Yang Congkak, Yang Sekak8 min read

Joseph Bruce Ismay mungkin tidak percaya akan kata-katanya sendiri. Ia, direktur pelaksana perusahaan White Star Line, terpaksa gigit jari ketika melihat buritan kapal yang dioperasikan perusahaannya pelan-pelan naik hendak menjolok langit malam tak berbintang. Bagian muka kapal sudah karam sama sekali. Penumpang-penumpang kelas 1 berebutan sekoci, sedangkan penumpang kelas 3 sudah seperti tikus yang mempertahankan diri selama mungkin. Mereka, karena kantongnya yang cekak, dilarang naik ke sekoci. Didahulukan perempuan dan anak-anak, lalu laki-laki kelas 1, dan seterusnya.

Ismay gigit jari tidak saja karena kapal itu baru dioperasikan komersial untuk pertama kalinya dalam pelayaran dari Southampton ke New York, Amerika, namun juga karena lidahnya yang benar-benar tak bertulang begitu saja melenturkan advertensi jumawa, persis sebelum kapal bertolak, “Lihat, Tuan-Tuan, inilah kapal terbesar di dunia, TITANIC. Ia tak dapat tenggelam, bahkan Tuhan tidak sanggup menenggelamkannya!”

Saya bisa membayangkan rasa pahit menjalar dari pangkal lidah Ismay ketika promosinya ini dimentahkan oleh Sir Thomas Andrew, sang insinyur kapal. “Kapal ini dari besi, Tuan! Ia bukan tak bisa tenggelam dan sekarang ia akan tenggelam.”

Gambaran di atas mungkin hanyalah senukil ketegangan di malam 15 April 1912 yang berhasil diimajinasikan James Cameron dalam film roman-tragedi besutannya yang dengan cepat menjadi box-office 1997 dan hingga kini masih terasa sangat memorable. Dua puluh tiga tahun sejak dirilis, saya berani menantang bahwa jika Anda pernah menyaksikan film itu, paling tidak satu-dua adegan Jack Dawson dan Rose Dewitt Bukater, dua insan jatuh cinta yang berasal dari kasta berbeda.

Tidak, tidak. Saya tidak akan bicara film. Di samping percintaan sensual dan kontroversial Jack dan Rose di film berdurasi 3.5 jam itu, saya tertarik pada klaim Ismay. Kapal TITANIC adalah yang terbesar di dunia pada masanya. Logika Ismay menyatakan, tidak mungkin kapal terbesar di dunia bisa tenggelam. Mungkin ini sekadar kesalahan jalan pikir, juga karena ada bumbu keangkuhan. Beberapa orang menamakannya takabur. Pendek kata, Ismay terlalu pongah akan kekuatan kapalnya, tanpa ia sadar, ada kekuatan Yang Lebih Besar yang mengatur segalanya.

Berakhirkah riwayat manusia takabur di muka bumi ini? Ternyata tidak. Persisnya 108 tahun kemudian, sikap takabur Ismay terulang kembali. Bukan oleh seorang, namun oleh masyarakat sebuah negara berpenduduk lebih dari 200 juta orang. Ismay dulu takabur terhadap samudra Atlantik yang luas tak berbatas. Seabad kemudian, masyarakat di negara berjuluk sabuk zamrud di Katulistiwa itu takabur terhadap partikel berukuran mikro bernama Severe Acute Respiratory Syndrome-Coronavirus 2.

Dari Keok Sampai Bonyok

Saya masih dapat mengingat raut wajah Presiden Joko Widodo siang itu: tegang dan nyaris terperangah. Jam persisnya, saya lupa, tetapi berita siang hari di televisi sudah melansirnya. Ia mengumumkan dua kasus pertama pengidap Severe Acute Respiratory Syndrome-Coronavirus 2 di Indonesia. Dugaan mula, kedua korban itu telah mengalami kontak dengan seorang berkebangsaan Jepang yang terpapar lebih dulu

Waktu itu seluruh rumah dilanda ketegangan. Juga saya. Mungkin juga orang-orang yang saat itu menyanjung dan memuji kuasa empon-empon sebagai juru selamat bangsa. Nyatanya, pawang itu seketika keok oleh partikel mikro bernama virus. Kepanikan mulai menjalar ketika publik sibuk berebut masker dan membeli alkohol penyanitasi tangan. Masih saya ingat pula keluhan seorang pasien kanker yang setiap hari mesti memakai masker, namun jatahnya diembat manusia-manusia gelagah yang mencari untung bagi perutnya sendiri.

Tetapi sesudah setahun yang lalu. Ketegangan tinggal cerita. Sekarang, kalau saya diminta melihat kembali hari itu, saya justru geli dan terbahak-bahak, meski seruas perasaan miris dan heran turut pula berkecamuk.

Masih terngiang di telinga ketika ancar-ancar pandemi baru menggulung negeri-negeri angin utara. Negara-negara Eropa mulai mengisolasi diri dan mengerahkan tenaga kesehatan untuk bergerak menangani korban yang mulai berjatuhan. Amerika Serikat yang persebaran virusnya begitu cepat malah sudah jebol beberapa minggu. Kematian pasien akibat penetrasi virus di Italia dan Brazil mengemuka di surat kabar. Korea Selatan dan Vietnam menyegerakan penutupan akses masuk dari luar negeri dan menggencarkan tes nasional secara massif. Semua orang bekerja dan bahu-membahu.

Tetapi apa yang dilakukan rakyat negeri Katulistiwa, tanah sabuk zamrud yang kondang kesalehan dan kecongkakannya—meski dalam nadinya tetap mendesir genealogi bangsa kuli itu?

Maaf, izinkan saya tertawa, sebentar saja.

Baiklah. Rakyat negeri ini, tidak terkecuali pemimpinnya—yang kecil sampai besar—waktu itu serempak mengamini kekebalan Indonesia dari virus laknat asal Wuhan, Tiongkok. Selain karena wilayahnya tropis, masyarakatnya rajin minum rempah-rempah, juga kabarnya karena rajin beribadah. Rakyatnya yang beragama Islam, tak pernah lupa shalat lima kali sehari. Rakyatnya yang beragama Kristen-Katolik, tidak pernah ketinggalan memuji syukur dalam kidung dan madah di Gereja.

Di mana-mana di penjuru negeri, nama Tuhan Seru Sekalian Alam disebar merata-rata, bahkan dalam percakapan sehari-hari. Orang-orang saleh yang jadi penduduk negeri itu, kabarnya, disayang Tuhan. Nama Tuhan pun menjadi lentur: dipakai untuk mengingatkan orang, menghakimi, hingga mengancam nyawa orang lain. Tuhan dekat dengan bangsa itu dan rakyatnya. Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar negaranya yang pertama. Persetan urusan kemanusiaan ditangguhkan di gelambir ketiak kekuasaan, yang penting Tuhan jangan dinomorlimakan.

Tetapi siaran resmi Joko Widodo siang itu datang juga. Rakyat se-negeri terdiam. Mereka yang mula-mula menganggap Corona hanya kabar burung gelagapan. Denny Siregar, itu penyambung lidah kekuasaan, bahkan masih mencuit di Twitter sekitar dua jam sebelum junjungan politiknya merilis berita resmi masuknya Covid-19 di Indonesia. Dalam cuitan itu, ia masih mengumpat Corona sebagai isu dan siapa yang menyebarkannya adalah binatang. Mungkin empunya cuitan sudah lupa akan perkataannya, tapi zaman ini memudahkan siapa saja melacak jejak digital seseorang dan mengabadikannya.

Ya, itu semua sudah setahun berlalu. Teranyar, harga keangkuhan dan ketidakkompakan rakyat negeri itu dalam menghadapi virus mesti dibayar 36.325 nyawa bangsa sendiri—termasuk dua sahabat saya. Mungkin orang memandang angka itu kecil. Tetapi ingat, mereka bukan hanya angka. Mereka pernah ada dan sekarang telah masuk ke liang kubur karena keengganan kita menjaga sesama lewat tindakan sekecil memakai masker, mencuci tangan, dan menyendiri dari kerumunan beberapa saat lamanya.

Ketika Pupur Pertiwi Luntur

Genap setahun usia pandemi Coronavirus Disease-19 di Indonesia, saya rendah hati dan tidak ingin mengomentari, apalagi mengkritik, layanan kesehatan. Mengenai satu ini, sepenuhnya saya menaruh hormat dan tidak segan membungkukkan badan kepada mereka yang kini berbusana hazmat lengkap nan gerah, berjibaku tanpa kenal libur untuk mengurusi pasien yang semakin hari semakin membungkit.

Data nasional menunjukkan capaian per hari lebih dari 5.000 orang masuk rumah sakit dan tenaga kesehatan kita harus menanganinya! Bukan main berat dan mematikan kerja mereka itu. Bukan saja mereka harus mendapat penghormatan yang tinggi dari masyarakat, melainkan juga sepetak lahan untuk pusara mereka kelak di Kalibata, Kusuma Negara, Cikutra, maupun taman-taman makam pahlawan lain. Negara berhutang pada mereka besar sekali, terlalu besar, jika harus dibayar dengan hanya suatu layanan bibir yang manis namun hampa.

Juga saya tidak akan mengeluhkan praktik Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang telah berjalan nyaris setahun lamanya (persisnya 351 hari). Berbagai keluhan yang disuarakan siswa, guru, orang tua, hingga Komnas Perlindungan Anak telah dikaokkan hingga kerongkongan kering. Hasilnya? Sama sekali tidak terasa perubahan. Kalaupun ada, tidak signifikan atau timpas di meja tuan-tuan dinas pendidikan yang terhormat.

Satu-satunya yang membuat saya tetap takjub dan tidak habis pikir adalah kekuatan pandemi Corona meluruhkan segala bedak yang menempel di wajah Ibu Pertiwi. Dengan gamblang, rakyat dapat melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana sesungguhnya watak pemerintahan yang telah mereka pilih.

Sosok presiden yang dinisbatkan sebagai “wong cilik“, kini mengisi kabinetnya dengan deretan konglomerat dan orang berduit. Partai penguasa yang dahulu bahu-membahu meruntuhkan Orde Baru bersama mahasiswa dan buruh, kini menjadi tuli ketika mahasiswa dan buruh kembali turun ke jalan menentang pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja.

Bagaimana lingkaran menteri? Tidak jauh berbeda. Dalam jarak kurang dari satu bulan, Juliari Batubara dan Edhy Prabowo tertangkap basah karena korupsi. Khusus Juliari, mungkin rakyat akan geram sekaligus menjerit dari kenyataan bagaimana ia mencatut dana bantuan sosial yang menjadi wujud kehadiran negara di tengah pagebluk yang mematikan usaha banyak orang. Terbaru, Nurdin Abdullah, tokoh yang pernah menerima Penghargaan Antikorupsi Bung Hatta, tertangkap ketika bangun tidur dan kini mengenakan rompi oranye dari Gedung Merah Putih.

Kabar yang tidak kalah mengejutkan publik adalah terpilihnya Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution, putra sulung dan menantu Joko Widodo sebagai walikota. Meski telah menampik bahwa apa yang dilakukannya adalah dinasti politik dan berlindung di balik dalih “semua warga negara memiliki kesempatan”, tetap saja cacad terbesar yang tidak bisa diabaikan adalah Gibran dan Bobby adalah ayah dan ayah mertua mereka masih aktif menjabat Presiden. Karenanya, apa yang benar dari sudut pandang legislasi yudisial, tidak serta-merta benar dalam etika politik.

What Is To Be Done?

Judul pamflet politik Vladimir Ilyic Lenin tersebut kiranya tepat untuk mempertanyakan arah mana yang hendak dituju bersama sesudah pandemi berusia setahun genap. Publik kini menaruh pengharapan besar kepada vaksinasi yang tengah berjalan setahap demi setahap. Sampai tulisan ini dibuat, saya belum lagi mendapatkan jatah vaksinasi dari pemerintah.

Covid-19 mungkin bermutasi menjadi semakin kuat. Ia sekarang dapat menginfeksi siapa saja dan melalui apa saja. Ia mematikan begitu banyak orang, namun sekaligus berjasa menunjukkan pada khalayak, bagaimana sejatinya Indonesia telah menjadi keropos oleh kerja sama istana-Senayan-pengusaha di atas angin dan polarisasi cebong-kadrun-kampret di kalangan akar rumput.

Waktu-waktu vivere pericoloso ini menjadi saat penentuan bagi kita semua menoleh kembali peta perjalanan kita. Ibarat orang menepi dari jalur pendakian gunung, Covid-19 memberikan kepada bangsa ini kesempatan beristirahat dalam perjalanan menuju usia 100 tahun. Tujuh setengah dekade sejak merdeka telah dilalui, apa yang sudah kita capai? Akan ke mana kita selanjutnya? Siapa yang akan memegang tampuk masa depan—anak bangsa sendiri, kah? Atau tangan-tangan besar korporasi global? Bagaimana negara berperan di masa mendatang? Menjadi aktor utama dari semua kebijakan negeri, atau—seperti kata (Alm.) Dawam Rahardjo—menjadi tukang bersih jamban yang diberaki kapitalis semua negeri?

Selamat ulang tahun, Covid! Jasamu sungguh besar membelalakkan mata kami tentang busuk dan congkaknya negeri ini. Kami mengaku sekak. Enyahlah segera: kami benar-benar tak membutuhkanmu lagi!

Kontributor lepas dan peneliti sejarah independen. Saat ini menetap di Tangerang Selatan, Banten.

One thought on “Yang Congkak, Yang Sekak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like