
Sejak berabad-abad lalu, pemikir-pemikir besar dalam tradisi Islam telah bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis yang mendasar; Bagaimana hubungan antara Tuhan yang maha tak terbatas dengan makhluk ciptaan-Nya yang serba terbatas? Apakah alam semesta ini diciptakan dari ketiadaan ataukah ia telah ada sejak kekal? Dari manakah asal-usul kebaikan dan kejahatan? Apakah manusia benar-benar memiliki kehendak bebas, atau segala perbuatannya sudah ditentukan sebelumnya? Sejauh mana akal manusia dapat mencapai kebenaran, dan kapan wahyu Ilahi harus dijadikan pegangan?
Pertanyaan-pertanyaan ini melintas batas disiplin — mulai dari metafisika, etika, hingga epistemologi — dan hingga kini tetap sulit dijawab secara tuntas. Meskipun muncul dalam konteks tradisi intelektual Islam, sesungguhnya persoalan-persoalan ini bersifat universal dan tak lekang oleh waktu. Para filsuf Muslim klasik seperti Al-Farabi, Ibnu Sina (Avicenna), Al-Ghazali, dan Ibnu Rushd (Averroes) masing-masing menawarkan jawaban dan argumen yang brilian namun berbeda-beda, mencerminkan perdebatan yang kaya dan kompleks.
Dalam esai ini, kita akan menelusuri beberapa pertanyaan besar tersebut, memahami pandangan para filsuf besar Islam tentang isu-isu itu, dan merenungkan mengapa hingga kini pun pertanyaan-pertanyaan ini masih relevan dan penting. Dengan gaya naratif-argumentatif yang reflektif, mari kita masuki dunia pemikiran filsafat Islam, sembari tetap menjaga agar pembahasan ini dapat dinikmati baik oleh pembaca awam maupun kalangan pelajar dan akademisi.
Salah satu teka-teki metafisika terdalam dalam filsafat Islam adalah hubungan antara Tuhan dan makhluk ciptaan-Nya. Bagaimana Tuhan yang Esa, absolut, dan transenden dapat menjadi asal-usul bagi dunia materiil yang majemuk dan berubah? Pertanyaan ini menyentuh hakikat penciptaan dan mekanisme keterlibatan Tuhan dalam alam. Para filsuf Al-Farabi dan Ibnu Sina (Avicenna), yang dipengaruhi filsafat Yunani (terutama Neoplatonisme dan Aristotelianisme), mengemukakan teori emanasi. Menurut teori ini, Tuhan adalah Wujud Wajib (Necessary Existent) yang keberadaan-Nya mesti ada dengan sendirinya, dan dari kesempurnaan-Nya memancar (emanasi) keberadaan-keberadaan lain secara berjenjang.
Dalam pandangan mereka, Tuhan ibarat sumber cahaya yang memancarkan sinar secara terus-menerus; dari Tuhan memancar akal pertama, dari akal pertama memancar akal kedua, dan seterusnya, hingga terbentuklah hirarki kosmik yang akhirnya meliputi jiwa-jiwa dan benda-benda fisik. Dengan kerangka emanasi ini, Al-Farabi dan Ibnu Sina berusaha menjelaskan bagaimana Tuhan yang satu dan sederhana bisa menjadi sebab bagi keragaman makhluk tanpa mengalami perubahan dalam diri-Nya.
Ibnu Sina bahkan menyatakan bahwa secara rasional, penciptaan mesti dipahami sebagai proses di luar waktu – sebuah derivasi ontologis abadi. Bagi Ibnu Sina, dunia bisa bersifat kekal (tidak bermula) sekaligus tergantung pada Tuhan sebagai Pencipta secara mutlak. Artinya, alam semesta boleh jadi selalu ada sejak tak berawal, namun tetap saja ia “diadakan” oleh Tuhan secara terus-menerus. Ia menulis bahwa alam dianggap mubda’ (diciptakan secara absolut) namun juga azali (ada sejak kekal). Ibaratnya, Tuhan adalah api abadi dan alam semesta adalah panas yang terus menerus ada bersama api itu – tidak terpisah dari api, namun keberadaannya sepenuhnya bergantung pada api tersebut.
Pandangan filsafat semacam itu tentu menuai perdebatan. Al-Ghazali, seorang teolog dan filsuf Islam terkemuka abad ke-11, dengan tegas menolak ide bahwa makhluk memiliki eksistensi atau kekuatan tersendiri terlepas dari Tuhan. Baginya, segala sesuatu terjadi hanya karena kehendak dan kuasa Allah secara langsung. Ia menganut konsep yang kini dikenal sebagai okasionalisme: sebab-sebab alami tidak memiliki daya penciptaan hakiki; hanya kebiasaanlah yang membuat kita melihat seolah-olah api membakar kertas, padahal setiap kali terjadi pembakaran, itu semata-mata karena intervensi langsung Tuhan. Al-Ghazali bahkan menyatakan “peristiwa-peristiwa di alam tidak diatur oleh suatu keharusan logis atau hukum alam yang tetap, melainkan sepenuhnya oleh kehendak Allah”. Pandangan ini menunjukkan betapa bagi Al-Ghazali, hubungan Tuhan dan makhluk sangatlah intim: tidak ada satu detik pun alam berjalan lepas dari kuasa Tuhan.
Di sisi lain, Ibnu Rushd, filsuf dari Andalusia abad ke-12, mencoba mengambil jalan tengah. Ia mengkritik Al-Ghazali dan para teolog okasionalis yang seolah “meniadakan” hukum alam, sebab baginya Allah justru berkehendak menciptakan alam dengan keteraturan dan kausalitas tertentu. Menolak ide bahwa mengakui hukum alam berarti mengurangi kuasa Tuhan, Ibnu Rushd berargumen bahwa sebab-akibat di alam adalah bagian dari sunnatullah (hukum Tuhan juga). Manusia dapat mengakui adanya kekuatan atau power pada makhluk tanpa harus menyekutukan Tuhan, karena pada hakikatnya kekuatan itu pun diciptakan dan diatur oleh Tuhan.
Dalam soal hubungan antara kehendak Tuhan dan aksi makhluk, sebuah kajian modern merangkum pandangan tiga filsuf: Al-Farabi condong mengakui kehendak bebas manusia, Ibnu Sina cenderung deterministik (segala sesuatu terjadi karena rangkaian sebab-akibat yang niscaya), sedangkan Ibnu Rushd mengakui manusia memiliki daya untuk bertindak namun daya itu “ditentukan oleh sebab-sebab eksternal, dan pada akhirnya oleh Tuhan”. Dengan kata lain, menurut Ibnu Rushd, manusia dapat memilih, tetapi pilihannya terjadi dalam sistem kehendak ilahi yang lebih besar.
Hingga kini, topik relasi Tuhan-makhluk ini terus menggelitik para pemikir. Bagi orang beriman, ada kerinduan untuk memahami bagaimana Tuhan yang transenden dapat “dekat” dan mendengar doa, bagaimana doa dan ikhtiar manusia berperan jika Tuhan Mahakuasa. Bagi para filsuf, tantangannya adalah merumuskan hubungan kausal tanpa jatuh pada kontradiksi: apakah alam berjalan secara otomatis menurut hukum-Nya atau setiap momen diperbarui oleh Tuhan? Pertanyaan ini tetap sulit dijawab dengan tuntas. Yang jelas, baik pandangan emanasi para filsuf maupun okasionalisme para teolog sama-sama mencoba memuliakan keagungan Tuhan: yang pertama dengan menekankan keteraturan hikmah-Nya, yang kedua dengan menekankan kedaulatan kehendak-Nya.
Masih berhubungan dengan tema sebelumnya, pertanyaan besar lain dalam ranah metafisika adalah tentang asal-usul alam semesta: Apakah alam semesta ini diciptakan pada suatu titik awal (creatio ex nihilo), ataukah ia telah eksis sejak kekal bersama Tuhan? Pertanyaan ini menjadi sumber perdebatan panas antara para filsuf dan teolog. Secara teologis, ajaran agama (Islam, juga Kristen dan Yahudi) umumnya menyatakan bahwa alam ada awalnya – bahwa Tuhan menciptakan langit dan bumi dari ketiadaan. Al-Qur’an sendiri menegaskan, “Jika Allah menghendaki sesuatu, Dia hanya berfirman kepadanya: ‘Jadilah!’ Maka jadilah ia.” (QS 36:82). Ayat ini dipahami sebagai dalil bahwa Allah menciptakan sesuatu dari tiada menjadi ada hanya dengan kehendak-Nya.
Al-Ghazali, sesuai ortodoksi Islam, berpegang teguh pada pandangan bahwa alam diciptakan dan tidak kekal. Baginya, mengatakan alam tidak bermula sama saja mengingkari wahyu dan berarti menuduh para nabi berbohong dalam mengajarkan penciptaan. Tak heran, Al-Ghazali menganggap keyakinan akan kekalnya alam semesta sebagai kesesatan besar. Ia mencantumkan doktrin “alam tidak berawal” sebagai salah satu dari tiga doktrin filsafat yang ia vonis sebagai kufur (dua lainnya adalah penyangkalan bahwa Tuhan mengetahui partikular/peristiwa detail, dan penolakan kebangkitan jasmani).
Namun, para filsuf seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan kemudian Ibnu Rushd, memiliki pendekatan berbeda. Mereka dipengaruhi filsafat Aristoteles yang berpendapat bahwa alam semesta tak memiliki awal waktu, melainkan bergerak kekal sepanjang masa. Ibnu Sina berusaha melakukan sintesis: ia sepakat bahwa secara filosofi, tak masuk akal bila Tuhan “berubah pikiran” dari tadinya tidak mencipta lalu mulai mencipta; maka ia menerima konsep Aristotelian bahwa gerak alam itu kekal. Tapi sekaligus, Ibnu Sina ingin tetap menegaskan peran Tuhan sebagai Pencipta. Solusinya adalah konsep penciptaan abadi tadi: Tuhan mengadakan alam semesta bukan dengan tindakan di satu momen waktu, tetapi melalui keberadaan-Nya yang melimpah sepanjang masa. “Dunia,” menurut Ibnu Sina, “baik eternal sekaligus ciptaan Tuhan.” Dunia tergantung pada Tuhan sebagaimana cahaya tergantung pada matahari: cahaya ada selama matahari ada, sehingga dari sudut pandang itu cahaya seolah kekal bersama matahari; tetapi hakikatnya cahaya itu tetap hasil pancaran matahari. Dalam kata-kata suatu analisis modern, “Menurut Ibnu Sina, satu-satunya cara rasional memahami penciptaan adalah melihatnya sebagai derivasi ontologis di luar waktu. … Dunia bisa sekaligus kekal dan diciptakan”. Ia menegaskan Tuhan sebagai asal-usul wujud bagi segala yang selain-Nya, sehingga meskipun alam tak bermula dalam waktu, alam tetap kontingen (mungkin ada atau tiada) dan wajib bergantung pada Wujud Yang Niscaya (Tuhan).
Ibnu Rushd setuju bahwa tak ada kontradiksi antara Tuhan sebagai pencipta dengan alam yang kekal. Dalam karyanya Tahafut al-Tahafut (Inkoherensi dari Inkoherensi), ia membela gagasan para filsuf bahwa alam tak bermula, sembari mengkritik Al-Ghazali. Ibnu Rushd berargumen bahwa Qur’an sendiri tidak secara eksplisit dan tegas menyatakan “alam diciptakan dalam waktu” – penafsiran yang menarik dan kontroversial pada masanya. Bagi Ibnu Rushd, jika akal sehat dan demonstrasi filosofis menunjukkan alam itu kekal (sesuai sains filsafat saat itu), maka semestinya ayat-ayat wahyu yang tampak bertentangan ditafsirkan secara metaforis, bukan harfiah. Pandangan Ibnu Rushd ini selaras dengan prinsipnya bahwa “kebenaran (hakikat) tidak akan bertentangan dengan kebenaran” – kebenaran akal dan kebenaran wahyu pasti sejalan, karena keduanya bersumber dari Tuhan juga.
Bagi kita di era modern, perdebatan “alam berawal atau kekal” ini mendapat warna baru dengan adanya teori kosmologi Big Bang yang menunjukkan alam semesta mengembang dari titik awal. Banyak yang melihat Big Bang sebagai selaras dengan doktrin penciptaan (alam ada awalnya), namun pertanyaan filosofis lebih lanjut tetap muncul: Apa yang “ada” sebelum Big Bang? Mengapa bisa ada sesuatu bukannya ketiadaan sama sekali? Kalangan ilmuwan mungkin menjawab dalam ranah fisika, tetapi pertanyaan ontologis terdalam kembali ke ranah filsafat.
Hingga hari ini, pertanyaan apakah alam memerlukan awal sebab-akibat atau tidak masih menantang pemikiran. Masing-masing posisi menghadapi misterinya sendiri. Jika alam bermula, mengapa bermula saat itu dan apa pemicunya? Jika alam kekal, bagaimana menjelaskan ketergantungannya pada pencipta? Baik Al-Ghazali maupun Ibnu Sina mencoba menjawab dengan kapasitas akal dan iman mereka, namun bagi banyak orang, topik ini tetap menyimpan nuansa misteri teologis dan ilmiah. Yang jelas, diskusi ini mengajarkan keterbukaan pemikiran: bahwa tradisi Islam pun mengenal dialog antara “sains” (filsafat rasional) dan “doktrin agama” dalam menjawab asal-usul jagat raya.
Beralih ke etika, muncul pertanyaan besar: Apakah yang menjadi sumber dan tolok ukur kebaikan dalam perspektif Islam? Apakah sesuatu itu baik hanya karena diperintahkan dan dicintai oleh Tuhan, atau Tuhan memerintahkannya karena hal itu pada dirinya memang baik? Pertanyaan ini menyentuh meta-etika atau dasar moralitas. Dalam tradisi teologi Islam klasik, dikenal perdebatan antara kaum Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Kaum Mu’tazilah (sering disebut rasionalis Islam awal) berpendapat bahwa nilai baik dan buruk dapat diketahui oleh akal manusia secara inheren (al-husn wa al-qubh al-‘aqliyyan). Bagi mereka, akal dapat menilai keadilan, kejujuran, keberanian, dll. sebagai hal-hal yang baik, terlepas dari apakah ada perintah agama eksplisit atau tidak – inilah mengapa Mu’tazilah sangat menekankan konsep keadilan Tuhan: Tuhan pasti hanya memerintahkan yang baik karena Tuhan Mahabijak dan adil. Sebaliknya, kaum Asy’ariyah (yang lebih skripturalis, dan Al-Ghazali termasuk dalam tradisi ini) menolak penilaian moral independen semacam itu. Bagi Asy’ariyah, baik dan buruk sepenuhnya ditentukan oleh Allah: jika Allah memerintahkan sesuatu, itulah kebaikan; jika melarang, itulah keburukan. Akal manusia tanpa bimbingan wahyu dianggap tidak mampu menentukan mana yang benar-benar baik atau buruk secara absolut. Implikasi pandangan Asy’ariyah ini disebut teori “perintah ilahi” (divine command theory) dalam etika: moralitas bersumber pada kehendak Tuhan.
Lalu, di manakah posisi para filsuf seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, dan Ibnu Rushd dalam perdebatan ini? Menariknya, sekalipun Al-Ghazali teolog Asy’ari, dalam praktik tasawuf dan etika ia banyak menekankan pembentukan akhlak mulia yang sejatinya bernilai intrinsik – meski tetap, landasan utamanya adalah agar sesuai dengan ridha Allah. Sementara itu, Al-Farabi dan Ibnu Sina cenderung mengadopsi pandangan etika yang dipengaruhi oleh Aristoteles dan Plotinus. Mereka melihat kebaikan tertinggi manusia adalah mencapai sa’adah (kebahagiaan) melalui kesempurnaan akal dan jiwa. Dalam Madinah al-Fadilah (Negara Utama) karya Al-Farabi, digambarkan bahwa masyarakat ideal dipimpin oleh orang bijak yang mengetahui kebaikan sejati; moralitas dihubungkan dengan tatanan kosmis dan akal. Kebaikan identik dengan kesempurnaan dan kebajikan (virtue) yang mengantar manusia pada tujuan akhir (kesempurnaan intelektual dan kebahagiaan). Dengan kata lain, ada standar kebaikan obyektif: suatu tindakan dianggap baik jika mengarah pada kesempurnaan hakiki manusia.
Ibnu Rushd secara eksplisit mengemukakan bahwa konsep moral tidak boleh disamakan begitu saja dengan perintah agama. Ia mengikuti jejak Aristoteles dalam etika, dengan mengatakan bahwa setiap sesuatu memiliki tujuan akhir (teleologi) sesuai natura-nya, dan baik-buruknya sesuatu diukur dari apakah ia mencapai tujuan alamiahnya atau tidak. Misalnya, keadilan adalah baik karena ia menjaga harmoni dan memenuhi tujuan sosial manusia, bukan semata-mata karena ada ayat atau hadis yang memerintahkannya. Tentu saja Ibnu Rushd mengakui otoritas Syariat, tetapi ia menolak pandangan bahwa tanpa wahyu manusia tak tahu apa-apa tentang kebaikan. Salah satu penjelasan menarik mencatat: “Ibnu Rushd berpendapat bahwa harus dibedakan antara konsep moral dan perintah ilahi. Ia mengikuti pendekatan Aristotelian. Karena segala sesuatu punya natur (fitrah), dan natur inilah yang menentukan tujuannya, maka kita sebagai makhluk juga punya natur dan tujuan akhir…”. Pernyataan ini menunjukkan Ibn Rushd mengakui akal budi mampu menangkap nilai-nilai moral dari memahami natur manusia sebagaimana diciptakan Tuhan. Bahkan, ada lanjutan argumennya yang menyebut bahwa tindakan bermoral harus disertai pilihan sadar, bukan sekadar kebiasaan atau ikut-ikutan. Ia mengkritik ketaatan yang “buta” tanpa memahami makna kebaikan sebagai kurang bernilai. Pandangan Ibn Rushd ini sejalan dengan filsafat etikanya bahwa kebajikan moral juga membawa kebahagiaan (kesejahteraan jiwa), sehingga menjalankan moralitas sejalan dengan fitrah manusia.
Meski para filsuf cenderung mengakui peran akal dalam memahami kebaikan, mereka tetap melihat Tuhan sebagai Sumber Utama segala kebaikan. Ibnu Sina, misalnya, memandang Tuhan sebagai “kebaikan murni” (al-khayr al-mahd), sehingga segala kebaikan di alam ini adalah pancaran dari kesempurnaan dan kebaikan Tuhan. Dalam filsafat Ibnu Sina, sesuatu itu baik jika sesuai dengan maksud penciptaannya oleh Tuhan. Dengan begitu, perintah Tuhan bukanlah sewenang-wenang; Tuhan memerintahkan yang baik karena Tuhan Maha Mengetahui hakikat kebaikan tersebut bagi makhluk-Nya. Bagi kalangan sufi seperti Al-Ghazali, sumber kebaikan juga terletak pada dekatnya hati dengan Tuhan: akhlak yang baik adalah refleksi dari Asma’ul Husna (sifat-sifat Tuhan yang mulia) dalam diri manusia. Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din menulis bahwa hati laksana cermin yang bisa memantulkan cahaya Ilahi; jika hati dibersihkan dari karat dosa, ia akan memantulkan sifat-sifat terpuji (seperti kasih sayang, sabar, adil) yang sejatinya milik Allah. Dengan gaya sufistik, ia menyatakan “hatimu ibarat cermin yang dipoles, memantulkan cahaya keindahan Ilahi; itulah sumber segala kebajikan”. Jadi, dalam tasawuf, kebaikan moral bersumber dari peneladanan sifat Tuhan (takhalluq bi akhlaqillah).
Pada akhirnya, pertanyaan tentang sumber kebaikan ini masih terbuka nuansanya. Apakah akal atau hati manusia dapat berdiri sendiri menilai moral? Kaum beragama akan berkata, tanpa bimbingan Tuhan, moralitas mudah tersesat. Namun kaum filsuf akan menambahkan, Tuhan juga menganugerahkan akal sebagai kompas etik, agar manusia dapat menghargai kebaikan bukan semata karena “dogma” tetapi karena menyadari kemuliaannya. Dalam kehidupan modern, isu ini muncul dalam bentuk perdebatan etika universal vs etika agama. Apakah nilai-nilai seperti keadilan, kejujuran, kasih sayang bersifat universal dan bisa disepakati lintas agama-budaya (dengan akal sebagai pemandu), ataukah landasan terkuatnya harus karena keimanan kepada Tuhan? Filsafat Islam klasik menunjukkan bahwa kedua aspek ini sebenarnya dapat saling melengkapi. Para filsuf seperti Ibn Rushd mengingatkan bahwa moralitas punya rasionalitasnya sendiri, sedangkan ulama seperti Al-Ghazali mengingatkan bahwa tanpa cahaya Ilahi, akal bisa terbatas jangkauannya. Keduanya mengajak kita merenung lebih dalam tentang hakikat kebaikan – sebuah pertanyaan yang hingga kini belum punya satu jawaban tunggal, tetapi pencariannya memperkaya khazanah pemikiran manusia.
Pertanyaan etika berikutnya yang tak kalah pelik: Apakah manusia memiliki kehendak bebas (free will) ataukah segala tindak-tanduknya sudah ditakdirkan Tuhan (predestinasi)? Pertanyaan ini sebenarnya menjembatani teologi, filsafat, dan etika, karena terkait tanggung jawab moral manusia di hadapan Tuhan. Dalam Islam, paradoks ini sudah muncul sejak awal: di satu sisi Al-Qur’an menyuruh manusia beriman dan beramal shalih, seolah menegaskan pilihan ada di tangan manusia; di sisi lain, terdapat ayat-ayat tentang takdir bahwa Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk siapa yang Dia kehendaki, yang menekankan dominasi kehendak Tuhan.
Isu kehendak bebas vs takdir ini melahirkan sekte-sekte teologis pada Islam awal: Qadariyah (atau Mu’tazilah) yang sangat menekankan kehendak bebas manusia, versus Jabariyah yang menyatakan manusia terpaksa (majbur) oleh takdir Tuhan. Mu’tazilah, seperti diuraikan sebelumnya, memandang keadilan Tuhan menuntut adanya kehendak bebas: “Jika segala perbuatan manusia Allah yang menentukan sepenuhnya, lalu mengapa manusia dihukum atas dosa? Keadilan Tuhan mengharuskan bahwa manusia punya pilihan agar pantas dimintai pertanggungjawaban.” Tokoh-tokoh rasionalis awal berkata: “Tidak mungkin Allah memerintahkan sesuatu kepada manusia padahal manusia tak mampu melakukannya”. Maka, manusia harus punya kemampuan (ikhtiar) untuk memilih baik atau buruk, barulah perintah dan larangan Tuhan bermakna. Sebaliknya, kubu Jabariyah (fatalis) dan belakangan sebagian Asy’ariyah mengatakan bahwa menisbatkan “kekuatan” atau “kehendak” otonom kepada manusia mengurangi kemahakuasaan Allah. Mereka berargumen, semua yang terjadi pasti atas izin Allah; kalau ada sesuatu yang Allah tak kehendaki tapi terjadi, bukankah itu berarti kehendak Allah dikalahkan? Maka mereka cenderung berkata manusia sesungguhnya tidak punya free will dalam arti sesungguhnya. Al-Ghazali, sebagai teolog Asy’ari, mengambil jalan tengah versi Asy’ariyah: dikenal dengan teori kasb (akuisisi). Menurutnya, setiap perbuatan manusia diciptakan oleh Allah, namun manusia mengakuisisi perbuatan itu melalui niat dan usahanya, sehingga ia tetap layak disifati “melakukan” dan dimintai tanggung jawab. Teori ini sendiri terkenal samar-samar dan diakui Al-Ghazali sebagai “misteri takdir yang sulit diungkap”. Ia pernah berkata, “Takdir adalah rahasia Tuhan; terlalu dalam untuk diukur akal”. Meski secara praktik Al-Ghazali tetap menyuruh orang berusaha seolah-olah punya kehendak bebas, secara teoretis ia condong bahwa kekuasaan Tuhan-lah yang dominan dan kehendak manusia harus selalu berserah pada-Nya.
Bagaimana dengan para filsuf? Menariknya, dalam soal ini mereka tidak satu suara. Penelitian modern oleh Catarina Belo menunjukkan perbedaan pandangan: Al-Farabi nampaknya mendukung adanya kehendak bebas manusia, sedangkan Ibnu Sina menganut pendekatan yang lebih deterministik (segala sesuatu termasuk tindakan manusia mengikuti causal chain yang ketat), dan Ibnu Rushd mengakui semacam kehendak pada manusia namun tetap berada dalam kerangka takdir Ilahi. Mengapa Ibnu Sina deterministik? Karena dalam kosmologi dan metafisika emanasi Ibnu Sina, semua peristiwa merupakan konsekuensi niscaya dari sebab-sebab sebelumnya, berpuncak pada Tuhan sebagai Penyebab Pertama. Ibnu Sina sangat dipengaruhi gagasan bahwa setiap akibat pasti punya sebab adekuat, sehingga di alam semesta (termasuk dalam diri manusia) tidak ada ruang bagi kejadian acak tak bersebab. Bagi Ibnu Sina, Tuhan mengetahui segalanya sejak azali; Ia menetapkan tatanan sebab-akibat, maka kebebasan makhluk tampak lebih sebagai ilusi – atau setidaknya kebebasan yang terbatas dalam koridor sebab akibat tersebut. Meski begitu, Ibnu Sina tetap menilai manusia bertanggung jawab secara moral, karena manusia memiliki akal untuk memahami baik-buruk dan nafsu untuk dikendalikan, sehingga ada pergulatan batin yang menentukan kualitas jiwanya.
Ibnu Rushd menawarkan perspektif yang menarik: ia menolak perdebatan ekstrem fatalisme vs free will sebagai salah paham. Menurutnya, manusia memang memiliki kemampuan (qudrah) untuk memilih dan bertindak – ini nyata dalam pengalaman sehari-hari dan perlu untuk etika dan hukum. Namun, kemampuan itu sendiri diciptakan oleh Tuhan, begitu pula situasi-situasi yang mempengaruhi pilihan manusia. Jadi manusia bebas dalam lingkup kemampuannya, tetapi lingkup itu ada dalam genggaman takdir Tuhan juga. Ia mencontohkan, manusia bebas untuk bergerak, namun ruang geraknya ada batasnya, dan ia tidak bebas untuk tidak diciptakan atau tidak diberi sifat-sifat tertentu oleh Tuhan. Dengan pandangan semacam ini, Ibnu Rushd mencoba mempertahankan akal sehat (bahwa kita merasa memilih) sekaligus keimanan (bahwa Allah Maha Berkuasa). Ada kutipan ringkas yang dapat mewakili sintesis Ibnu Rushd: “Manusia memiliki daya untuk bertindak, namun daya ini ditentukan oleh faktor-faktor luar dan pada akhirnya oleh Tuhan”. Pandangan serupa ini pada masa kini dikenal sebagai compatibilism (upaya mengkompatibelkan free will dengan determinisme).
Perdebatan kehendak bebas vs takdir jelas bukan unik dalam Islam; dalam filsafat Barat pun sejak zaman Stoa vs Epicurean, Augustinus vs Pelagius, hingga era modern (debat free will vs neuroscience), isu ini selalu muncul. Namun, menarik untuk melihat bahwa intelektual Muslim klasik telah lebih dari seribu tahun lalu memikirkannya secara mendalam. Bagi mereka, isu ini bukan sekadar logika, melainkan punya dampak spiritual: Jika semua ditakdirkan, apakah ikhtiar dan doa ada gunanya? Jika manusia bebas, apakah doa mengubah rencana Tuhan? Mereka mencari jawaban yang memuaskan nalar sekaligus sejalan dengan iman. Sampai sekarang, banyak orang beriman memegang misteri ini dengan sikap praktis: “Berusahalah seakan-akan bebas, berserahlah karena tahu takdir di tangan Tuhan.” Filsafat Islam memberikan landasan intelektual untuk sikap itu. Misalnya, Al-Ghazali setelah panjang lebar berdebat akhirnya menyimpulkan, “Peganglah teguh keyakinan bahwa apapun dari usahamu takkan berhasil tanpa izin Allah, namun Allah tidak akan menyia-nyiakan usahamu.” Dengan kata lain, kebebasan dan ketergantungan berjalan bersama. Apakah ini memuaskan secara logis? Mungkin tidak sepenuhnya – makanya disebut pertanyaan sulit. Tetapi dalam kerangka iman, paradoks ini justru mendalamkan rasa tawakal sekaligus tanggung jawab. Bagi para filosof sekuler, tentu perdebatan ini juga lanjut ke soal apakah free will benar-benar ada jika alam semesta diatur hukum fisika. Uniknya, pemikiran modern pun menggemakan kembali dilema yang sama. Jadi, sekali lagi, kita temukan pertanyaan klasik filsafat Islam ternyata masih menjadi pertanyaan umat manusia secara umum.
Pertanyaan terakhir yang akan kita bahas berada di ranah epistemologi: Sejauh mana akal manusia mampu memperoleh kebenaran tertinggi? Apakah wahyu (pesan Ilahi melalui para Nabi) diperlukan karena akal punya batas, atau bisakah keduanya berjalan seiring tanpa konflik? Ini adalah soal hubungan akal dan wahyu, atau filsafat dan agama. Dalam sejarah Islam, isu ini menjadi pusat perdebatan antara filsuf (falasifah) dan teolog (mutakallimun) serta sufi.
Para filosof Muslim seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rushd umumnya memiliki keyakinan kuat pada kemampuan akal (‘aql) untuk mencapai kebenaran tentang realitas, termasuk tentang Tuhan. Mereka mewarisi optimisme intelektual dari Aristoteles dan Plato. Al-Farabi, misalnya, melihat filsafat (akal) dan agama (wahyu) sebagai dua jalan menuju satu kebenaran. Ia mengibaratkan agama sebagai versi simbolis dari filsafat: kebenaran filosofis yang mendalam dikemas oleh para Nabi dalam bentuk imajinatif, perumpamaan, dan hukum-hukum praktis agar dapat dipahami masyarakat umum. Bagi Al-Farabi, filosof dan nabi pada hakikatnya mencari kebenaran yang sama; bedanya, nabi memiliki kekuatan imajinasi luar biasa yang bisa mengungkap konsep filosofis tinggi menjadi bahasa perumpamaan dan etika yang dapat diakses orang awam. Dengan pandangan ini, Al-Farabi menganggap tak ada pertentangan esensial antara akal dan wahyu – keduanya bersumber dari Tuhan. Hanya saja, ia juga percaya bahwa tidak semua orang mampu mencapai kebenaran melalui akal murni (filsafat); itulah mengapa wahyu diperlukan, demi memberi panduan yang pasti dan mudah difahami.
Ibnu Sina sependapat bahwa kebenaran tertinggi satu adanya. Ia sendiri selain filosof, juga seorang mistikus (dalam karya seperti Haiy ibnu Yaqzan ia menuliskan pengalaman spiritual). Ibnu Sina mengakui bahwa setelah akal mencapai batas tertentu, ada penyingkapan intuitif (makrifat) yang bersifat ilham. Dalam teori kenabian Ibnu Sina, dijelaskan bahwa nabi memiliki akal aktif yang sangat kuat sehingga bisa menangkap ilmu langsung dari Akal Aktif (yakni sumber ilmu ilahi dalam kosmologi emanasi) tanpa perlu proses belajar biasa. Ini seakan menjembatani akal dan wahyu: wahyu adalah ilmu yang dipercepat dan difasilitasi Tuhan melalui medium malaikat, sehingga seorang Nabi bisa sekejap mengetahui apa yang bagi filosof butuh puluhan tahun renungan. Namun, perlu digarisbawahi, para filosof ini percaya apa yang disampaikan wahyu pada dasarnya tidak akan bertentangan dengan kesimpulan akal yang benar.
Ibnu Rushd menegaskan prinsip tersebut secara eksplisit: “kebenaran demonstratif (akal) tidak akan bertentangan dengan apa yang dibawa Kitab Suci, sebab kebenaran tidak mungkin berlawanan dengan kebenaran”. Baginya, jika ada wahyu tekstual yang nampak bertentangan dengan hasil demonstrasi akal yang pasti, maka ayat wahyu itu harus ditafsirkan secara kiasan/allegoris, bukan ditolak. Inilah jurus ta’wil yang ia ajukan dalam kitab Fasl al-Maqal (Risalah Penentuan Hubungan antara Filsafat dan Syariah). Ia bahkan mengutip hadis bahwa Qur’an memiliki makna lahir dan batin, mengisyaratkan bahwa makna lahir diperuntukkan bagi orang awam, sedang makna batin (yang sering bersifat alegoris) bisa dipahami oleh kalangan cendekia yang mendalam ilmunya. “Tidak ada pertentangan antara kebenaran agama dan kebenaran filsafat, karena kebenaran itu koheren satu sama lain, saling menjadi saksi”, tulis Ibnu Rushd. Prinsip ini kemudian dikenal sebagai konsep “Double Truth” (meski istilah ini bisa menyesatkan) – maksudnya, dua jalan kebenaran yang tampak berbeda (akal dan wahyu) pada hakikatnya tiba pada satu kebenaran, bukan dua kebenaran yang kontradiktif.
Namun, pandangan optimis di atas mendapat tentangan dari kubu teolog seperti Al-Ghazali. Uniknya, Al-Ghazali tidak anti-akal sama sekali. Ia sendiri menguasai filsafat dan logika, dan mengakui manfaatnya dalam ranah terbatas. Akan tetapi, melalui pengalaman intelektual dan spiritualnya, Al-Ghazali menyadari batas-batas akal manusia. Dalam autobiografinya al-Munqidz min al-Dhalal (Deliverance from Error), Al-Ghazali menceritakan bagaimana ia meragukan segala sesuatu yang dapat diragukan, termasuk kemampuan pancaindra dan akal, hingga ia jatuh dalam skeptisisme. Ia baru pulih dari krisis tersebut, menurut pengakuannya, berkat cahaya Ilahi yang menerangi hatinya. Ia menulis, “Aku terbebas dari keraguan bukan oleh rangkaian argumen logis, melainkan oleh cahaya yang Allah pancarkan ke dalam hatiku — cahaya yang menerangi ambang semua pengetahuan”. Cahaya ilahi inilah yang ia maknai sebagai hidayah langsung dari Tuhan, suatu bentuk pengetahuan yakin yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang mencari dengan ikhlas. Bagi Al-Ghazali, akal itu penting sebagai alat, tetapi ia seperti mata yang membutuhkan cahaya agar bisa melihat. Cahaya itu adalah wahyu dan juga pengalaman spiritual. Akal tanpa wahyu diibaratkan berusaha melihat dalam gelap.
Dalam karyanya Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filosof), Al-Ghazali menunjukkan contoh konkret keterbatasan akal filosofis. Ia mengkritik 20 poin ajaran filsuf, terutama tiga poin yang dianggapnya bertentangan dengan iman (kekalnya alam semesta, Tuhan tidak tahu perincian, tiadanya kebangkitan jasmani). Menariknya, metode Al-Ghazali dalam mengkritik bukan sekadar “karena Qur’an berkata sebaliknya”, tetapi ia masuk ke argumen para filosof dan berusaha menunjukkan bahwa argumen mereka tidak kokoh menurut standar filsafat sendiri. Strategi ini di satu sisi menunjukkan penghormatan Al-Ghazali pada logika (ia meladeni debat rasional), namun di sisi lain tujuannya untuk menegaskan bahwa akal manusia gampang terpeleset jika berjalan tanpa lampu wahyu. Setelah Tahafut, Al-Ghazali menulis al-Munqidz yang menegaskan bahwa kepastian tertinggi datang dari dzauq (rasa spiritual) lewat jalan sufi, yang dipandu oleh syariat Islam. Jadi, bagi Al-Ghazali, puncak kebenaran bukan di nalar filosofis, tetapi pada makrifatullah (mengenal Allah) secara langsung di kedalaman hati.
Di sinilah tampak dua model penyelesaian “konflik” akal-wahyu dalam Islam: model Ibnu Rushd yang harmonis rasional (akal dan teks suci harus ditafsirkan hingga selaras, tidak boleh ada pertentangan), dan model Al-Ghazali yang hierarkis sufistik (akal itu penting tapi lebih rendah dari intuisi wahyu; jika bertentangan, akal harus takluk pada wahyu, atau minimal akal mengakui ketidakmampuannya). Kedua tokoh ini sama-sama berpengaruh besar. Menurut catatan sejarah filsafat, pendekatan Al-Ghazali diterima luas oleh teolog Sunni belakangan – mereka mengadopsi “kaidah” Al-Ghazali bahwa bila ada konflik antara dalil akal yang pasti vs teks wahyu yang zhahir, maka teks itu ditakwil (ini pun mirip dengan Ibnu Rushd sebenarnya, hanya kriteria “pasti” yang berbeda). Di pihak lain, Ibnu Rushd justru lebih diikuti oleh pemikir Eropa Latin (dijuluki Averroisme) ketimbang di dunia Islam sendiri pada masa itu. Namun belakangan, pemikiran Ibnu Rushd diapresiasi ulang oleh sebagian intelektual Muslim modern yang ingin menekankan rasionalitas dalam beragama.
Bagi kita sekarang, isu batas akal dan wahyu terlihat nyata dalam berbagai diskusi: dari perbedaan pendapat sains modern dengan tafsir harfiah kitab suci, hingga pertanyaan apakah hukum agama boleh dikaji ulang dengan pendekatan rasional demi kemaslahatan. Kaum konservatif cenderung menarik rem dengan berkata “akal ada batasnya, ikuti teks dan tradisi”, sedangkan kaum progresif berkata “wahyu tidak anti-akal; justru akal adalah anugerah Tuhan, sehingga pemahaman wahyu harus rasional dan kontekstual”. Lagi-lagi, pertanyaan sulit ini tidak memiliki satu jawaban final yang disepakati semua pihak. Yang menarik, tradisi filsafat Islam klasik telah menyediakan kerangka untuk dialog tersebut.
Ibnu Rushd memberi bekal keberanian intelektual bahwa menalar iman bukanlah dosa, sedangkan Al-Ghazali memberi peringatan agar rendah hati: bahwa ada misteri ketuhanan yang mungkin tak tersentuh hanya dengan logika. Keduanya sebenarnya tidak ekstrim: Al-Ghazali tidak menolak akal (ia justru pakar logika), dan Ibnu Rushd tidak menafikan wahyu (ia hafal Quran dan menjadi Qadhi/Hakim). Mereka bertemu dalam keyakinan bahwa ujung dari segala pencarian adalah kebenaran Ilahi juga, hanya berbeda penekanan jalannya. Maka, perdebatan akal-wahyu di kalangan cerdik cendekia Muslim sebaiknya dipahami bukan sebagai konflik destruktif, melainkan sebagai dinamika kreatif yang telah memperkaya khazanah intelektual Islam.
Setelah menelusuri berbagai pertanyaan filsafat Islam yang sulit dijawab ini, timbul sebuah renungan: Mengapa kita masih peduli pada pertanyaan-pertanyaan kuno ini di tengah kehidupan modern yang serba praktis? Jawabannya mungkin karena pertanyaan-pertanyaan tersebut bersifat fundamental bagi kemanusiaan. Di era kemajuan teknologi dan sains seperti sekarang, manusia masih bergumul dengan hal-hal mendasar: mencari makna asal-usul alam semesta (apakah melalui sains kosmologi maupun teologi penciptaan), menentukan landasan moral dalam menghadapi dilema etis kontemporer, mempertahankan keyakinan akan tanggung jawab pribadi di tengah pemahaman baru tentang psikologi dan genetik (apakah segalanya ditentukan faktor luar?), serta menyeimbangkan antara rasionalitas dengan spiritualitas. Pertanyaan-pertanyaan metafisika, etika, dan epistemologi yang dibahas di atas pada hakikatnya adalah pertanyaan tentang jati diri kita sebagai manusia berpikir dan beriman.
Filsafat Islam menawarkan contoh bahwa tradisi keagamaan dapat berdialog dengan pemikiran rasional secara serius. Kita melihat para tokoh seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, dan Ibnu Rushd berani mengajukan pertanyaan kritis dan menyodorkan argumen-argumen cemerlang. Mereka tidak puas dengan jawaban dangkal atau tautologi; mereka mengeksplorasi sampai ke akar persoalan. Sikap inilah yang patut kita warisi di era modern: keberanian untuk mempertanyakan, keikhlasan untuk mencari kebenaran, dan kerendahan hati untuk mengakui keterbatasan diri.
Tentu, masing-masing orang bisa jadi condong ke jawaban yang berbeda atas pertanyaan-pertanyaan di atas, tergantung latar belakang ilmu, keyakinan, dan pengalaman hidupnya. Namun, esensi yang lebih penting adalah proses bertanya dan mencari itu sendiri. Dalam Islam, berpikir dan merenung dianjurkan: “Afala tatafakkarun” – “Tidakkah kamu mau berpikir?” demikian teguran Al-Qur’an berulang kali. Tradisi filsafat Islam adalah pengejawantahan dari semangat tafakkur tersebut. Pertanyaan tentang Tuhan dan makhluk, tentang takdir dan kehendak, tentang akal dan wahyu, pada akhirnya mendorong kita untuk mengenal Tuhan dan diri kita lebih dalam.
Di kehidupan modern, mungkin format pertanyaannya sedikit berubah bentuk: misalnya, perdebatan penciptaan versus evolusi, perumusan etika bio teknologi (apakah moralitas bersumber pada agama atau nilai kemanusiaan universal?), perbincangan tentang free will di era neurosains (apakah otak menentukan semua keputusan kita?), serta diskusi hubungan ilmu dan agama. Semua itu adalah lanjutan dari pertanyaan-pertanyaan klasik yang kita bahas. Dengan mempelajari pergulatan para filsuf terdahulu, kita mendapat perspektif historis dan intelektual yang kaya. Kita belajar bahwa mencari jawaban adalah perjalanan panjang lintas generasi. Kita mungkin tidak tiba di satu kesimpulan tunggal yang disetujui semua orang, tetapi proses pencarian tersebut mengasah pemikiran dan menguatkan iman dengan cara yang lebih dewasa.
Akhir kata, pertanyaan-pertanyaan filsafat Islam ini mengajarkan kepada kita nilai sebuah pertanyaan. Bahwa kadang, mengajukan pertanyaan yang tepat lebih penting daripada segera memiliki jawaban yang simpel. Pertanyaan ibarat obor yang menerangi perjalanan intelektual dan spiritual. Selama obor itu terus menyala, kita tidak akan terjebak dalam kegelapan fanatisme buta atau kejumudan pikiran. Dalam dunia modern yang sering terpolarisasi antara kubu rasional vs kubu religius, menggali khazanah filsafat Islam klasik bisa menjadi jembatan: menunjukkan bahwa iman dan akal pernah (dan seharusnya bisa) berdialog mesra. Mempertanyakan hal-hal besar dalam hidup – tentang Tuhan, alam, kebaikan, kebebasan, dan pengetahuan – adalah upaya merawat jiwa kita agar tetap haus akan kebenaran. Dan sebagaimana kata bijak, “mencari kebenaran adalah ibadah akal dan hati”. Semoga dengan terus bertanya dan berpikir mendalam, kita tidak hanya mewarisi kecerdasan para pendahulu, tapi juga menyerap kebijaksanaan mereka dalam menjalani kehidupan modern ini.
Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.