Menyoal Kiblat Reformasi6 min read

Merekahnya fajar reformasi pada 21 Mei 1998 menandai babak baru sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia. Landskap kehidupan bangsa Indonesia serentak mengalami transformasi. Hal yang menandai transformasi tersebut adalah hadirnya mekanisme multipartai, terbukanya kebebasan mengemukakan pendapat, kemerdekaan pers dengan menjamurnya penerbitan, program besar desentralisasi atau otonomi daerah, munculnya lembaga-lembaga demokrasi seperti lembaga pemilihan umum, dan lembaga penegakan hukum yang independen seperti KPK.

Kini usia reformasi sudah mencapai duapuluh tiga tahun. Namun yang menjadi pertanyaan fundamentalnya ialah apakah reformasi yang sudah diglorifikasi itu sudah membawa transformasi yang signifikan? Tentu ini menjadi pertanyaan reflektif yang tidak mudah dijawab. Sebab jika mengendus sepakterjang perjalanan reformasi selama dua puluh tiga tahun ini, kita akan melihat lika-liku, gejolak, carut-marut dan dinamika yang cukup variatif.

Lika-liku, carut-marut dan gejolak itu dapat kita lihat dalam sejumlah persoalan krusial yang sedang mendera dan menggerogoti KPK, hukum, Pers, partai politik, dan proyek desentralisasi yang diimplementasikan selama ini. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada awal tulisan ini bahwa lembaga-lembaga tersebut merupakan buah-buah reformasi yang bertujuan untuk menopang jalannya roda demokrasi. Kendati demikian, saya melihat bahwa kiprah lembaga-lembaga tersebut dalam menopang roda demokrasi kini mengalami sejumlah tantangan besar, baik yang datang dari dalam lembaga itu sendiri maupun yang datang dari luar.

Pertama; masalah yang mendera KPK. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa KPK merupakan lembaga independen yang berfungsi untuk memberantas kejahatan korupsi. Sebagai lembaga independen, KPK seyogyanya memiliki privelese dan ruang gerak yang luas sehingga ia bisa bekerja maksimal. Namun demikian, apa yang kita lihat sekarang ini berbanding terbalik. Ruang gerak KPK malah dikriminalisasi, dilemahkan dan diamputasi oleh pelbagaimacam regulasi yang ditelurkan oleh pemerintah dan parlemen. Nampaknya pemerintah dan parlemen tidak lagi menganggap bahwa agenda pemberantasan korupsi merupakan hal yang sangat krusial dalam era reformasi. Implikasinya praktik penyelewengan kekuasaan menjamur di mana-mana. KKN pun semakin sulit diberantas karena beberapa tim penyidik handal KPK terpaksa dieliminasi saat tes wawasan kebangsaan.

Kedua; masalah yang mendera hukum. Indonesia merupakan negara hukum. Hal ini termaktub dalam undang-undang dasar 1945, pasal 1 ayat (3). Dalam negara demokrasi, hukum menempati posisi yang sangat supreme. Hukum berfungsi untuk mengatur segala persoalan sosial. Hukum dibutuhkan agar kehidupan bernegara menjadi aman dan kondusif. Oleh karena itu hukum mesti menjamin keadilan. Semua individu mesti setara dihadapan hukum. Namun apa yang terjadi selama ini malah sebaliknya, hukum kadangkala digunakan sebagai instrumen dalam rangka mencapai tujuan parsial (inkonsistensi hukum). Tujuan parsial ini nampak jelas dalam diri para praktisi hukum. Para praktisi hukum mudah jatuh dalam praktik gratifikasi dan manipulasi. Integritas, moralitas dan kredibilitas para praktisi hukum akhirnya merosot sehingga hukum menjadi berat sebelah dan kasus-kasus besar pun akhirnya tidak bisa dipecahkan secara adil dan bijaksana.

Fenomena lain yang juga tak kalah menarik juga adalah ketika hukum disulap menjadi tameng untuk melindung status quo atau jabatan tertentu. Pada tataran ini, hukum dijadikan alat untuk tujuan politik penguasa. Hal ini dapat kita baca dalam sejumlah peraturan hukum yang kurang jelas (yang mengandung pasal karet), dan yang bertendensi mengkriminalisasi kebebasan. Misalnya, pasal 27, 28 dan 29 dalam UU ITE.  Pasal-pasal tersebut dinilai sebagai pasal karet yang membahayakan kebebasan, terutama kebebasan mengemukakan pendapat. Dan faktanya, sampai sejauh ini, tak sedikit aktivis, jurnalis dan akademisi yang sudah menjadi korban.

Ketiga; masalah yang menggerogoti pers. Pers merupakan salah satu pilar demokrasi. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang menjamin kebebasan, kesetaraan dan keadilan. Dalam konteks ini, pers memainkan peran yang sentral. Namun apesnya, profesionalisme, independensi dan kiprah pers kini mulai dipertanyakan lantaran munculnya fenomena dimana pers terjerat dalam kecanduan memburu kepentingan, baik kepentingan profit (ekonomi) maupun kepentingan kekuasaan (politik). Pers tidak lagi menjadi wahana dalam menampung wacana-wacana kritis. Pers tidak lagi menjadi advocatus diaboli terhadap kekuasaan. Pers sebaliknya terlibat dalam pertarungan dan perburuan kepentingan-kepentingan opurtunis.

Keempat; masalah yang mendera partai politik. Partai politik adalah salah satu lembaga yang penting dalam demokrasi. Partai politik hadir sebagai jembatan untuk membantu warga masyarakat dalam mengaksentuasi kepentingannya dalam ranah kekuasaan. Namun, realitas yang terjadi selama ini berkata lain, partai politik seakan teralienasi dari masyarakat. Partai politik hanya mengakomodasi orang-orang yang memiliki popularitas dan memiliki modal finansial yang mumpuni, sedangkan orang-orang yang tidak memiliki modal finansial dan popularitas ditendang dan dialienasi ranah tersebut. Partai politik sekarang ini bisa dibilang sebagai sarang para oligark yang kuat secara finansial dan sosial. Dominasi oligarki dalam partai politik menyebabkan banyaknya skandal-skandal seperti korupsi dalam tubuh partai. Dan yang lebih parah lagi, jualan produk partai politik kadangkala tidak memiliki nuansa edukatif tetapi manipulatif dan romantisme semu. Realitas inilah yang melahirkan ketidakpercayaan dalam diri warga terhadap partai politik.

Kelima; masalah seputar desentralisasi. Lahirnya sistem desentralisasi tidak terlepas dari cita-cita luhur bangsa Indonesia yakni pembangunan yang merata dan adil. Itu berarti bahwa sistem desentralisasi merupakan bentuk resistensi terhadap sistem sentralisasi yang berlaku pada era Orde Baru. Sistem sentralisasi yang berlaku di era Orde Baru dinilai tidak efektif karena semua kebijakan pembangunan dimonopoli dari pusat yang kadang-kadang tidak menjawabi kebutuhan, tidak mengakomodasi aspirasi daerah dan cenderung tidak adil. Namun apa yang terjadi selama ini malah sebaliknya bahwa sistem desentralisasi dijadikan sebagai kesempatan untuk mengafirmasi libido kekuasaan dari sejumlah elite lokal. Yang terjadi dalam sistem ini adalah apa yang disebut sebagai “desentralisasi korupsi”. Implikasinya proyek desentralisasi mejadi mandeg, stagnan dan regresif. Ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin, antara penguasa dan masyarakat akar rumput pun semakin tajam dan tak terjembatani.

Potret permasalahan yang mendera lembaga-lembaga tersebut akhirnya menghantar saya pada sebuah pertanyaan yang bernada menggugat, Quo Vadis reformasi? Quo vadis merupakan pertanyaan yang berhubungan dengan kiblat, orientasi dan telos dari sesuatu. Dalam konteks ini, saya mencoba menghubungkannya dengan reformasi. Hemat saya, masalah-masalah yang mendera lembaga-lembaga tersebut menjadi indikator terkait kiblat, orientasi dan telos reformasi yang telah dan sedang kita perjuangkan dan kita gelorakan bersama ke depan. Kalau masalah-masalah itu tetap menggerogoti lembaga-lembaga tersebut, bukan tidak mungkin masa depan atau arah reformasi ke depan akan hancur. Demokrasi akan hacur.

Namun sebagai warga negara yang baik, kita tidak menghendaki hal tersebut terjadi. Sebaliknya, kita menghendaki agar sirkulasi reformasi tetap berjalan dengan baik. Untuk itu, kita berupaya bersama agar reformasi yang kita cita-citakan dan kita perjuangkan ini tetap berjalan dalam rel yang baik.

Ada tiga hal yang hemat saya penting untuk diperhatikan bersama dalam upaya meluruskan arah dan amanah reformasi; pertama; perbaiki sistem dan struktur lembaga tersebut. Tata kelola dan kiprah lembaga tersebut seyogyanya direstorasi, dibenah dan diformat dengan sebaik-baiknya. Lembaga-lembaga tersebut perlu mentransformasi kinerja kerja, lebih idependen (meminimalisasi intervensi pihak lain), akuntabel dan lebih transparan. Kedua; perbaiki integritas dan moralitas para aktor yang bergelut dalam lembaga-lembaga tersebut. Para pengampu lembaga-lembaga tersebut perlu disusupi dengan nilai-nilai moral pancasila agar mereka bisa menjalankan fungsinya dengan baik, bertanggungjawab, berdedikasi, dan setia dengan amanah nilai-nilai pancasila. Ketiga; perkuat fungsi kontrol publik. Publik seyogyanya lebih kritis dan partisipatif agar lembaga-lembaga tersebut dapat menjalankan tugas dan tanggungjawabnya dengan baik. Hemat saya, apabila ketiga hal tersebut diperhatikan dengan baik, bukan tidak mungkin kiblat, orientasi dan telos reformasi yang sudah dan sedang kita perjuangkan akan membawa NKRI ke masa depan yang lebih demokratis, aman dan sejahtera.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like