Apakah Positivisme Benar-Benar Mati?

Meskipun positivisme pernah menjadi filsafat ilmu yang paling berpengaruh pada abad ke-20, kini aliran ini dianggap telah usang—lebih sering dijadikan istilah yang bernada sinis, karikatural, atau sekadar representasi lemah yang mudah disingkirkan demi mengangkat pandangan lain. Kendati demikian, ide-ide positivisme—terutama positivisme logis—masih sangat mewarnai filsafat ilmu kontemporer dan berkontribusi dalam perkembangan bidang seperti logika dan humaniora. Maka pertanyaan pun muncul: apakah “kematian” positivisme terlalu cepat diumumkan?

Positivisme dan Arah Ilmu Pengetahuan Modern

Positivisme pertama kali dicetuskan oleh Auguste Comte, yang sangat dipengaruhi oleh gurunya, Saint-Simon. Pada awalnya, positivisme tidak hanya dimaksudkan sebagai pendekatan filsafat ilmu, melainkan juga sebagai gerakan untuk memajukan masyarakat.

Portrait of Auguste Comte
Portrait of Auguste Comte

Salah satu kutipan terkenal Comte, “Cinta sebagai asas, ketertiban sebagai dasar, dan kemajuan sebagai tujuan” (Système de politique positive, 1841–1845, hlm. 19), menggambarkan esensi pemikirannya. Ia berupaya membentuk metodologi berpikir rasional dengan pendekatan historis, serta mendorong transformasi ilmu pengetahuan agar sepenuhnya sekuler, menggantikan peran agama yang sebelumnya turut mewarnai aktivitas ilmiah.

Menurut Comte, pengetahuan ilmiah—atau pengetahuan positif, menurut istilahnya—merupakan bentuk paling maju dalam evolusi pengetahuan manusia, setelah melewati tahap teologis dan tahap metafisis. Karena itu, ia berusaha menggantikan pengetahuan metafisis, yang dianggap sebagai warisan Pencerahan dan rasionalisme, yang justru menghambat kemajuan.

Comte juga mengemukakan adanya hierarki ilmu pengetahuan: ilmu yang lebih sederhana dan umum, seperti fisika, berada di puncak; sementara ilmu yang lebih kompleks dan bergantung pada ilmu lain, seperti sosiologi, berada di dasar. Hierarki ini, menurutnya, mencerminkan tingkat determinasi, di mana ilmu yang lebih “tinggi” lebih bersifat pasti.

Pengaruh Hume dalam Perkembangan Positivisme

Filsafat positivisme berkembang dengan kuat berkat pengaruh empirisme David Hume serta pandangannya yang menolak realisme ilmiah. Menurut pendekatan ini, pengetahuan yang sahih mengenai fakta-fakta hanya dapat diperoleh melalui data observasi yang positif atau pembuktian logis. Entitas dan hukum teoretis seperti elektron atau gravitasi, yang tidak dapat diamati secara langsung, dianggap semata-mata sebagai alat untuk membuat prediksi ilmiah—bukan kenyataan objektif.

Photo of statue of David Hume, by Alexander Stoddard, photo taken by Bandan, 2013. Source: Wikimedia Commons
Photo of statue of David Hume, by Alexander Stoddard, photo taken by Bandan, 2013. Source: Wikimedia Commons

Pandangan seperti ini secara alami berujung pada penolakan terhadap metafisika. Hume sendiri pernah menyatakan secara keras:

“Ambillah sebuah buku—baik itu karya teologi atau metafisika skolastik—lalu tanyakan: Apakah di dalamnya terdapat penalaran abstrak tentang kuantitas atau angka? Tidak. Apakah terdapat penalaran eksperimental mengenai fakta dan eksistensi? Tidak. Maka, buanglah ke dalam api: sebab tidak ada yang terkandung di dalamnya selain tipu daya dan ilusi.”

Bahasa dan Logika sebagai Landasan Ilmu

Gerakan besar berikutnya dalam filsafat ilmu lahir dalam bentuk positivisme logis—atau empirisme logis, sebagaimana para pelakunya lebih suka menyebutnya. Mereka menghindari keterkaitan langsung dengan positivisme awal karena reputasi buruk yang melekat padanya. Namun, secara filosofis, positivisme logis tetap melanjutkan warisan para pendahulunya seperti Ernst Mach dan Richard Avenarius.

Gerakan ini terbagi menjadi dua kelompok utama: Lingkaran Wina (Vienna Circle) dan Masyarakat Berlin (Berlin Society). Di Wina, tokoh-tokohnya meliputi Rudolf Carnap, Otto Neurath, Hans Hahn, dan Moritz Schlick. Sementara itu, kelompok Berlin dipimpin oleh Hans Reichenbach.

Positivisme logis, seperti halnya positivisme klasik, lebih menyerupai gerakan intelektual daripada sistem filsafat yang kaku. Keduanya berbagi semangat untuk memperbaiki masyarakat. Para penganut positivisme logis ingin menyatukan seluruh ilmu pengetahuan melalui bahasa ilmiah yang terpadu dan menyingkirkan klaim-klaim tak terverifikasi yang mulai merasuki ruang publik—termasuk dalam dunia ilmiah sendiri.

Menariknya, banyak orang yang kemudian menyamakan positivisme dengan positivisme logis, padahal keduanya memiliki perbedaan fundamental, terutama dalam pendekatan terhadap bahasa dan logika.

Menyatukan Ilmu Pengetahuan Lewat Bahasa Ilmiah

Yang membedakan positivisme logis dari pendahulunya adalah pemanfaatan filsafat bahasa, teori makna, dan logika formal sebagai alat utama untuk mencapai tujuan ilmiah mereka.

The Tower of Babel by Pieter Bruegel the Elder, 1563. Source: Google Art Project
The Tower of Babel by Pieter Bruegel the Elder, 1563. Source: Google Art Project

Para filsuf dalam aliran ini meyakini bahwa logika dan matematika dapat berfungsi sebagai bahasa universal ilmu pengetahuan. Dengan merumuskan teori dan hukum ilmiah dalam bahasa yang tepat dan logis, mereka berharap dapat menghilangkan ambiguitas dan memperkuat ketepatan dalam komunikasi ilmiah lintas disiplin.

Gagasan ini terinspirasi dari Tractatus Logico-Philosophicus karya Wittgenstein serta karya Bertrand Russell dalam bidang logika. Keduanya menegaskan bahwa struktur bahasa mencerminkan struktur logis dunia, dan bahwa matematika dapat direduksi menjadi logika murni. Maka, kebenaran matematika tidak perlu ditopang oleh metafisika, melainkan dapat dijelaskan melalui struktur logika, sesuatu yang sangat menarik bagi para empiris.

Positivisme logis melanjutkan kerja Russell dengan mengembangkan lebih lanjut dikotomi Hume—yaitu antara kebenaran analitik dan sintetis. Mereka memodifikasinya dengan menegaskan bahwa kebenaran suatu pernyataan dapat diverifikasi baik melalui makna dan struktur logisnya sendiri (analitik) atau melalui observasi empiris (sintetis).

Prinsip Verifikasi dan Batas Ilmu Pengetahuan

Salah satu kontribusi paling penting dari positivisme logis adalah usahanya untuk memisahkan pernyataan yang bermakna secara ilmiah dari yang tidak. Untuk itu, mereka mengajukan prinsip verifikasi, yang awalnya dicetuskan oleh Wittgenstein. Prinsip ini menyatakan bahwa hanya pernyataan yang dapat diverifikasi secara analitik atau empiris yang memiliki makna ilmiah.

Konsekuensinya, pernyataan-pernyataan dalam ranah metafisika, etika, dan estetika tidak memiliki nilai kebenaran ilmiah dan dianggap tidak bermakna secara ilmiah. Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa ‘tidak bermakna’ dalam konteks ini hanya merujuk pada standar ilmiah. Secara filosofis atau manusiawi, pernyataan tersebut tetap dapat memiliki makna dan nilai.

Menguji Ulang Dasar Positivisme Logis

Positivisme logis, yang semula muncul sebagai proyek ambisius untuk menyatukan ilmu pengetahuan melalui bahasa ilmiah yang berbasis logika dan matematika, tidak luput dari tantangan serius yang menggoyahkan dasar-dasar utamanya. Meskipun semangat awalnya penuh optimisme, berbagai temuan dan kritik filosofis kemudian memperlihatkan batasan-batasan yang tidak bisa diabaikan.

Ulysses and the Sirens, John William Waterhouse, 1891. Source: Google Arts Culture
Ulysses and the Sirens, John William Waterhouse, 1891. Source: Google Arts Culture

Salah satu pukulan paling telak datang dari teorema ketidaklengkapan Gödel dan teorema ketidakterdefinisian Tarski. Kedua temuan ini menunjukkan bahwa bahkan sistem formal yang tampaknya ketat dan logis tetap memiliki keterbatasan mendasar—baik dalam hal kelengkapan maupun konsistensi. Implikasi dari temuan ini sangat besar, karena mengguncang keyakinan bahwa segala kebenaran ilmiah bisa dirumuskan secara utuh melalui logika formal.

Di sisi lain, konsep verifikasionisme—yang menjadi jantung dari positivisme logis—juga menghadapi persoalan mendasar. Prinsip ini menyatakan bahwa hanya pernyataan yang dapat diverifikasi secara empiris atau secara analitik yang dianggap bermakna secara ilmiah. Namun, muncul sebuah paradoks internal: prinsip verifikasi itu sendiri tidak dapat diverifikasi dengan kriteria yang ia ajukan. Ini menimbulkan dilema filosofis yang mengguncang legitimasinya sebagai pijakan teori ilmiah.

Kritik tajam juga datang dari W.V.O. Quine dalam esainya yang terkenal, Two Dogmas of Empiricism. Quine menolak pemisahan tegas antara kebenaran analitis (yang benar berdasarkan makna kata-kata) dan kebenaran sintetis (yang benar berdasarkan pengalaman). Ia menawarkan pendekatan holistik terhadap ilmu pengetahuan, di mana seluruh sistem keyakinan ilmiah saling berhubungan, dan kebenaran tidak dapat diisolasi hanya pada proposisi tertentu. Quine juga mengkritik upaya mereduksi makna ke pengalaman semata, dengan menegaskan bahwa makna terbentuk dari jaringan konseptual yang kompleks.

Semua kritik ini secara kolektif mengguncang fondasi positivisme logis dan mengantarkannya pada kemunduran sebagai aliran filsafat dominan. Meski demikian, gagasan-gagasan utama dari gerakan ini tidak lantas ditinggalkan, melainkan mengalami transformasi penting.

Respons Inovatif dari Rudolf Carnap

Rudolf Carnap, salah satu tokoh sentral dalam positivisme logis, tidak tinggal diam menghadapi krisis ini. Alih-alih mempertahankan model awal secara kaku, ia mengembangkan pendekatan yang lebih adaptif. Menyadari keterbatasan sistem formal akibat temuan Gödel, Carnap mulai mengalihkan fokus dari sintaksis ke semantik, dan memperluas ruang lingkup kajiannya pada makna serta nilai kebenaran dalam bahasa ilmiah.

Primavera, Sandro Botticelli, 1470-1480. Source: Google Arts & Culture
Primavera, Sandro Botticelli, 1470-1480. Source: Google Arts & Culture

Carnap juga merumuskan Prinsip Toleransi—sebuah pendekatan pragmatis yang menolak keharusan adanya satu bahasa ilmiah universal. Ia mengusulkan agar kerangka kerja ilmiah dapat bersifat pluralistik, selama tetap berlandaskan pada metode empiris yang sahih. Langkah ini membuka peluang bagi keragaman pendekatan dalam ilmu pengetahuan tanpa mengorbankan ketepatan atau koherensi ilmiahnya.

Lebih lanjut, Carnap memperkenalkan konfirmasionisme sebagai alternatif terhadap verifikasionisme yang ketat. Ia menyadari bahwa dalam praktik ilmiah, pembuktian absolut sangat jarang, dan bukti sering kali bersifat probabilistik. Dengan demikian, kebermaknaan ilmiah tidak harus ditentukan oleh verifikasi sempurna, melainkan cukup dengan tingkat keyakinan yang dapat dikonfirmasi secara empiris.

Carnap juga menjauh dari ambisi reduksionistik untuk mendefinisikan seluruh konsep ilmiah melalui pengamatan langsung. Ia mengakui kompleksitas dan saling keterkaitan antar-konsep dalam ilmu pengetahuan, sebuah pengakuan penting yang membawanya lebih dekat dengan pendekatan filsafat bahasa kontemporer.

Menyatukan Kritik dan Evolusi Filsafat Sains

Perkembangan pemikiran Rudolf Carnap dapat dilihat sebagai jembatan penting dalam transisi menuju postpositivisme, sebuah pendekatan baru dalam filsafat sains yang lahir dari kritik terhadap positivisme logis. Meski berangkat dari dasar-dasar positivisme klasik dan logis, postpositivisme tidak serta-merta menolaknya, melainkan mengembangkan dan melunakkan prinsip-prinsipnya. Gerakan ini menerima bahwa sains tidak lepas dari batas-batas rasionalitas dan empirisme, serta mengakui peran subjektivitas dan potensi kesalahan dalam proses ilmiah.

Prometheus Bound, Thomas Cole, 1847. Source: Google Arts Culture
Prometheus Bound, Thomas Cole, 1847. Source: Google Arts Culture

Kesadaran ini dipengaruhi oleh berbagai tokoh dan pemikiran, salah satu yang paling mencolok adalah filsafat revolusioner Thomas Kuhn. Kuhn memperkenalkan gagasan bahwa pengamatan tidak pernah netral, melainkan dibentuk oleh teori yang dianut seorang ilmuwan. Artinya, apa yang diamati seseorang sangat dipengaruhi oleh paradigma yang ia yakini. Pandangan ini menggugurkan klaim objektivitas murni yang dipegang positivisme, serta menggoyahkan harapan akan adanya bahasa ilmiah yang bersifat universal.

Sebagai respons, postpositivisme berkembang menjadi pendekatan yang lebih pluralis terhadap ilmu pengetahuan. Ia menerima bahwa kebenaran ilmiah bersifat mendekati, bukan mutlak, dan bahwa pemahaman ilmiah sering kali dimediasi oleh teori yang berlaku. Di sisi lain, pendekatan ini membuka ruang bagi bentuk realisme ilmiah yang lebih longgar, dengan tidak lagi menuntut keteramataan mutlak atas entitas ilmiah—sehingga memperbolehkan pengakuan terhadap keberadaan konsep dan fenomena yang tidak langsung teramati.

Apakah Positivisme Logis Benar-Benar Mati?

John Passmore pernah menyatakan bahwa “positivisme logis telah mati—atau setidaknya sama matinya dengan gerakan filosofis mana pun yang pernah ada” (1967, hlm. 57). Pernyataan ini banyak dikutip sebagai penutup resmi bagi gerakan tersebut. Namun, jika dilihat lebih dekat, apa yang “mati” sebenarnya bukanlah seluruh warisan pemikirannya, melainkan bentuk gerakan filosofisnya sebagai kolektif. Gagasan-gagasan dasarnya justru masih terus hidup dan menjadi fondasi bagi perkembangan filsafat ilmu berikutnya.

Dalam berbagai perdebatan, positivisme logis sering kali diposisikan secara karikatural—seolah-olah menolak seluruh nilai metafisika, menganggap etika dan estetika tak berguna, atau bahkan menolak hal-hal yang tidak dapat diamati sama sekali. Namun, ini merupakan simplifikasi berlebihan. Tokoh-tokoh positivisme logis tidak pernah sepenuhnya menolak keberadaan metafisika, melainkan menolak untuk memberinya status sebagai kebenaran ilmiah. Demikian pula, mereka tidak menafikan keberadaan entitas tak teramati, melainkan menilai entitas tersebut sebagai alat konseptual dalam membangun prediksi, bukan sebagai kebenaran mutlak.

Peran A. J. Ayer dan Warisan yang Salah Dimengerti

Salah satu penyebab utama kesalahpahaman terhadap positivisme logis adalah interpretasi yang dibentuk melalui karya A. J. Ayer. Melalui bukunya Language, Truth and Logic, Ayer memperkenalkan gagasan Lingkaran Wina ke publik berbahasa Inggris dengan cara yang lebih mudah dicerna dibanding tokoh seperti Carnap. Namun, justru karena kesederhanaan inilah, Ayer memusatkan perhatian pada prinsip verifikasi sebagai semacam dogma, padahal para pemikir asli seperti Carnap tidak pernah mengusulkan prinsip tersebut sebagai kebenaran universal.

Dengan demikian, bukan ide positivisme yang gagal, melainkan versi populer dan tereduksi yang terlalu menyederhanakan sains sebagai kegiatan murni rasional dan empiris. Harapan positivis logis untuk merumuskan satu bahasa sains yang universal, dan menggunakan logika bahasa untuk menetapkan kebenaran, memang tidak tercapai. Namun, cita-cita besar mereka tentang ketepatan, sistematisasi, dan ketertiban dalam sains tetap relevan hingga kini.

Dalam praktik filsafat sains kontemporer, banyak prinsip positivisme masih bertahan dalam bentuk yang telah diperbarui. Naturalisme dalam sains, serta semangat empiris yang terukur dan hati-hati, merupakan lanjutan dari warisan pemikiran positivis. Maka, menyebut positivisme logis sebagai kegagalan besar adalah tidak adil. Gerakan ini harus dilihat sebagai fondasi yang penting—yang meskipun telah dikoreksi dan disempurnakan, tetap menjadi titik tolak yang tidak tergantikan dalam memahami sifat dan metode ilmu pengetahuan.

Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like