Pramoedya Ananta Toer: Refleksi Perjuangan Martabat Manusia5 min read

Fenomena sosial yang menyebar di masyarakat Indonesia adalah pendegradasian harga diri manusia. Gejala ini sebenarnya sudah berlangsung lama. Namun, sejauh ini belum ada tindakan serius yang dilakukan, sehingga penurunan martabat manusia hampir terus berlanjut. Di era “reformasi” yang konon mulai memperhatikan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan, fakta membuktikan bahwa kita masih menyaksikan berbagai tingkah laku yang merendahkan martabat manusia dalam segala aspek kehidupan. Dengan kata lain, sampai saat ini kita telah menyaksikan masyarakat yang masih belum menunjukkan sikap hidup dan kepribadian yang mencerminkan penghormatan terhadap martabat manusia. Fakta membuktikan bahwa berbagai daerah di tanah air masih penuh dengan kekerasan terhadap kemanusiaan. Degradasi ini sangat tercermin dalam novel-novel penulis besar Indonesia Pramodedya Ananta Toer (selanjutnya disebut: Toer).

Penulis adalah salah satu orang yang berdedikasi untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Dengan merefleksikan realitas sosial dalam karya sastra, Toer seolah menyampaikan berbagai gagasan yang sarat dengan pesan perjuangan dan apresiasi manusia. Toer adalah seorang penulis luar biasa yang memiliki pembahasan menarik tentang martabat manusia (Heryanto, 1998:5; Manuaba, 2000a: 144-145). Menarik bukan hanya karena pihak berwenang sudah lama melarang karya-karyanya, tapi terutama karena orang menganggap ia bisa mencerminkan martabat manusia. Jika melihat karya Toer, hampir semua karyanya bertema humanistik.

Sifat kritis Toer, melalui karyanya dalam menyikapi dan mengekspresikan perkembangan zaman di masyarakat, menyebabkan dia mengalami konflik dengan kekuasaan negara (Manuaba, 2000b: 142). Akibatnya, pada masa Orde Baru cukup lama karyanya dilarang dibaca, diapresiasi, dan dijelaskan. Nyatanya, karya Toer mendapat respon positif dari komunitas baca internasional.

Menurut A. Teeuw (Dakhidae, 1995: 78), keberadaan Toer dan karyanya dalam sastra Indonesia terjadi dengan cara yang sangat unik. Eksistensi dan karya Toer penuh dengan paradoks, his presense is defined by his absence, keberadaannya ditentukan oleh ketidakhadirannya. Ia dilarang berkarya, namun karya sastranya merambah pasar domestik dan internasional. Dia tidak dikenali di rumah, tapi dia juga merupakan “idola” di luar negeri. Toer dan karyanya mengejutkan pembaca di dunia (Saidi, 2000: 286).

Pentingnya karya Toer juga dibahas, karena selama pemerintah melarang karya-karyanya di masa lalu, pembaca sastra otomatis tidak memiliki makna publik, sehingga relatif sedikit evaluasi publik terhadap karya Toer di masyarakat. Padahal, menurut berbagai evaluasi pengamat yang berbeda seperti A. Teeuw, Ariel Heryanto, Daniel Dakhidae, dan Saidi, karya Toer sarat dengan gagasan untuk memperjuangkan martabat manusia. Magnis-Suseno (1992: 108) juga menunjukkan betapa pentingnya penghormatan terhadap martabat manusia digunakan sebagai dasar bagi negara dan pembangunannya.

Kemudian Dakhidae (1995: 82) mengemukakan bahwa dalam karya-karya Toer banyak terdapat pertimbangan moral, sentuhan sastra tentang nasib umat manusia, terutama yang rentan, yang lemah menghadapi kekuasaan, kemiskinan dan kekacauan. Selain itu, karya-karyanya dinilai mampu menyentuh nilai-nilai dasar kemanusiaan dan mengatasi nilai-nilai budaya lokal.

Degradasi manusia adalah masalah yang tercermin dalam banyak novel Toer. Penulis mengubahnya menjadi novel dengan semangat humanisme. Setidaknya ada empat bentuk degradasi dalam novelnya, terutama bentuk degradasi yang diekspresikan melalui informasi, yang muncul dalam bentuk pernyataan, refleksi dan dialog antar tokoh dalam cerita.

Dalam novel “Bumi Manusia”, Anda bisa melihat penghinaan orang Eropa (Belanda) terhadap penduduk setempat (orang Indian Timur Belanda). Pak Mellema adalah orang Belanda dan sangat kaya, dia membenci tokoh Minke dari penduduk setempat. Bagaimanapun, Pak Melema tetap merasa bahwa martabatnya lebih tinggi dari pada Mingke. Pendegradasian kemanusiaan Minke, dalam teks dialaminya tatkala ia menghadap Tuan Mellema: “Siapa kasih kowe ijin datang kemari, monyet!“… “Kowe kira, kalo sudah pake pakean Eropa, bersama orang Eropa, bisa sedikit bahasa Belanda lantas jadi Eropa? Tetap monyet!” (Toer, 1980:37). Di samping itu, dapat juga diketahui dari pembelaan Nyai Ontosoroh kepada Minke, tatkala Minke dibenci oleh Mellema: “Baik. Jadi kau membenci Minke hanya karena dia Pribumi dan kau berdarah Eropa” (Toer, 1980:154).

Peran Melema mewakili orang Eropa (kelas atas), dan mereka percaya bahwa martabat pribadi mereka lebih tinggi daripada Minke, yang mewakili Hindia Belanda (kelas bawah). Dia tidak pernah mau menerima kenyataan bahwa harta benda, darah, dan kekuasaan bukanlah faktor yang paling menentukan dalam kaitannya dengan sifat manusia. Bagi Melema, semua itu tidak pernah dipahami sebagai benda yang tidak kekal atau alat belaka. Tentu saja, cerita tentang degradasi manusia dapat ditemukan tidak hanya di Bumi Manusia, tetapi juga dalam novelnya yang lain seperti Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca, dan Gadis Pantai, dengan mengacu pada model yang sama.

Status arogan yang ditunjukkan oleh tokoh Bumi Manusia dalam novel Tuan Mellema juga membuatnya “membendakan” manusia lain. Berkaitan dengan hal tersebut nampaknya tingkah laku Pak Melema dapat dilihat dalam cerita ini, Ia percaya bahwa orang lain hanyalah pelengkap, sehingga menurutnya keberadaan orang lain tidak terlalu penting. Perlakukan orang lain sebagai objek perlakukan.

Pendegradasian manusia yang membendakan manusia, misalnya dapat disimak ketika Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia berkisah  kepada anaknya (Annelies), tentang nasib yang menimpa dirinya (Nyai Ontosoroh): “Hidup sebagai nyai terlalu sulit. Dia cuma seorang budak belian yang kewajibannya hanya memuaskan tuannya. ” (Toer, 1980:80).

Pembendaan itu juga dialami oleh tokoh Gadis Pantai -selaku tokoh utama- dalam novel Gadis Pantai. Si Gadis Pantai merasakan dirinya diidentikkan dengan benda sehingga tidak dipandang sederajat dengan calon suaminya yang berasal dari kaum bangsawan: “Dan Gadis Pantai tertegun. Ia mulai mengerti, di sini ia tak boleh punya kawan seorang pun yang sederajat dengannya” (Toer, 2000:32); “Yang ia tak habis mengerti mengapa ia harus berlaku sedemikian rupa sehingga sama nilainya dengan meja, dengan kursi dan lemari, dengan kasur tempat ia dan Bendoro pada malam-malam tertentu bercengkerama” (Toer, 2000:69).

Gadis Pantai mungkin melambangkan nasib perempuan Indonesia yang masih belum memperoleh derajat kemanusiaannya. Di sini kaum perempuan masih dipandang lebih rendah kedudukannya ketimbang laki- laki. Perempuan acap kali dipandang tidak memiliki kebebasan untuk melakukan pergaulan yang wajar. Ia hanya diposisikan sebagai orang yang bergerak dalam ruang privat dan tidak sampai pada ruang publik.

Berbagai gagasan tentang memperjuangkan martabat manusia dapat dijelaskan dari novel Toer, antara lain: (1) Sebagai manusia, kita harus memiliki dan memupuk sikap cinta kepada semua orang; (2) Kita perlu berteman dengan siapa saja (Terlepas dari SARA atau status sosial lainnya); (3) Manusia perlu membentuk sikap kesetaraan yang tulus antar sesama; (4) Manusia perlu melakukan upaya dan kesadaran untuk mengubah diri dan menjadikannya baik atau bijak, tanpa memandang manusia. Godaan non Hal-hal penting dalam hidup; (5) Untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia itu sendiri, perlu dilakukan pertolongan yang tulus dan tanpa pamrih kepada sesama.

Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.

2 thoughts on “Pramoedya Ananta Toer: Refleksi Perjuangan Martabat Manusia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like