Ali Shariati: Haji Sebagai Gerakan Kesadaran

Haji, ibadah puncak dalam Islam, kerap dipahami semata sebagai ritual tahunan umat Muslim yang berpusat di Mekah. Namun, bagi Ali Shariati, seorang pemikir revolusioner Iran abad ke-20, Haji adalah sesuatu yang lebih dari sekadar kewajiban ibadah. Ia merupakan proses transformasi spiritual dan sosial, yang dapat membebaskan manusia dari keterasingan, struktur penindasan, dan keterikatan pada ego. Dalam bukunya yang berjudul Hajj, Shariati membongkar makna-makna terdalam dari setiap elemen ritual, dan menafsirkan ulangnya secara radikal sebagai revolusi jiwa dan gerakan pembebasan manusia.

Bagi Shariati, Haji tidak bisa dipisahkan dari konteks sejarah dan realitas sosial-politik umat Islam. Dalam situasi umat yang tercerai-berai, kehilangan arah, dan dikungkung sistem kapitalistik maupun otoritarianisme agama, Haji tampil sebagai arena pemersatu umat dan sarana pembentukan kembali identitas diri yang otentik. Inilah yang menjadikan buku Hajj bukan hanya teks spiritual, tetapi juga manifesto ideologis dan renungan eksistensial.

Melalui kacamata sosiologis dan filsafat Islam, Shariati menggugat pemahaman konvensional terhadap ibadah. Ia memulai dengan pertanyaan mendasar: Mengapa manusia berhaji? Apakah sekadar menggenapkan rukun Islam, atau ada sesuatu yang lebih esensial dalam perjalanan ini? Dari sini, ia menyusun argumen bahwa setiap tahapan dalam Haji membawa pesan revolusioner yang mendalam jika dimaknai secara filosofis dan eksistensial.

Pemikir Islam Progresif

Ali Shariati lahir pada tahun 1933 di Mashhad, Iran, dalam keluarga religius dan intelektual. Ia mendapat pendidikan Islam tradisional dari ayahnya, seorang ulama, namun kemudian melanjutkan studi ke Prancis, di mana ia terpapar filsafat eksistensialisme, marxisme humanis, dan teori-teori revolusi. Pengaruh para pemikir seperti Jean-Paul Sartre, Frantz Fanon, dan Albert Camus menyatu dalam pemikiran Islamnya, menjadikan ia tokoh pembaru yang unik dan kontroversial[1].

Shariati tidak pernah memisahkan agama dari realitas sosial. Bagi dia, Islam bukanlah seperangkat doktrin metafisik, melainkan ideologi pembebasan. Ia menyebut Islam sebagai “agama protes,” yang menentang penindasan, kebodohan, dan kemapanan tiranik. Oleh karena itu, ia menolak pandangan Islam yang hanya bersifat legalistik atau spiritualistik murni. Pandangan ini sangat memengaruhi cara ia menafsirkan Haji.

Di mata Shariati, umat Islam modern telah tercerabut dari ruh ajaran Islam yang sejati. Mereka terjebak dalam ritualisme yang hampa makna. Dalam kondisi ini, dibutuhkan reinterpretasi simbol-simbol Islam secara revolusioner, untuk membangkitkan kembali kesadaran kolektif. Di sinilah peran Haji sebagai gerakan pendidikan spiritual-politik menjadi penting.

Pengalamannya menyaksikan langsung pelaksanaan Haji membentuk perspektif filosofis yang mendalam. Ia melihat lautan manusia yang berkumpul di satu tempat sebagai miniatur umat manusia, sebuah simbol dari kesatuan, egalitarianisme, dan potensi perubahan dunia. Bagi Shariati, Haji adalah panggung drama besar, di mana manusia memerankan kembali kisah penciptaan, pengasingan, perjuangan, dan kembali pada Tuhan.

Shariati menyusun bukunya Hajj bukan sebagai risalah fiqih, melainkan sebagai renungan eksistensial. Ia menggali makna simbolik dari setiap gerakan dan peristiwa dalam ibadah Haji, lalu menghubungkannya dengan krisis peradaban dan perlawanan terhadap dominasi ideologi barat serta sistem kekuasaan internal dunia Islam[2].

Melalui pendekatan hermeneutis dan eksistensialis, Shariati memperlihatkan bahwa setiap elemen Haji menyimpan energi transformasional yang bisa membentuk manusia baru — insan kamil yang sadar diri, bebas dari penindasan, dan memiliki tanggung jawab sosial.

Perjalanan Kembali ke Diri dan Tuhan

Menurut Shariati, Haji adalah kisah simbolik manusia yang mengingat kembali asalnya dan bergerak menuju pemulihan jati diri. Tahapan-tahapan Haji menjadi semacam narasi eksistensial, di mana manusia memerankan kembali sejarah keberadaannya.

Tahap pertama adalah ihram, yaitu pelepasan diri dari identitas duniawi. Mengenakan dua lembar kain putih adalah simbol kesetaraan total: tidak ada raja, tidak ada buruh, tidak ada bangsawan. Semua menjadi “manusia”. Ini adalah bentuk protes terhadap semua sistem kelas dan identitas buatan manusia. Dalam filsafat eksistensialisme, ini menyerupai de-individuasi atau pelepasan dari peran sosial untuk menemukan eksistensi yang sejati[3].

Kemudian, thawaf atau mengelilingi Ka’bah, bagi Shariati, merupakan simbol bahwa Tuhan adalah pusat keberadaan. Manusia, seperti partikel yang mengorbit inti atom, bergerak mengelilingi sumber eksistensinya. Ini bukan hanya simbol fisik, tapi metafor eksistensial: manusia adalah makhluk yang senantiasa mencari pusat maknanya.

Sa’i, atau perjalanan bolak-balik antara Shafa dan Marwah, mencerminkan pencarian manusia dalam kondisi terjepit. Seperti Hajar yang berlari demi keselamatan anaknya, manusia modern juga terus mencari makna di tengah dunia yang absurd. Perjuangan ini bukan lari dari Tuhan, tetapi justru bentuk penghambaan tertinggi — menyerahkan diri dalam pencarian sejati.

Wuquf di Arafah, menurut Shariati, adalah klimaks kontemplatif. Ini adalah momen diam total, tempat di mana manusia menghadapkan diri secara penuh pada Sang Pencipta. Dalam logika filsafat Barat, ini adalah titik kesadaran penuh akan keberadaan. “Engkau tidak tahu apa yang engkau cari, tapi engkau tahu engkau sedang mencari.”

Melempar jumrah, yakni melempar batu ke tiga tiang yang melambangkan setan, bagi Shariati adalah simbol perjuangan melawan tiga bentuk setan: ego pribadi (narsisme), sistem penindasan (tirani), dan budaya konsumerisme (dunia modern). Ini bukan sekadar lemparan batu, tetapi penolakan terhadap kekuasaan yang membelenggu kemanusiaan[4].

Kritik terhadap Ritualisme dan Ketidaksadaran Umat

Salah satu aspek paling radikal dalam pemikiran Shariati adalah kritiknya terhadap ritualisme tanpa makna. Menurutnya, umat Islam telah menjadikan agama sebagai upacara rutin, bukan lagi jalan menuju kesadaran atau pembebasan. Haji, yang seharusnya menjadi proses transformatif, berubah menjadi “wisata religi” tanpa refleksi.

Dalam Hajj, ia menulis: “Banyak yang datang ke Mekah hanya untuk menyaksikan Ka’bah, tapi tidak melihat dirinya sendiri.” Kalimat ini menggambarkan ironi besar: orang beribadah tanpa benar-benar mengetahui apa yang sedang dilakukan dan mengapa melakukannya. Shariati menyebut ini sebagai bentuk alienasi spiritual[5].

Ia menyerukan agar umat Islam menggali kembali makna simbolis di balik ritual. Baginya, syariat harus dibaca dengan kesadaran filosofis dan historis, bukan hanya sebagai kewajiban hukum. Bila tidak, maka ibadah hanya menjadi gerakan tubuh tanpa ruh.

Shariati juga menggugat cara negara-negara Muslim mengelola ibadah Haji. Ia melihat adanya praktik komersialisasi, elitisme, dan monopoli otoritas agama yang menyimpang dari semangat asli Haji. Alih-alih menjadi tempat kesetaraan, Haji sering kali menjadi panggung bagi elit kekuasaan dan stratifikasi sosial.

Baginya, pemisahan antara dimensi ritual dan sosial agama adalah ilusi modern. Islam adalah agama praksis yang memadukan ibadah dan tindakan nyata. Karena itu, Haji yang sejati harus mampu menggerakkan kesadaran dan aksi perubahan setelah jamaah kembali ke negeri masing-masing.

Dimensi Politik dan Emansipatoris Haji

Haji bukan hanya pengalaman individual, tapi juga peristiwa politik dan sosial. Shariati melihat pertemuan umat Islam dari berbagai negara sebagai peluang untuk membangun solidaritas transnasional. Ia menyebut Haji sebagai “konferensi akbar dunia Islam” yang bisa menjadi titik balik perlawanan terhadap imperialisme.

Dalam konteks kolonialisme dan hegemoni barat, Haji menjadi alat perlawanan kultural. Shariati menyoroti bahwa umat Islam sering terpecah oleh sekat nasionalisme, sektarianisme, dan kelas sosial. Di Tanah Suci, semua itu dilebur. Haji menciptakan pengalaman ummah — satu tubuh kolektif yang saling menyadari keberadaan.

Lebih dari itu, ia juga melihat Haji sebagai simulasi masyarakat ideal, tempat semua manusia hidup tanpa kasta, berbagi sumber daya, dan hidup dalam aturan Ilahi. Dalam hal ini, Haji menjadi utopia konkret — yang meski berlangsung singkat, dapat menjadi inspirasi membangun masyarakat alternatif.

Shariati percaya bahwa tanpa pemaknaan politik, Haji akan tumpul. Ia mengajak umat Islam menjadikan pengalaman spiritual ini sebagai fondasi bagi pembebasan umat dari belenggu ekonomi, politik, dan budaya. Haji adalah langkah pertama menuju revolusi internal dan eksternal.

Relevansi Pemikiran Shariati di Era Kini

Meskipun Shariati menulis Hajj pada dekade 1970-an, gagasannya tetap relevan di era modern. Dalam dunia yang kian terdigitalisasi, di mana agama sering kali dikomodifikasi dan dijadikan alat identitas semu, tafsir eksistensial dan sosial terhadap Haji menjadi semakin penting.

Banyak umat Muslim hari ini menjalani ibadah tanpa memahami dimensi filosofisnya. Buku Hajj bisa menjadi pengingat bahwa ibadah bukan sekadar kegiatan ritual, tapi juga momen refleksi dan pembebasan. Haji, jika dijalankan dengan kesadaran filosofis, dapat menjadi sarana dekonstruksi identitas palsu dan rekonstruksi jati diri spiritual dan sosial.

Lebih jauh, ide tentang Haji sebagai ruang persaudaraan global dapat menjawab tantangan umat Islam yang terpecah belah. Di tengah konflik geopolitik dan polarisasi politik, pengalaman bersama di Tanah Suci seharusnya bisa membentuk solidaritas kolektif yang lebih luas.

Pemikiran Shariati juga menawarkan kritik terhadap Islam yang terlalu formalistik atau konservatif. Ia menyuarakan pentingnya membaca kembali simbol-simbol Islam dengan pendekatan progresif, transformatif, dan menyatu dengan realitas umat. Ini adalah pendekatan yang bisa mempertemukan religiositas dengan aktivisme sosial.

Dalam dunia modern yang penuh keterasingan dan konsumerisme, pemikiran Shariati mengajak umat untuk menjadikan Haji sebagai sarana kembali ke akar spiritual, bukan pelarian sesaat. Ia mendorong transformasi diri sebagai jalan menuju perubahan dunia.

Ali Shariati membuka ruang baru dalam pemahaman terhadap Haji. Ia menafsirkan ritual Islam ini sebagai peta jalan menuju kebebasan, bukan hanya dari dosa, tapi juga dari sistem penindasan dan keterasingan. Lewat pendekatan filosofis dan sosiologis, ia membuktikan bahwa spiritualitas sejati adalah yang membebaskan, bukan yang membius.

Pemikirannya menantang kita untuk tidak hanya “melakukan” Haji, tetapi “mengalami” dan “memaknai” Haji. Ini adalah ajakan untuk menjadikan ibadah sebagai medan perjuangan diri — melawan ego, sistem yang menindas, dan dunia yang memperbudak. Haji, bagi Shariati, adalah teater kesadaran, tempat manusia menulis ulang takdirnya.

Rujukan

[1] Hamid Dabashi, Theology of Discontent: The Ideological Foundation of the Islamic Revolution in Iran, Routledge, 1993.

[2] Ali Shariati, Hajj: Reflection on Its Rituals, Islamic Publications International, 1978.

[3] Mohammad Ali Amir-Moezzi, The Divine Guide in Early Shi’ism, SUNY Press, 1994.

[4] Ali Shariati, Hajj, hlm. 45–67.

[5] Ali Shariati, Hajj, hlm. 88–102.

Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like