Hegel dengan materialisme mereka berarti membentuk suatu metode ilmiah baru. Dialektika materialis bukanlah sistem filsafat tersendiri yang ditulis secara lengkap dalam satu karya; ia lebih berupa pendekatan berpikir dan alat analisis yang muncul dari polemik-polemik Marx–Engels. Pendekatan ini melihat realitas sebagai totalitas yang saling berkaitan dan selalu berubah.
Salah satu asasnya adalah praktisisme: pengetahuan manusia berkembang melalui interaksi nyata dengan alam dan masyarakat. Menurut Marx & Engels, semua pengetahuan sejati berasal dari indera dan pengalaman inderawi; namun mereka menegaskan bahwa perkembangan pengetahuan terjadi secara dialektis dalam praktik sosial manusia. Dengan kata lain, ide/gagasan diuji kebenarannya melalui praktik (misalnya kerja, revolusi), dan praktik sosial memberikan tolok ukur kebenaran suatu ide.
Beberapa prinsip pokok materialisme dialektis menurut pemikiran Marxis adalah:
Konsep materialisme dialektis sebagai keseluruhan metode filsafat tidak boleh disamakan dengan materialisme historis. Materialisme historis adalah aplikasi dialektika materialis pada studi sejarah dan masyarakat, yaitu teori bahwa struktur ekonomi (basis material) menentukan bentuk-bentuk sosial, politik, dan ideologi. Sebagai inti, Marx menuliskan bahwa “bukanlah kesadaran manusia yang menentukan keberadaan mereka, tetapi sebaliknya, eksistensi sosial mereka yang menentukan kesadaran mereka”.
Prinsip ini menunjukkan bahwa kesadaran (hukum, ideologi, kebudayaan) selalu berhubungan erat dengan kondisi material produksi suatu masa. Sebagai contoh sederhana, perkembangan teknologi (alat produksi) akan berimbas pada perubahan struktur kelas, sistem politik, dan pemahaman dunia masyarakat tersebut.
Pemikiran materialisme dialektis sangat berpengaruh dalam analisis sosial-politik modern. Aplikasi utamanya terlihat dalam teori perjuangan kelas: masyarakat dipahami terdiri dari kelompok-kelompok sosial yang kepentingan materialnya saling bertentangan. Engels bahkan menyatakan bahwa “sejarah masa lalu adalah sejarah perjuangan kelas”. Dalam konteks kapitalisme, pertentangan utama terjadi antara kaum kapitalis (pemilik modal) dan kaum proletar (buruh), yang lahir dari cara produksi materi yang ada.
Melalui perspektif dialektika materialis, konflik antar kelas dianggap sebagai kekuatan motorik perubahan sejarah yang membawa ke berbagai revolusi sosio-politik besar (misalnya Revolusi Bolshevik 1917 dan Revolusi Tiongkok 1949). Setiap benturan kelas dianggap tidak dapat dihindari ketika pertumbuhan kekuatan produktif (mesin, teknologi, organisasi produksi) bertubrukan dengan struktur relasi produksi lama yang menghambatnya.
Di bidang politik, materialisme dialektis menjadi dasar ideologi resmi negara-negara sosialis abad ke-20. Pemimpin Marxis-Leninis seperti Vladimir Lenin dan Mao Zedong menegaskan bahwa dialektika materialis adalah cara pandang dunia (weltanschauung) Partai Komunis. Seperti yang dikemukakan oleh Stalin, “dialektika materialis adalah pandangan dunia Partai Marxis-Leninis” karena pendekatannya yang menerapkan metode dialektika pada alam dan masyarakat secara materialistik.
Kaum revolusioner ini melihat bahwa kebijakan politik, ekonomi, dan budaya harus dikembangkan berdasarkan analisis dialektis terhadap kontradiksi internal masyarakat. Misalnya, Mao menggunakan konsep kontradiksi untuk menganalisis dinamika revolusi permanen, sementara Lenin menekankan pentingnya praxis proletariat dalam mengubah kondisi material. Oleh karena itu, dalam praktiknya, teori dialektika materialis diterapkan untuk merumuskan strategi pembangunan sosialisme, kebijakan ekonomi terencana, dan transformasi budaya rakyat.
Pengaruh materialisme dialektis juga meluas ke bidang kenegaraan dan pemikiran hukum. Dalam negara sosialis, struktur politik (superstruktur) diletakkan di bawah kendali infrastruktur ekonomi sesuai prinsip Marxis. Konsep “bukan kesadaran yang menentukan eksistensi” diartikan bahwa lembaga negara dan hukum harus mencerminkan kebutuhan ekonomi rakyat (misalnya penghapusan kepemilikan pribadi atas alat produksi). Hal ini memotivasi berbagai reformasi sosial, seperti nasionalisasi industri dan pendistribusian kembali kekayaan.
Pada gilirannya, pemikiran ini memberikan kerangka bagi analisis feminis, antikolonial, dan pergerakan pekerja modern, yang melihat ketidakadilan sosial sebagai hasil struktur ekonomi yang kontradiktif. Walau beberapa kritik menyatakan bahwa pendekatan dialektika materialis kadang disalahgunakan secara dogmatis, pengaruhnya tetap muncul dalam cara berpikir kritis terhadap realitas sosial-politik—yakni dengan menyoroti konflik, dinamika, dan akumulasi kuantitatif yang dapat mengubah struktur ke kualitas baru.
Dalam konteks ilmu pengetahuan, materialisme dialektis berusaha menyatukan pandangan filosofis dengan perkembangan sains. Engels bahkan menulis buku Dialectics of Nature untuk menunjukkan bahwa prinsip-prinsip dialektika tercermin dalam penemuan-penemuan ilmiah. Misalnya, teori evolusi Darwin kompatibel dengan materialisme karena menjelaskan asal-usul spesies secara kausal tanpa merujuk pada penciptaan gaib.
Darwinius menegaskan kontinuitas antara manusia dan organisme lain melalui seleksi alam, yang sejalan dengan gagasan bahwa perubahan kualitas (jenis makhluk hidup) muncul dari akumulasi perubahan kuantitas (mutasi genetik dan pilihan lingkungan). Begitu pula, kemajuan di fisika dan kimia abad ke-19 (seperti sintesis senyawa organik oleh Wöhler) semakin memperkecil celah antara materi hidup dan tak hidup, menguatkan pandangan materialisme.
Namun, dalam praktik ilmiah kontemporer, materialisme dialektis lebih banyak berperan sebagai kerangka filosofis daripada metode eksperimen konkret. Metode sains modern tetap dominan dengan penalaran empiris dan matematis. Beberapa ilmuwan dan filsuf sains, terutama yang bertradisi Marxis, berpendapat bahwa materialisme dialektis dapat memperkaya pemikiran ilmiah. J.D. Bernal, misalnya, berargumen bahwa marxisme tidak menggantikan sains tetapi dapat melengkapi pemahaman ilmiah dengan penekanan pada perubahan dan totalitas.
Meski demikian, banyak kalangan menganggap DM tidak diperlukan sebagai metode baru; sains sudah memiliki metodologi empiris yang kuat. Kritik atas DM seringkali timbul ketika prinsip-prinsip dialektis — seperti negasi ganda atau transformasi kuantitas menjadi kualitas — dipaksakan pada fenomena alam tanpa dasar percobaan.
Secara keseluruhan, relevansi materialisme dialektis dalam sains modern lebih banyak terlihat dalam cara berpikir kritis ketimbang dalam eksperimen praktis. Konsep-konsep seperti evolusi kompleksitas, keterkaitan ekosistem, dan revolusi ilmiah sering dicerna dengan perspektif bahwa alam berubah melalui proses dinamis dan konflik gaya penyebab. Sebagai contoh, fisika termodinamika menunjukkan bahwa sistem-sistem alam cenderung bergerak menuju ketidakteraturan (entropi), tetapi menimbulkan fenomena baru ketika berada dalam keseimbangan kritis (mirip dengan transformasi kualitatif pada titik kritis).
Demikian pula, ilmu sosial kontemporer sering membahas kapitalisme dan globalisasi sebagai sistem yang mengandung kontradiksi mendasar, pemikirannya mengadopsi nuansa dialektika Marxis untuk memahami pergolakan sosial. Dalam sains dan filsafat saat ini, materialisme dialektis kurang menjadi doktrin baku, tetapi warisannya tampak dalam cara sebagian ilmuwan dan cendekiawan memandang alam semesta sebagai suatu kesatuan dinamis yang terus berkembang sesuai hukum-hukum materialitas dan kontradiksi.
Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.