Soekarno dan Ajaran Marxisme2 min read

Kekuasaan Bung Karno di ujung tanduk tahun 1966. Kudeta merangkak yang dirancang Perwira-perwira Militer berhaluan sayap kanan dan CIA memang menyasar Bung Karno. Maklum, di bawah kekuasaan Bung Karno, haluan ekonomi-politik Indonesia sangat anti-kolonialisme dan anti-imperialisme.

kelompok sayap kanan ditubuh militer kala itu berusaha menyeret dan menuduh Bung Karno terlibat Gerakan 1 Oktober 1965 (GESTOK). Untuk itu, disusunlah propaganda mendiskreditkan Bung Karno. Poster dan Pamflet, yang didalamnya menyebut Soekarno seorang marxis, disebar dan ditempel dimana-mana.

Bung Karno tidak gentar. Tanggal 28 Februari 1966, di hadapan peserta Sapta Warsa Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI), Bung Karno terang-terangan mengakui dirinya seorang marxis. “Aku tegaskan dengan tanpa tedeng aling-aling, ya, aku marxis,” kata Bung Karno.

Itu bukan pertama kalinya Bung Karno menyebut diri marxis. Tanggal 6 September 1966, ketika menerima delegasi Angkatan 45 di Istana Negara, Bung Karno juga menyatakan dirinya seorang marxis. Bahkan, menurut pengakuannya, sejak tahun 1928, Ia sudah menjadi marxis, sekaligus nasionalis dan islamis. “Marxisme adalah isi dada saya,” ujar Bung Karno.

Bahkan, di pertemuan dengan Angkatan 45 itu, Bung Karno sempat mengungkapkan kemarahannya kepada MPRS yang berkeinginan melarang ajaran marxisme dan ajaran ajaran politik Bung Karno lainnya dalam Ketetapan MPRS No. XXV Tahun 1966 dan Ketetapan MPRS No. XXVI Tahun 1966 . “Kalau engkau (MPRS) mengambil keputusan melarang Marxisme, Leninisme, Komunisme, saya akan ketawa,” tegasnya.

Bagi Bung Karno, sebuah ideologi atau ajaran tidak boleh dilarang. Yang harus dilarang, katanya, adalah kegiatan marxisme atau komunisme yang merugikan negara. Ia sadar, sebuah ajaran atau pemikiran tidak terlepas dari sociaal economische verhoudingen (relasi sosial ekonomi). Ia mencontohkan, marxisme tidak akan pernah bisa dihilangkan jikalau sociaal economische verhoudingen masih sangat buruk. Sebab, marxisme adalah senjatanya kaum tertindas untuk membebaskan diri dari segala bentuk penghisapan.

Bahkan beliau pun bilang bahwa marhaenisme itu marxisme yang diterapkan dan dicocokan dengan situasi dan kondisi di Republik Indonesia pada Kongres Partindo 26 Desember 1961.

Salah satu ciri khas yang menjadi pembeda antara Bung Karno dengan politisi saat ini adalah penguasaanya dalam teori-teori politik. Ia bukan seorang politisi karbitan atau  dari politisi keturunan. Ia juga bukan politisi ngawur-awuran, yang landasan tindakannya tidak didasarkan sebuah panduan yang jernih dan solid. Sebaliknya, seluruh  landasan tindakan politik dari Bung Karno merupakan refleksi atas kondisi sosial pada masanya, dan semua itu dituangkan dalam catatan-catatannya dan dalam pidatonya yang menggebu-gebu. Salah satu yang mempengaruhi sumber pemikiran realitas Bung Karno dengan lebih mendalam dan utuh yakni, Marxisme.

Dalam Koran Pemandangan tahun 1941, Bung Karno menyampaikan bahwa “teori marxisme adalah teori-teori yang saya anggap kompeten dalam memecahkan permasalahan kelas-kelas politik, dan kelas-kelas kemasyarakatan”. Jadi Bung Karno adalah seseosok manusia pergerakan dengan bersenjata “Marxisme”.

Bung karno sebagai Marxis, membagi teori revolusinya dalam dua tahap: Yaitu tahap nasional-demokratis, dan tahap sosialis. Tetapi, Bung Karno sebagai Marxis seperti halnya Lenin, Fidel Castro, Ho Chi Minh maupun Mao Tse Tung, menyesuaikan teori Marxis dengan kondisi nasionalnya. Dalam perjuangan dan kepemimpinan nasional, Marxisme dipegang dengan teguh oleh Pemimpin Besar Revolusi, Soekarno.

“Ukurlah pemimpin-pemimpinmu. Ukurlah orang-orang. Ukurlah siapa saja terutama perbuatannya. Kalau perbuatannya njeleweng, tendanglah mereka itu dari kalangan kita!”…(Bung Karno)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like