Oligarki Mengkorupsi Demokrasi5 min read

Runtuhnya rezim totalitarian Orde Baru pada tanggal 21 Mei 1998 melalui jalur demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh seluruh mahasiswa dan sejumlah organisasi Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) menandai tipologi baru kehidupan politik, ekonomi, dan sosial bangsa Indonesia. Momentum tersebut serentak menjadi momentum yang tampan bagi merekahnya fajar demokrasi pancasila dengan format yang lebih ramah yang menjadi ekspektasi segenap bangsa Indonesia sejak awal berdirinya negara kesatuan repoblik Indonesia. Demokrasi pancasila menjadi titik pijak bagi segenap warga masyarakat Indonesia dalam mereafirmasi hak politisnya sebagai warga negara setelah dipasung selama rezim otoriter orde baru.

 Nilai-nilai demokrasi pancasila seperti kebebasan, kesatuan dan respek terhadap pluralisme memungkinkan warga negara untuk lebih percaya diri dalam berkreasi, berdeliberasi dan berpartisipasi dalam sfer ruang publik. Demokrasi juga telah membuka ruang yang lebar bagi segenap organisasi masyarakat sipil untuk melancarkan kritik-kritik konstruktif dalam rangka mengontrol jalannya roda pemerintahan. Namun, euforia tersebut lambat laun merosot setelah warga masyarakat vis a vis dengan problematika oligarki yang secara kasat mata sedang mengkorupsi demokrasi. Fenomena ini menyebabkan posisi rakyat (demos) semakin mengkwatirkan. Kedaulatan rakyat (demos) seakan-akan terlempar dan termarjinalisasi dari pemerintahan (kratein). Alhasil, roda kratein dikendalikan oleh sejumlah oligark yang kuat secara finansial.

Oligarki

Secara etimologis oligarki berasal dari kata bahasa Yunani yakni oligarkia yang terdiri atas oligoi dan arkhein. Oligoi berarti “sedikit” “minoritas” (orang kaya) dan arkhein berarti “memerintah”. Sehingga seturut defenisi etimologis oligarki dimafumi sebagai sistem pemerintahan yang dipimpin oleh segelintir orang “kaya”. Menurut Aristoteles dan Plato oligarki merupakan sistem pemerintahan yang buruk karena minoritas yang memimpin adalah mereka yang cenderung korup, egois dan opurtunistik. Hal ini bertolakbelakang dengan misi bonum comunne.

Penelusuran secara etimologis kata oligarki tentu tidak menjadi dasar dalam memahami secara komprehensif tentang oligarki. Oleh karena itu, di sini perlu dijabarkan  pandangan dari ahli yang menurut hemat saya memiliki kapasitas yang luas dalam kajian tentang oligarki. Salah satu pemikir yang giat mentematisasi oligarki adalah Jeffry Wintters. Wintters mendefinisikan Oligarki sebagai sebuah sistem yang merujuk pada politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan material. Pada konsep ini, Winters mengetengahkan aspek penting dari Oligarki, yaitu kekayaan menjadi sumber daya material bagi kekuasaan para Oligark dan dinamika politik pertahanannya yang dikelola secara politis. Menurutnya, semakin tinggi kebutuhan untuk mempertahankan kekayaan, maka terjadi kecenderungan bahwa Oligark akan semakin banyak terlibat dalam kekuasaan politik. Hal tersebut terjadi juga bila didukung oleh sistem politik yang memungkinkan adanya gangguan atas hak milik dan kekayaan. Hal sebaliknya, bila dalam sebuah sistem politik, hak milik dan kekayaan dilindungi secara ketat, maka Oligark bisa saja tidak perlu terlibat secara aktif dalam perebutan kekuasaan.

Ladang Penetrasi Oligarki

Infiltrasi oligarki dalam sistem pemerintahan di Indonesia bukan tanpa alasan. Terdapat banyak motif yang membidani munculnya oligarki di Indonesia. Salah satunya adalah karena demokrasi itu sendiri. Sebagaimana yang diuraikan sebelumnya bahwa demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang menjunjung tinggi nilai kebebasan dan egaliter. Nilai kebebasan dan egaliter inilah yang menjadi basis bagi sejumlah oligark yang korup masuk ke gelanggang politik untuk memanifestasikan nafsu liarnya yakni untuk mengakumulasi kekayaan sebesar-besarnya. 

Di Indonesia, telah diatur secara legal bahwa terdapat dua jalur yang memungkinkan seseorang untuk ikut berkontestasi dalam gelanggang politik yakni jalur independen dan melalui kuda tunggang partai politik. Tak dapat dimungkiri bahwa setiap orang yang ingin bertarung dalam kontestasi elektoral entah melalui jalur independen maupun partai politik mesti sekurang-kurangnya memiliki modal finansial yang mumpuni (mahar politik). Modal tersebut akan dipakai untuk membiayai kampanye dan biaya partai politik. Contoh yang paling mutakhir adalah saat Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu, di mana pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno menghabiskan dana kampanye sebesar Rp 85,4 miliar. Sedangkan pasangan Basuki Tjahaja Poernama dan Djarot Saiful Hidayat sebesar Rp 82,6 miliar (Kompas.com, 30/9/2020).

Biaya politik yang super mahal tersebut tentu memiliki implikasi ganda. Pertama, kontestasi politik hanya mengakomodasi orang-orang super kaya yang memiliki garansi finansial yang kuat. Modal finansial tersebut, selain dipakai untuk membiayai kampanye, uang tersebut juga digunakan untuk mendirikan partai politik baru dan menguasai partai.

Kedua,  masyarakat biasa yang mempunyai kualifikasi moral, track record yang baik, dan memiliki jiwa dedikasi penuh terpaksa absen dari ranah tersebut karena tidak mempunyai garansi finansial yang kuat. Hal tersebut juga diperparah oleh sistem kaderisasi partai politik yang tidak adil, yang cenderung berpihak kepada orang-orang yang memiliki finansial yang mumpuni dan kualifikasi sosial (popularitas) semisal “artis”.

Ketiga, hal tersebut membuka peluang terjadinya korporatokrasi. Korporatokrasi merupakan terminologi yang dipakai  untuk melukiskan fenomena perselingkuhan atau konspirasi antara penguasa dan pengusaha (kapitalis). Kapitalis memainkan peran sebagai sponsor dalam mendanai biaya operasional politik penguasa saat masuk ke partai politik dan saat kampanye. Memang bantuan atau aliran dana dari perusahaan sudah direstui secara legal oleh undang-undang. UU No.10/2016 tentang pilkada khususnya pasal 74 ayat 1 sd 5, misalnya, menetapkan bahwa dana kampanye seorang gubernur/bupati/walikota bisa berasal dari paslon sendiri dan dari pihak lain seperti badan hukum swasta alias perusahaan. Namun, UU tersebut secara tidak langsung memberi karpet merah kepada politisi dan oligark untuk mengafirmasikan kepentingan mereka.

Upaya Solutif Melawan Dominasi Oligarki

Upaya melawan dominasi oligarki di Indonesia, hemat saya dapat ditempuh melalui jalan penguatan kontrol masyarakat sipil dan keterlibatan etis cendekiawan. Demokrasi pancasila akan kuat manakala dua elemen penting ini memainkan perannya masing-masing. Gerakan organisasi masyarakat sipil (ORMAS) seyogianya dijiwai oleh semangat gotong royong, kerjasama dan berbelarasa. Karena dengan demikian kekuatan masyarakat sipil menjadi lebih kuat. Konsolidasi di antara warga negara sangat penting agar tercipta kekuatan yang bisa mendobrak sistem dan struktur yang tidak adil, yang cenderung diskriminatif dan tidak pro-rakyat, yang merupakan hasil produksi dari perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha.

Kaum cendekiawan pun demikian, ia mestinya mengafirmasikan posisi yang jelas di mana mereka hadir sebagai nabi yang mewartakan kebenaran. Mereka turut terlibat melalui gebrakan-gebrakan sosial yang rasional. Suara profetis kritis mereka tidak boleh bungkam di hadapan kekuasaan. Cendekiawan juga tidak boleh tergoda untuk kongkalikong dengan penguasa demi mendapatkan jabatan dan uang.

Tentang hal ini, hemat saya, seruan tegas dari seorang filsuf berkebangsaan Italia yang sangat terkemuka Antoni Gramsci mesti diperhatikan secara serius oleh kaum cendikiawan bahwa seorang cendikiawan memiliki tugas untuk menghubungkan ketidakpuasan individu ke dalam bentuk aktivisme sosial kolektif. Artinya, cendikiawan dengan segenap ilmunya, mampu membawa pergerakan yang nyata serta menjadi agen perubahan sosial. Mereka harus menggali kebenaran dan juga berani memperjuangkan kebenaran itu meskipun menghadapi tekanan dan ancaman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like