Tanah Air7 min read

Sesudah melarikan ribuan budak berikut keluarga, harta benda, ternak, dan perbekalannya, sampailah Musa di tepi Laut Merah. Di belakang, pasukan Firaun yang murka karena pemberontakan Musa mengejar dengan kereta kuda. Musa dan pengikutnya terhenti, sedang pasukan Firaun semakin cepat. Orang-orang di belakang Musa yang merasa terancam, segera tersulut dan marah, “Kau menuntun kami hanya untuk mati?”

Maka Kitab Keluaran 14 pun mengisahkan lanjutannya, “Lalu Musa mengulurkan tangannya ke atas laut, dan semalam-malaman itu Tuhan menguakkan air laut dengan perantaraan angin timur yang keras, membuat laut itu menjadi tanah kering; maka terbelahlah air itu. Demikianlah orang Israel berjalan dari tengah-tengah laut di tempat kering; sedang di kiri dan di kanan mereka air itu sebagai tembok bagi mereka.”

Exodus—judul asli Kitab Keluaran, satu dari lima kitab dalam Taurat—memang berporoskan pada kisah orang-orang Israel menemukan tanah air: rumah baru, tempat mereka akan menjadi manusia merdeka luar dan dalam. Tanah baru yang ditemukan orang Israel itu kelak menjadi ingatan kolektif umat manusia tentang sebentuk kegigihan mendapatkan tanah air. Empat puluh tahun, kata Taurat, perjalanan itu ditempuh oleh Musa. Dan Musa berhasil.

Pencarian atas tanah air, dan sejalan dengan itu adalah juga pencarian atas kebebasan—seperti yang dilakukan Musa dan bangsa Israel—pada akhirnya tidak hanya menjadi kisah religi yang menggetarkan, khususnya bagi penganut agama Samawi, namun juga menjadi ilham yang menggerakkan kaum tertindas menggapai kembali kebebasan yang direnggut darinya.

Ilham yang mengejawantah itu menjadi nyata ketika sejarah melahirkan anak-anak zaman yang berpuluh atau bahkan beratus tahun kemudian terbukti dalam ujian waktu berhak memperoleh sebutan “Bapa Bangsa”. Dalam hal ini, kita sebut saja nama-nama besar seperti Simon Bolivar, George Washington, Emilio Aguinado, Sun Yat-sen, Vladimir Ilyic Lenin, Ho Chi Minh, Kwame Nkrumah, hingga Sukarno.

Walaupun melahirkan nama-nama besar, tetap saja pencarian atas tanah air itu adalah perjuangan kolektif, yang melibatkan orang-orang kecil yang tidak tercatat dan tidak dikenal sejarah. Sebuah persembahan yang ditulis Y.B. Mangunwijaya di halaman depan roman terkenalnya, Burung-Burung Manyar sedikitnya meneguhkan tentang ini, “Dipersembahkan kepada Ayah-Ibu tak dikenal, para pejuang”.

Bukan hanya kejayaan, pembebasan atas tanah air itu kemudian malah melahirkan lebih banyak tragedi. Orang-orang kecil mungkin tidak merasakannya. Mereka yang tumbas oleh peluru akan meregang nyawa sepersekian waktu sebelum tewas. Tetapi orang-orang besar terkadang tidak seberuntung mereka. Penderitaan dan konsekuensi atas kerja-kerja pembebasan itu terkadang menyertai mereka sepanjang hidup.

Tragedi Bapak Bangsa

Kebapakbangsaan, pada hakikatnya adalah sebuah laku: serangkaian giat mengarahkan, memotivasi, dan tidak jarang memprovokasi orang-orang menemukan tanah air dan menggapai kebebasan. Menggapai, karena nyatanya manusia lahir merdeka.

Adalah belenggu-belenggu bertimpaan satu demi satu seiring bertambahnya luasnya masyarakat yang ia masuki, membuat orang semakin dikendalikan dan semakin kehilangan kebebasan yang ia miliki ketika lahir. Karenanya, masyarakat yang memungkinkan lahirnya sesosok “Bapak Bangsa” memang tidak sembarang jenis. Syarat mutlak yang harus dipenuhi sebuah masyarakat untuk dapat melahirkan “Bapak Bangsa” adalah masyarakat yang tertindas.

Maka itu, perjuangan Bapak Bangsa bukan hanya memerangi praktik penindasan, namun juga dampaknya. Seringkali, menghilangkan dampak ini jauh lebih sulit, karena ia berkaitan erat dengan psikologi massa. Tidak jarang juga, dalam perjuangan menghilangkan dampak itu, Bapak Bangsa sendiri yang menjadi korban. Mentalitas bangsa bekas jajahan umumnya, yang belum sepenuhnya berhasil dihilangkan sesudah gegap-gempita revolusi, adalah balas dendam

Contoh terdekat kita Sukarno. Oleh bangsanya, pada masa kejayaannya, ia digelari beragam gelar: Panglima Tertinggi, Pemimpin Besar Revolusi, Waliyul Amri, Penyambung Lidah Rakyat, dan lain-lain. Ketika pusaran badai menghajarnya dengan berbagai cobaan, yang barangkali terasa lebih menyakitkan karena hajaran-hajaran itu memaksa Sukarno untuk “belajar hidup” pada usia yang tidak lagi muda, ia terbukti tidak lagi bertahan.

Tragedi Sukarno ini terkadang mengingatkan saya pada pendapat Richard Nixon dalam pengantar bukunya, Leaders—Profiles and Reminiscences of Men Who Have Shaped The Modern World. Nixon berpandangan bahwa seorang pemimpin (dan termasuk di dalamnya, para “Bapak Bangsa”) tampil dengan tiga unsur yang jalin-menjalin: waktu, tempat, dan situasi.

Ketika bangsanya berhasil mendapatkan sebuah tanah air, maka masalah berikutnya yang menguji Sukarno adalah persoalan kompleks tentang minderwaardigheid, inferiority complex, penyakit kroco-jiwo yang dialami bangsanya. Berganti-ganti tuan selama beberapa generasi membuat bangsanya mengalami rendah diri dan gampang mengalah. Selain kaum terdidik yang membangun pemerintahan, bangsa Indonesia ketika itu selebihnya masih tertatih-tatih menelan arti “merdeka”. Tanah air sudah punya, tetapi setelah punya, tidak tahu mau diapakan.

Sukarno mencoba melawannya dengan menggebrak semua debat kusir di parlemen yang diisi politisi-politisi salon yang tidak becus bekerja dan hanya membuat pemerintahan makin goyah dari waktu ke waktu. Tanah air yang dia perjuangkan bersama rekan-rekan seangkatannya kini terasa di ujung tanduk karena parlemen yang terlalu mudah menjatuhkan mosi tidak percaya sehingga kabinet “dilantik Selasa, Kamis dijatuhkan”. Dasar inilah yang menjadi legitimasi terkuat Demokrasi Terpimpin.

Tetapi sekali lagi, keadaan tanah air Sukarno sudah berbeda dengan yang keadaan mana ia berkecimpung 30 tahun sebelumnya. Dengan perimbangan kekuatan yang menempatkan Sukarno sebagai titik tengah, maka harga yang harus dibayarnya untuk Demokrasi Terpimpin—praktik demokrasi yang ia tujukan guna merehabilitasi kekacauan tanah airnya—adalah sebuah angin puyuh sejarah yang benar-benar tidak terduga, tetapi dahsyat dampaknya.

Kendati mengalami tragedi di pengujung hidup—dan bahkan tewas mengenaskan sebagai tahanan politik—Sukarno tetap orang besar. Tanah air yang dia perjuangkan, pelan-pelan berusaha berdamai dengannya. Namanya direhabilitasi dan kebapakbangsaannya kini tak lagi diragukan. Meski desukarnoisasi terjadi bertahun-tahun lamanya, bagi mereka yang berhati jembar, pribadi Sukarno tetap memiliki nilai kebapakbangsaan yang belum terganti.

Hitam-putih wajah Sukarno dan kebesaran yang mengiringinya kemudian meninggalkan wajah yang lumayan panjang memang membuktikan kemanusiaan yang tidak pernah puas, sekaligus menjadi bukti nyata bahwa tanah air yang dia perjuangkan, pada akhirnya menjadi sama sekali lain dari yang ia rencanakan.

Hak Bertanah Air

Rencana itu sejatinya tidak muluk-muluk. Ia bisa ditemukan di pembukaan undang-undang dasar. Khusus Sukarno, ia menuangkan butir-butir rumusannya dalam naskah Lahirnja Pantja Sila—naskah pidato yang hari ini jarang terdengar, namun sering dikutip sembrono di kelas-kelas PPKn.

Sebuah tanah air yang merdeka, pertama-tama harus berdiri di atas paham kebangsaan. Bukan kebangsaan yang picik, melainkan kebangsaan yang menyadari peran dan proporsinya sebagai bagian dari persaudaraan bangsa-bangsa. Untuk menumbuhkan kesadaran akan peran itu, demokrasi dan kerakyatan adalah jalan satu-satunya. Dari asas kerakyatan itu, maka tujuan akhir dari perjuangan tanah air yang merdeka itu tidak lain dari rakyat. Demokrasi yang bertujuan kepada rakyat itulah, yang mutlak mencita-citakan suatu keadilan sosial.

Ideal memang rumusan tanah air itu. Tetapi kenyataan bicara lain. Ia gagal diwujudkan dalam 75 tahun. Dasar-dasar negara kini terbukti hanya menjadi sampul atas kebusukan dan kegagalan pemerintah yang lalu melahirkan gagasan dan produk-produk hukum yang tidak kalah sesat dan sarat akan kepentingan segelintir pemodal dan investor multinasional.

Pada akhirnya, bukan bangsa lain yang menjajah tanah air kita, melainkan kepentingan penguasa yang berlindung di balik dukungan sejumlah fanatik untuk melanggengkan kebusukannya.

Keterjajahan yang dikonsolidasi sejumlah fanatik ini menjadi kian sempurna manakala masyarakat dimanipulasi lewat berbagai pemberitaan dan propaganda bahwa pemerintah sekarang adalah pemerintah yang terbaik dan bekerja demi rakyat, dan sebagainya, dan sebagainya. Karenanya, keterjajahan itu tidak terasa sama sekali. Jika ada yang berbicara mengenai keterjajahan ini, akan diancam dan dirundung beramai-ramai.

Dalam situasi keterjajahan ini, berikut fanatisme yang dibangun penguasa dan mitos “orang baik” yang didendangkan terus-menerus, sebuah bangsa bekas jajahan seperti Indonesia akan berkecenderungan membangun kembali perasaan balas dendam. Caranya? Dengan menjadi penjajah atau sekurang-kurangnya memfabrikasi logika penjajah lewat segala cara. Padahal, alih-alih kebangkitan nasional seperti yang kita rayakan tanggal 20 Mei, menjadi penjajah adalah lambang kejatuhan, bukan kebangkitan.

Salah satu logika penjajah itu adalah pembenaran dengan menghitung-hitung pamrih atas apa yang pernah dilakukan. Kalau tidak membenarkan, dukungan akan diarahkan kepada sesama penjajah bahwa yang mereka lakukan adalah menumpas teroris. Atau sikap terburuk dari para penjajah: bersikap netral ketika penjajahan berlangsung di depan mata.

Logika maupun mentalitas bekas jajahan inilah yang tidak pernah hilang sejak Sukarno membebaskan tanah airnya. Perasaan balas dendam bangsa bekas jajahan kemudian terlihat dari sikap kita terhadap gerakan pembebasan masa kini seperti Palestina dan Papua. Empati kita kadang dijatuhkan secara salah, sehingga bukan mendukung pembebasan, namun melanggengkan penjajahan dan praktik merenggut hak seseorang bertanah air.

Alangkah munafik kita kalau masih merayakan 20 Mei besok sebagai hari kebangkitan nasional dengan tidak berkaca pada kenyataan. Kita memperingati hari kebangkitan bangsa terjajah, merayakan dimulainya perjuangan bertanah air, sambil merenggut hak Orang Asli Papua menemukan tanah airnya dan menyoraki keberhasilan Israel membombardir teroris Palestina.

Untuk sesaat, saya teringat gemuruh dalam tulisan Soewardi Soerjaningrat yang memprotes pengumpulan dana dari rakyat bumiputera untuk peringatan hari kemerdekaan yang dirayakan Belanda di tanah jajahannya: “Seandainya aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya.”

Menarik bagi kita untuk bertanya, barangkali juga membayangkan, kalau di kemudian hari orang Papua akan menulis, “Seandainya aku seorang Indonesia, hal yang menyinggung perasaanku ialah kenyataan bahwa Indonesia merayakan 20 Mei, hari kebangkitan bangsa terjajah, sambil merampas hak orang Papua memerdekakan dirinya dan menuding Palestina sebagai teroris atas perjuangan kemerdekaan yang dilakukan turun temurun lamanya….

Kontributor lepas dan peneliti sejarah independen. Saat ini menetap di Tangerang Selatan, Banten.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like