Kaum Muda, Pembangunan Politik Dan Masa Depan Bangsa7 min read

Indonesia merupakan salah satu negara yang dikategorikan sebagai negara dunia ketiga (Third World). Konsep negara dunia ketiga umumnya diasosiasikan dengan negara terbelakang atau miskin. Kategorisasi tersebut dibuat sepihak oleh IMF dan Bank Dunia yang dimotori oleh negara-negara Industri maju, seperti Amerika, Kanada, Inggris, Italia, Jepang, Perancis, Jerman, dan Rusia (G8) pascaperang dunia II. Konsep tersebut kemudian diperhalus sebagai negara yang sedang berkembang (developing countries), yang berada dalam tahap pembangunan (Alexander Jebadu, 2019: xi).

Pembangunan di negara-negara dunia ketiga umumnya berintensi untuk merestorasi tatanan kehidupan bernegara yang telah ambruk akibat penjajahan dan perbudakan oleh bangsa-bangsa asing. Pembangunan dilaksanakan dalam rangka mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju. Di Indonesia sendiri, proyek pembangunan dalam skala lokal dan nasional telah digencarkan sejak awal kemerdekaan. Hal tersebut merupakan manifestasi dari amanah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar dan pilar kehidupan bernegara. Pembangunan tersebut bersifat holistik, integral, sistematis dan komprehensif yang mencakupi semua bidang kehidupan.

Salah satu bidang yang menjadi titik fokus pembangunan nasional adalah bidang politik. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia bercita-cita untuk berdaulat dalam bidang politik. Cita-cita itu kemudian dibingkai dalam program Trisakti yang dicanangkan presiden Soekarno.

Menjejaki Tantangan Pembangunan Politik

Para pendahulu bangsa telah merumuskan bahwa basis pembangunan nasional, baik pembangunan ekonomi, sosial-budaya maupun pembangunan politik adalah nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan yang berpedoman pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 niscaya dapat mengakomodasi kepentingan seluruh masyarakat. Sebaliknya, jika pembangunan nasional tidak berbasis pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 maka cita-cita keadilan dan kemaslahatan bersama (bonum commune) akan jauh dipanggang dari api. Hal itu juga akan berimplikasi serius terhadap eksistensi bangsa Indonesia itu sendiri. Bangsa Indonesia akan mengalami disorientasi, distabilitas dan bahkan akan bermuara pada disintegrasi karena harapan, cita-cita dan aspirasi masyarakat yang majemuk tidak bisa diakomodasi dengan baik oleh negara.

Dan jika membaca jejak pembangunan politik yang telah digencarkan dari periode-ke periode sistem politik, nampaknya, tuntutan pembangunan yang berbasis pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 acapkali tidak digubris. Hal ini terlukis jelas dalam aneka kebijakan-kebijakan publik dan Peraturan Perundang-Undangan (PERPU). Kebijakan-kebijakan publik dan Peraturan Perundang-Undangan (PERPU) yang dibuat bukan bersumber dari amanah nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, melainkan hasil lobi-lobi dan konspirasi antara penguasa dan kaum kapitalis yang bermain dibelakang layar, yang juga sarat kepentingan.

Mereka mengatur skenario, intrik, dramaturgi, keblusukan, dan manuver politik secara sistematis dan terstruktur di atas panggung politik lokal dan nasional. Konsekuensi logis dari permainan tersebut adalah munculnya disparitas yang sangat tajam antara yang miskin dan yang kaya, antara kapitalis dan proletariat, antara penguasa dan masyarakat akar rumput.

Fenomena lain yang tak kalah menarik adalah ketika kebijakan dan aturan yang ditelurkan itu mengamputasi ruang gerak KPK. KPK, sebagaimana yang kita ketahui merupakan produk unggulan reformasi. KPK didirikan untuk memberantas fenomena KKN yang menjadi masalah sosial yang sangat akut di era sebelumnya. KPK hadir dengan harapan agar masalah KKN yang menjadi patologi politik diminimalisir. Namun apesnya, KPK seringkali dilemahkan dan diinstrumentalisasi melalui aneka kebijakan yang membelenggu. Alhasil fenomena KKN di era reformasi masih marak terjadi.

Realitas tersebut setidaknya mengindikasikan bahwa pembangunan politik menuju politik yang demokratis, yang diimplementasikan selama ini masih jauh dipanggang dari api lantaran perilaku para elite yang cenderung korup, egois, dan opurtunistik. Para elite mereduksi makna politik sebagai ladang dalam rangka mengais harta kekayaan. Para elite tidak berjuang menciptakan tatanan politik yang demokratis tetapi berjuang untuk melakukan upaya pembusukan politik melalui praktik-praktik KKN. Para elite tidak berjuang untuk menciptakan kesejateraan masyarakat melalui pembangunan politik melainkan berjuang untuk menginstrumentalisasi pembangunan politik demi memperkaya diri dan kroni-kroni.

Realitas pembusukan politik yang dilakukan secara terstruktur dalam struktur dan sistem politik, yang terjadi sepanjang sepak terjang perjalanan bangsa selama setengah abad ini tentu saja berimplikasi serius terhadap marwah politik di Indonesia. Marwah politik di Indonesia menjadi ambruk akibat malapraktik politik para elite yang cenderung korup, egois, dan opurtunistik. Reputasi bangsa Indonesia yang sudah lama dikenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah dan Keadilan sosial, sebagaimana yang termaktub dalam Pancasila menjadi buruk.

Negara yang telah lama membabtiskan diri sebagai negara hukum pun serentak dipertanyakan dan digugat. Cita-cita yang termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945, yakni menciptakan tatanan politik yang demokratis tidak terwujud. Barangkali benar apa yang dikatakan oleh Edmund Burke, sifat manusia adalah selalu ingin mengambil bagian dalam kekuasaan, tetapi tidak ingin mengambil bagian dalam tanggung jawab terhadap penggunaan kekuasaan itu.

Kaum Muda dan Pembangunan Politik

Realitas pembusukan politik yang diatur secara tersruktur dalam stuktur dan sistem politik tersebut juga serentak menggugat tanggung jawab etis kaum muda. Gugatan terhadap kaum muda bukan tanpa alasan. Kaum muda sejak awal peradaban dunia dikenal sebagi agen perubahan (agent of change). Dan sebagai agen perubahan, kaum muda secara ontologis memiliki tugas dan tanggung jawab terhadap perkembangan peradaban masyarakat (civil society).

Karena itu kaum muda dipanggil kembali untuk menjadi garda terdepan dalam merestorasi dan mentransformasi kehidupan politik yang sudah bobrok dan terkontaminasi menuju kehidupan politik yang demokratis. Keterlibatan aktif kaum muda dalam proses pembangunan politik dewasa ini sangat urgen dan mendesak. Kaum muda seyogyanya hadir sebagai pilar penyangga kehidupan berdemokrasi. Kaum muda tidak boleh tinggal diam apalagi menarik diri dari ranah kehidupan politik. Kaum muda mestinya sadar bahwa proses pembangunan politik bukan hanya tugas dan tanggung jawab pemerintah semata-mata melainkan tugas dan tanggung jawab semua warga negara. Sebagai warga negara, kaum muda wajib berpartisipasi dalam proses pembangunan politik.

Partisipasi dalam proses pembangunan politik dewasa ini memiliki beragam bentuk dan cara. Tentang hal ini, Fay Lomax Cook, Michael X. Deli Carpini dan Lawrence R. Jakobs, sebagaimana yang dikutib Yakob Dere Beoang, menjelaskan, partisipasi politik sebagai tindakan dari penduduk atau warga negara dapat dilakukan dalam bentuk formal atau informal, muka dengan muka, melalui telepon atau internet untuk membicarakan atau mendiskusikan isu-isu lokal, nasional atau internasional yang berkaitan dengan kepentingan publik (Yakob Dere Beoang, 2014: 40).

Hemat saya, indikasi tersebut sangat relevan dengan konteks yang mewarnai kehidupan kaum muda dewasa ini. Kaum muda dewasa ini sedang hidup dalam era yang disebut era digital. Perkembangan teknologi mutakhir yang semakin marak dewasa ini niscaya membantu kaum muda untuk terlibat aktif dalam pembangunan politik. Di satu sisi, kaum muda bisa berpartisipasi lewat wacana-wacana kritis di media sosial yang mampu mempengaruhi kebijakan publik. Di sisi lain, kaum muda juga bisa berperan secara langsung dalam ranah politik.

Alfian, sebagaimana yang diseter Silvano S. Jaman, menegaskan peranan konkret kaum muda dalam ranah politik terutama berkaitan dengan perkembangan sistem politik yang berlaku di Indonesia, yakni mengupayakan pengembangan kapasitas dan kapabilitasnya. Dan proses transformasi sistem politik itu umunya mencakup empat dimensi. Dimensi pertama; terletak dalam diri manusia Indonesia sendiri. Hal yang dimaksudkan di sini adalah sikap atau mental manusia Indonesia dalam hubungannya dengan politik. Manusia Indonesia seyogianya sadar akan hak dan kewajibannya dalam politik.

Dimensi kedua; struktur masyarakat. Struktur masyarakat yang dimaksud di sini adalah struktur masyarakat yang mampu mendorong perkembangan demokrasi dalam masyarakat. Dimensi ketiga; berkaitan dengan lembaga-lembaga politik. Lembaga-lembaga politik semisal, partai politik, mestinya sungguh berperan sebagai wadah yang turut menopang terciptanya proses demokratisasi. Dimensi keempat; berkaitan dengan mekanisme dan proses pengambilan keputusan dalam sistem politik. Hal ini berkaitan dengan seleksi pemimpin dan komunikasi politik. Kalau seleksi pemimpin berjalan dengan baik maka mekanisme dan proses pengambilan keputusan akan berjalan lancar, sehat dan demokratis (Salvano S. Jaman, dalam Akademika, 2009/2010: 75).

Keempat dimensi tersebut mestinya menjadi titik fokus perhatian kaum muda dalam menjalankan peran politiknya untuk mendorong transformasi sistem politik ke arah sistem politik yang demokratis. Hal-hal mendasar dalam dimensi pertama adalah peran kaum muda dalam membangun watak manusia Indonesia yang demokratis. Kaum muda mestinya tampil sebagai agen pencerahan politik. Dalam dimensi kedua, kaum muda berperan untuk mendorong perubahan struktur masyarakat. Bahwa kaum muda tidak boleh menutup mata terhadap sistem dan struktur yang mapan, bobrok, dan represif yang direproduksikan oleh para penguasa.

Kaum muda mesti mengambil peran dalam mendorong masyarakat untuk melakukan transformasi struktur demi terciptanya kehidupan yang demokratis. Peran kaum muda juga dibingkai dalam demensi ketiga yakni dalam hubungannya dengan pembentukan lembaga-lembaga politik yang demokratis. Kaum muda mesti berani tampil dan terlibat dalam lembaga-lembaga politik. Di sini kaum muda dituntut untuk tetap menjaga konsistensi bahwa perjuangan kaum muda semata-mata demi kebaikan masyarakat secara keseluruhan. Kaum muda juga berperan dalam dimensi yang keempat yakni pembentukan mekanisme pengambilan keputusan yang demokratis.

Di sini kaum muda diharapkan untuk terlibat dalam diskursus publik dalam rangka mempengaruhi keputusan-keputusan publik. Kaum muda menyumbangkan ide-ide brilian yang dapat menyakinkan pengampu kebijakan.

Hemat saya, apabila kaum muda memainkan perannya dengan baik dalam keempat aspek tersebut bukan tidak mungkin wajah politik kita akan mengalami perubahan. Dan dengan demikian masa depan bangsa Indonesia akan lebih baik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like