Jika manusia mulai melibatkan diri pada aktivitas berpikir, mereka sejatinya telah berfilsafat. Kegiatan berpikir tentu saja dipengaruhi dan didorong oleh banyak hal dan keadaan. Salah satu contohnya adalah pengalaman hidup. Setiap orang mempunyai pengalaman hidup. Itu adalah salah satu landasan dan pijakan dasar yang mendorong seseorang memikirkan dan merenungi makna hidupnya. Dilihat dari sudut ini, itulah mengapa kebijaksanaan-kebijaksanaan kadang lahir dari masyarakat biasa, untuk membedakan dengan masyarakat akademik.
Makanya tidak heran jika kita menemukan ungkapan atau sikap bijak dari tetangga, kakek, nenek, pedagang atau sopir truk. Kata-kata dan sikap bijak mereka bisa jadi mirip dengan konsep yang digagas oleh para filsuf besar seperti Plato, Aristoteles, Karl Marx, atau Sarter. Padahal mereka tidak mengenal apalagi mengetahui tokoh dan pemikiran filsuf tersebut. Tentu sumber kebijaksanaan mereka, kakek, pedagang atau sopir, adalah pengalaman hidup yang diolah pikir-renungkan.
Tulisan ini paling tidak mencoba menemukan dan mengungkapkan kebijaksanaan-kebijaksanaan di lingkaran masyarakat biasa. Salah satu fokus saya adalah tulisan di bak truk. Saya kira kita pernah, paling tidak sekali atau lebih, melihat dan membaca tulisan di bak truk.
Filosofi Bak Truk
Kita tentu saja akrab dengan jalanan. Saking sering dan akrabnya dengan jalanan, kita bahkan hafal beberapa titik jalan yang berlubang atau tanjakan atau polisi tidur. Seperti cerita Pak Fahruddin Faiz, pengampu Ngaji Filsafat MJS, pada suatu gelaran ngaji luring sebelum Covid-19. Beliau menuturkan bahwa saking seringnya beliau pergi pulang dari rumah ke kampus sampai tahu di titik mana ada jalan berlubang, polisi tidur atau belokan.
Kita tidak hanya mampu memprediksi kondisi jalan sebelah mana yang kurang baik, tetapi juga begitu akrab dengan hilir mudik kendaraan. Kita bahkan akrab dengan tulisan di beberapa kendaraan. Salah satu tulisan di bak truk yang pernah saya lihat dan baca adalah “Nikmatilah hidup selagi ada, lakukan selagi mampu”. Ungkapan tersebut jika dipikir-renungkan tentu sangat filosofis sekali.
Namun, kita terkadang menilai tidak filosofis. jika kita membaca tulisan itu sambil lalu saja tentu dianggap biasa. Kategori biasa tersebut bisa jadi karena kita anggap hanya berasal dari bak truk. Padahal setiap objek yang hadir tidak berdiri sendiri. Artinya di balik objek itu ada konteks dan maknanya. Bahkan makna objek itu bukan hanya yang berada pada objek saja, tetapi juga di luar melampaui objek. Inilah yang oleh Heidegger disebut sebagai makna transendental. Jadi, makna transendental adalah makna yang melampaui objek atau makna di balik objek.
Jika sedari awal kita menilai ungkapan dari bak truk itu tidak filosofis berarti kita tidak bisa menangkap makna objektif tulisan itu dan makna lain di luar tulisan itu. Dengan demikian, makna yang ada di dalam tulisan tersebut tidak diperoleh. Makna objektif saja bisa hilang apalagi makna di balik objek. Oleh karena itu, Hans-Georg Gadamer dalam Truth and Method mewanti-wanti kita agar tidak buru-buru memaknai objek berdasarkan praanggapan semata. Sehingga bagi Gadamer penting bagi kita mengatur keterlibatan praanggapan lebih jauh. Sebab dominasi praanggapan bisa mengacaukan bahkan menghilangkan makna tulisan tersebut. pada titik inilah kita perlu memperhatikan konteks tulisan ini.
Apa sih makna tulisan nikmatilah hidup selagi ada, lakukan selagi mampu di bak truk ini? Ungkapan “Nikmatilah hidup selagi ada,…”, paling tidak makna yang tersirat merujuk pada kesyukuran atas hasil pekerjaan sebagai sopir truk. Islam sendiri sangat menganjurkan untuk selalu bersyukur. Dalam Al-Qur’an Q.S Ibrahim ayat 7, Allah berfirman …“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras.”
Qur’an Kemenag RI menafsirkan ayat tersebut bahwa salah satu tanda kesyukuran seseorang atas nikmat yang diperolehnya adalah melalui ucapan yang setulus hati. Tentu ucapan dalam arti luas bisa berbentuk tulisan. Berangkat dari titik ini, tulisan filosofis di bak truk tersebut bisa dimaknai sebagai ungkapan rasa syukur. Seberapapun hasil yang diperoleh dari pekerjaan harus disyukuri dan dinikmati seadanya.
Penggalan lakukan selagi mampu juga begitu filosofis. Pak Fahruddin Faiz sering menegaskan bahwa salah satu musuh terbesar kita adalah malas. Tantangan terbesar kita adalah meminimalisir dan menaklukan rasa malas. Entah itu malas belajar. Malas membaca. Malas berpikir. Dengan demikian, penggalan lakukan selagi mampu mendorong kita segera bertindak melakukan aktivitas yang berkaitan dengan peran dan kepentingan masing-masing sesuai kapasitas kita.
Filsafat Bak Truk dan Relevansi dalam Kehidupan
Tulisan di bak truk di atas merupakan salah satu ungkapan bijak yang pernah saya temukan. Barangkali pengalaman dan perjumpaan pembaca dengan filsafat bak truk itu jauh lebih kompleks. Terlepas dari kuantitas, saya kira penting kita mengajukan pertanyaan ihwal relevansi filsafat bak truk dalam kehidupan kita. Apa sih makna dan nilai ungkapan nikmatilah hidup selagi ada, lakukan selagi mampu terhadap hidup kita?
Paling tidak ungkapan tersebut mempunyai relevansi dalam kehidupan kita. Pertama, ungkapan itu mengingatkan kita akan pentingnya menikmati dan merayakan hidup setiap saat. Dengan lain kata, kesyukuran adalah nomor wahid. Kita masih ada di dunia ini mesti bersyukur. Kita masih bisa menikmati kopi merupakan sebuah kesyukuran. Pun kita masih ada niat untuk meningkatkan kualitas asupan pengetahuan dan spiritual juga merupakan satu kesyukuran. Oleh karena itu, nikmatilah hidup ini selagi ada.
Kedua, ungkapan itu menguji dan mempertanyakan kembali perihal aktualisasi potensi kita. Jangan-jangan kita mempunyai kemampuan tapi tidak bertindak. Jangan-jangan kita mampu tidak buang sampah sembarangan tapi dibiasakan. Akibatnya adalah banjir bandang malanda Indonesia. Jangan-jangan pihak yang berwenang mampu mencegah banjir bandang dengan keberpihakan dan kepedualian terhadap kelangsungan alam tapi tidak bersungguh-sungguh. Dengan demikian, lakukanlah kebaikan dan perbaikan untuk hidup bersama selagi mampu.
Saya kira ada banyak kebijaksaan di sekitar kita. Barangkali kebijaksaan yang pembaca jumpai jauh lebih banyak lagi. Bisa jadi itu bermanfaat dalam kebaikan dan perbaikan kemaslahatan umum. Selama potensi berpikir dan spiritualitas kita dioperasiakn, saya yakin kita bisa menemukan filosofi-filosofi lainnya yang lebih dasyat. Implikasi positifnya bisa jadi tidak hanya itu, tetapi kita juga mampu merefleksikan sendiri pengalaman hidup sehingga tercipta rumusan-rumusan bijaksana. Selamat berfilsafat.