
Di tengah gemuruh nama-nama besar dalam sejarah kebangkitan nasional Indonesia, seperti Soekarno, Hatta, dan Kartini, terdapat sosok yang kerap luput dari sorotan publik: Raden Mas Panji Sosrokartono. Kakak kandung dari Raden Ajeng Kartini ini adalah figur multidimensi — seorang poliglot, jurnalis perang, intelektual, mistikus, dan pemikir yang tajam. Namun sayangnya, ketokohan dan pemikirannya masih belum memperoleh tempat yang layak dalam wacana sejarah dan intelektual Indonesia kontemporer.
Sosrokartono bukanlah tokoh biasa. Ia menempuh pendidikan di Eropa dan menjadi orang Indonesia pertama yang kuliah di Universitas Leiden, Belanda. Di sana, ia tidak hanya menekuni ilmu linguistik, tapi juga menjelajahi dunia filsafat Timur dan Barat. Pemahamannya tentang dunia begitu luas dan mendalam. Tak heran jika ia menguasai lebih dari 24 bahasa, menjadikannya sosok intelektual yang menggabungkan tradisi Timur dan rasionalitas Barat secara harmonis.
Meski berlatar belakang bangsawan Jawa, Sosrokartono tidak lantas menjauh dari rakyat. Sebaliknya, ia menaruh perhatian besar pada penderitaan kaum kecil dan berupaya mencari jalan keluar spiritual dan praktis dari problematika bangsa. Ia memutuskan untuk hidup sederhana di Indonesia selepas karier cemerlangnya di Eropa, dan mengabdi secara spiritual di Bandung sebagai “dokter air putih”.
Tulisan ini hendak menggali kembali pemikiran-pemikiran penting Sosrokartono — baik yang termanifestasi dalam tulisan, sikap hidup, maupun kiprah intelektualnya. Dengan demikian, kita dapat menyadari bahwa sejarah Indonesia tidak hanya dibentuk oleh tokoh politik atau gerakan massa, tetapi juga oleh pemikir-pemikir senyap yang pengaruhnya menembus dimensi-dimensi jiwa dan kebudayaan bangsa.
Artikel ini terbagi dalam beberapa bagian, dimulai dari latar belakang kehidupannya, warisan pemikirannya dalam bidang kebudayaan, spiritualitas, dan pendidikan, hingga relevansinya di era kontemporer. Melalui pembahasan ini, kita berharap bisa mengenang sekaligus merayakan warisan intelektual seorang tokoh jenius Nusantara yang terlalu lama dilupakan.
Menggali ulang pemikiran Sosrokartono bukan sekadar tugas historis, melainkan langkah reflektif dalam upaya membangun jati diri bangsa yang utuh — berpijak pada akar tradisi, namun tak buta pada arus globalisasi. Dalam dunia yang serba cepat dan serba dangkal ini, pemikiran Sosrokartono menjadi oase kontemplatif yang amat dibutuhkan.
Raden Mas Panji Sosrokartono lahir pada tahun 1877 di Jepara, Jawa Tengah, dalam keluarga bangsawan yang progresif. Ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, adalah Bupati Jepara yang dikenal mendukung pendidikan anak-anaknya secara modern. Sosrokartono tumbuh dalam lingkungan yang menanamkan semangat belajar, disiplin, dan keterbukaan terhadap ide-ide baru. Kakaknya, R.A. Kartini, kelak dikenal sebagai pelopor emansipasi perempuan pribumi. Namun, tak banyak yang tahu bahwa banyak inspirasi Kartini juga bersumber dari diskusi intens dengan sang kakak lelaki.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Hogere Burgerschool (HBS), Sosrokartono melanjutkan studi ke Belanda dan menjadi mahasiswa Indonesia pertama yang kuliah di Universitas Leiden. Di sana ia mengambil jurusan teknik sipil, namun kemudian beralih ke linguistik karena kegemarannya terhadap bahasa. Kemampuan linguistiknya luar biasa — ia menguasai puluhan bahasa asing, termasuk bahasa Slavia, Sanskerta, Arab, Mandarin, Jepang, bahkan dialek-dialek minoritas Eropa.
Ketika Perang Dunia I berkecamuk, Sosrokartono bekerja sebagai koresponden perang untuk koran The New York Herald Tribune dan berhasil menerjemahkan komunikasi penting antara pihak-pihak yang berseteru, berkat kemahirannya dalam bahasa. Keahliannya membuat banyak negara Eropa menaruh hormat padanya. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai “Indonesian genius” dalam laporan media kala itu.
Namun setelah mengalami gejolak batin akibat perang, ia memilih jalan sunyi — meninggalkan hiruk-pikuk dunia Barat dan kembali ke Indonesia. Di Bandung, ia memilih hidup sederhana dan menjadi semacam guru spiritual yang dikenal sebagai “dokter air putih”, karena banyak orang datang kepadanya hanya untuk minum air yang disediakan di rumahnya. Fenomena ini menunjukkan karisma dan daya spiritualnya yang begitu kuat.
Jejak kehidupan Sosrokartono membentang dari istana Jawa, universitas bergengsi Eropa, medan perang Eropa, hingga rumah sederhana di Bandung. Setiap fase kehidupannya menyimpan warisan pemikiran yang kaya dan kompleks. Tidak berlebihan bila kita menyebutnya sebagai tokoh jembatan antara Timur dan Barat, antara ilmu pengetahuan dan kearifan lokal.
Keputusan Sosrokartono untuk hidup sederhana setelah meraih puncak karier barangkali menjadi simbol paling kuat dari etika hidupnya. Ia menolak kemewahan demi menjalani kontemplasi dan pengabdian. Dalam dunia yang terobsesi pada pencapaian lahiriah, pilihan hidupnya memberi kita pelajaran tentang makna kesuksesan yang sesungguhnya.
Salah satu sumbangan terbesar Sosrokartono dalam ranah pemikiran adalah konsepsinya tentang bahasa — bukan sekadar sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai wahana kesadaran. Bagi Sosrokartono, bahasa adalah cermin jiwa bangsa. Oleh karena itu, bahasa harus dijaga kemurniannya, diperkaya maknanya, dan dijadikan alat pembebasan, bukan penindasan.
Dalam surat-suratnya, terutama yang ditujukan kepada adiknya R.A. Kartini, Sosrokartono menekankan pentingnya berpikir dalam bahasa sendiri agar tidak terjajah secara mental. Ia mengkritik kaum elite bumiputra yang hanya meniru gaya Barat tanpa memahami substansi. Bahasa yang kering dari makna dan hanya berisi jargon kosong adalah gejala dari mentalitas yang tercerabut dari akar.
Ia juga meyakini bahwa penguasaan banyak bahasa asing semestinya tidak menjadikan seseorang kehilangan identitas. Justru dari penguasaan lintas bahasa itu, seseorang bisa menjadi jembatan antarperadaban. Sosrokartono membuktikan hal itu lewat kiprahnya sebagai penerjemah dan jurnalis perang yang membawa suara Timur ke tengah diskursus global.
Bahasa, dalam pandangannya, juga terkait erat dengan spiritualitas. Ia percaya bahwa kata-kata yang dilafalkan dengan penuh kesadaran memiliki daya pengaruh terhadap batin dan semesta. Ini sangat kental dalam praktiknya di Bandung, di mana banyak orang percaya bahwa air yang ia berikan menjadi sarana penyembuhan karena dibacakan doa dan kata-kata tertentu.
Sikapnya terhadap bahasa juga tercermin dalam upayanya mengembangkan bahasa Indonesia yang bersih, teratur, dan filosofis. Ia menentang penggunaan bahasa yang kabur, manipulatif, dan kosong makna. Ia ingin agar bangsa ini tumbuh dengan kesadaran bahasa yang tinggi, karena hanya dengan begitu rakyat dapat berpikir jernih dan merdeka dalam menyuarakan kehendaknya.
Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa pemikiran Sosrokartono tentang bahasa bukan hanya soal linguistik teknis, tetapi menyentuh akar-akar kebudayaan, spiritualitas, dan kebebasan. Ia menjadikan bahasa sebagai medan perjuangan batin dan peradaban. Suatu konsep yang sangat relevan di zaman ini, ketika bahasa kerap disalahgunakan untuk propaganda dan polarisasi.
Pemikiran Sosrokartono juga tidak bisa dilepaskan dari spiritualitas Jawa yang mendalam. Selepas masa aktifnya di Eropa, ia menjalani laku tapa, mendekatkan diri pada nilai-nilai kebatinan dan mistisisme yang khas dalam tradisi Jawa. Namun berbeda dari mistik yang tertutup, Sosrokartono justru mengintegrasikan spiritualitasnya dengan visi kebangsaan dan etika publik.
Ia percaya bahwa bangsa yang merdeka harus memiliki kesadaran spiritual yang tinggi, bukan hanya kebebasan politik. Kemerdekaan sejati menurutnya tidak hanya diukur dari hilangnya penjajahan fisik, tetapi juga dari kemurnian batin, kematangan berpikir, dan kedewasaan moral. Dengan demikian, spiritualitas menjadi fondasi dari nasionalisme yang luhur, bukan chauvinisme sempit.
Konsep nasionalisme Sosrokartono sangat berbeda dengan nasionalisme militan. Ia menekankan cinta tanah air sebagai bentuk pengabdian tanpa pamrih, tidak bersuara keras tetapi bekerja senyap dalam diam. Semangat ini terlihat dalam kehidupannya yang menolak jabatan, penghargaan, dan kemewahan, meski ia sangat layak untuk itu.
Etika hidupnya juga menjadi teladan. Ia mengajarkan pentingnya hidup sederhana, tidak rakus, tidak ambisius, dan tidak menjadikan kekuasaan sebagai tujuan. Bagi Sosrokartono, kekuasaan hanya sah jika dipakai untuk melayani, bukan untuk menguasai. Gagasan ini menjadi sangat relevan hari ini ketika banyak elite kehilangan integritas moral dalam kekuasaan.
Mistisisme Sosrokartono bukanlah pelarian dari kenyataan, melainkan sarana untuk menyelami hakekat manusia dan masyarakat. Ia menggunakan spiritualitas sebagai kekuatan reflektif dan transformatif. Spiritualitas semacam inilah yang diperlukan dalam kehidupan berbangsa, terutama dalam menghadapi krisis nilai dan identitas.
Karena itulah, Sosrokartono layak disebut sebagai mistikus nasionalis — seseorang yang mampu menjembatani dunia ruhani dan dunia sosial-politik secara seimbang. Ia menunjukkan bahwa perjuangan tidak harus selalu bersenjata atau bersuara nyaring, tapi juga bisa hadir dalam keheningan dan ketulusan.
Di abad ke-21, ketika bangsa ini dihadapkan pada krisis etika, disinformasi, polarisasi sosial, dan degradasi budaya, pemikiran Sosrokartono menghadirkan cahaya alternatif. Ia mengajarkan bahwa membangun bangsa tidak cukup dengan infrastruktur dan regulasi, tapi juga butuh pembangunan jiwa — pembangunan manusia seutuhnya.
Salah satu pelajaran penting dari Sosrokartono adalah pentingnya integritas dalam berpikir, berkata, dan bertindak. Di tengah dunia yang penuh manipulasi informasi dan pencitraan, keteladanan hidup Sosrokartono menjadi penawar. Ia tidak tertarik pada popularitas, tapi memilih menjadi “guru dalam diam”. Ini adalah simbol integritas sejati.
Penghayatan spiritual dalam kehidupan publik juga menjadi pelajaran penting darinya. Sosrokartono menunjukkan bahwa agama dan spiritualitas bisa menjadi fondasi bagi tindakan sosial dan politik yang etis. Ia tidak mempolitisasi agama, melainkan menjadikannya kekuatan transformatif untuk diri dan masyarakat.
Lebih dari itu, pendekatan lintas budaya dan lintas bahasa yang dimiliki Sosrokartono memberikan contoh bagaimana seharusnya Indonesia memosisikan diri dalam dunia global. Dengan penguasaan budaya asing yang dalam, namun tetap berakar kuat pada budaya sendiri, ia menampilkan model globalisme yang tidak kehilangan lokalitas.
Sosrokartono bukan sekadar tokoh sejarah. Ia adalah pemikir yang melampaui zamannya. Menghidupkan kembali pemikirannya berarti membangun kesadaran baru tentang kebangsaan, spiritualitas, bahasa, dan kemanusiaan yang utuh. Kita tidak hanya butuh pembangunan fisik, tetapi juga pembangunan etos hidup dan kejiwaan seperti yang ia ajarkan.
Sudah waktunya kita menghadirkan pemikiran Sosrokartono ke ruang publik yang lebih luas — melalui pendidikan, diskusi intelektual, kebijakan kebudayaan, dan bahkan seni. Ia adalah bagian dari kekayaan intelektual bangsa yang belum tergali sepenuhnya. Dan dalam menggali warisan itu, kita sejatinya sedang membangun kembali jati diri Indonesia yang tercerahkan.
Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.