Putih Tulang, Putih Mata6 min read

TIDAK mudah menemukan oposisi di Indonesia. Atau tepatnya, tidak mudah menemukan oposisi yang berkualitas sebagai lawan tangguh bagi pemerintah kita. Sekurang-kurangnya, karena partai-partai “oposisi” di parlemen kita sekarang memang tidak bisa lagi diandalkan. Malah, dalam hari-hari ke belakang, jika ada yang mengharapkan perubahan dengan mengandalkan partai-partai oposisi di DPR-RI, alangkah bodohnya ia.

Dengan masalah internal yang sarat faksi, kepentingan, dan persaingan, partai-partai oposisi kita praktis tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya—menjadi karang yang menentang arus pendapat partai-partai pemerintah. Terlalu banyaknya intrik-intrik yang tidak perlu, silang pandangan sesama kader, sekaligus kemiskinan visi yang diderita oposisi kita, menjadikan harapan akan demokrasi yang sehat benar-benar telah pupus.

Presiden Joko Widodo nyatanya tidak berhasil menunjukkan komitmennya akan penyehatan demokrasi. Sebagai nasionalis naif kebanyakan, ia turut sembarangan menyebut, “Demokrasi Pancasila tidak mengenal oposisi.” Klaim itu malah kemudian dipelintir dengan dalih, “Demokrasi Pancasila adalah demokrasi gotong-royong.”

Menarik di sini melihat bagaimana pemutarbalikkan makna demokrasi cara Orde Baru nyata menghasilkan doktrin “Demokrasi Pancasila tidak mengenal oposisi”. Pemutarbalikkan macam ini, selain menggelikan, juga menunjukkan dahsyatnya represi Orde Baru dalam menginterpretasi Pancasila menurut kepentingannya. Sebagai wataknya yang fasis, maka penerjemahan demokrasi pun diperkosa sampai “tidak mengenal oposisi”.

Menjadi tantangan di tengah kemelut dan krisis oposisi di Indonesia ini untuk mendapatkan oposisi dengan kualitas yang dapat diharapkan. Bukan sekadar menentang segala kebijakan pemerintah, tetapi lebih dari itu, menawarkan kesegaran baru dan keyakinan bahwa Indonesia 2045 bukan tinggal puing hasil perseteruan “cebong” dan “kadal gurun”, sebagai praktik polarisasi yang digiatkan sampah-sampah masyarakat penghamba kekuasaan hari-hari ini.

Pertanyaannya, sanggupkah?

Partai Alternatif

Kesanggupan mengemban tugas oposisi memang teramat berat hari-hari ini. Konvergensi kekuasaan berkaki pengusaha-penguasa di putaran Senayan dan Istana nyatanya berlangsung jauh lebih hebat dari yang dibayangkan. Agenda menghidupkan kembali “Thatcherisme”—permudah orang kaya berbisnis agar (semoga) hasilnya dinikmati orang-orang miskin—diperlihatkan gamblang di depan mata.

Konvergensi kekuasaan ini menjepit partai-partai oposisi dengan berbagai intrik dan mengobrak-abrik partai dari dalam. Lihat saja bagaimana Partai Gerakan Indonesia Raya yang dua tahun lalu masih lumayan bertaji terhadap kekuasaan, kini begitu patuh karena gembongnya ditarik ke domain kekuasaan dan ditetapkan sebagai Menteri Pertahanan.

Lain lagi cerita dengan usaha vulgar mengobrak-abrik Partai Demokrat yang memancing drama sensasional ihwal perseteruan di Kongres Luar Biasa. Manuver licin Jenderal (Purn.) Moeldoko yang secepat kilat cuci tangan dari kemelut, mempermalukan petinggi-petinggi partai Mercy itu sampai ke ujung rambut. Mereka dibuat seakan berilusi tentang adanya kudeta kepemimpinan. Kendati usaha mengobrak-abrik gagal, tetapi humiliasi, cara mempermalukan yang dibingkai penguasa, kelihatannya cukup berhasil.

Partai Amanat Nasional pun setali tiga uang. Sesudah keluarnya Dr. Amien Rais dari barisan petinggi untuk kemudian mendeklarasikan Partai Ummat, suaranya di parlemen tambah sember dan tak berketentuan. Terakhir, Partai Keadilan Sosial, dengan rekam jejak korup yang memalukan serta inklinasi ideologinya yang ragu-ragu mendukung Panca Sila, jelas tidak usah direken sebagai oposisi bermutu.

Dalam situasi ini, kepada siapa seharusnya kita percaya akan kekuatan oposisi?

Sesungguhnya nyaris tidak ada. Parlemen kita yang diisi 55% pengusaha tidak mengenal lagi oposisi, karena lembaga legislatif tidak lagi dimaknai sebagai institusi demokrasi, tetapi institusi pelancar kepentingan. Produk-produk Senayan, terbaru Undang-Undang no. 11/2020 tentang Cipta Kerja, mengonfirmasi pemaknaan ini. Jangan pula bertanya apakah wakil-wakil rakyat itu mewakili kepentingan siapa, karena jelas ia tidak mewakili kepentingan rakyat.

Tumpulnya oposisi di parlemen melahirkan kekecewaan sekaligus harapan akan oposisi nonparlemen yang bisa diandalkan. Tidak heran jika kepulangan Muhammad Rizieq Shihab dari Arab Saudi dipandang besar artinya oleh segelintir kalangan. Kapasitasnya tidak saja sebagai pemimpin agama, tetapi figur oposisi jalanan yang berpengaruh karena kemampuan mobilisasi massa, keterampilan retoris, dan kegigihannya tidak bisa dilewatkan begitu saja.

Tetapi sesudah ia disandung penguasa dengan undang-undang kekarantinaan kesehatan, harapan memiliki oposisi nonparlemen itu pupus kembali. Racun polarisasi “cebong” dan “kadal gurun” memperkeruh situasi ini. Semua yang beroposisi dengan penguasa dihitung sebagai “kadal gurun”, terafiliasi ideologi tertentu, dan dicurigai ini-itu. Terakhir, stigmatisasi mengerikan ini lantas ditimpakan kepada 75 pahlawan kita yang ditendang dari Komisi Pemberantasan Korupsi.

Walaupun sudah demikian semrawut dan harapan sudah tidak ada lagi, kehadiran partai-partai alternatif yang berusaha mendekatkan diri ke kontestasi elektoral tiga tahun lagi nyatanya perlu diperhatikan. Bukan berarti saya menyarankan agar kita mendekati partai-partai ini dan berharap padanya, tetapi tindak-tanduk kader-kadernya, arah kebijakan dan kecenderungannya, serta visi jangka panjangnya, mesti tetap kita awasi.

Partai-partai baru ini (seperti Partai Hijau Indonesia, Partai Gelombang Rakyat Indonesia, Partai Rakyat Adil Makmur, dan Partai Ummat) sekilas memang kelihatan sebagai penggembira belaka. Eksponen-eksponennya rata-rata adalah mantan kader partai lain dan mengemas partai baru itu seakan sebagai “sempalan” partai sebelumnya. Bedanya, partai-partai ini umumnya menyasar orang-orang muda sebagai ceruk pemilih.

Menghadapi ini, orang-orang muda jangan lengah termakan kejenuhan, lantas serta-merta mendukung partai alternatif. Sekali lagi, partai alternatif bukan jaminan kebaruan dan harapan. Kepercayaan yang kita taruh kepada partai alternatif sewaktu-waktu dapat bersalahguna. Untuk itu, kepada partai alternatif, betapapun ia mengesankan diri “melawan arus”, tidak lantas begitu saja kita pilih sebagai wakil kita.

Pula, sebagai partai politik, sifatnya adalah mengharapkan banyaknya suara untuk melenggang ke parlemen. Apabila sebagai partai kecil kelak ia harus berkoalisi demi tujuan akhirnya, sia-sialah pilihan kepada partai alternatif itu, karena mustahil kepentingan partai kecil didahulukan dari kepentingan partai-partai besar.

Teladan Madura

Miskinnya oposisi bermutu di Indonesia ini, di luar kemelut partai-partai oposisi yang kacau-balau dan partai alternatif yang belum sepenuhnya dapat dipercaya, pula disebabkan karena partai oposisi yang miskin integritas dan karenanya rentan akan godaan berkoalisi dengan penguasa. Akibatnya, kader-kadernya dididik bermuka seribu. Keras sekali waktu, tapi ketika ada peluang masuk ke lingkaran kekuasaan, hilanglah taringnya pelan-pelan sebagai oposisi.

Kader-kader berkarakter lembek ini jangan sekali-kali kita pilih dan kita percayakan sebagai oposisi. Dengan keyakinan bahwa konsolidasi penguasa terlalu kuat, merupakan panggilan setiap demokrat untuk menemukan wakil oposisi yang bukan saja berkepala granit (lebih keras dari kepala batu), juga berprinsip hitam-putih. Wakil oposisi kita hanya kenal dua jalan habis-habisan: berjuang habis-habisan atau mati sama sekali.

Untuk menanggung prinsip itu, wakil oposisi bermutu yang kita harapkan adalah yang bersedia meneladan salah satu adagium Madura yang terkenal sebagai prinsip para carok, yaitu ango’an pote tolang atembang pote mata, lebih baik putih tulang daripada putih mata. Prinsip yang sama dengan samurai Jepang: lebih baik mati daripada menanggung malu.

Konteks dalam pemilihan wakil oposisi ini berarti tegas: oposisi bermutu adalah mereka yang sama sekali berdiri di luar lingkaran kekuasaan. Independensi yang dijaganya benar-benar merdeka dari segala kepentingan. Dengan demikian, kekuasaan berganti, tetapi karatnya sebagai oposan tak pernah berubah.

Bila kelompok oposisi ini kemudian diberi kepercayaan memimpin, ia haruslah dikritik setiap kali agar jangan sampai berubah pribadinya. Celakanya, dalam sejarah kita, belum ada oposisi yang bertahan kepribadian dan integritasnya ketika berkuasa. Ia melulu membenarkan kata-kata Lord Acton, “Power tends to corrupt“, “kekuasaan cenderung bersalahguna”. Bukan hanya cenderung, malahan ia berkuasa karena memang berniat menyalahgunakan kekuasaan itu!

Karenanya, kriterium bertahan sebagai karang agaknya terlalu berat. Oposisi miskin integritas, ketika berkuasa akan cenderung mengulang perlakuan penguasa yang dahulu dikritiknya habis-habisan. Kelakuan oposisi miskin integritas ini, bukan saja mengecewakan, tetapi lebih dari itu, mengaburkan makna tentang demokrasi yang sehat.

Siapa oposisi miskin integritas itu? Tidak usah jauh-jauh. Kursi terbanyak di parlemen kita, diduduki oleh oposisi presiden keenam, yang terbukti miskin integritas dan tidak lagi mengenal malu. Sayang, kita harus mencari kelompok lain, untuk bisa teguh-tegar, mengemban kepercayaan sebagai penyeimbang demokrasi negeri kita.

Kontributor lepas dan peneliti sejarah independen. Saat ini menetap di Tangerang Selatan, Banten.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like