Dilema Euthyphro: Menimbang Moralitas Agama dalam Dialog Plato

Apakah sesuatu itu baik karena dicintai oleh Tuhan, ataukah dicintai oleh Tuhan karena memang baik? Pertanyaan ini, yang dikenal sebagai Dilema Euthyphro, pertama kali muncul dalam dialog karya Plato dan tetap relevan dalam perdebatan etika dan teologi hingga hari ini. Melalui percakapan fiktif antara Socrates dan Euthyphro di pelataran pengadilan Athena, Plato merumuskan tantangan filosofis tentang dasar moralitas yang bersumber dari keyakinan religius.

Artikel ini akan menelusuri dilema tersebut dalam kerangka dialog aslinya. Kita akan memulai dengan meninjau latar tempat dan konteks dialog, lalu mengikuti perdebatan filosofis antara Socrates dan Euthyphro, hingga sampai pada puncak pertanyaan mendalam tentang hubungan antara kebaikan dan ketuhanan.

Pertemuan di Pelataran Hukum Athena

Dialog Euthyphro dimulai di Agora, pusat keramaian kota Athena, yang juga menjadi tempat diadakannya pengadilan awal. Di sinilah Socrates sedang menunggu persidangan atas tuduhan menyesatkan kaum muda dan tidak menghormati dewa-dewa kota. Pada saat yang sama, Euthyphro datang untuk menuntut ayahnya sendiri atas kasus pembunuhan.

Menariknya, pembunuhan yang dimaksud bukan terhadap warga merdeka, melainkan terhadap seorang budak. Dalam masyarakat yang memperbolehkan perbudakan, tindakan ini memunculkan dilema moral tersendiri—bukan hanya tentang benar atau salah, tetapi juga tentang bagaimana hukum dan agama memandang status manusia sebagai properti. Lebih dari itu, tindakan Euthyphro dianggap mencoreng nilai kekeluargaan dan kesetiaan, dua hal yang dalam tradisi Yunani kuno dipandang sakral.

Dalam konteks ini, pembunuhan bukan sekadar pelanggaran hukum melainkan tindakan yang mengakibatkan miasma—penodaan spiritual yang dipercaya dapat mengundang murka dewa. Maka, keputusan Euthyphro untuk membawa kasus ini ke pengadilan tak hanya kontroversial secara sosial, tetapi juga penuh muatan teologis.

Mengetahui Apa yang Dikehendaki Para Dewa

Dalam percakapan yang bersifat persuasif sekaligus menguji akal, Euthyphro menyatakan bahwa tindakannya membuktikan kesalehan (piety) karena ia sedang menegakkan hukum ilahi. Ia mengklaim tahu dengan pasti apa yang dikehendaki para dewa. Bagi Socrates, klaim semacam ini adalah undangan terbuka untuk pengujian filosofis.

Socrates, seperti biasa, memposisikan dirinya sebagai pencari kebenaran yang lugu. Ia bertanya kepada Euthyphro, apakah ia benar-benar memahami apa yang dimaksud dengan kesalehan. Socrates tidak puas dengan jawaban-jawaban deskriptif atau contoh-contoh konkret; ia menginginkan definisi esensial—sebuah kriteria tetap yang dapat digunakan untuk menilai apakah suatu tindakan bisa disebut saleh atau tidak.

Pertanyaan Socrates bukanlah pertanyaan sederhana. Ia menuntut konsistensi logis dan kejelasan konsep. Dan seperti banyak tokoh lain dalam dialog-dialog Plato, Euthyphro perlahan menunjukkan bahwa keyakinannya tidak sekuat yang ia bayangkan.

Dari Keyakinan Menuju Kebingungan

Ketika diminta mendefinisikan kesalehan, Euthyphro pertama-tama menjawab bahwa kesalehan adalah tindakan seperti yang sedang ia lakukan—mengadili orang yang bersalah, bahkan jika itu adalah ayahnya sendiri. Namun bagi Socrates, jawaban ini terlalu dangkal. Sebab, ia hanya menyebut contoh, bukan esensi. Ia tidak mengatakan apa itu “kesalehan”, hanya memperlihatkan wujudnya dalam satu kasus.

Mendapat tekanan dari Socrates, Euthyphro mencoba definisi kedua: sesuatu itu saleh jika dicintai oleh para dewa. Jawaban ini tampaknya lebih dekat dengan harapan Socrates, karena memberikan semacam kriteria. Tapi tidak lama kemudian, Socrates kembali menggugatnya. Di dunia politeistik seperti Yunani kuno, para dewa tidak selalu sepakat. Apa yang dicintai oleh satu dewa, bisa jadi dibenci oleh dewa lain. Maka, jika kesalehan bergantung pada cinta para dewa, bagaimana jika mereka berselisih?

Dari sinilah Socrates menggali lebih dalam dan memperkenalkan dilema yang kelak menjadi sangat terkenal: apakah sesuatu itu saleh karena dicintai para dewa, atau dicintai para dewa karena memang saleh? Pertanyaan ini mengguncang landasan definisi Euthyphro dan sekaligus membuka jurang antara moralitas dan otoritas ilahi.

Membedah Inti Moralitas Religius

Inti dari dilema Euthyphro adalah tantangan terhadap fundasi etika teistik. Jika sesuatu dianggap baik hanya karena Tuhan menyukainya, maka kebaikan menjadi arbitrer, bergantung pada kehendak ilahi yang bisa berubah-ubah. Di sisi lain, jika Tuhan menyukai sesuatu karena memang sudah baik, maka kebaikan memiliki standar yang berdiri di luar Tuhan. Dalam kasus kedua, Tuhan bukan sumber kebaikan, tetapi pengikutnya.

Bagi para pemeluk agama yang ingin meyakini bahwa Tuhan adalah sumber segala kebaikan dan keadilan, dilema ini sangat mengganggu. Ia menimbulkan ketegangan antara ketaatan tanpa nalar dan pencarian nilai yang lebih universal. Sebagian pemikir mencoba menjawab dilema ini dengan menyatakan bahwa Tuhan adalah esensi kebaikan itu sendiri—artinya, kehendak Tuhan dan kebaikan tidak bisa dipisahkan. Namun, pendekatan ini sering kali dinilai tidak memadai oleh filsuf sekuler karena tetap menolak pertanyaan kritis: mengapa kita harus percaya bahwa kehendak Tuhan itu pasti baik?

Dilema ini tidak hanya relevan di masa Plato, tetapi terus bergema hingga hari ini dalam perdebatan filsafat moral, teologi, dan bahkan hukum. Ia menantang kita untuk tidak menerima begitu saja bahwa nilai-nilai moral bisa diselesaikan dengan mengacu pada kehendak ilahi, tanpa penalaran lebih lanjut.

Antara Kepercayaan dan Rasionalitas

Di akhir dialog, Euthyphro tidak mampu memberikan jawaban memuaskan kepada Socrates. Ia memilih untuk mengakhiri percakapan dan pergi, menunjukkan kekecewaan atau bahkan kekalahan dalam debat. Namun bagi Plato, ini bukan tentang kemenangan logika belaka, melainkan latihan berpikir kritis terhadap doktrin dan tradisi yang diterima begitu saja.

Dilema Euthyphro tetap menjadi fondasi penting dalam diskusi moralitas agama. Ia memaksa kita untuk bertanya: apakah moralitas bersumber dari luar diri kita, ataukah kita harus menemukannya melalui nalar dan pengalaman? Apakah agama membawa kita pada pemahaman yang lebih dalam tentang apa yang baik, atau justru menundukkan kita pada otoritas yang tak selalu bisa diuji?

Mereka yang mengandalkan iman mungkin akan melihat pertanyaan ini sebagai gangguan, namun bagi pencari kebenaran—baik religius maupun sekuler—dilema ini justru menjadi peluang untuk menyelami lebih dalam makna kebaikan, keadilan, dan tanggung jawab pribadi. Di antara iman dan akal, Plato memberi kita bekal untuk terus bertanya: apakah kita taat karena itu benar, ataukah itu benar karena kita taat?

 

Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like