
Premanisme sering dipahami sebagai fenomena sosial yang negatif dan problematik. Secara umum, masyarakat mengasosiasikan premanisme dengan kekerasan, intimidasi, dan perilaku kriminal yang merusak tatanan sosial. Namun, jika kita menggali lebih dalam melalui lensa filsafat, premanisme tidak hanya sekadar bentuk kejahatan, tetapi juga mencerminkan aspek-aspek mendalam tentang eksistensi manusia, kekuasaan, dan nilai-nilai moral alternatif yang unik.
Pendekatan filsafat terhadap premanisme membuka ruang analisis yang lebih kompleks dan kritis. Preman tidak hanya pelaku kriminal, tetapi individu-individu yang mencoba bertahan dalam kondisi sosial tertentu, menciptakan aturan sendiri ketika norma-norma formal dianggap gagal memberikan perlindungan atau rasa keadilan. Oleh karena itu, premanisme dapat dibaca sebagai fenomena eksistensial dan sosial-politik yang signifikan.
Secara filosofis, premanisme mencerminkan tantangan terhadap tatanan sosial yang mapan. Ia menunjukkan bagaimana manusia beradaptasi dan merespons situasi ketidakadilan, ketidakpastian, dan keterpinggiran yang mereka alami sehari-hari. Dengan demikian, fenomena premanisme sangat relevan untuk dibahas melalui teori-teori filosofis, mulai dari eksistensialisme hingga filsafat kekuasaan dan moralitas alternatif.
Dalam kajian filsafat, premanisme memberikan cermin tajam terhadap kondisi masyarakat. Premanisme mengungkap berbagai dinamika sosial, politik, dan ekonomi yang sering tersembunyi di balik permukaan kehidupan sosial yang terlihat tenang. Melalui filsafat, kita dapat memahami bahwa fenomena ini tidak muncul dalam ruang hampa, tetapi merupakan respons terhadap ketimpangan dan ketidakadilan sosial yang mendalam.
Dengan menggunakan pendekatan filsafat, kita tidak hanya mampu mengkritik premanisme secara moral, tetapi juga memahami logika internal, nilai-nilai, dan cara berpikir yang dianut para pelakunya. Ini bukan untuk melegitimasi premanisme, tetapi untuk menawarkan perspektif kritis yang mampu menghadirkan solusi lebih efektif dalam menghadapi fenomena ini.
Dalam artikel ini, premanisme akan dianalisis secara mendalam melalui tiga perspektif filosofis utama: eksistensialisme, teori kekuasaan Michel Foucault, dan pendekatan etika keutamaan (virtue ethics) Aristoteles. Melalui ketiga perspektif ini, kita akan mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif dan kritis tentang fenomena premanisme.
Eksistensialisme, terutama menurut Jean-Paul Sartre, memberikan pandangan yang sangat kuat untuk membaca fenomena premanisme. Sartre menganggap manusia sebagai makhluk yang dikutuk untuk bebas; setiap tindakan manusia sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu yang memilihnya. Premanisme mencerminkan kebebasan radikal tersebut, di mana setiap preman bertanggung jawab penuh atas keputusan-keputusan keras yang diambilnya, seperti kekerasan atau pelanggaran norma.
Namun, kebebasan radikal tersebut membawa konsekuensi berat, yakni rasa keterasingan atau alienasi yang mendalam. Preman, dalam mencari autentisitas hidupnya, teralienasi dari masyarakat umum yang memiliki norma-norma formal. Mereka hidup dalam dunia sendiri dengan aturan dan etika internal yang sering bertentangan dengan hukum formal masyarakat luas.
Dalam kehidupan preman, kecemasan (angst) menjadi bagian tak terpisahkan dari eksistensi mereka. Mereka harus selalu waspada terhadap ancaman fisik, hukum, maupun kehilangan status sosial di dalam komunitasnya sendiri. Rasa cemas ini, menurut Sartre, adalah konsekuensi dari kebebasan yang mutlak, yang menempatkan setiap individu dalam situasi penuh tanggung jawab dan risiko besar.
Kehidupan preman juga menunjukkan bahwa eksistensi autentik sering kali berarti hidup dalam ketegangan terus-menerus antara keinginan untuk kebebasannya sendiri dan tekanan dari realitas sosial yang keras. Dengan demikian, premanisme menjadi manifestasi nyata dari dilema eksistensialis yang dihadapi manusia: memilih kebebasan radikal tetapi terjebak dalam isolasi dan konflik internal yang abadi.
Eksistensialisme juga melihat preman sebagai contoh nyata individu yang menolak determinasi sosial secara pasif. Mereka aktif menentukan nasibnya sendiri, bahkan jika pilihan tersebut kontroversial dan berisiko tinggi. Tindakan mereka mencerminkan eksistensi manusia yang autentik, yakni tindakan yang tidak ditentukan sepenuhnya oleh masyarakat atau institusi eksternal.
Namun, eksistensialisme juga mengkritik premanisme karena dalam usahanya mencari kebebasan autentik, para preman kerap kali mengabaikan eksistensi orang lain. Mereka mengejar kebebasan pribadi hingga titik di mana kebebasan itu merugikan orang lain secara signifikan, menciptakan konflik moral yang pelik.
Michel Foucault memperkenalkan konsep kekuasaan yang tidak hanya terbatas pada institusi formal seperti negara, tetapi juga tersebar dalam relasi sosial sehari-hari. Premanisme dalam perspektif Foucault mencerminkan bagaimana kekuasaan informal ini bekerja di masyarakat. Preman menjadi aktor yang memegang otoritas informal, yang mampu mengontrol atau mempengaruhi komunitas tertentu tanpa legitimasi formal negara.
Kekuasaan preman muncul sebagai respons terhadap absennya negara atau lemahnya institusi formal. Di wilayah-wilayah tertentu, preman bahkan mengambil peran layaknya “penjaga ketertiban”, yang meskipun ilegal, namun efektif dalam memberikan rasa aman. Ini menunjukkan bahwa kekuasaan informal sering kali lebih efektif dibandingkan kekuasaan formal dalam situasi tertentu.
Premanisme juga mencerminkan konsep pendisiplinan tubuh menurut Foucault. Aturan-aturan dalam komunitas preman sangat ketat, dengan hukuman yang keras untuk pelanggaran tertentu. Premanisme, dengan demikian, tidak sekadar mengatur perilaku anggota tetapi juga mengontrol tubuh dan tindakan melalui disiplin fisik dan sosial yang keras.
Foucault juga melihat premanisme sebagai bentuk resistensi terhadap bentuk dominasi sosial yang mapan. Preman berusaha menciptakan tatanan sosial alternatif yang mereka anggap lebih adil dan realistis dibanding aturan formal yang sering gagal melindungi mereka.
Namun, kekuasaan informal ini memiliki risiko besar, karena tidak adanya mekanisme kontrol demokratis yang jelas. Premanisme cenderung bersifat otoriter dan bisa berkembang menjadi bentuk dominasi baru yang tidak kalah menindas dibanding dominasi formal.
Pada akhirnya, kekuasaan preman sering berakhir dalam bentuk tirani kecil, yang menempatkan komunitas di bawah kendali kelompok tertentu yang menjalankan otoritas tanpa pertanggungjawaban publik.
Etika keutamaan, yang dikembangkan oleh Aristoteles, berfokus pada karakter moral seseorang dibandingkan aturan-aturan moral yang bersifat universal atau kaku. Dalam konteks premanisme, pendekatan ini menawarkan wawasan menarik mengenai sistem nilai yang dianut para preman. Preman memiliki serangkaian kebajikan khusus, seperti keberanian, kesetiaan, solidaritas, dan kehormatan, yang menentukan perilaku mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam komunitas preman, keberanian adalah kebajikan utama. Berani menghadapi konflik atau situasi berisiko tinggi adalah bukti karakter yang kuat dan dihormati. Seseorang yang dianggap pengecut tidak hanya kehilangan status, tetapi juga kepercayaan dari komunitasnya. Oleh karena itu, dalam konteks ini, keberanian menjadi nilai esensial yang menentukan eksistensi seorang preman.
Selain keberanian, solidaritas merupakan nilai yang sangat penting. Para preman sering memperlihatkan rasa solidaritas yang tinggi kepada rekan-rekan mereka, bahkan jika solidaritas ini diwujudkan dalam tindakan-tindakan yang dianggap ilegal oleh hukum formal. Solidaritas ini menjadi perekat yang kuat di antara mereka, menciptakan rasa kebersamaan dan saling percaya yang intens di tengah-tengah situasi yang penuh bahaya.
Kesetiaan juga menjadi kebajikan penting lainnya dalam premanisme. Dalam dunia preman, pengkhianatan dipandang sebagai pelanggaran moral terberat yang dapat dilakukan seseorang. Preman yang tidak setia kepada komunitas atau rekannya sering kali menerima konsekuensi fisik atau sosial yang sangat keras. Nilai ini menunjukkan bahwa moralitas preman memiliki struktur internal yang ketat dan jelas, meskipun sering kali bertentangan dengan norma sosial formal.
Etika keutamaan ini juga menciptakan moralitas yang konkret. Dalam pandangan ini, baik dan buruk tidak ditentukan oleh abstraksi filosofis atau aturan formal, tetapi melalui tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Moralitas preman terwujud dalam perilaku langsung seperti menolong sesama anggota, menghadapi musuh dengan berani, dan menjaga kehormatan kelompok.
Namun, kelemahan utama dari etika keutamaan dalam premanisme adalah bahwa nilai-nilai moral ini sering kali bersifat eksklusif. Kebajikan seperti solidaritas dan kesetiaan biasanya hanya berlaku untuk sesama preman, tidak untuk masyarakat luas. Dengan demikian, moralitas ini tidak universal dan cenderung memperkuat pemisahan antara komunitas preman dengan masyarakat umum, menimbulkan konflik sosial yang signifikan.
Melalui berbagai perspektif filsafat yang telah diulas, jelas bahwa premanisme tidak sekadar fenomena kriminal sederhana. Premanisme mencerminkan dilema eksistensial manusia yang mencari autentisitas dalam kebebasan radikal, menciptakan struktur kekuasaan alternatif yang unik dalam masyarakat, dan menjalankan sistem moral yang berbeda secara fundamental dari moralitas formal.
Pemahaman premanisme melalui perspektif eksistensialisme menunjukkan bahwa para preman hidup dalam ketegangan eksistensial yang permanen. Mereka memilih hidup di luar norma sosial sebagai bentuk kebebasan radikal, meskipun kebebasan ini membawa keterasingan dan kecemasan eksistensial yang konstan. Pemahaman ini memperlihatkan bahwa premanisme merupakan ekspresi dari kebutuhan manusia untuk menemukan autentisitas dalam eksistensi mereka.
Pendekatan melalui teori kekuasaan Michel Foucault memperjelas bahwa premanisme adalah bentuk kekuasaan informal yang lahir dari situasi sosial yang tidak stabil. Dalam ketiadaan institusi negara yang efektif, preman menciptakan bentuk otoritas alternatif yang memiliki aturan internal ketat. Meski efektif secara informal, kekuasaan ini sering kali bersifat otoriter dan tanpa mekanisme demokrasi, menciptakan tantangan serius bagi tata sosial yang lebih luas.
Melalui perspektif etika keutamaan Aristoteles, premanisme memperlihatkan adanya sistem moral alternatif yang nyata dan terstruktur. Para preman memiliki nilai-nilai moral yang jelas seperti keberanian, solidaritas, dan kesetiaan. Meski demikian, moralitas ini terbatas dan sering kali bertentangan dengan nilai-nilai universal hak asasi manusia, sehingga menciptakan ketegangan sosial yang signifikan.
Dari kajian filosofis ini, dapat disimpulkan bahwa premanisme adalah fenomena yang sangat kompleks, memiliki logika internal sendiri, dan mencerminkan berbagai tantangan mendasar dalam kehidupan sosial manusia. Oleh karena itu, memahami fenomena ini secara kritis dan mendalam bukan untuk melegitimasi perilaku kekerasan, tetapi untuk menemukan akar permasalahan sosial yang menjadi penyebab munculnya fenomena tersebut.
Dengan pendekatan filosofis ini, solusi terhadap fenomena premanisme tidak bisa lagi bersifat represif atau sederhana. Sebaliknya, solusi tersebut harus mencakup perbaikan sistem sosial, peningkatan keadilan, penguatan institusi formal, dan dialog kritis dengan komunitas-komunitas yang terlibat. Hanya dengan pemahaman filosofis yang mendalam, kita bisa berharap untuk mengatasi premanisme secara lebih efektif dan manusiawi di masa depan.
Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.